PoV Prily
“Apa kamu juga akan rela menjual tubuhmu demi orang tuamu? Kamu benar-benar enggak punya prinsip!”
Mas Arjuna berteriak, sorot matanya memerah menatapku dengan penuh amarah. Aku bahkan baru melihatnya semarah itu sejak pernikahan kami 5 tahun lalu. Tubuhku gemetar, melihat dia yang terus mengusir satu persatu ayah dan ibu bahkan kedua orang tuanya sendiri.
Dia yang kukenal selalu menghormati mereka meski terkadang kesal, dia memilih menyimpannya sendiri. Aku bisa tahu, karena sering kedapatan dia menggerutu sendirian di kamar.
“Kenapa kau melihatku seperti itu?” tanya Mas Juna, mungkin dia sadar sejak tadi aku terus melihat ke arahnya.
“Aku hanya meminta kita berpisah untuk sementara kamu harusnya enggak memperlakukan mereka seperti itu. Bagaimana pun mereka orang tua kita.”
“Iya, orang tua yang egois. Suka memaksakan kehendak, memaksa anak-anaknya menikah lalu sekarang seenaknya juga memaksa mereka bercerai! Orang tua seperti itu yang harus kuhormati?”
Mas Juna begitu emosional sampai-sampai dia mengambil gelas yang berada di nakas. Aku sudah menutup mata dan telinga takut kalau dia benar-benar melempar benda kaca itu, tetapi nyatanya, tidak.
Begitu aku membuka mata. Mas Juna malah berjalan ke arah luar. Gelas itu dia letakkan di wastafel. Beberapa jam berlalu Mas Juna tak kembali lagi. Pria perhitungan yang selalu menyuruhku mencatat semua pengeluaran dan pemasukan secara rinci tanpa tertinggal sedikit pun.
Bersamanya aku merasa menjadi orang yang sangat munafik. Hanya demi terus mendapatkan kehidupan yang layak untuk orang tuaku aku bahkan rela melakukan apa pun.
Apa aku telah benar-benar menyakitinya? Aku menerima semua yang dia katakan. Soal wanita yang tak punya prinsip, tapi aku tak benar-benar memintanya pergi dariku hanya untuk sementara. Aku hanya butuh waktu untuk menenangkan hatiku.
Beberapa hari mungkin cukup. Namun, Mas Juna malah langsung memotong ucapanku tanpa mendengarnya dulu. Semua karena Ibu yang tiba-tiba mengatakan kalau Akbar masih hidup.
Cinta pertama sekaligus patah hati terhebatku. Kami tumbuh dan dewasa bersama sejak kecil. Dia yang selalu menemaniku ke mana pun dan kapan pun. Di saat kedua orang tuaku sibuk dengan kehidupannya masing-masing hanya dia yang selalu ada untukku.
Mirza Akbar Lazuardy, hanya karena kau lahir dari rahim seorang pelayan di rumahku. Dia yang dianggap tak pantas bersanding denganku. Padahal katamu dimata Tuhan semua manusia sama adapun berbeda derajatnya, itu karena amal perbuatannya di dunia.
Kamu pasti masih mengingatnya ‘kan Akbar? Sayangnya dunia ini tak begitu. Ayahku bukan Tuhan, seharusnya kau tidak hanya menjelaskan padaku, tapi pada ayahku juga. Sehingga dia mungkin bisa mengerti tentang konsep manusia di mata Tuhan.
Bu Anis dan Pak Rudi telah bekerja di rumah sejak aku masih kecil, mereka keluarga yang baik dan religius. Ayah juga memperlakukan mereka tak seperti pelayan pada umumnya.
Akbar bahkan dimasukkan ke sekolah yang sama denganku. Sekolah berbasis international yang biayanya pasti mahal. Ayah selalu mengatakan agar Akbar menjagaku, pada akhirnya secara tak sadar aku mulai bergantung padanya.
Lambat laun kami tumbuh menjadi remaja pada umumnya.
Perhatian Akbar berbeda, aku menyadari kalau hubungan kami sekarang tak murni sebagai tuan dan pelayannya. Aku memang tak pernah dekat dengan laki-laki mana pun sejak dahulu hanya, kurasa karena Akbar yang terlalu protektif dia menjagaku lebih dari ayahku sendiri.
Saat SMA dia bahkan rela babak belur, saat Arya dan teman-temannya memukulinya. Arya mengatakan cinta padaku, tetapi aku tahu dia seorang play boy yang hanya suka memanfaatkan perempuan kaya. Aku tahu dia pasti suka karena keluargaku cukup kaya. Meski begitu, semua perempuan tak ada yang berani menolak cintanya.
Mungkin tak bisa dibilang tak berani, karena paras Arya yang lumayan membuatnya dengan mudah membuat anak perempuan menyukainya.
Selain itu dia punya banyak teman yang tak segan menghajar laki-laki yang mendekati gadis incarannya. Sungguh laki-laki kasar dan arogan entah bagaimana dia bisa jadi populer di sekolah.
Saat itu aku tak melihat Akbar di rumah sampai jam 9 malam. Bu Anis bilang dia sedang belajar kelompok, seingatku tak ada tugas apa pun di sekolah. Kami sekelas dan rasanya mustahil kalau sampai aku tak tahu.
Sejak pulang sekolah aku memang ikut dengan Ayah Ibu ke sebuah acara peresmian bisnis baru Ayah. Hingga pukul 10 malam aku baru melihat Akbar pulang dengan sedikit sempoyongan.
Bu Anis terlihat mengomel, aku baru saja ingin turun saat aku menyadari wajah Akbar penuh dengan lebam, tetapi pria itu malah menggeleng. Rupanya dia menerima taruhan duel dengan anak buah Arya.
Semua hal indah yang tak bisa kuungkapkan itu semuanya kenapa sangat berbeda dengan Mas Juna.
Akbar yang bertanggung jawab mengurus kebun dan tanaman di rumahku saja bahkan rela membagi sebagian upahnya padaku. Padahal aku tak kekurangan uang, setiap ayah memberinya upah.
Akbar akan selalu memberikan hadiah untukku, mentraktirku makan padahal sungguh aku tak kekurangan uang sama sekali. Kadang-kadang aku merasa tak enak, tapi akbar bilang itu sebagai latihan kalau kita sudah menikah. Bahkan dia menyuruhku menyimpan sebagian upahnya padaku, yang sampai hari ini tak pernah kugunakan.
Hari itu di hari kelulusan Akbar tak mentraktirku, dia justru langsung mengajakku pulang. Sikapnya aneh sepanjang jalan dia hanya diam, sesekali bicara itu pun saat aku menegurnya. Hingga kami sampai di rumah, baru sampai di halaman dia memintaku untuk duduk di taman. Di sebuah bangku panjang itu kami duduk berdampingan. Hingga tiba-tiba Akbar berlutut tepat di depanku.
“Non Prily, saya tahu ini lancang. Setelah lulus kuliah nanti maukah menikah denganku?”
Saat itu Akbar mengeluarkan benda bulat berwarna emas. Dia hendak memasangkannya padaku, namun melihatku diam saja. Akbar mengurungkan niat.
“Saya tahu Non pasti enggak akan menerima saya, yang hanya anak pelayan.”
Akbar saat itu sudah bersiap pergi.
“Tunggu, Akbar. Asalkan kamu berhenti memanggilku Nona, aku akan menerimamu. Bukankan ini terdengar sangat tidak keren?”
Aku terkekeh pelan, sejujurnya untuk menghilangkan kegugupanku.
“Nona, kau membuatku takut. Maaf Non, Saya tidak mungkin bisa memanggil Nona hanya dengan nama, Pak Jery pasti akan marah.”
“Kau takut Akbar? Bukankah kamu bilang enggak takut apa pun.”
“Aku hanya takut Nona akan mengusir keluargaku karena kelancanganku ini. Dan saat itu terjadi aku tidak akan bisa dekat dan bertemu denganmu lagi.”
“Tentu saja saya akan melakukannya! LANCANG!”
Tiba-tiba saja Ayah mendatangi kami dari arah belakang. Entah sejak kapan dia berada di sana. Aku melihat Akbar yang gugup, tetapi begitu melihatku dia malah maju selangkah,
“Aku berjanji akan membuat Non Prily bahagia, Pak. Setelah lulus kuliah nanti saya akan bekerja keras, dan saya berjanji enggak akan membuat Non Prily mende ….”
Plak!
Belum selesai bicara Ayah sudah lebih dahulu menampar Akbar.
“Kau hanya anak pelayan. Mau kerja apa? Memang orang miskin selalu tak tahu diri. Sudah kuberikan kehidupan yang layak sekarang malah ingin mengambil putriku juga. Panggil orang tuamu ke sini!” sentak Ayah.
Ayah tak pernah semarah ini sebelumnya.
“Saya pastikan Non Prily tidak akan pernah kelaparan, Pak.”
Entah kenapa Akbar tak mau berhenti bicara, padahal Ayah terus saja menghujaninya dengan tamparan.
“Kau berani bicara lagi! Rudi! Mulai detik ini kau bukan lagi pelayan di rumahku. Kemasi barang-barangmu. Hari ini juga aku tidak mau melihat kalian di sini.”
“Ayah jangan usir mereka. Aku mencintai Akbar, Ayah. Kumohon izinkan kami bersama, seperti biasanya. Pak Rudi dan Bu Anis enggak salah kenapa Ayah mengusirnya juga.”
Aku sudah memohon bahkan sampai berlutut di kaki Ayah tapi Akbar malah melarangku. Dia menarikku agar tetap berdiri.
“Jangan melakukan itu, untukku Nona,” lirih Akbar, dengan wajah yang sudah membengkak.
Pasti sakit sekali, tapi dia bahkan tak menangis.
“Enggak apa-apa, Non. Ini semua bukan salah Non Prily,” kata Pak Rudi.
“Ini semua salah Akbar.”
“Tapi Pak Akbar mencintai dia, kita saling menyayangi. Akbar enggak mau pergi.”
Sekali lagi Akbar harus menerima tamparan, kali ini langsung 2 kali dari tangan Ayahnya sendiri.
“Sudah sadar belum?” tanya Pak Rudi.
Akbar masih diam, berkali-kali ditampar pun, dia tak pernah melawan.
“Kau masih ingin diam dan tak mau meminta maaf?”
Plak! Plak!
Kembali Pak Rudi menamparnya dengan lebih keras lagi.
“Sejak kapan aku mengajarimu menjadi anak yang tahu diri, pergi minta maaf!” kata Pak Rudi.
Tak ada yang berani membela Akbar. Aku ingin sekali mencegah Pak Rudi menampar anaknya tapi Ibu malah menariku ke atas. Dia sempat melirikku.
“Pak Rudi sudah cukup, jangan tampar lagi.”
“Tidak Non, biar ini jadi urusan saya. Biar ke depannya dia tidak jadi manusia yang tidak tahu diri,” ucap Pak Rudi, yang masih saja menampar anaknya.
Sementara itu, Ayah malah duduk di depan mereka, sembari tersenyum puas.
“Bagus kalau tahu diri,” ucap Ayah.
Aku tak tahu lagi apa yang terjadi selanjutnya, karena Ibu lebih dulu mengunciku di kamar. Tidak ada yang tahu kalau hari di mana akhirnya aku tahu kalau perasaanku selama ini tak bertepuk sebelah tangan, justru menjadi hari terakhir kita.
Setengah jam berlalu akhirnya aku melihat Pak Rudi, Bu Anis dan Akbar meninggalkan rumah. Akbar sempat melambai padaku. Dari kejauhan aku melihat jari telunjuknya bergerak membentuk cekungan. Dia bahkan tersenyum padaku meski wajahnya terluka parah.
Sejak hari itu aku terus mencarinya kuliahku berantakan. Bahkan sepertinya Akbar juga tak mengambil beasiswa yang susah payah dia dapatkan.
Entah di mana dia saat itu 3 tahun aku mencarinya seperti orang gila. Aku bahkan hampir meninggal karena dehidrasi, tepat saat Ayah memberi kabar kalau Akbar meninggal dalam kecelakaan Bus.
Rasanya aku ingin menyusulnya saja. Namun, Tuhan lagi-lagi menolakku. Berkali-kali aku mencoba mengakhiri hidup, tetapi Tuhan seolah menolakku. Semua usahaku untuk mati gagal.
Sepertinya Tuhan marah, tahun itu bisnis ayah terus menerus mengalami kerugian. Hingga pada akhirnya semua usaha yang ayah rintis sejak masih muda benar-benar hancur.
Kami kehilangan segalanya bahkan harus tinggal di rumah kecil. Sejak saat itu kesehatan ayahku menurun. Setiap hari Ibu selalu menangis.
Dia selalu saja menangis agar aku mau hidup dengan benar, aku tak ingat betul alasan kenapa Ibu selalu menangis setiap kali masuk untuk menyuapiku makan setiap pagi dan sore.
Satu hal yang aku ingat ibu membawa beberapa orang berseragam putih. Salah satu dari mereka menyuntikkan cairan ke lenganku, hingga membuat kesadaranku menghilang.
Sejak pulang dari tempat itu Ibu memaksaku meminum banyak obat setiap hari. Baru kemarin aku tahu mereka mencoba melakukan hipnoterapy untuk menghilangkan ingatanku pada Akbar. Mereka memaksaku percaya kalau Akbar sudah meninggal. Aku seperti orang gila terus mendoakan agar aku tenang di surga tapi nyatanya, kabar kematianmu hanya sebuah rekayasa. Kenapa kamu begitu, Akbar? Apa kamu tak pernah mencoba mencariku? Kenapa kamu mematahkan hatiku, setelah kau berjanji untuk menjaganya agar tetap baik-baik saja. Kau tahu bahkan hidupku telah berhenti sejak saat ayahku membawa kabar kematianmu. Kau tahu berapa banyak derita yang kulalui setelah kepergianmu? Demi terus hidup aku harus menikah dengan pria asing. Aku pikir semua pria akan sama sepertimu. Lembut, penuh perhatian dan tak pernah perhitungan. Kenyataanya dia begitu berbeda. Dia sering marah hanya karena aku membeli barang yang mahal. Akbar, apa kau marah padaku. Sehingga kau meminta Tuhan mengirim suami sepertinya untukku. Kau pe
Plak!Ayah tiba-tiba saja menamparku. Rupanya mereka masih menunggu di luar, setelah aku berhasil mengusir semua orang. Saat itu jam kunjung memang sudah habis jadi yang diperbolehkan masuk hanya satu orang saja. Tentu aku memanfaatkan kesempatan itu untuk membuat mereka pergi, karena dalam hal ini aku yang paling berhak atas istriku sendiri. Terlepas mereka orang tuanya. Sekarang tanggung jawab itu sudah berpindah padaku.“Ayah kenapa lagi?”“Jangan panggil aku Ayah, selama kamu belum menceraikan istrimu!”“Ayah, yang anakmu itu dia atau aku?” Saat itu Ayah sudah bersiap menamparku kembali kalau saja Ibu tidak menahannya. Sudah pasti tak akan terelakkan lagi.“Berani kamu mengatakan itu padanya. Kau tahu kalau bukan karena Jasa mertuamu mana bisa kita hidup dengan layak. Kau tahu berapa banyak hutangku yang sudah dia bayar tanpa meminta ganti sedikit pun? Kau tahu rasanya dipukuli rentenir hanya karena tak bisa bayar hutang, bahkan Ibumu hampir dipaksa melayani nafsu mereka hanya ka
“Kita hidup masing-masing. Apa masih kurang jelas? Tenang saja, aku akan tetap menafkahimu seperti biasa. Oh, tidak mulai besok. Aku akan memberikanmu lebih banyak uang. Begitu ‘kan yang kamu mau?” Aku tersenyum, sengaja ingin tahu bagaimana respons Prily, ketika aku mengikuti semua permintaannya.“Satu lagi, kau boleh bekerja. Mulai hari ini lakukan saja semua yang kau sukai. Aku tidak akan melarangmu.”“Mas cukup! Aku tahu kamu marah, tolong jangan diteruskan.”“Diam! Aku belum selesai bicara.” Entah kenapa aku menangkap raut sendu dari wajah cantiknya. Ah, bukankah dia memang pandai memainkan peran. Aku tidak akan tertipu lagi. Cukup 5 tahun, aku menganggap semua perlakuanmu itu sebuah ketulusan. Ke depannya jangan harap wajahmu itu akan membuatku luluh.“Lupakan soal anak!” tegasku“Mas …” Suara Prily terdengar memelas. Mulai hari ini aku tidak akan membuat semuanya menjadi mudah Prily. Bukankah kau suka bermain tarik ulur? Sayangnya perasaanku bukan layangan yang bisa kau mainkan
PoV 3Tunggu dan bersiaplah, akan ada kejutan menarik buat kamu. Kau pasti akan suka, Sayang.“Kau gugup, Sayang? Lihat apa?” Arjuna tersenyum mengejek, begitu pandangan istrinya beralih pada beberapa karangan bunga yang terpampang memenuhi setiap sudut halaman depan Lazuardy Hotel & Resort. Mirza Akbar Lazuardy, deretan nama yang selama ini selalu memenuhi hati Prily. Hari ini suaminya sendiri yang mengantarnya bertemu sosok itu. Perasaan gugup bercampur takut, membuat wajah Prily seketika memucat.“Mas, kita pulang aja yu!" ajak Prily yang sedikit memelas. Jelas saja Arjuna menolak. Pria itu justru menarik lengan istrinya, lalu menggenggamnya perlahan. Dia harus menurunkan ego, setidaknya agar rencananya berjalan lancar. Tak hanya itu, Arjuna bahkan menarik pinggang ramping istrinya, demi memangkas jarak yang tercipta di antara mereka. “Kenapa mau pulang? Aku susah payah membelikanmu gaun. Kau juga sudah berdandan cantik. Sayang kalau kita tidak masuk ke dalam dulu. Ayolah, hanya
“Aku tidak suka perempuan yang ragu-ragu, kau yakin dengan apa yang kau ucapkan barusan?” tanya Arjuna“Jelas, harusnya aku menyadari sejak dulu kalau kamu bukanlah pria yang layak untuk dijadikan suami!” tegas Prily, bersama dengan tatapannya yang tajam, menyiratkan bahwa benar yang baru saja dia katakan adalah sebuah kebenaran.“Perhitungan, pelit, semaunya sendiri. Suami yang selalu mengumbar kebaikannya pada semua orang, aku yang membiayai keluargamu, ini itu semua harus dicatat, katakan! Apa yang baik darimu? Enggak ada Mas.” Wanita itu bahkan menirukan gaya saat suaminya bicara.Ada kepuasan sendiri bagi Prily, setelah berhasil mengungkapkan semua yang dia pendam selama 5 tahun terakhir. Tak ada penyesalan sedikit pun. Dia tak salah dan tak perlu meminta maaf. Merasa bahwa kebenaran berada di pihaknya. Tekadnya sudah bulat, ia berjanji mulai hari ini tak akan membiarkan Arjuna menggoreskan lara di hatinya lagi. Entah dengan penolakannya atau mengabaiannya.“Hanya karena punya ba
“Cium aku!” Arjuna semakin menekankan wajahnya. Wanita itu sudah tak bisa menghindar selain menuruti kemauan pria mabuk yang berada di hadapannya. Ini sudah tidak benar, ia meyakinkan diri untuk tak larut dalam suasana. Sudah lama Arjuna tak pernah menyentuhnya, pria itu terlalu menjaga jarak sejak ia masuk rumah sakit. Masih terekam jelas bagaimana pria itu selalu mengumpatnya.“Aku tidak suka perempuan sakit,” katanya hampir setiap malam, ketika di mana seharusnya suami istri saling bicara. Dia justru memilih mengumpat habis-habisan. Belum lagi puluhan kalimat lain yang menyesakkan dada. Kini kalimat itu seolah terdengar bersahutan di indra pendengaran Prily. Perlahan hatinya berdesir nyeri, ada kebencian yang menjalar.“Ah, lepas! Pria jahat, kau itu jahat tahu!” Wanita dengan pasmina warna nude itu mengusap bibirnya dengan kasar, lupa kalau sebelum pulang dari pes ia baru saja touch up pewarna bibirnya itu, hingga sebagian pipinya menjadi merah. Ia mendorong dengan sekuat tenaga
“Aku enggak bisa, Bu.” Prily segera beranjak pergi hendak menuju kamarnya. Hari ini tubuh dan psikisnya benar-benar lelah. Tempat tidur lebih ia butuhkan dari pada sebuah nasehat atau paksaan. Tiba-tiba ia teringat akan Arjuna yang selalu mengejeknya perempuan yang tak berprinsip. Selama ini Prily hidup dalam bayang-bayang orang lain. meksi kali ini tekadnya bulat, untuk pisah dari Arjuna. Ia ingin mengurusnya sendiri. Akbar atau orang tuanya tak boleh lagi ikut campur.“Mau ke mana?” Bu Rania mencekal tangan Prily, saat ia sudah hampir mengunci pintu. Pliry sudah sangat kesal. Mereka selalu saja memegang kendali dalam setiap kali keputusan penting dalam hidupnya.“Apa Ibu enggak pernah mengajarkan kamu sopan santun? Ada tamu di luar kamu malah pergi ke kamar.”“Lalu kenapa Ibu diam aja saat dulu Ayah mengusir Akbar dan keluarganya dengan sangat tidak hormat?”Plak!Bu Rania masih mencoba mengatur nafasnya. Tamparan yang mendarat di pipi Prily meninggalkan jejak panas dan perih yang m
“Aku enggak selemah itu.” Prily kesal. Mulut suaminya benar-benar jahat. “Nyesel aku, tahu begini kubiarkan saja kamu lompat,” gerutunya pelan, tetapi tetap saja sampai pada indera pendengaran milik Arjuna.“Yakin nyesel? Buktinya dicium.” Arjuna tersenyum mengejek, yang dibalas dengan kerlingan malas dari Prily. Namun, sejenak ia baru sadar. Harusnya orang mabuk tak akan mengingat apa yang terjadi.“Mas ngerjain aku, ya? Sebenarnya kemarin itu enggak benar-benar mabukk ‘kan?” Arjuna semakin melebarkan senyumnya. Seiring dengan dahi Prily yang mengerut karena heran. Sejak kamarin ia terus mengkhawatirkan keselamatan suaminya. Bisa-bisanya pria ini malah mengerjainya hanya untuk mendapatkan ciuman.“Ya sudah sih, sana jalan. Ngapain masih di sini? Katanya enggak selemah itu, Awas!” Arjuna sengaja menaikkan ke dua kakinya ke atas. Lalu meluruskannya di sana hingga membuat Prily mau tak mau bangkit dari tempat duduknya. Ia bahkan meniru gaya bicara istrinya yang sok kuat itu. Mengab
“Hisyam, kamu tidak ingin berkata apa pun?”“Aku hanya ingin minta maaf Mbak. Seharusnya aku enggak ikut membencimu.”“Sudahlah, Mbak titip Ayah sama Ibu ya.”“Memangnya Mbak mau ke mana, tolong jangan bikin Hisyam takut.”“Sayangi mereka, Hisyam … berjanjilah.” Bahkan pemuda yang biasanya tampak acuh, hari ini terlihat begitu rapuh.“Hisyam janji, Mbak.”“Ayah.”“Iya, Sayang.”“Lihat dia, bukankah suamiku sangat tampan?" tanya Prily. Sejenak membuat Ayah Jeri memutar kepala ke arah Arjuna.“Iya, dia sangat tampan."“Jangan membencinya lagi, Ayah. Aku sudah sangat bahagia, percayalah.”“Ayah tidak akan membencinya Nak, tapi bisakah kamu berhenti menakuti kami. Dokter pasti bisa sembuhin kamu. Berapa pun biayanya biarlah kami yang membayarnya. Kalau perlu jual saja rumah kami untuk biaya pengobatanmu.” Sekali lagi Prily hanya tersenyum saja.“Dokter, putri saya pasti bisa sembuh ‘kan?” tanya Ayah Jeri. Sayangnya tak mendapat jawaban dari dokter di belakangnya. Namun, ia bukan orang bod
Masa bodo dengan norma dan kesantunan. Wajah yang selalu tampak ramah itu hari ini hanya ada kemarahan di sana. Siapa pun yang menyaksikannya malam itu dibuat merinding. Beberapa warga tampak menahannya, tetapi Arjuna tetap bersikukuh ingin merusak pintu pagar yang terbuat dari besi itu dengan menginjaknya berulang kali. Tak ia pedulikan rasa sakit yang di kakinya. Hanya ada satu wajah yang ada dalam benaknya. Wajah yang selama sembilan bulan ini selalu menyembunyikan kesedihan di balik senyumnya itu sungguh membuatnya semakin muak dengan semua penghuni di rumah ini.Sampai akhirnya ketiga orang yang berada di dalam rumah itu keluar.“Apa kamu sudah gila membuat keributan di jam malam begini?” sentak Ayah Jeri dengan wajah yang merah padam.“Ya, saya gila karena Anda. Anda yang membuat istri saya bersedih sepanjang hari hingga berbulan-bulan. Anda tahu hari ini dia hanya ingin bertemu orang tuanya, tapi sungguh dua orang itu benar-benar egois. Bahkan sedikit pun tak punya belas kasiha
“Mulai besok biar Mas yang membersihkan rumah.”“Mana bisa begitu? Aku masih sehat, kalau sekedar mengurus rumah, itu bukanlah pekerjaan yang berat. Mas jangan terlalu berlebihan! Masa iya sepanjang hari aku hanya berbaring di tempat tidur. Itu sangat membosankan,” elaknya saat pasangan itu kembali ke rumah.“Ini perintah, tidak ada tapi.” Prily tampak menghembuskan nafas kasar. Seorang yang aktif sepertinya tentu saja tak akan setuju.“Mas hanya ingin menjagamu dan bayi kita. Menurutlah sekali, enggak akan lama kok.”“Tapi, aku rasa ini terlalu berlebihan.”“Rumah ini besar, kamu tidak akan sanggup membersihkannya sendirian setiap hari dengan keadaan yang seperti ini. Biar Mas, yang pikirkan bagaimana cara mengurusnya. Mungkin kita akan membayar pekerja part time sesekali.”“Keuangan kita belum stabil, bagaimana bisa kita mengeluarkan uang selagi kita bisa menghematnya?” Kali ini Arjuna yang semula berdiri mendadak menekuk lutut tepat di depan Prily. Tangannya perlahan mengusap lutut
Semula Arjuna berpikir semua akan kembali baik-baik saja, bahwa pernikahannya akan berjalan lancar. Tak ada lagi rasa sakit, khawatir atau pun ketakutan. Mereka akan punya banyak anak, menemani mereka sekolah, sampai tumbuh dewasa. Lalu, menyaksikan saat mereka menemukan pasangan hidup. Sungguh rencana yang bahagia, akan tetapi ia lupa bahkan terkadang rencana yang dirancang begitu sempurna pun bisa gagal hanya dalam sekejap mata.Sore itu dibantu Andika tetangga samping rumahnya. Mereka melajukan mobil dengan kecepatan maksimal menuju rumah sakit. Pria itu langsung tanggap menawarkan bantuan, seolah mengerti di situasi panik, Arjuna akan kesulitan berkonsentrasi dalam menyetir.“Bisa lebih cepat enggak, Mas?” pinta Arjuna, sesekali ia mengusap peluh yang mulai menetes membasahi wajah lelahnya seusai bekerja itu. Prily yang kini berbaring di pangkuannya bahkan sesekali ikut terguncang, saat sesekali melintas pada jalanan yang berlubang. Andika memilih mengiyakan perintah itu, meski se
“Mas.” Prily buru-buru menutup kembali pakaiannya, lalu bangkit dan meraih lenganku.“Maafin aku, Mas. Aku enggak bilang sama kamu dulu. Aku tahu kamu pasti enggak akan setuju, tapi aku enggak bisa Mas, aku enggak akan sanggup melihat kamu meninggalkan aku lebih dahulu.”“Kenapa, Prily?”“Karena aku mencintai kamu.”“Kamu bodoh, untuk apa mempertaruhkan hidupmu demi orang sepertiku?”“Lalu, bagaimana caranya aku harus berterima kasih? Katakan.”“Tetaplah hidup bersamaku.”Sungguh aku sama sekali tidak senang, aku sering membaca artikel tentang orang yang hidup dengan satu ginjal, itu sangat tak mudah. Dia masih muda, seharusnya dia tak sekonyol ini mengorbankan hal paling vital bagi kelangsungan hidupnya. Malam itu aku benar-benar bingung, meski Prily terus meyakinkan dengan dalih jika dia akan menjaga kesehatan dan pola hidupnya dengan sebaik-baiknya tetap saja semua tak akan lagi sama. Ceroboh, bagaimana bisa aku sampai kecolongan memberi tanda tangan pada surat persetujuan itu.“Ka
Hari demi hari berlalu, tetapi tak tampak kehadiran Prily. Pergi ke mana dia sebenarnya, jika benar apa yang dikatakan Nadia jika selama aku tak sadarkan diri ia terus berada di dekatku kenapa begitu aku terjaga. Justru tak pernah sekali pun wajahnya tampak di dekatku. Bahkan sudah sepekan aku berbaring tapi, ia berbohong. Mengatakan jika akan selalu di sisiku, tapi hari ini kenapa pergi.“Assalamu’alaikum,” ucap seseorang dari arah luar. Aku jelas mengenali suara itu. Namun, sungguh bukan aku tak mau bertemu dengan mereka. Hanya saja bukan mereka yang ingin kutemui.“Nak, ini kami Ibu sama Ayah,” lirih suara Ibu yang terdengar bergetar. Kedua matanya bahkan memerah seiring dengan tangannya yang mengusap pelan pergelanganku. Sementara Ayah pria yang selalu tegas dan penuh wibawa itu kini terlihat menyedihkan. Ia bahkan tak segan menitikkan air mata di hadapan sampah. Ya, aku sampah yang dia buang hanya, karena merasa malu pada karibnya.“Kenapa menangis? Saya masih hidup.” ucapku.“Ma
“Bukanlah, Adek tahu Mas pasti enggak akan kasih izin.”“Syukurlah, kalau memang bukan. Mas enggak mau kalau sampai kamu nekat melakukan sesuatu yang akan membahayakan keselamatanmu sendiri. Cukup Mas yang tanggung semuanya. Kau jangan melakukan apa pun.”“Siap komandan,” sahutnya dengan meletakkan telapak tangan di pelipis. Namun, entah kenapa perasaanku mengatakan jika ini semua tak mungkin berjalan begitu saja, semua terkesan terlalu mendadak.“Persiapkan fisik kamu Mas, operasi itu pasti butuh kondisi yang fit ‘kan?”“Selain itu uang juga tak kalah penting.”“Mas ini, Adek sudah katakan untuk menggadaikan sertifikat rumah.”“Kalau kita gadai rumah siapa yang akan membayar angsurannya? Setelah operasi masa pemulihannya pasti butuh waktu yang enggak sebentar.” Prily terlihat berpikir.“Kita jual mobil aja?” kata Prily.“Baru juga beberapa bulan kita pakai, masa udah mau dijual? Kita perlu loh Dek mobil untuk sehari-hari. Apa lagi pas kamu sakit kayak kemarin.”“Kita beli yang second
“Kamu kok pucat, Sayang?”“Aku? hmm ah, masa sih?” Ekspresi keterkejutan di wajahnya tak mampu lagi ia sembunyikan, meski begitu tetap saja, ia masih saja mengelak.“Aku baik-baik aja, kok. Mas aja yang berlebihan, ini cuma karena kepanasan aja,”elaknya. Lantas, ia langsung mengayun langkah menuju dapur untuk kembali memasukkan beberapa hidangan yang sebelumnya telah ia siapkan.“Kalau sakit istirahat, kenapa harus memaksakan diri buat masak?”“Enggak masak kok, cuma angetin yang tadi pagi.”“Sama aja, istirahat saja dulu. Mas serius loh, mukamu pucat banget.”“Perasaan Mas aja kali. Hm begini aja deh, aku mau mandi aja dulu.” Prily tampak mencium aroma pakaiannya. Lantas, bibirnya mengerucut.“Tuh, sudah bau kecut, ini nanti kalau udah bunyi. Minta tolong di keluarkan ya, Mas. Takutnya aku lama di kamar mandi,” tunjuknya pada benda kotak yang panas itu.“Siap, ”ucapku sambil mengacungkan ibu jari yang langsung disambut dengan satu senyuman manis dari istriku.‘Sayang seberapa pun kam
“Tolong jangan melakukan sesuatu yang nantinya malah membahayakan dirimu sendiri!” Sekali lagi Prily justru membingkai senyum.“Memangnya Mas pikir aku mau melakukan apa?”“Syukurlah kalau memang tidak.”“Ayo masuk. Aku siapkan makanan buat kamu,” katanya sambil menggandeng lenganku dengan lembut. Kau tahu, sejak aku mengatakan semuanya. Aku merasa sikap Prily terlalu berlebihan dalam menjagaku. Berkali-kali ingin memprotesnya, tetapi lagi-lagi dia berlindung di balik kalimat bahwa ia hanya ingin berada di dekatku sampai akhir.Seperti malam ini, dia memasak bahkan membuat jus nanas. Manis, tetapi aku paling tidak suka jika setiap malam setelah aku terlelap dia akan pergi diam-diam ke luar kamar hanya untuk pergi dan berdiam diri di tempat ibadah.Dia akan menumpahkan tangisnya di sana, sendirian di mana tak akan ada seorang pun yang akan mengetahui. Termasuk aku. Dia yang ketika pagi, siang dan sore hari selalu membingkai senyum, kenyataannya dia begitu rapuh saat sdang sendiri. Kala