Setelah kejadian pelecehan itu, Rana merasa terguncang. Meski Zayyan sudah datang tepat waktu untuk menghentikan Bagus, bayangan kejadian itu masih menghantuinya. Sejak mereka kembali ke Jakarta, Rana menjadi lebih pendiam. Ia tetap menjalani aktivitasnya seperti biasa, tapi ada sesuatu dalam dirinya yang berubah.Zayyan menyadari itu. Ia tahu Rana adalah perempuan yang kuat, tapi kali ini, ia ingin memastikan Rana tidak perlu menghadapi segalanya sendirian.Malam itu, mereka duduk di balkon apartemen Zayyan seperti biasa. Angin malam berembus lembut, tapi keheningan di antara mereka terasa berat.“Rana...” Zayyan membuka percakapan, suaranya lembut tapi serius.Rana menoleh, menatapnya dengan mata lelah. “Ya?”Zayyan menggenggam tangannya, mengusap punggung tangannya dengan ibu jarinya. “Aku tahu kamu bilang kamu baik-baik saja, tapi aku bisa lihat kalau kamu masih kepikiran soal Pak Bagus.”Rana menghela napas panjang. “Aku berusaha untuk nggak memikirkannya, Mas. Tapi jujur... aku
“Mas Zayyan ngelamar aku,” ucap Rana di tengah makan malam.Setelah lamaran romantis itu, Rana dan Zayyan sepakat bahwa langkah selanjutnya adalah berbicara dengan orang tua Rana. Mereka ingin restu, terutama dari Jagat, yang dikenal paling sulit memberi restu sejak Zayyan berniat kembali bersama Rana.Semua orang di meja makan itu terdiam seketika. Ambar tampak tersenyum senang, Arga dan Anya saling pandang lalu menatap Rana dan Zayyan bergantian. Sementara Jagat terlihat mengetatkan rahang.Rana menangkap ekspresi papanya dan ia mengerti bahwa yang paling sulit adalah meyakinkan Jagat.“Selamat ya, Nak,” ucap Ambar dengan senyum tulus.“Makasih, Ma.” Rana juga tersenyum, tapi terlihat kikuk karena Jagat belum juga mengubah ekspresinya.“Kamu sudah nerima?” tanya Arga hati-hati. Ia melirik Zayyan sekilas, sebelum kembali menatap adiknya.Rana mengacungkan tangannya, menunjukkan sebuah cincin berlian yang melingkari jari manisnya. “Sudah. Karena itu aku ngajak Mas Zayyan makan malam s
Setelah acara pertunangan Zayyan dan Rana yang romantis, kabar itu dengan cepat menyebar di kampus. Banyak rekan dosen yang memberikan ucapan selamat, baik secara langsung maupun melalui grup WhatsApp fakultas.“Selamat ya, Rana! Akhirnya resmi bertunangan.” “Wah, pasangan awardee LPDP dan Erasmus, pasti keren banget nanti kalau menikah.” “Semoga lancar sampai hari pernikahan!”Rana tersenyum dan mengucapkan terima kasih setiap kali ada yang memberikan ucapan. Namun, di sela-sela kehangatan itu, ia juga menyadari beberapa rekan dosen yang terlihat sinis atau sekadar melirik tanpa bicara.Rana tidak terlalu memikirkan itu—setidaknya sampai siang harinya, saat ia mendengar sesuatu yang mengejutkan.Siang itu, Rana berjalan ke kantin dosen untuk mengambil kopi. Saat ia melewati salah satu meja, ia mendengar bisikan-bisikan dari beberapa dosen yang sedang berbincang."Aku dengar mereka bertunangan buru-buru karena Rana sudah hamil." "Serius? Makanya mereka tiba-tiba tunangan, padahal s
Kampus semakin ramai membicarakan Rana dan Zayyan. Tidak hanya gosip soal kehamilan yang tidak benar, tetapi juga masa lalu mereka yang ternyata pernah menikah dan bercerai pun tersebar."Pantas saja mereka buru-buru bertunangan lagi. Ternyata mereka ini mantan suami istri!" "Dan katanya dulu cerainya karena Zayyan selingkuh sama Asha? Wah, gimana bisa Rana mau balikan?" "Makanya, Rana pasti putus asa banget sampai mau nerima laki-laki kayak Zayyan lagi."“Aku nggak nyangka Zayyan ternyata sebejat itu.”Rana merasa tercekik setiap kali berjalan di lorong fakultas. Bisikan-bisikan itu tak pernah berhenti.Dan siang itu, puncaknya datang. Ia mendapat panggilan dari Kaprodi.Rana mengetuk pintu ruangan Bagus, lalu masuk ketika mendengar suaranya."Silakan duduk, Rana."Rana duduk dengan postur tegap. Ia menatap kaprodinya dengan waspada. Ia tahu siapa Bagus sebenarnya—seorang pria dengan niat buruk yang nyaris melecehkannya di Bali.Bagus menautkan jari-jarinya di atas meja, menatap Ra
Beberapa minggu setelah laporan dibuat, Rana duduk di ruangan Biro Etik dan Disiplin Akademik, menunggu hasil investigasi. Zayyan duduk di sampingnya, menggenggam tangannya erat.Dr. Budi akhirnya masuk dengan ekspresi yang sulit dibaca."Kami telah melakukan investigasi atas laporan Anda," katanya dengan nada hati-hati. "Namun, setelah mempertimbangkan berbagai faktor, tidak cukup bukti untuk menjatuhkan sanksi kepada Bagus."Rana terbelalak. "Apa?!""Banyak saksi yang enggan berbicara atau memberikan kesaksian yang tidak cukup kuat. Selain itu, Bagus memiliki rekam jejak panjang sebagai kaprodi yang berprestasi, dan beberapa pejabat kampus memberikan rekomendasi positif tentang dirinya."Rana merasakan amarah dan kekecewaan membakar dadanya. "Jadi, karena dia punya koneksi dan kekuasaan, kalian membiarkan dia lolos begitu saja?"Dr. Budi tampak canggung. "Kami bukan membiarkan, Rana. Tapi dalam prosedur hukum dan administrasi, kami tidak bisa mengambil tindakan tanpa bukti yang cuku
Beberapa hari setelah berita dirilis dan menjadi viral, suasana di kampus UGN berbeda dari biasanya. Puluhan mahasiswa berkumpul di depan gedung rektorat, membawa spanduk dan poster bertuliskan:"TOLAK DOSEN PREDATOR!" "KEADILAN UNTUK KORBAN PELECEHAN!" "REKTOR HARUS BERTINDAK!"Rana berdiri di antara kerumunan, merasakan getaran semangat dari para mahasiswa yang meneriakkan tuntutan mereka. Ia tak menyangka bahwa keberaniannya berbicara akan memicu gelombang sebesar ini. Kini, Bagus tak bisa lagi bersembunyi di balik kekuasaannya.Di barisan depan, Laras berdiri tegap, memegang mikrofon. "Kami di sini bukan hanya untuk satu orang korban, tapi untuk semua perempuan yang pernah dibungkam oleh sistem yang korup! Hari ini, kami menuntut keadilan!"Kerumunan mahasiswa bersorak. Beberapa dari mereka adalah mahasiswa bimbingan Bagus sendiri, yang kini merasa jijik mengetahui sisi lain dari dosen yang selama ini mereka hormati."Copot Bagus dari jabatannya!" "Pecat pelaku pelecehan dari k
Gara-gara Zayyan meminta pernikahan mereka dimajukan, mereka jadi punya kesibukan tambahan selain menjadi dosen. Yaitu menyiapkan pernikahan mereka sesempurna mungkin.Meski ini adalah pernikahan kedua mereka, Zayyan dan Rana ingin semuanya tetap sempurna.Maka siang itu, Rana dan Zayyan memasuki sebuah butik pengantin eksklusif di Jakarta. Interior butik berwarna putih gading dengan lampu kristal yang menggantung di langit-langit, menciptakan suasana elegan dan romantis. Rak-rak di sepanjang dinding dipenuhi dengan gaun-gaun indah dari berbagai koleksi, sementara pegawai butik menyambut mereka dengan senyum ramah.“Selamat datang! Mbak Rana, kami sudah menyiapkan beberapa gaun sesuai preferensi yang Mbak kirimkan kemarin,” kata seorang pegawai butik sambil membawa Rana ke area fitting.Zayyan duduk di sofa beludru biru tua, menatap Rana dengan penuh antusias. “Aku masih nggak percaya kita sudah sampai di tahap ini,” katanya sambil tersenyum.Rana tertawa kecil. “Kamu bakal lihat aku
Setelah memilih gaun pengantin, Rana dan Zayyan semakin tenggelam dalam kesibukan persiapan pernikahan. Hari itu, mereka memiliki jadwal bertemu dengan wedding organizer (WO), memilih dekorasi, dan mencicipi katering.Mereka tiba di sebuah kafe tempat mereka akan bertemu dengan tim WO. Begitu masuk, seorang wanita dengan setelan rapi dan tablet di tangannya langsung menyambut mereka dengan senyum profesional."Selamat siang, Mbak Rana, Mas Zayyan. Saya Nadine dari Enchanted Wedding. Kami sudah menyiapkan beberapa konsep sesuai preferensi kalian."Rana dan Zayyan duduk berhadapan dengan Nadine, lalu memperhatikan presentasi yang ditampilkan di tablet."Konsep yang kalian inginkan lebih ke arah intimate wedding dengan sentuhan elegan, benar?" Nadine memastikan.Rana mengangguk. "Ya, kami ingin suasananya hangat, tidak terlalu kaku, tapi tetap terasa romantis dan berkesan."Zayyan menambahkan, "Kami juga ingin ada sentuhan warna netral seperti putih dan champagne, supaya terasa timeless.
Gavin berjalan menyusuri pusat perbelanjaan dengan pikiran masih dipenuhi kemarahan. Insiden di taman beberapa hari lalu membuatnya semakin terobsesi dengan Rana. Ia tidak bisa terima kenyataan bahwa perempuan yang dulu hampir ia miliki sekarang hidup bahagia bersama pria lain—dan bahkan sedang mengandung anaknya.Tanpa sadar, langkah kaki Gavin membawanya ke sebuah kafe. Saat ia hendak memesan kopi, seseorang yang tak asing baginya berdiri di antrean yang sama."Asha?" panggilnya dengan ragu.Wanita berambut panjang dengan gaun elegan itu menoleh. Mata cokelatnya membesar saat melihat siapa yang baru saja menyebut namanya."Gavin?" Asha mengerutkan kening. "Kamu ngapain di sini?"Gavin menyeringai. "Aku tinggal di Jakarta sekarang. Jadi... ya, menikmati hidup. Sambil cari pekerjaan yang cocok."Asha menatap pria itu dengan penuh selidik. "Aku dengar kamu baru keluar dari penjara."Gavin tertawa kecil, tetapi ada nada sinis di baliknya. "Berita menyebar cepat, ya?"Asha menyilangkan t
Keesokan harinya, Zayyan tidak menunda lebih lama lagi. Setelah insiden semalam, ia tahu bahwa mereka tidak bisa tinggal di apartemen itu lebih lama. Keamanan apartemen pun tidak cukup untuk melindungi Rana dan bayi mereka dari Gavin yang jelas semakin nekat.“Kita pindah ke rumah orang tuaku,” kata Zayyan tegas saat mereka bersiap untuk berkemas.Rana menatap suaminya dengan ragu. “Tapi rumah itu kan sudah lama kosong, Mas. Apa nggak terlalu berisiko?”“Aku sudah menghubungi orang untuk membersihkannya sejak tadi pagi. Kita bisa langsung pindah besok.” Zayyan meraih tangan Rana dan menggenggamnya erat. “Di sana lebih aman, Sayang. Lingkungannya lebih tenang, lebih privat, dan nggak ada orang asing yang bisa masuk begitu saja.”Rana menggigit bibirnya. Jujur, ia memang masih merasa trauma. Gavin semakin gila, dan ia tak ingin terus hidup dalam ketakutan. “Baiklah… Kita pindah.”Maka pagi itu, setelah sarapan bersama, Rana dan Zayyan mulai membereskan barang-barang mereka untuk pindaha
Keesokan paginya, Rana dan Zayyan duduk di ruang tamu dengan secangkir kopi yang sudah mendingin. Mata mereka sembab karena kurang tidur. Petugas keamanan apartemen datang setelah Zayyan melapor, tapi seperti dugaan, Gavin sudah kabur sebelum bisa tertangkap. Tidak ada CCTV yang mengarah langsung ke balkon mereka, jadi tidak ada bukti konkret yang bisa diberikan ke polisi.“Aku nggak akan biarkan dia terus-terusan mengancammu.” Zayyan mengusap wajahnya dengan frustasi. “Aku akan urus ini. Kita harus keluar dari apartemen ini.”Rana menatap suaminya, hatinya berdebar. “Kita pindah?”Zayyan mengangguk. “Aku nggak bisa tidur dengan tenang kalau tahu bajingan itu ada di dekat kita.”Rana menghela napas panjang, lalu mengangguk setuju. “Baiklah. Aku juga nggak mau terus-terusan merasa takut.”Namun, sebelum mereka sempat membahas lebih lanjut, suara ketukan keras di pintu mengejutkan mereka. Zayyan segera bangkit dan berjalan ke arah pintu. Ia mengintip melalui lubang pintu dan wajahnya la
Rana masih duduk di meja makan, mencoba menenangkan perutnya yang masih sedikit mual. Ia tak menyadari bahwa seseorang tadi menguping dari luar.Beberapa saat kemudian, pintu apartemen terbuka, dan Zayyan masuk dengan kantong belanja di tangannya."Kamu baik-baik aja?" tanyanya begitu melihat wajah pucat Rana.Rana tersenyum lemah. "Barusan mual lagi, tapi sekarang udah mendingan."Zayyan langsung mendekat, menaruh belanjaannya sembarangan di atas meja, lalu berjongkok di depan Rana. Tangannya terulur, mengusap perut istrinya dengan penuh kasih. "Harusnya aku nggak ninggalin kamu sendirian tadi."Rana terkekeh. "Hei, aku baik-baik aja, kok. Jangan terlalu khawatir."Tapi Zayyan tetap menatapnya dengan serius. "Mulai sekarang, kalau ada apa-apa, langsung kasih tahu aku, ya?"Rana mengangguk dan menenangkan suaminya dengan kecupan di pipi. Mereka berdua tidak menyadari bahwa di unit apartemen seberang, seseorang sedang tersenyum miring sambil mengaduk kopi di hadapannya.***Beberapa Ha
Hari Minggu. Rana menikmati udara pagi yang segar sambil berjalan santai di taman dekat apartemen mereka. Sesekali ia memperhatikan Zayyan yang sedang joging, bergerak semakin jauh meninggalkannya. Sesekali juga, Zayyan menoleh ke belakang, memastikan sang istri baik-baik saja. Ia melambaikan tangan, yang dibalas lambaian tangan pula oleh Rana. Plus senyum manis terbaik. Rana terus berjalan santai, hatinya terasa hangat dan penuh. Dan tepat ketika ia hendak berbelok menuju jalur yang lebih teduh, suara yang sangat tidak ingin ia dengar tiba-tiba menyapa. "Pagi yang indah, kan?" Rana menegang seketika. Ia menoleh dan mendapati Gavin berjalan santai di sampingnya, senyuman licik tersungging di wajahnya. "Apa maumu, Gavin?" Rana mempercepat langkah, berharap bisa segera menyusul Zayyan. "Tidak ada. Aku hanya ingin ngobrol. Masa nggak boleh? Kita dulu pernah dekat, kan?" Gavin tetap mengikuti langkahnya, membuat Rana semakin gelisah. "Kita nggak pernah dekat," sahut Rana tajam. "T
Satu bulan kemudian. Rana sedang menjelaskan materi di depan kelas ketika kepalanya tiba-tiba terasa berat. Pandangannya sedikit berkunang-kunang, dan tubuhnya terasa lemas. Ia berusaha tetap fokus, tetapi rasa pusing yang semakin menjadi membuatnya tidak bisa berkonsentrasi. "Baik, untuk pertemuan hari ini cukup sampai di sini dulu. Saya ingin kalian membuat ringkasan dari materi kita hari ini dan dikumpulkan minggu depan," ucapnya, mencoba menyembunyikan rasa tidak nyamannya. Mahasiswa tampak bingung karena kelas berakhir lebih cepat dari biasanya, tetapi mereka tidak banyak bertanya dan mulai merapikan barang mereka. Rana menghela napas, berharap rasa pusingnya berkurang setelah ia duduk sebentar di kursinya. Namun, baru saja ia melangkah keluar dari ruang kelas, tubuhnya tiba-tiba kehilangan keseimbangan. Dunia di sekelilingnya terasa berputar, dan dalam hitungan detik, semuanya menjadi gelap. "Bu Rana!" Beberapa mahasiswa yang masih berada di dekatnya langsung bergegas mena
Sesampainya di rumah sakit, Rana dan Zayyan langsung disambut dengan senyuman lelah tapi bahagia dari Anya yang sedang berbaring di ranjang rumah sakit, menggendong bayi kecilnya yang tertidur pulas. Sementara itu, Arga berdiri di sampingnya, tampak siap siaga meskipun wajahnya terlihat kurang tidur."Selamat ya, Kak!" Rana langsung menghampiri kakak dan kakak iparnya, menatap keponakannya dengan tatapan penuh kagum. "Ya ampun, dia kecil banget... tapi gemesin!"Zayyan ikut mencondongkan tubuhnya untuk melihat bayi itu lebih dekat. "Wah, calon atlet nih, lihat tuh tangannya, kuat banget!"Arga tertawa sambil mengusap kepala putranya. "Iya, pas lahir langsung menggenggam jari aku erat banget. Mungkin dia bakal jadi petinju."Mereka semua tertawa. Rana kemudian duduk di tepi ranjang, mendekati Anya. "Gimana rasanya jadi ibu, Kak?"Anya mendesah lelah, tapi senyum di wajahnya tak pernah pudar. "Luar biasa, capek banget, tapi saat lihat bayi kecil ini, rasanya semua terbayar."Ambar juga
Setelah memastikan bahwa Anya mendapatkan perawatan yang baik di rumah sakit, Rana dan Zayyan akhirnya berpamitan kepada keluarga. Mereka masih lelah setelah perjalanan panjang dari Lombok, dan tubuh mereka menuntut istirahat.Dalam perjalanan pulang, Rana menyandarkan kepalanya di bahu Zayyan. “Hari yang panjang, ya, Mas?” gumamnya lelah.Zayyan tersenyum kecil, mengusap punggungnya dengan lembut. “Banget. Tapi senang juga, sih. Nggak nyangka kita pulang-pulang langsung ada kejadian besar kayak gini.”Begitu sampai di apartemen, mereka langsung berganti pakaian dan bersiap tidur. Rana mengenakan piyama tipis, sementara Zayyan hanya mengenakan celana tidur tanpa kaus. Mereka merebahkan diri di ranjang dengan tubuh yang terasa remuk, tapi hati mereka terasa penuh.Rana menatap langit-langit sambil menghela napas lega. “Kira-kira kita kapan ya, kayak Kak Anya?”Zayyan yang tadinya hampir terlelap langsung membuka mata dan menoleh ke Rana. “Maksudnya?”Rana memutar tubuhnya, berbaring mi
Malam harinya, Zayyan sengaja mengajak Rana untuk makan malam di luar agar suasana hati Rana membaik setelah kejadian saat snorkeling tadi.Sepasang pengantin baru itu berjalan beriringan menuju restoran tepi pantai yang dipesan Zayyan. Angin malam berhembus lembut, membawa aroma laut dan suara deburan ombak yang menenangkan. Rana menggenggam tangan Zayyan erat, merasa lebih tenang setelah kejadian tadi siang.Namun, ketenangan itu langsung buyar ketika mereka baru saja memasuki restoran.Di sudut ruangan, duduk seorang pria yang tak asing lagi—Gavin.Mata Rana dan Gavin bertemu sejenak. Senyum licik tersungging di wajah pria itu, seolah kejadian siang tadi tidak pernah terjadi.Zayyan langsung menggenggam tangan Rana lebih erat. “Kita pergi dari sini,” bisiknya, sudah bersiap untuk membatalkan reservasi.Rana menelan ludah, menatap wajah suaminya yang terlihat penuh kekhawatiran. Ia tahu Zayyan hanya ingin melindunginya, tapi kali ini… ia tidak ingin lari.“Tidak.” Rana menarik napas