Menurut kamu gimana bab ini? Teman-teman yuk komen yuk, biar ga sepi ehehe :(
Nayra gesit membolak-balikkan kertas diary yang sekarang berada di genggamannya. Sementara kedua mata cokelatnya lincah mencari halaman yang cocok dengan foto tersebut. Lalu Nayra menemukan sebuah cerita singkat di halaman awal diarynya. Bukan paling depan, namun kisah itu berbaur dengan kisah-kisah lama Nayra sewaktu masih SD. Nayra memang memiliki diary khusus untuk beberapa momen tertentu selama hidupnya. Ia bukan seseorang yang rajin menulis kesehariannya lewat diary. Melainkan peristiwa istimewa yang selalu terngiang di benaknya yang akan ia tulis di situ. Tetapi Nayra tidak terlalu ingat mengenai bocah laki-laki yang ada di dalam foto tersebut. Nayra membaca sekilas tulisan singkatnya di sana. Tulisan seorang bocah yang masih polos dan sederhana. Lalu berikutnya, bayangan tentang kenangan itu menyertainya. [ Dear diary, hari ini aku ikut Ibu ke salah satu mall besar di sini. Aku melihat berbagai macam gaun lucu untuk acara ulang tahunku yang keenam besok. Kedua mataku langsun
"Hah, maksud kamu apa?" Marsella mengernyit tidak paham.Guna menatap lurus ke arah wanita tersebut. Dilihatnya paras cantik Marsella secara lamat. Kedua mata bulat hitam bersinar, hidung mungil juga bibir semerah cherry. Guna gemas, ia langsung mencubit pipi tembem Marsella seperti biasanya."Kamu itu ya, kalau diajak bicara serius sedikit langsung lemot," gelak Guna terbahak-bahak."Aw, sakit tauk!" Marsella memberontak, lalu sekuat tenaga menjauhkan tangan Guna dari kedua pipinya.Guna masih tertawa keras melihat wajah Marsella memerah. Gadis tersebut menekuk wajah sambil mengusap pipinya yang kesakitan. Sedang kedua mata bulatnya mendelik ke arah Guna."Jangan nyubit pipi dong, sakit! Kamu sih nggak mau jelasin secara detail!" gerutu Marsella kemudian."Maaf, Sayang. Kamu terlalu gemoy sih." Guna terkekeh. "Kalau nggak nyubit pipi, nyubit apa coba?" lanjut Guna dengan menaik-turunkan kedua alis tebalnya."Ih, nggak lucu! Jelasin yang tadi!" sungut Marsella yang sudah kehilangan ke
Nayra menatap Ida tak percaya. Apa katanya? Tidak laku?Nyatanya membuka hati pasca trauma oleh karena pasangan yang selingkuh di belakang kita lebih sulit. Apalagi hal itu menyebabkan Nayra menjadi down dan kurang percaya diri."Bu, bukannya Nayra nggak laku. Tapi apa Ibu pernah berpikir bagaimana perasaan orang setelah diselingkuhi? Trauma, Bu. Nayra belum siap untuk memulai hubungan baru lagi. Mending Nayra sendiri.""Halah, kamu itu ada-ada aja alasannya. Yang belum siap, trauma. Nggak laku ya emang nggak laku. Lagian siapa yang mau sama barang bekas kayak kamu!" hina Ida sembari memandang Nayra dengan tatapan remeh.Nayra hanya menggeleng dan heran terhadap sikap ibunya. Ida, ibunya tak bisa memilih mana perkataan yang baik dan mana yang menyinggung hati."Astaga, Bu," gumam Nayra lirih.Tenggorokan Nayra kering, dadanya sesak tak kuasa menghadapi sikap Ida yang selalu seenaknya sendiri. Nayra kesal. Begitu ia menahan emosinya, titik bening dari matanya semakin mendesak untuk kel
Sontak Ida membulatkan kedua mata. Sementara lawan bicaranya di seberang telepon terdengar menjelaskan kondisinya. "Satu juta setengah ya tadi? Aduh, banyak banget—" "Iya, iya. Kamu tenang aja. Nanti bisa aku usahakan. Aku bujuk Nayra dulu," ralatnya kemudian. Ida mengerjap cepat setelah menutup teleponnya. Ia sendiri juga bingung. Bagaimana merengek ke Nayra agar anaknya memberikan uang satu juta setengah lagi. Mengabaikan bayangannya di depan cermin, Ida menggigit jarinya. Ia sedang memikirkan apa alasan yang harus ia keluarkan agar Nayra percaya. Bagaimanapun Ida harus bisa mendapat uang tersebut. ♡♡♡ Nayra meletakkan cangkir di depan meja Aldo dengan takut-takut. Bahkan tangannya ikut bergetar hebat. Aldo yang sedang menatap layar monitor sedikit melirik ke arah tangan Nayra yang sedang gugup. "Kamu coba dulu." Nayra yang tengah mengelap kedua telapak tangannya yang basah oleh keringat di roknya terpegun. "Apa?" "Kamu coba dulu. Biar tahu sudah pas atau belum," ujar Aldo
"Apa yang Ibu lakukan?!" Kedua mata Nayra melotot tak percaya menangkap kelakuan Ida di hadapannya.Sambil merapikan pakaiannya, Ida berdiri. Lalu menatap Nayra dengan amarah yang belum reda."Ini bapakmu disuapin malah nggak mau makan! Kurang sabar gimana aku ngurus dia!"Nayra menyambar kantong plastiknya kembali lantas berderap cepat menuju posisi keduanya. Ia mengamati Budi yang menangis sambil menggeleng. Nayra lalu menyeret pandangannya ke arah Ida dengan tatapan menuntut."Ibu nyuapin Ayah atau nyiksa? Kalau Ayah sudah nggak mau makan, biarin saja lah, Bu," ujar Nayra nelangsa."Lo, kamu ya nggak tahu diri! Kita sudah miskin, makanan ya harus dihabiskan! Anak sama bapak kok sama aja ngelesnya!"Sekilas Nayra terdiam dan menggelengkan kepala. Bibirnya terkatup rapat menahan emosi."Ibu kan bisa mengambilkan nasinya sedikit dulu. Nanti kalau Ayah kurang, bisa nambah."Ida langsung menekuk wajahnya kesal. Tanpa banyak bicara, Ida mendekati Nayra dan mendorong piring yang semula ia
Arvin terperanjat, begitu juga Nayra. Kini dahi wanita tersebut berkerut samar.Apa yang sedang dimaksud Arvin dan Pak Nugroho? Kenapa harus menyangkut dirinya? Batin Nayra bertanya-tanya.Arvin enggan melihat Nayra di belakangnya. Ia berdeham pelan kemudian memberanikan diri untuk bertanya agar Nugroho lebih jelas mengatakannya."Maksud Pak Nugroho apa ya?" tanyanya bingung.Tawa Nugroho pecah lagi. Pria itu terbahak-bahak seakan tak memedulikan bagaimana kebingungan Arvin maupun Nayra yang sudah membuncah."Vin, Arvin. Kamu masih muda tapi sudah pelupa. Kalah sama Bapak. Umur kamu berapa memang, ha?" Nugroho sedikit mengangkat kepala, menunggu lawan bicaranya menjawab pertanyaannya.Sambil memperbaiki kacamata yang bertengger di hidung, Arvin menyahutnya dengan ragu."Saya sudah dua puluh tiga tahun, Pak."Oh iya, Pak Arvin kan memang seumuran denganku. Nayra masih memperhatikan pembicaraan keduanya."Lha iya, itu masih muda sekali, Vin. Begitu saja lupa," gelak Nugroho lagi.Dengan
Arvin tersentak. Begitu ia hendak menyuapkan mie ke dalam mulutnya, ia menyaksikan Aldo berdiri dan segera berlari keluar."Pak, mau kemana?" Sontak pandangan Arvin mengikuti arah kemana Aldo pergi.Jujur Arvin tak pernah melihat ekspresi itu sebelumnya. Apalagi di wajah Aldo yang dingin.Arvin berdecak lidah, ia sangat khawatir terhadap pria tersebut. Meskipun sempat ragu karena menggagalkan suapan mienya, namun Arvin akhirnya tetap beranjak pergi demi menyusul Aldo.Tiba-tiba dada Aldo merasa sesak. Bertemu dengan seseorang dari masa lalu itu, sejujurnya ia belum siap. Tetapi ada satu hal yang ingin ia luruskan dengan wanita tersebut. Maka, hal itu yang membuat Aldo terus mengejar sosok di depannya.Aldo melangkah cepat. Kedua matanya lurus menatap bahu wanita berambut pendek itu dengan napas yang berpacu.Wanita tersebut juga terlihat berderap cepat. Hingga Aldo harus mengeluarkan suara demi menghentikan langkah kaki perempuan itu."Fanny!""Stefanny!"Aldo tak putus asa meskipun y
"Terus nanti kamu pulang jam berapa?"Marsella menautkan kedua alis. Ia tengah menajamkan pendengarannya untuk suara di seberang teleponnya."Kamu lagi sendirian, Mas? Kok hening begitu? Kerja apa sih?"[Sssttt, jangan banyak tanya. Nanti aja aku ceritakan pas di rumah. Sudah ya, aku tutup dulu.]Marsella menarik ponsel dari telinganya dengan dengusan kasar. Guna tidak memberitahunya tentang pekerjaan baru pria tersebut. Ditambah lagi, pria itu terkesan terburu-buru sewaktu menerima panggilannya barusan."Nyebelin!" gumam Marsella kesal.Ia lalu memutuskan untuk mengotak-atik ponselnya di sana. Meskipun sudah larut malam, Marsella tak ingin pulang. Toh kedua orangtuanya yang sedang pergi ke luar kota tidak akan peduli. Apalagi sampai mencarinya.Dua jam kemudian—tepat pukul satu dini hari, Guna kembali ke rumah kontrakan dengan berjalan sempoyongan.Guna berhenti di depan pintu kemudian merogoh kunci dari dalam saku celana. Ia bahkan tidak ingat jika Marsella sudah membuka pintu itu.
Ida mengusap perlahan perutnya yang mulai membesar sembari menunggu bus yang tengah ia tumpangi menepi. Kedua matanya lebih sayu dari enam bulan yang lalu. Ida memutuskan kembali ke kampung halamannya dan mulai hidup baru di sana sejak peristiwa pengarakan yang membuatnya tak ingin ia ingat.Meski begitu, gosip di tengah masyarakat desa ternyata lebih kejam menggunjingnya. Apalagi berita mengenai perselingkuhannya viral dan menguar ke berbagai media sosial nasional. Ia sangat malu, tapi kehidupan di desa lebih menjamin dibanding di kota jika menyangkut masalah pekerjaan. Di kampungnya sendiri, asal ia gerak, maka ia dapat upah juga dengan membanting tulang di ladang milik tetangga kaya atau tuan tanah.“Pak, turun di sini, Pak!” Dari belakang, Ida mengingatkan sang sopir.Ia mulai melangkahkan kaki perlahan dengan mencangking sebuah kresek lumayan besar, lantas turun dari kendaraan besar beroda empat tersebut selagi orang-orang menatapnya. Tanpa menunggu waktu, Ida lekas melanjutkan p
Banyak orang tengah mengerumuni rumah kontrakan Guna pagi ini. Salah satu dari mereka ketua RT di wilayah tempat tinggal Guna, sementara sebagian besarnya merupakan warga yang kepo dengan penggerebekan kali ini.“Maaf, Bu. Saya selaku ketua RT di sini terpaksa harus mengamankan Ibu dan Mas Guna dulu. Hal ini dikarenakan banyak aduan dari warga bahwa di rumah ini sering disalahgunakan untuk kumpul kebo. Benar begitu, Mas Guna?” papar sopan seorang pria paruh baya secara lugas.Ida menegang. Kedua matanya menyapu orang-orang yang berada di belakang pria tadi sedang antusias memotret maupun merekamnya. Tampaknya mereka sangat penasaran dengan kondisi di rumah ini. Apalagi ternyata tersiar kabar bahwa wanita yang dibawa Guna ke kontrakannya memiliki selisih usia yang tak wajar.Guna mendengus keras. Hasil lab dari penyakitnya masih menghantui dirinya. Bagaimana tidak, di dokumen tersebut tertulis jelas bahwa Guna terjangkit virus HIV. Guna tiba-tiba menggelengkan kepala sambil menatap ke
Nayra terpaksa melakukan hal ini. Memasukkan semua barang Ida ke tas besar, lalu melemparnya ke luar rumah selagi ibunya itu memohon agar tidak diusir.Budi yang menyaksikan adegan ini sesenggukan. Perasaannya campur aduk antara kecewa karena merasa gagal menjadi sosok kepala rumah tangga, sedih, marah, menyesal dan tentu sejujurnya ia tak mau akhirnya jadi begini."Nay, maaf! Jangan usir Ibu!" Berkali-kali Ida memohon kepada Nayra, namun nyatanya Nayra sudah tak sudi mendengar semua penjelasan atau sekadar mengasihani ibunya.Nayra tidak keberatan menjadi anak durhaka sekarang. Ia amat kecewa, dan jijik dengan Ida. "Perceraian kalian biar nanti aku yang urus!" gertak Nayra sembari memasukkan barang Ida dan mendorongnya ke tubuh wanita dewasa tersebut.Ida menekuk wajahnya. Percuma. Sepertinya apa pun penjelasannya, Nayra tetap bersikukuh mengusir dirinya."Oke! Urus aja! Hidupmu bakal lebih buruk setelah ini! Lihat aja!" ancam Ida kemudian. Ia sudah tak sudi memohon.Tapi, setelahnya
Sontak keduanya memalingkan perhatiannya kepada satu titik. Nayra terperangah.“Marsella? Ada apa, Sel?”Aldo yang ada di samping Nayra kini mengacak rambutnya frustasi. Wanita di depannya sekarang datang pada waktu yang tidak tepat.“Mbak, aku mau bicara sebentar. Ini penting.” Raut wajah Marsella tampak terdesak. Tapi, Nayra tak dapat menebaknya sama sekali.Nayra akhirnya menoleh ke arah Aldo dengan segan, kemudian berkata, “Maaf, Ko. Kita bicara lagi nanti, ya.” Ekspresi Nayra sungkan.“Ya, Nay. Aku pulang dulu kalau begitu.” Aldo mau tak mau mengangguk, lalu melangkahkan kaki pergi meski sebenarnya enggan.Kedua netra Nayra mengikuti gerakan Aldo hingga pria itu hilang dari pandangannya. Nayra menghela napas, lantas kembali menaruh perhatian pada Marsella yang sudah tampak tak sabar.“Lanjut, Sel. Kamu mau ngomong apa?”Marsella bergerak meraih ponsel yang ada di dalam tasnya. Dengan gerakan cepat, ia memutarkan video berdurasi tak kurang dari satu menit tersebut. Tangannya terju
Kedua netra Marsella melebar tatkala taksi yang ia tumpangi meluncur perlahan dikarenakan efek macet sore ini. Secara kebetulan ia menangkap sosok menyebalkan Guna justru berjalan beriringan bersama wanita dewasa yang pernah mengolok-ngoloknya usai video perselingkuhannya viral ke mana-mana."Pak, bentar. Kita berhenti dulu, ya," ungkap Marsella cepat sementara dua manik hitamnya terus mengikuti jejak mereka.Marsella mula-mula meraih ponselnya, lalu memberanikan diri untuk menghubungi Guna lagi. Dari balik kaca mobil, ia memperhatikan gerak-gerik Guna yang mengerutkan kening sewaktu ponsel miliknya berdering.Guna terpaku menatap sebuah nama yang terpampang di layar selama sekian detik sebelum memutuskan untuk menjawab."Halo?" Guna akhirnya menempelkan benda persegi panjang tersebut ke telinga."Gun, kamu ada di mana?"Wajah Guna memerah. Selain masih terbawa emosi, ia agaknya kesal karena Marsella tak bisa dihubungi selama ini. Marsella juga tidak ada sewaktu dirinya berada di titi
Rianty menggertakkan gigi sewaktu menyaksikan sosok yang ia benci beberapa tahun lalu malah muncul kembali di hadapannya. Mukanya merah padam. Kini amarah Rianty berkembang menjadi dua kali lipat.Stefanny tersenyum simpul, berdiri, kemudian berderap mendekat demi menyambut kehadiran Rianty yang sengaja ia tunggu-tunggu.“Halo, Tante. Akhirnya kita bertemu, ya.” Sambil mempertahankan senyumnya, tangan Stefanny terulur untuk berjabat tangan dengan Rianty.Rianty mengatupkan rahang, sementara Nugroho yang ada di sisinya kebingungan menyaksikan situasi di depannya. Rianty mendengus, mengabaikan tangan yang terlihat menunggu di hadapannya.“Ternyata kamu anaknya Rachel. Tahu begitu aku tidak akan sudi menghubungi Rachel demi anak sepertimu,” ketus Rianty langsung menghunjam dada Stefanny.Stefanny tergelak. Ia memandang tangannya yang tak dianggap, lantas menariknya kembali. Ia tersenyum miring sembari mengibaskan rambut pendek hitamnya yang cemerlang.“Begini. Tante saya nggak salah sih,
Aldo terkesiap. Bibir lembut itu tiba-tiba menyerobot dan tak memberi napas sedetik pun. Jika saja ciuman tersebut mereka lakukan beberapa tahun silam, mungkin Aldo tak akan sekesal sekarang. Ia segera mendorong tubuh Stefanny menjauh tatkala mendengar suara benda jatuh tak jauh dari posisinya.Sontak kedua netra Aldo melebar usai melihat siapa yang baru saja datang di ruangannya.“Nayra!” Aldo lekas bangkit, ingin mengejar Nayra yang sekarang berlari pergi. Tetapi sebuah tangan terulur untuk mencegahnya.Aldo yang sudah muak menoleh dan langsung mengibaskan lengannya hingga terlepas dari cengkeraman wanita tersebut.“Sial, kamu harus tanggung jawab!” tuding Aldo murka sebelum berlari mengejar kepergian Nayra.Alih-alih merasa bersalah. Stefanny justru menyunggingkan seringaiannya dengan puas.“Pertunjukkan ini semakin seru ternyata,” gumamnya tersenyum miring.Aldo melangkahkan kaki cepat mencari keberadaan Nayra. Sejumlah karyawan menatapnya dengan penuh tanda tanya. Tak seperti bia
Saat itu Nayra baru saja dari divisi marketing, memeriksa dokumen-dokumen yang ia minta sambil berjalan menelusuri koridor.Tiba-tiba telinganya menangkap sepasang suara yang ia kenal baik. Nayra mendongak, menyaksikan Aldo dan Stefanny tengah menggiring kaki dari arah yang berlawanan sembari tertawa.Sepertinya mereka sedang bercanda, atau membicarakan tentang masa lalu indah mereka, atau bahkan mulai merangkai masa depan bersama."Hahaha, begitu, ya! Kamu pintar, Fan!" celetuk Aldo melirik Nayra, lantas menyampirkan tangannya pada pundak Stefanny."Wah, iya dong, Do. Kan kamu suka aku dulu karena kecerdasanku." Stefanny menyombongkan diri.Nayra memilih segera fokus ke dokumen kembali. Ia sengaja bersikap acuh tak acuh demi menyembunyikan perasaan berkecamuk yang sesungguhnya. Toh, ia benar-benar merasa tak layak. Jadi, Nayra tentu saja mengikhlaskan Aldo bersama wanita secantik dan sepintar Stefanny.Aldo dan Nayra saling melewati tubuh masing-masing. Nayra masih tampak berkutat pa
“Kamu tidak perlu tahu,” ucap Aldo ketus. Tak sudi menatap lawan bicaranya.Stefanny menggigit bibirnya emosi. Tangannya terkepal erat mendengar jawaban Aldo. Ia kecewa, padahal selama ini ia rela banting tulang mengurus perusahaan yang bukan milik keluarganya sendiri demi membuktikan diri dan kembali kepada Aldo.“Apa itu Nayra?” tekan Stefanny. Ia buru-buru membuang muka demi menyembunyikan kegeramannya. “Aku tau tatapanmu beda untuk perempuan itu.”Napas Stefanny semakin berat. Tapi, Aldo tak kunjung menjawabnya juga. Justru beruntung bagi Aldo karena lift di hadapannya lekas terbuka.“Dinner kita batal,” sergah Aldo dingin sebelum benar-benar keluar dari lift.Rahang Stefanny mengeras tatkala matanya menyaksikan punggung Aldo menjauh. Saking marahnya, kerongkongannya seperti tertutup oleh sesuatu yang menyakitkan. Mungkin sedikit lagi air matanya tumpah. Tetapi, Stefanny pantang menangis. Ia sudah terbiasa makan asam garam kehidupan.Dan, sejauh ini, pernyataan dari mulut Aldo bar