Aula kecil di Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGN dipenuhi oleh mahasiswa yang antusias. Seminar hari itu bertajuk "Mewujudkan Mimpi dengan Beasiswa: Tips Menjadi Awardee LPDP dan Erasmus Mundus". Di panel pembicara ada Rana sebagai awardee Erasmus Mundus, duduk berdampingan dengan Zayyan yang pernah menjadi awardee LPDP.Ya, Rana akhirnya menerima undangan itu. Ia senang berbagi pengalamannya menjadi penerima beasiswa Erasmus Mundus, salah satu beasiswa paling bergengsi bagi calon mahasiswa magister khususnya di perguruan tinggi yang ada di Eropa.Rana terlihat anggun dengan blazer biru, menatap audiens dengan senyum percaya diri. Di sebelahnya, Zayyan menyambut mahasiswa dengan gaya santai namun berwibawa.“Semua orang punya mimpi besar.” Zayyan membuka seminar dengan suara lantang. “Dan beasiswa seperti LPDP dan Erasmus adalah salah satu jembatan untuk mewujudkan mimpi itu. Hari ini, saya dan Bu Rana akan berbagi pengalaman kami agar kalian juga bisa meraihnya.”Giliran pertama adalah
“Akhirnya kamu ikut, Ran?” Bagus menyapa Rana saat sesi pertama workshop yang dilaksanakan Fakultas Bisnis dan Ekonomi UGN baru saja selesai.“Iya, Pak.” Rana tersenyum pada Bagus. “Nggak enak masa anak baru kayak saya udah nggak ikut workshop aja.”Bagus mengangguk-angguk dan mendekati Rana ketika para dosen beranjak keluar ruangan untuk menikmati kopi dan camilan yang sudah disediakan. Rana masih berdiri di dekat mejanya di dalam hall tempat sesi pertama workshop berlangsung tadi.Bagus berdiri sangat dekat, membuat Rana merasa agak tidak nyaman. “Betul sekali, sebaiknya jangan mengabaikan acara fakultas. Dan saya juga ingin mengapresiasi, presentasi Anda tadi itu luar biasa. Anda benar-benar membuat fakultas kita bangga.”Rana tersenyum tipis. “Terima kasih, Pak. Itu hasil kerja tim, kok.”Bagus tertawa kecil. “Jangan terlalu rendah hati. Saya yakin, kalau Anda terus seperti ini, Anda akan melangkah jauh di dunia akademik.”“Terima kasih, Pak,” jawab Rana singkat, mencoba mengakhir
Setelah kejadian pelecehan itu, Rana merasa terguncang. Meski Zayyan sudah datang tepat waktu untuk menghentikan Bagus, bayangan kejadian itu masih menghantuinya. Sejak mereka kembali ke Jakarta, Rana menjadi lebih pendiam. Ia tetap menjalani aktivitasnya seperti biasa, tapi ada sesuatu dalam dirinya yang berubah.Zayyan menyadari itu. Ia tahu Rana adalah perempuan yang kuat, tapi kali ini, ia ingin memastikan Rana tidak perlu menghadapi segalanya sendirian.Malam itu, mereka duduk di balkon apartemen Zayyan seperti biasa. Angin malam berembus lembut, tapi keheningan di antara mereka terasa berat.“Rana...” Zayyan membuka percakapan, suaranya lembut tapi serius.Rana menoleh, menatapnya dengan mata lelah. “Ya?”Zayyan menggenggam tangannya, mengusap punggung tangannya dengan ibu jarinya. “Aku tahu kamu bilang kamu baik-baik saja, tapi aku bisa lihat kalau kamu masih kepikiran soal Pak Bagus.”Rana menghela napas panjang. “Aku berusaha untuk nggak memikirkannya, Mas. Tapi jujur... aku
“Mas Zayyan ngelamar aku,” ucap Rana di tengah makan malam.Setelah lamaran romantis itu, Rana dan Zayyan sepakat bahwa langkah selanjutnya adalah berbicara dengan orang tua Rana. Mereka ingin restu, terutama dari Jagat, yang dikenal paling sulit memberi restu sejak Zayyan berniat kembali bersama Rana.Semua orang di meja makan itu terdiam seketika. Ambar tampak tersenyum senang, Arga dan Anya saling pandang lalu menatap Rana dan Zayyan bergantian. Sementara Jagat terlihat mengetatkan rahang.Rana menangkap ekspresi papanya dan ia mengerti bahwa yang paling sulit adalah meyakinkan Jagat.“Selamat ya, Nak,” ucap Ambar dengan senyum tulus.“Makasih, Ma.” Rana juga tersenyum, tapi terlihat kikuk karena Jagat belum juga mengubah ekspresinya.“Kamu sudah nerima?” tanya Arga hati-hati. Ia melirik Zayyan sekilas, sebelum kembali menatap adiknya.Rana mengacungkan tangannya, menunjukkan sebuah cincin berlian yang melingkari jari manisnya. “Sudah. Karena itu aku ngajak Mas Zayyan makan malam s
Setelah acara pertunangan Zayyan dan Rana yang romantis, kabar itu dengan cepat menyebar di kampus. Banyak rekan dosen yang memberikan ucapan selamat, baik secara langsung maupun melalui grup WhatsApp fakultas.“Selamat ya, Rana! Akhirnya resmi bertunangan.” “Wah, pasangan awardee LPDP dan Erasmus, pasti keren banget nanti kalau menikah.” “Semoga lancar sampai hari pernikahan!”Rana tersenyum dan mengucapkan terima kasih setiap kali ada yang memberikan ucapan. Namun, di sela-sela kehangatan itu, ia juga menyadari beberapa rekan dosen yang terlihat sinis atau sekadar melirik tanpa bicara.Rana tidak terlalu memikirkan itu—setidaknya sampai siang harinya, saat ia mendengar sesuatu yang mengejutkan.Siang itu, Rana berjalan ke kantin dosen untuk mengambil kopi. Saat ia melewati salah satu meja, ia mendengar bisikan-bisikan dari beberapa dosen yang sedang berbincang."Aku dengar mereka bertunangan buru-buru karena Rana sudah hamil." "Serius? Makanya mereka tiba-tiba tunangan, padahal s
Kampus semakin ramai membicarakan Rana dan Zayyan. Tidak hanya gosip soal kehamilan yang tidak benar, tetapi juga masa lalu mereka yang ternyata pernah menikah dan bercerai pun tersebar."Pantas saja mereka buru-buru bertunangan lagi. Ternyata mereka ini mantan suami istri!" "Dan katanya dulu cerainya karena Zayyan selingkuh sama Asha? Wah, gimana bisa Rana mau balikan?" "Makanya, Rana pasti putus asa banget sampai mau nerima laki-laki kayak Zayyan lagi."“Aku nggak nyangka Zayyan ternyata sebejat itu.”Rana merasa tercekik setiap kali berjalan di lorong fakultas. Bisikan-bisikan itu tak pernah berhenti.Dan siang itu, puncaknya datang. Ia mendapat panggilan dari Kaprodi.Rana mengetuk pintu ruangan Bagus, lalu masuk ketika mendengar suaranya."Silakan duduk, Rana."Rana duduk dengan postur tegap. Ia menatap kaprodinya dengan waspada. Ia tahu siapa Bagus sebenarnya—seorang pria dengan niat buruk yang nyaris melecehkannya di Bali.Bagus menautkan jari-jarinya di atas meja, menatap Ra
Beberapa minggu setelah laporan dibuat, Rana duduk di ruangan Biro Etik dan Disiplin Akademik, menunggu hasil investigasi. Zayyan duduk di sampingnya, menggenggam tangannya erat.Dr. Budi akhirnya masuk dengan ekspresi yang sulit dibaca."Kami telah melakukan investigasi atas laporan Anda," katanya dengan nada hati-hati. "Namun, setelah mempertimbangkan berbagai faktor, tidak cukup bukti untuk menjatuhkan sanksi kepada Bagus."Rana terbelalak. "Apa?!""Banyak saksi yang enggan berbicara atau memberikan kesaksian yang tidak cukup kuat. Selain itu, Bagus memiliki rekam jejak panjang sebagai kaprodi yang berprestasi, dan beberapa pejabat kampus memberikan rekomendasi positif tentang dirinya."Rana merasakan amarah dan kekecewaan membakar dadanya. "Jadi, karena dia punya koneksi dan kekuasaan, kalian membiarkan dia lolos begitu saja?"Dr. Budi tampak canggung. "Kami bukan membiarkan, Rana. Tapi dalam prosedur hukum dan administrasi, kami tidak bisa mengambil tindakan tanpa bukti yang cuku
Beberapa hari setelah berita dirilis dan menjadi viral, suasana di kampus UGN berbeda dari biasanya. Puluhan mahasiswa berkumpul di depan gedung rektorat, membawa spanduk dan poster bertuliskan:"TOLAK DOSEN PREDATOR!" "KEADILAN UNTUK KORBAN PELECEHAN!" "REKTOR HARUS BERTINDAK!"Rana berdiri di antara kerumunan, merasakan getaran semangat dari para mahasiswa yang meneriakkan tuntutan mereka. Ia tak menyangka bahwa keberaniannya berbicara akan memicu gelombang sebesar ini. Kini, Bagus tak bisa lagi bersembunyi di balik kekuasaannya.Di barisan depan, Laras berdiri tegap, memegang mikrofon. "Kami di sini bukan hanya untuk satu orang korban, tapi untuk semua perempuan yang pernah dibungkam oleh sistem yang korup! Hari ini, kami menuntut keadilan!"Kerumunan mahasiswa bersorak. Beberapa dari mereka adalah mahasiswa bimbingan Bagus sendiri, yang kini merasa jijik mengetahui sisi lain dari dosen yang selama ini mereka hormati."Copot Bagus dari jabatannya!" "Pecat pelaku pelecehan dari k
Rana masih duduk di meja makan, mencoba menenangkan perutnya yang masih sedikit mual. Ia tak menyadari bahwa seseorang tadi menguping dari luar.Beberapa saat kemudian, pintu apartemen terbuka, dan Zayyan masuk dengan kantong belanja di tangannya."Kamu baik-baik aja?" tanyanya begitu melihat wajah pucat Rana.Rana tersenyum lemah. "Barusan mual lagi, tapi sekarang udah mendingan."Zayyan langsung mendekat, menaruh belanjaannya sembarangan di atas meja, lalu berjongkok di depan Rana. Tangannya terulur, mengusap perut istrinya dengan penuh kasih. "Harusnya aku nggak ninggalin kamu sendirian tadi."Rana terkekeh. "Hei, aku baik-baik aja, kok. Jangan terlalu khawatir."Tapi Zayyan tetap menatapnya dengan serius. "Mulai sekarang, kalau ada apa-apa, langsung kasih tahu aku, ya?"Rana mengangguk dan menenangkan suaminya dengan kecupan di pipi. Mereka berdua tidak menyadari bahwa di unit apartemen seberang, seseorang sedang tersenyum miring sambil mengaduk kopi di hadapannya.***Beberapa Ha
Hari Minggu. Rana menikmati udara pagi yang segar sambil berjalan santai di taman dekat apartemen mereka. Sesekali ia memperhatikan Zayyan yang sedang joging, bergerak semakin jauh meninggalkannya. Sesekali juga, Zayyan menoleh ke belakang, memastikan sang istri baik-baik saja. Ia melambaikan tangan, yang dibalas lambaian tangan pula oleh Rana. Plus senyum manis terbaik. Rana terus berjalan santai, hatinya terasa hangat dan penuh. Dan tepat ketika ia hendak berbelok menuju jalur yang lebih teduh, suara yang sangat tidak ingin ia dengar tiba-tiba menyapa. "Pagi yang indah, kan?" Rana menegang seketika. Ia menoleh dan mendapati Gavin berjalan santai di sampingnya, senyuman licik tersungging di wajahnya. "Apa maumu, Gavin?" Rana mempercepat langkah, berharap bisa segera menyusul Zayyan. "Tidak ada. Aku hanya ingin ngobrol. Masa nggak boleh? Kita dulu pernah dekat, kan?" Gavin tetap mengikuti langkahnya, membuat Rana semakin gelisah. "Kita nggak pernah dekat," sahut Rana tajam. "T
Satu bulan kemudian. Rana sedang menjelaskan materi di depan kelas ketika kepalanya tiba-tiba terasa berat. Pandangannya sedikit berkunang-kunang, dan tubuhnya terasa lemas. Ia berusaha tetap fokus, tetapi rasa pusing yang semakin menjadi membuatnya tidak bisa berkonsentrasi. "Baik, untuk pertemuan hari ini cukup sampai di sini dulu. Saya ingin kalian membuat ringkasan dari materi kita hari ini dan dikumpulkan minggu depan," ucapnya, mencoba menyembunyikan rasa tidak nyamannya. Mahasiswa tampak bingung karena kelas berakhir lebih cepat dari biasanya, tetapi mereka tidak banyak bertanya dan mulai merapikan barang mereka. Rana menghela napas, berharap rasa pusingnya berkurang setelah ia duduk sebentar di kursinya. Namun, baru saja ia melangkah keluar dari ruang kelas, tubuhnya tiba-tiba kehilangan keseimbangan. Dunia di sekelilingnya terasa berputar, dan dalam hitungan detik, semuanya menjadi gelap. "Bu Rana!" Beberapa mahasiswa yang masih berada di dekatnya langsung bergegas mena
Sesampainya di rumah sakit, Rana dan Zayyan langsung disambut dengan senyuman lelah tapi bahagia dari Anya yang sedang berbaring di ranjang rumah sakit, menggendong bayi kecilnya yang tertidur pulas. Sementara itu, Arga berdiri di sampingnya, tampak siap siaga meskipun wajahnya terlihat kurang tidur."Selamat ya, Kak!" Rana langsung menghampiri kakak dan kakak iparnya, menatap keponakannya dengan tatapan penuh kagum. "Ya ampun, dia kecil banget... tapi gemesin!"Zayyan ikut mencondongkan tubuhnya untuk melihat bayi itu lebih dekat. "Wah, calon atlet nih, lihat tuh tangannya, kuat banget!"Arga tertawa sambil mengusap kepala putranya. "Iya, pas lahir langsung menggenggam jari aku erat banget. Mungkin dia bakal jadi petinju."Mereka semua tertawa. Rana kemudian duduk di tepi ranjang, mendekati Anya. "Gimana rasanya jadi ibu, Kak?"Anya mendesah lelah, tapi senyum di wajahnya tak pernah pudar. "Luar biasa, capek banget, tapi saat lihat bayi kecil ini, rasanya semua terbayar."Ambar juga
Setelah memastikan bahwa Anya mendapatkan perawatan yang baik di rumah sakit, Rana dan Zayyan akhirnya berpamitan kepada keluarga. Mereka masih lelah setelah perjalanan panjang dari Lombok, dan tubuh mereka menuntut istirahat.Dalam perjalanan pulang, Rana menyandarkan kepalanya di bahu Zayyan. “Hari yang panjang, ya, Mas?” gumamnya lelah.Zayyan tersenyum kecil, mengusap punggungnya dengan lembut. “Banget. Tapi senang juga, sih. Nggak nyangka kita pulang-pulang langsung ada kejadian besar kayak gini.”Begitu sampai di apartemen, mereka langsung berganti pakaian dan bersiap tidur. Rana mengenakan piyama tipis, sementara Zayyan hanya mengenakan celana tidur tanpa kaus. Mereka merebahkan diri di ranjang dengan tubuh yang terasa remuk, tapi hati mereka terasa penuh.Rana menatap langit-langit sambil menghela napas lega. “Kira-kira kita kapan ya, kayak Kak Anya?”Zayyan yang tadinya hampir terlelap langsung membuka mata dan menoleh ke Rana. “Maksudnya?”Rana memutar tubuhnya, berbaring mi
Malam harinya, Zayyan sengaja mengajak Rana untuk makan malam di luar agar suasana hati Rana membaik setelah kejadian saat snorkeling tadi.Sepasang pengantin baru itu berjalan beriringan menuju restoran tepi pantai yang dipesan Zayyan. Angin malam berhembus lembut, membawa aroma laut dan suara deburan ombak yang menenangkan. Rana menggenggam tangan Zayyan erat, merasa lebih tenang setelah kejadian tadi siang.Namun, ketenangan itu langsung buyar ketika mereka baru saja memasuki restoran.Di sudut ruangan, duduk seorang pria yang tak asing lagi—Gavin.Mata Rana dan Gavin bertemu sejenak. Senyum licik tersungging di wajah pria itu, seolah kejadian siang tadi tidak pernah terjadi.Zayyan langsung menggenggam tangan Rana lebih erat. “Kita pergi dari sini,” bisiknya, sudah bersiap untuk membatalkan reservasi.Rana menelan ludah, menatap wajah suaminya yang terlihat penuh kekhawatiran. Ia tahu Zayyan hanya ingin melindunginya, tapi kali ini… ia tidak ingin lari.“Tidak.” Rana menarik napas
Rana dan Zayyan berjalan berdampingan di sepanjang jalan kecil yang dipenuhi toko-toko suvenir khas Lombok. Mereka tertawa saat Zayyan mencoba memakai ikat kepala khas suku Sasak, sementara Rana sibuk memilih kain tenun dengan warna-warna cerah untuk ibunya.“Aku rasa Mama bakal suka yang ini,” kata Rana, mengangkat selembar kain berwarna biru laut dengan motif tradisional yang elegan.Zayyan mengangguk setuju. “Kalau buat Papa, kita belikan kopi Lombok juga gimana? Dia suka kopi, kan?”“Banget.” Rana tersenyum, lalu meraih sebungkus kopi dari rak. “Beliin istri Kak Arga juga boleh nggak? Perhiasan mutiara khas Lombok ini pasti bagus banget buat oleh-oleh.”Mereka menghabiskan waktu dengan bercanda sambil memilih oleh-oleh, menikmati suasana santai di pulau itu. Setelah selesai, mereka berjalan menuju pantai dengan tangan penuh tas belanjaan.“Ini bulan madu terbaik.” Rana menoleh ke Zayyan dengan mata berbinar. “Aku nggak nyangka kita bisa sebahagia ini setelah semua yang terjadi.”Z
Matahari sudah tinggi ketika Rana terbangun dengan kepala masih bersandar di dada bidang Zayyan. Udara pagi yang sejuk dari laut menyapu kulitnya, tetapi yang lebih membuatnya tersadar adalah suara nyaring dari ponselnya yang bergetar di meja samping tempat tidur.Dengan malas, Rana mengulurkan tangan dan meraih ponsel tanpa membuka mata. Begitu melihat layar, matanya langsung membelalak. Mama Calling…“Oh, tidak!” Rana setengah berguling, setengah panik. Ia melirik tubuhnya yang masih sepenuhnya telanjang, hanya tertutup selimut yang melilit tubuhnya dan Zayyan. Dengan cepat, ia menarik selimut lebih erat lalu menekan tombol “Accept” untuk menjawab panggilan video.Wajah mamanya langsung muncul di layar, disusul suara ceria kakaknya, Arga. “Halo, pengantin baru! Gimana bulan madunya?”Rana tersentak, lalu buru-buru merapatkan selimut ke dadanya. “M-Mama, Kak Arga…!”Arga langsung tertawa terbahak. “Hahaha! Kenapa panik gitu, Dek? Aduh, mukamu merah banget. Jangan-jangan—”Sebelum Arg
Rana masih terpaku menatap pemandangan laut biru kehijauan yang terhampar luas di hadapannya. Pasir putih halus menyentuh telapak kakinya, sementara angin sepoi-sepoi mengibarkan rambutnya yang masih sedikit basah karena perjalanan tadi.“Kamu suka?” suara Zayyan membuyarkan lamunannya.Rana menoleh, mendapati suaminya berdiri di sampingnya dengan ekspresi penuh harap. “Suka? Aku bahkan masih sulit percaya kalau kita bulan madu di tempat seindah ini.”Zayyan terkekeh lalu menggenggam tangannya. “Dan yang lebih mengejutkan lagi…” Ia menarik Rana menuju sebuah vila bergaya tropis dengan sentuhan kayu yang elegan. “Resor ini… punyaku.”Rana membelalakkan mata. “Maksudmu?”Zayyan tersenyum kecil. “Ini warisan dari orang tuaku. Mereka membeli tanah di Gili Meno bertahun-tahun lalu dan membangun tempat ini. Aku jarang ke sini karena sibuk, tapi sekarang… aku ingin membaginya denganmu. Kita akan sering ke sini dan menikmati keindahan alam bersama,” ucapnya sambil mencium pelipis Rana.Rana m