Beranda / Rumah Tangga / Catatan Usang / Tujuh Puluh Ribu

Share

Catatan Usang
Catatan Usang
Penulis: ERIA YURIKA

Tujuh Puluh Ribu

Penulis: ERIA YURIKA
last update Terakhir Diperbarui: 2022-05-27 22:46:04

“Dek, tolong catat semua hadiah yang udah aku kasih ke kamu. Bonnya ada di tasku!”

“Catat lagi?”

“Iyalah kita harus menghemat. Pengeluaran dan pemasukan harus ada notanya. Tidak boleh kita pakai berlebihan sehari hanya boleh 70 ribu. Tidak boleh lebih.”

Tak ada sahutan dari istriku. Ia malah menatap lurus dengan pandangan kosong. Aku mendekat untuk memastikan dia mendengarnya atau tidak.

“Kamu dengar tidak, Dek?”

Baru saja kau ingin menyentuh pundaknya. Prily sudah lebih dahulu berjalan menghindar. 

“Hmm,” sahutnya tak acuh.

Bahkan barang-barang yang kuberikan sebagai hadiah ulang tahun pernikahan kita saja dia abaikan.

Bukankah dia pernah bilang menginginkan long dress dengan berwarna merah muda dengan aksen renda.

Sudah aku repot-repot memesannya diam-diam lewat market place online. Prily justru membiarkan gamis beserta cokelat yang kupesan khusus untuknya tergeletak di meja.

Ck, kenapa perempuan susah sekali dimengerti? Sungguh membuatku frustrasi saja. Lebih baik bermain game dari pada terus memikirkan hal-hal yang hanya memancing emosi.

~

Di sore hari Prily biasanya akan berdiri di atas balkon. Aku sudah hafal dengan kebiasaannya. Kamar kami mengarah ke lapangan, yang biasa dipakai anak-anak kompleks untuk bermain di pagi dan sore hari. Prily tak pernah melewatkan melihat canda tawa mereka di balik jendela, barang sekali. 

“Mau sampai kapan berdiri di situ?” tanyaku sembari memakai kaus lengan pendek, lalu mengeringkan kepalaku dengan handuk. Prily segera mendekat lalu tangannya begitu cekatan menggosokkan handuk itu ke kepalaku.

“Padahal aku punya hair dryer loh. Mas bisa pakai kalau mau.”

“Kamu saja yang pakai, aku tidak perlu lah. Ini 10 menit juga kering.”

“Ya, aku tahu,” ucapnya senyum yang sejak tadi mekar itu tiba-tiba menghilang begitu saja.

Dia selalu saja begitu setiap kali mengingatkan dirinya untuk lebih berhemat. Bukankah ini juga demi kebaikannya? Aku tahu di masa lalu Prily hidup dengan bergelimang harta, tetapi seharusnya dia bisa belajar. Roda kehidupan itu akan selalu berputar.

Saat keluarganya jatuh miskin karena mengalami kebangkrutan, orang tuanya yang sakit-sakitan, bukankah semua itu butuh biaya? Siapa lagi yang menanggungnya kalau bukan aku? Dia bahkan sama sekali tak menghasilkan uang.

“Sudah kering, Mas.”

Prily berjalan ke arah balkon untuk mengeringkan handuk, lalu dia akan kembali berdiri sembari menatap anak-anak tetangga yang asyik berlarian di lapangan.

“Kau ini kenapa enggak ada bosannya melihat anak-anak.”

“Kapan ya kita bisa punya anak?"

“Ly, kita ‘kan sudah pernah membahasnya. Kita akan punya anak setelah kita punya rumah dan mobil. Tinggal beberapa bulan lagi, tabunganku akan cukup untuk membeli mobil impian kita. Bersabarlah sebentar.”

“Ya, Mas,” ucapnya lalu segera berpaling kembali menatap anak-anak itu lagi.

Ini tahun ke lima kami menikah, tapi aku sudah berhasil membeli rumah cash dengan usahaku sendiri. Bukankah sebuah pencapaian yang baik?

Aku bukanlah anak yang lahir dari keluarga kaya. Semua ini kudapatkan dengan kerja keras. Kami sudah sepakat melakukan KB sampai ekonomi kami stabil.

Awalnya semua berjalan baik, tetapi akhir-akhir ini setelah kami pindah ke rumah baru, Prily menjadi lebih banyak diam. Meski sejak menikah dengannya pun Prily bukankah gadis yang ceria. Dia terlalu misterius, meski aku begitu menyayanginya. Dia terlihat berbeda dengan gadis kebanyakan.

Satu yang paling kukagumi, dia begitu penurut dan tak banyak menuntut, lembut dan begitu santun. Hanya satu saja yang membuatku kesal. Dia selalu meminta untuk menghentikan program KB padahal hanya beberapa bulan lagi, tetapi akibat hal ini kami jadi sering bertengkar.

 Entah ini bisa dikatakan bertengkar atau tidak, karena saat itu sepertinya hanya aku yang terlihat berapi-api, sedangkan Prily terlihat acuh tak acuh. Dia hanya menjadi lebih pendiam dari biasanya.

Semua pasangan juga ingin memiliki keturunan. Tak terkecuali aku, tetapi semua juga harus terencana dengan baik. Jangan sampai hanya punya banyak anak, tetapi mengabaikan kehidupannya dan pendidikannya. Kami menikah karena sebuah perjodohan.

 Ayah kami berteman, awalnya aku ingin menolak, tetapi setelah melihat parasnya yang begitu menawan. Aku yakin tak ada satu pun pria yang akan menolak dijodohkan dengan wanita sepertinya.

“Masuklah ke dalam, gak baik hujan masih di sini. Dingin, nanti kamu sakit. Bukannya dari kemarin kamu bilang sedang enggak enak badan?”

“Alhamdulillah, sudah membaik abis minum obat.”

“Syukurlah, aku ke bawah dulu.”

“Aku masih mau di sini, Mas duluan saja.”

Sudah sepekan, Prily mengeluhkan sakit kepala. Selama ini aku memang menyuruhnya untuk meminum Paracetamol yang memang tersedia di kotak P3K.

Semua uangku sudah habis untuk ditabung. Apalagi gaji bulananku baru turun sepekan lagi. Tak mungkin juga aku harus menjual emas hanya untuk berobat.

Sepertinya aku ketiduran di sofa cukup lama. Kenapa Prily membiarkanku? Padahal biasanya dia selalu membangunkan.

Ini bahkan sudah pukul 2 dini hari. Beberapa kali aku menguap saat berjalan menuju kamar. Aku pikir Prily sedang tidur, tetapi wanita itu tak ada di sana.

“Ly, kamu di mana?”

“Ly?”

“Prily!”

Tak ada sahutan juga. Dia benar—benar-benar keterlaluan! Wanita macam apa yang keluar malam-malam tanpa izin suaminya. Sepertinya aku memang terlalu memanjakannya.

Lekas, kuambil jaket dan kunci motor. Mungkin saja masih di sekitar kompleks. Namun, bersiap keluar kamar, Prily justru berada di depanku.

“Loh, kamu habis ke mana?” tanyaku.

“Dapur.”

“Ly, setidaknya kamu bisa ‘kan nyahutin Mas waktu dipanggil! Jangan diem aja!”

“Maaf.”

“Ck, kamu kenapa sih? Marah enggak jelas, kalau ada masalah ngomong. Aku bukan Tuhan yang bisa mengerti tanpa ada penjelasan.”

“Enggak ada apa-apa, aku mau tidur. Permisi.”

Tubuh mungil itu malah menyelinap paksa. Aku bahkan belum bergeser sedikit pun dari ambang pintu. 

“Enggak bisa. Maumu itu apa?”

“Aku mau ....”

Dia malah menatapku sebentar.

“Gak jadi,” lanjutnya kemudian.

“Kamu ini! Katakan, jangan membuatku emosi. Kamu tahu aku bisa saja berbuat sesuatu yang membuatmu tak suka. Jadi tolong jangan terus memancing emosiku.”

“Mas Arjuna, aku hanya ingin tidur. Apa aku harus membayarmu. Nanti biar kucatat, akan kubayar dengan memotong jatah harianku.”

Aku yang kehilangan fokus membuat Prily dengan mudah melewatiku. Dia segera berjalan menaiki ranjang lalu menyembunyikan tubuhnya di balik selimut.

“Apa maksudmu, Prily? Kita sudah melakukannya sejak bertahun-tahun. Lihatlah rumah ini, kita akhirnya bisa punya rumah yang layak. Berkat kerja kerasku.”

“Hmm.”

“Prily! Kamu dengar, enggak?”

Aku yang sudah gemas dengan sikap Prily yang keterlaluan. Aku menyibak selimutnya membuat outernya tersibak hingga memperlihatkan bahunya yang putih mulus nyaris tanpa cela.

Terlihat bercahaya meski dengan dress tidur yang warnanya sudah memudar itu.

“Mas enggak harus menariknya sekencang ini. Jadi sobek ‘kan?”

“Kamu yang membuatku melakukan ini. Enggak sadarkah kalau sejak tadi sore kamu terus memancing emosiku? Aku merayakan anniversary pernikahan kita yang kelima demi membuatmu bahagia. Kenapa wajahmu malah terus ditekuk?"

Prily kembali melihatku dengan wajah datar. Dia benar-benar menyebalkan.

“Terima kasih buat semuanya, tapi aku benar-benar lelah. Hanya ingin istirahat sebentar saja. Boleh?”

“Kamu sakit?”

Dia menggeleng, tetapi aku bahkan bisa melihat wajahnya sedikit pucat.

“Mau periksa?"

“Enggak usah, kita lagi hemat, kan? Masih bisa aku tahan kok. Istirahat sebentar pasti baikan.”

“Oh ya sudah. Mari kuantar ke kamar.”

“Hmm.”

Lengannya dingin sekali. Sepanjang malah aku mendengar gemeretak giginya yang terus beradu. Dahinya begitu panas. Prily demam. Aku berusaha membangunkannya, dari mulai mengusap lembut pipinya sampai menepuknya dengan keras.

“Mas.”

“Iya Ly, Mas di sini.

“Enggak usah.”

Wanita itu justru tersenyum sembari mengusap pelan pipiku tangannya masih begitu dingin. “Aku enggak mau mengganggu rencanamu, buat punya mobil. Biarkan aku istirahat sebentar, ya. Besok pagi pasti akan baik-baik saja.”

Sejujurnya aku benar-benar khawatir. Hanya saja kalau dia menolak untuk pergi aku bisa apa? Sepanjang malam aku benar-benar tak bisa tidur. Entah kenapa aku merasa sedikit bersalah.

Seharusnya aku tak sekeras ini padanya. Sepanjang malam dia terus mengigau.

“Mas kamu di mana?” gumamnya.

“Aku di sini, Ly. Kamu ini sebenarnya mencari siapa?”

“Mas, maafin aku.” Entah dia minta maaf untuk siapa. Sejak tadi aku terus di sampingnya, tetapi dia masih saja mengigau.

“Aku maafin kamu, tapi kamu bangun dulu.”

Tubuhnya malah gemetar hebat. Aku tak mau pikir panjang. Gegas aku membawanya ke rumah sakit, meminta bantuan tetangga samping rumah yang kebetulan punya kendaraan roda empat. Sementara itu, Prily Masih ditangani di IGD dokter memintaku untuk menunggu di luar.

“Istri saya kenapa, Dok? Bagaimana keadaannya?"

“Asam lambungnya naik, tolong jangan biarkan dia telat makan. Sepertinya sejak tadi pagi dia belum makan apa pun. Apa dia berpuasa?”

Jelas-jelas aku melihatnya minum di siang hari. Bagaimana mungkin dia berpuasa.

“Baik, saya akan lebih memperhatikan jadwal makannya, Dok.”

Esok hari aku berniat pulang untuk mengambil beberapa helai pakaian ganti untuk Prily, tetapi begitu keluar untuk kembali ke rumah sakit beberapa Ibu-ibu tampak tengah berbelanja sayuran di depan pagar rumahku.

“Ih masa ya, waktu arisan si Prily itu. Rumah doang kaya tapi tiap makan-makan paling rakus sendiri. Kayak enggak pernah di kasih makan.”

“Hus! Jangan kayak gitu!”

Seseorang terdengar menyangkal.

“Iya bener. Kita mah gengsi kali ngambil sisaan lauk bekas makan. Dia mah sampai dibawain semua.”

Aku hafal sekali itu Mbak Daniah, dia memang sejak dulu terkenal biang gosip. Lagi pula kenapa kamu harus sampai seperti itu bikin malu saja. Kau tidak mungkin betul-betul kelaparan bukan? Rumah kita bahkan paling mewah di antara kompleks ini.

Bagaimana mungkin nyonya rumahnya kelaparan?

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Nada Azzah
Rumah doang gede tapi istri di biarkan kelaparan suami GK bisa menafkahi istri dg layak
goodnovel comment avatar
Yuli Defika
gosip teruss
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Catatan Usang   Malnutrisi

    “Serakah namanya, kalau saya sih malu banget. Rumah aja mewah, tapi pelit sama diri sendiri mah. Mending saya, rumah biasa, tapi mau makan apa pun bisa semaunya.”Suara Mbak Daniah terdengar begitu berapi-api. Membuatku geram saja.Sengaja kugeber motor yang pagi itu sedang kupanaskan. Biar saja mereka bubar. Mulutnya benar-benar membuat jengkel. Beberapa ibu-ibu terlihat menengok ke dalam rumah.Aku yang sudah terlanjur emosi memilih mendekati mereka. Sayangnya baru saja gerbangnya terbuka, hanya ada Pak Baim, penjual sayuran yang tersenyum ramah menyambutku.“Saya dengar Bu Prilynya masuk rumah sakit, apa benar?” tanya Pak Baim.“Iya, tapi alhamdulillah udah mendingan mungkin nanti sore sudah boleh pulang.”“Oh, syukur alhamdulillah. Semoga cepat sehat kembali.”“Aamiin.”Tak lama Pak Baim pamit untuk kembali berkeliling menjajakan sayurannya, yang masih penuh. Seiring dengan gerobaknya yang semakin menjauh.Aku berjalan dengan sedikit terburu-buru, lalu melajukan motor matic keluar

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-27
  • Catatan Usang   Terancam

    “Jangan mentang-mentang kau ini membiayai keluargaku bisa seenaknya memperlakukan Mbakku dengan kasar.”Hisyam masih saja berusaha memukul wajahku, meski beberapa orang mulai menariknya menjauh. Tubuhnya yang tinggi dan sedikit berisi membuatku sedikit kewalahan.“Heh, saya tidak pernah memukul Mbakmu. Dia sakit juga bukan karena saya melakukan kekerasan!” ucapku.“Nak Hisyam, sudah jangan kurang ajar sama kakakmu!” Ibu Rosa, mertuaku berteriak mencoba melerai kami.“Dia hanya kakak ipar. Aku melihat sendiri bagaimana dia memperlakukan Mbak Prily. Enggak ada bedanya dengan pelayan, kenapa Ibu malah membela dia. Apa karena dia rutin memberikan ayah uang bulanan? Aku juga bisa, Bu. Ke depannya biar aku yang tanggung semuanya. Tidak perlu lagi mengemis pada laki-laki ini!”Plak! Ayah Jery, mertuaku baru saja menampar anak itu. Seketika Hisyam menutup mulutnya. Dia terlihat menatap nanar pada pria paruh baya yang masih terbatuk sembari terengah-engah itu.Ayah Jerry baru saja berlari dari

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-27
  • Catatan Usang   Aku Benar-Benar Membencimu

    “Yah, kita bicarakan saja di sini."Aku tidak mau kalau masalah kami mempengaruhi kesehatan Ayah, karena aku membuat anak sahabat karibnya, terbaring di rumah sakit.“Jelaskan itu di depan ayahmu nanti. Saya tahu kamu selama ini sudah menanggung kehidupan keluarga saya, tapi melihat putriku terbaring di sana hanya karena kelaparan. Apa yang kamu lakukan sebagai suami?”“Pak demi Tuhan saya rutin memberikan nafkah. Tak mungkin saya lepas tanggung jawab. Seharusnya Bapak juga ajak Prily juga. Kita obrolin sama-sama.”“Kalau itu maumu. Kita adakan pertemuan di rumah sakit. Nanti sore.”“Apa enggak sebaiknya menunggu sampai Prily membaik dulu, Yah?”“Apa ada jaminan kalau setelah membaik kamu enggak akan membuatnya kembali masuk rumah sakit. Saya mau masalah ini segera diselesaikan.”Hilang sudah kesempatanku untuk bisa merayu Ayah mertua. Kali ini aku hanya bisa meminta bantuan Prily, aku harus bicara padanya.“Masih punya muka datang ke sini?” sindir Hisyam dengan seringai menyebalkan.

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-27
  • Catatan Usang   Pergi

    “Aku enggak bisa menceraikan dia Ayah. Selamanya dia akan tetap jadi istriku.”Aku tidak akan pernah melepasnya. Setelah dia berkorban begitu banyak hanya demi mendapat keturunan dariku. Bagaimana bisa aku melepasnya begitu saja.“Jangan terlalu percaya diri. Apa istrimu bersedia hidup sama kamu!” sindir Ayahku.“Prily katakan sesuatu, kamu mencintaiku ‘kan? Jangan diam saja. Yakinkan mereka kalau kita memang sama-sama ingin melanjutkan pernikahan ini,” ucapku sembari menggenggam kedua tangannya erat-erat.“Lihat ‘kan dia diam saja,” sindir Ayah.“Dia pasti mau Ayah. Prily bahkan sangat menginginkan anak dariku. Bagaimana dia mau meninggalkan pernikahan ini begitu saja.”“Ly, Sayang please katakan sesuatu. Kasih Mas kesempatan buat memperbaiki segalanya. Kamu ingin kita punya anak ‘kan. Kita akan punya anak, Sayang. Setelah kamu sembuh. Kita akan mulai program hamil. Lupakan tentang mobil dan impianku. Sekarang hanya akan ada impianmu dan impian kita. Kamu ingin berapa anak 2, 3 atau

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-27
  • Catatan Usang   Anak Pelayan Itu

    PoV Prily“Apa kamu juga akan rela menjual tubuhmu demi orang tuamu? Kamu benar-benar enggak punya prinsip!”Mas Arjuna berteriak, sorot matanya memerah menatapku dengan penuh amarah. Aku bahkan baru melihatnya semarah itu sejak pernikahan kami 5 tahun lalu. Tubuhku gemetar, melihat dia yang terus mengusir satu persatu ayah dan ibu bahkan kedua orang tuanya sendiri.Dia yang kukenal selalu menghormati mereka meski terkadang kesal, dia memilih menyimpannya sendiri. Aku bisa tahu, karena sering kedapatan dia menggerutu sendirian di kamar.“Kenapa kau melihatku seperti itu?” tanya Mas Juna, mungkin dia sadar sejak tadi aku terus melihat ke arahnya.“Aku hanya meminta kita berpisah untuk sementara kamu harusnya enggak memperlakukan mereka seperti itu. Bagaimana pun mereka orang tua kita.”“Iya, orang tua yang egois. Suka memaksakan kehendak, memaksa anak-anaknya menikah lalu sekarang seenaknya juga memaksa mereka bercerai! Orang tua seperti itu yang harus kuhormati?”Mas Juna begitu emosi

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-04
  • Catatan Usang   Aku Harus Bagaimana?

    Sejak pulang dari tempat itu Ibu memaksaku meminum banyak obat setiap hari. Baru kemarin aku tahu mereka mencoba melakukan hipnoterapy untuk menghilangkan ingatanku pada Akbar. Mereka memaksaku percaya kalau Akbar sudah meninggal. Aku seperti orang gila terus mendoakan agar aku tenang di surga tapi nyatanya, kabar kematianmu hanya sebuah rekayasa. Kenapa kamu begitu, Akbar? Apa kamu tak pernah mencoba mencariku? Kenapa kamu mematahkan hatiku, setelah kau berjanji untuk menjaganya agar tetap baik-baik saja. Kau tahu bahkan hidupku telah berhenti sejak saat ayahku membawa kabar kematianmu. Kau tahu berapa banyak derita yang kulalui setelah kepergianmu? Demi terus hidup aku harus menikah dengan pria asing. Aku pikir semua pria akan sama sepertimu. Lembut, penuh perhatian dan tak pernah perhitungan. Kenyataanya dia begitu berbeda. Dia sering marah hanya karena aku membeli barang yang mahal. Akbar, apa kau marah padaku. Sehingga kau meminta Tuhan mengirim suami sepertinya untukku. Kau pe

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-22
  • Catatan Usang    Bukankah Adil, Sayang?

    Plak!Ayah tiba-tiba saja menamparku. Rupanya mereka masih menunggu di luar, setelah aku berhasil mengusir semua orang. Saat itu jam kunjung memang sudah habis jadi yang diperbolehkan masuk hanya satu orang saja. Tentu aku memanfaatkan kesempatan itu untuk membuat mereka pergi, karena dalam hal ini aku yang paling berhak atas istriku sendiri. Terlepas mereka orang tuanya. Sekarang tanggung jawab itu sudah berpindah padaku.“Ayah kenapa lagi?”“Jangan panggil aku Ayah, selama kamu belum menceraikan istrimu!”“Ayah, yang anakmu itu dia atau aku?” Saat itu Ayah sudah bersiap menamparku kembali kalau saja Ibu tidak menahannya. Sudah pasti tak akan terelakkan lagi.“Berani kamu mengatakan itu padanya. Kau tahu kalau bukan karena Jasa mertuamu mana bisa kita hidup dengan layak. Kau tahu berapa banyak hutangku yang sudah dia bayar tanpa meminta ganti sedikit pun? Kau tahu rasanya dipukuli rentenir hanya karena tak bisa bayar hutang, bahkan Ibumu hampir dipaksa melayani nafsu mereka hanya ka

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-22
  • Catatan Usang   Dunia Begitu Sempit

    “Kita hidup masing-masing. Apa masih kurang jelas? Tenang saja, aku akan tetap menafkahimu seperti biasa. Oh, tidak mulai besok. Aku akan memberikanmu lebih banyak uang. Begitu ‘kan yang kamu mau?” Aku tersenyum, sengaja ingin tahu bagaimana respons Prily, ketika aku mengikuti semua permintaannya.“Satu lagi, kau boleh bekerja. Mulai hari ini lakukan saja semua yang kau sukai. Aku tidak akan melarangmu.”“Mas cukup! Aku tahu kamu marah, tolong jangan diteruskan.”“Diam! Aku belum selesai bicara.” Entah kenapa aku menangkap raut sendu dari wajah cantiknya. Ah, bukankah dia memang pandai memainkan peran. Aku tidak akan tertipu lagi. Cukup 5 tahun, aku menganggap semua perlakuanmu itu sebuah ketulusan. Ke depannya jangan harap wajahmu itu akan membuatku luluh.“Lupakan soal anak!” tegasku“Mas …” Suara Prily terdengar memelas. Mulai hari ini aku tidak akan membuat semuanya menjadi mudah Prily. Bukankah kau suka bermain tarik ulur? Sayangnya perasaanku bukan layangan yang bisa kau mainkan

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-22

Bab terbaru

  • Catatan Usang   Aku Sungguh Membutuhkanmu

    “Hisyam, kamu tidak ingin berkata apa pun?”“Aku hanya ingin minta maaf Mbak. Seharusnya aku enggak ikut membencimu.”“Sudahlah, Mbak titip Ayah sama Ibu ya.”“Memangnya Mbak mau ke mana, tolong jangan bikin Hisyam takut.”“Sayangi mereka, Hisyam … berjanjilah.” Bahkan pemuda yang biasanya tampak acuh, hari ini terlihat begitu rapuh.“Hisyam janji, Mbak.”“Ayah.”“Iya, Sayang.”“Lihat dia, bukankah suamiku sangat tampan?" tanya Prily. Sejenak membuat Ayah Jeri memutar kepala ke arah Arjuna.“Iya, dia sangat tampan."“Jangan membencinya lagi, Ayah. Aku sudah sangat bahagia, percayalah.”“Ayah tidak akan membencinya Nak, tapi bisakah kamu berhenti menakuti kami. Dokter pasti bisa sembuhin kamu. Berapa pun biayanya biarlah kami yang membayarnya. Kalau perlu jual saja rumah kami untuk biaya pengobatanmu.” Sekali lagi Prily hanya tersenyum saja.“Dokter, putri saya pasti bisa sembuh ‘kan?” tanya Ayah Jeri. Sayangnya tak mendapat jawaban dari dokter di belakangnya. Namun, ia bukan orang bod

  • Catatan Usang   Maaf

    Masa bodo dengan norma dan kesantunan. Wajah yang selalu tampak ramah itu hari ini hanya ada kemarahan di sana. Siapa pun yang menyaksikannya malam itu dibuat merinding. Beberapa warga tampak menahannya, tetapi Arjuna tetap bersikukuh ingin merusak pintu pagar yang terbuat dari besi itu dengan menginjaknya berulang kali. Tak ia pedulikan rasa sakit yang di kakinya. Hanya ada satu wajah yang ada dalam benaknya. Wajah yang selama sembilan bulan ini selalu menyembunyikan kesedihan di balik senyumnya itu sungguh membuatnya semakin muak dengan semua penghuni di rumah ini.Sampai akhirnya ketiga orang yang berada di dalam rumah itu keluar.“Apa kamu sudah gila membuat keributan di jam malam begini?” sentak Ayah Jeri dengan wajah yang merah padam.“Ya, saya gila karena Anda. Anda yang membuat istri saya bersedih sepanjang hari hingga berbulan-bulan. Anda tahu hari ini dia hanya ingin bertemu orang tuanya, tapi sungguh dua orang itu benar-benar egois. Bahkan sedikit pun tak punya belas kasiha

  • Catatan Usang   Patah

    “Mulai besok biar Mas yang membersihkan rumah.”“Mana bisa begitu? Aku masih sehat, kalau sekedar mengurus rumah, itu bukanlah pekerjaan yang berat. Mas jangan terlalu berlebihan! Masa iya sepanjang hari aku hanya berbaring di tempat tidur. Itu sangat membosankan,” elaknya saat pasangan itu kembali ke rumah.“Ini perintah, tidak ada tapi.” Prily tampak menghembuskan nafas kasar. Seorang yang aktif sepertinya tentu saja tak akan setuju.“Mas hanya ingin menjagamu dan bayi kita. Menurutlah sekali, enggak akan lama kok.”“Tapi, aku rasa ini terlalu berlebihan.”“Rumah ini besar, kamu tidak akan sanggup membersihkannya sendirian setiap hari dengan keadaan yang seperti ini. Biar Mas, yang pikirkan bagaimana cara mengurusnya. Mungkin kita akan membayar pekerja part time sesekali.”“Keuangan kita belum stabil, bagaimana bisa kita mengeluarkan uang selagi kita bisa menghematnya?” Kali ini Arjuna yang semula berdiri mendadak menekuk lutut tepat di depan Prily. Tangannya perlahan mengusap lutut

  • Catatan Usang   Aroma Surga

    Semula Arjuna berpikir semua akan kembali baik-baik saja, bahwa pernikahannya akan berjalan lancar. Tak ada lagi rasa sakit, khawatir atau pun ketakutan. Mereka akan punya banyak anak, menemani mereka sekolah, sampai tumbuh dewasa. Lalu, menyaksikan saat mereka menemukan pasangan hidup. Sungguh rencana yang bahagia, akan tetapi ia lupa bahkan terkadang rencana yang dirancang begitu sempurna pun bisa gagal hanya dalam sekejap mata.Sore itu dibantu Andika tetangga samping rumahnya. Mereka melajukan mobil dengan kecepatan maksimal menuju rumah sakit. Pria itu langsung tanggap menawarkan bantuan, seolah mengerti di situasi panik, Arjuna akan kesulitan berkonsentrasi dalam menyetir.“Bisa lebih cepat enggak, Mas?” pinta Arjuna, sesekali ia mengusap peluh yang mulai menetes membasahi wajah lelahnya seusai bekerja itu. Prily yang kini berbaring di pangkuannya bahkan sesekali ikut terguncang, saat sesekali melintas pada jalanan yang berlubang. Andika memilih mengiyakan perintah itu, meski se

  • Catatan Usang   Baby Breath

    “Mas.” Prily buru-buru menutup kembali pakaiannya, lalu bangkit dan meraih lenganku.“Maafin aku, Mas. Aku enggak bilang sama kamu dulu. Aku tahu kamu pasti enggak akan setuju, tapi aku enggak bisa Mas, aku enggak akan sanggup melihat kamu meninggalkan aku lebih dahulu.”“Kenapa, Prily?”“Karena aku mencintai kamu.”“Kamu bodoh, untuk apa mempertaruhkan hidupmu demi orang sepertiku?”“Lalu, bagaimana caranya aku harus berterima kasih? Katakan.”“Tetaplah hidup bersamaku.”Sungguh aku sama sekali tidak senang, aku sering membaca artikel tentang orang yang hidup dengan satu ginjal, itu sangat tak mudah. Dia masih muda, seharusnya dia tak sekonyol ini mengorbankan hal paling vital bagi kelangsungan hidupnya. Malam itu aku benar-benar bingung, meski Prily terus meyakinkan dengan dalih jika dia akan menjaga kesehatan dan pola hidupnya dengan sebaik-baiknya tetap saja semua tak akan lagi sama. Ceroboh, bagaimana bisa aku sampai kecolongan memberi tanda tangan pada surat persetujuan itu.“Ka

  • Catatan Usang   Luka yang Sama

    Hari demi hari berlalu, tetapi tak tampak kehadiran Prily. Pergi ke mana dia sebenarnya, jika benar apa yang dikatakan Nadia jika selama aku tak sadarkan diri ia terus berada di dekatku kenapa begitu aku terjaga. Justru tak pernah sekali pun wajahnya tampak di dekatku. Bahkan sudah sepekan aku berbaring tapi, ia berbohong. Mengatakan jika akan selalu di sisiku, tapi hari ini kenapa pergi.“Assalamu’alaikum,” ucap seseorang dari arah luar. Aku jelas mengenali suara itu. Namun, sungguh bukan aku tak mau bertemu dengan mereka. Hanya saja bukan mereka yang ingin kutemui.“Nak, ini kami Ibu sama Ayah,” lirih suara Ibu yang terdengar bergetar. Kedua matanya bahkan memerah seiring dengan tangannya yang mengusap pelan pergelanganku. Sementara Ayah pria yang selalu tegas dan penuh wibawa itu kini terlihat menyedihkan. Ia bahkan tak segan menitikkan air mata di hadapan sampah. Ya, aku sampah yang dia buang hanya, karena merasa malu pada karibnya.“Kenapa menangis? Saya masih hidup.” ucapku.“Ma

  • Catatan Usang   Akan Kubalas

    “Bukanlah, Adek tahu Mas pasti enggak akan kasih izin.”“Syukurlah, kalau memang bukan. Mas enggak mau kalau sampai kamu nekat melakukan sesuatu yang akan membahayakan keselamatanmu sendiri. Cukup Mas yang tanggung semuanya. Kau jangan melakukan apa pun.”“Siap komandan,” sahutnya dengan meletakkan telapak tangan di pelipis. Namun, entah kenapa perasaanku mengatakan jika ini semua tak mungkin berjalan begitu saja, semua terkesan terlalu mendadak.“Persiapkan fisik kamu Mas, operasi itu pasti butuh kondisi yang fit ‘kan?”“Selain itu uang juga tak kalah penting.”“Mas ini, Adek sudah katakan untuk menggadaikan sertifikat rumah.”“Kalau kita gadai rumah siapa yang akan membayar angsurannya? Setelah operasi masa pemulihannya pasti butuh waktu yang enggak sebentar.” Prily terlihat berpikir.“Kita jual mobil aja?” kata Prily.“Baru juga beberapa bulan kita pakai, masa udah mau dijual? Kita perlu loh Dek mobil untuk sehari-hari. Apa lagi pas kamu sakit kayak kemarin.”“Kita beli yang second

  • Catatan Usang   Kabar Baik

    “Kamu kok pucat, Sayang?”“Aku? hmm ah, masa sih?” Ekspresi keterkejutan di wajahnya tak mampu lagi ia sembunyikan, meski begitu tetap saja, ia masih saja mengelak.“Aku baik-baik aja, kok. Mas aja yang berlebihan, ini cuma karena kepanasan aja,”elaknya. Lantas, ia langsung mengayun langkah menuju dapur untuk kembali memasukkan beberapa hidangan yang sebelumnya telah ia siapkan.“Kalau sakit istirahat, kenapa harus memaksakan diri buat masak?”“Enggak masak kok, cuma angetin yang tadi pagi.”“Sama aja, istirahat saja dulu. Mas serius loh, mukamu pucat banget.”“Perasaan Mas aja kali. Hm begini aja deh, aku mau mandi aja dulu.” Prily tampak mencium aroma pakaiannya. Lantas, bibirnya mengerucut.“Tuh, sudah bau kecut, ini nanti kalau udah bunyi. Minta tolong di keluarkan ya, Mas. Takutnya aku lama di kamar mandi,” tunjuknya pada benda kotak yang panas itu.“Siap, ”ucapku sambil mengacungkan ibu jari yang langsung disambut dengan satu senyuman manis dari istriku.‘Sayang seberapa pun kam

  • Catatan Usang   Di Balik Senyum

    “Tolong jangan melakukan sesuatu yang nantinya malah membahayakan dirimu sendiri!” Sekali lagi Prily justru membingkai senyum.“Memangnya Mas pikir aku mau melakukan apa?”“Syukurlah kalau memang tidak.”“Ayo masuk. Aku siapkan makanan buat kamu,” katanya sambil menggandeng lenganku dengan lembut. Kau tahu, sejak aku mengatakan semuanya. Aku merasa sikap Prily terlalu berlebihan dalam menjagaku. Berkali-kali ingin memprotesnya, tetapi lagi-lagi dia berlindung di balik kalimat bahwa ia hanya ingin berada di dekatku sampai akhir.Seperti malam ini, dia memasak bahkan membuat jus nanas. Manis, tetapi aku paling tidak suka jika setiap malam setelah aku terlelap dia akan pergi diam-diam ke luar kamar hanya untuk pergi dan berdiam diri di tempat ibadah.Dia akan menumpahkan tangisnya di sana, sendirian di mana tak akan ada seorang pun yang akan mengetahui. Termasuk aku. Dia yang ketika pagi, siang dan sore hari selalu membingkai senyum, kenyataannya dia begitu rapuh saat sdang sendiri. Kala

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status