Beranda / Rumah Tangga / Catatan Usang / Aku Harus Bagaimana?

Share

Aku Harus Bagaimana?

Penulis: ERIA YURIKA
last update Terakhir Diperbarui: 2022-07-22 10:55:54

Sejak pulang dari tempat itu Ibu memaksaku  meminum banyak obat setiap hari. Baru kemarin aku tahu mereka mencoba melakukan hipnoterapy untuk menghilangkan ingatanku pada Akbar. Mereka memaksaku percaya kalau Akbar sudah meninggal. Aku seperti orang gila terus mendoakan agar aku tenang di surga tapi nyatanya, kabar kematianmu hanya sebuah rekayasa. Kenapa kamu begitu, Akbar? Apa kamu tak pernah mencoba mencariku? Kenapa kamu mematahkan hatiku, setelah kau berjanji untuk menjaganya agar tetap baik-baik saja. Kau tahu bahkan hidupku telah berhenti sejak saat ayahku membawa kabar kematianmu. Kau tahu berapa banyak derita yang kulalui setelah kepergianmu? Demi terus hidup aku harus menikah dengan pria asing. Aku pikir semua pria akan sama sepertimu. Lembut, penuh perhatian dan tak pernah perhitungan. Kenyataanya dia begitu berbeda. Dia sering marah hanya karena aku membeli barang yang mahal.

Akbar, apa kau marah padaku. Sehingga kau meminta Tuhan mengirim suami sepertinya untukku. Kau pernah berjanji untuk menjamin aku tidak kelaparan. Namun, lihatlah aku sekarang. Aku sudah ikut gila, karena terlalu lama tinggal bersamanya. Aku benar-benar menahan lapar hanya demi memiliki anak darinya.

Akbar, setahun lalu dia membeli hunian mewah. Impian pertamanya sejak kami menikah. Awalnya aku tak pernah terpikir untuk memiliki buah hati dengannya. Namun, setelah melihat seorang anak yang menangis di atas makam ibunya. Hatiku benar-benar tersentuh. Aku bertemu dengan anak itu setiap kali aku mengunjungi peristirahatan terakhirmu. Konyol bukan? Aku mendoakan agar kau tenang di surga, padahal kenyataannya kau masih hidup di dunia yang sama denganku. Pantas saja aku tak pernah bertemu dengan orang tuamu setiap kali aku pergi berkunjung. Namun, karena anak itu hatiku tersentuh. Aku pikir dengan punya anak aku tak akan kesepian. Sayangnya itu tak semudah yang kupikirkan.

Dia terus saja memaksaku meminum pil kontrasepsi. Aku bingung, apakah dia mencintaiku atau tidak? Sudah setahun tapi dia terus saja memaksaku meminum kontrasepsi. Kau tahu Akbar hidup bersamanya membuatku setiap hari ingin menyusulmu saja. Beberapa tahun setelah terapi mungkin di mata ibu terlihat  membaik di mata ibu dan ayah sehingga mereka nekat menjodohkanku. Padahal pada kenyataannya, membuatmu seolah mati juga bukan solusi’. Aku hanya dibuat putus asa untuk mencarimu, tetapi justru membuatku merindukan kematian.

~

Pintu ruanganku tiba-tiba terbuka, lalu muncul Hisyam di balik pintu. Langkahnya mengendap-endap, beberapa kali matanya melihat ke belakang sebelum akhirnya mendekat ke ranjang.

“Ke mana laki-laki si pelit itu, Mbak?” tanyanya.

“Kau ini, begitu pun dia masih suamiku.”

“Mbak ngapain sih masih mau mempertahankan dia, nih ya. Kalau tadi Mbak bilang buat usir dia ke aku. Bagaimana pun caranya aku siap mengusirnya. Enggak peduli kalau abis itu aku bakal dipukulin Ayah habis-habisan.” Hisyam ini selalu saja bersemangat setiap kali membelaku, sejak dahulu dialah yang paling bersemangat. Kau tak tahu Hisyam biaya perawatan ayah sangat besar. Kalau aku melepasnya takutnya kamu juga mengorbankan kuliahmu demi menghidupi kami. Aku yang sudah sakit-sakitan begini bagaimana bisa membantumu. Aku sudah pernah menjadi orang yang gagal, dan itu menyakitkan. Menyia-nyiakan masa mudaku demi mengejar pria. Kau tak boleh lemah sepertiku. Setidaknya kalau aku tiada, kamu harus bisa menjaga mereka. Tak peduli seberapa sakitnya luka yang mereka torehkan padamu. Mereka tetap orang tuamu. Meski tak ada ikatan darah di antara kalian. Kuharap kamu tidak akan pernah meninggalkan keluarga ini.

“Mbak, hey kenapa kok malah nangis.”

“Hmmm enggak apa-apa. Kamu enggak lihat Mas Juna di luar?”

“Enggak, kenapa sih masih ditanyain. Ya elah suami zalim kayak gitu mah, mati juga enggak apa-apa.”

“Hisyam, jangan begitu. Jasa dia besar buat keluarga kita. Sifatnya memang pelit tapi dia juga ‘kan yang membuatmu bisa sekolah sampai sekarang?”

“Kamu tahu enggak Mbak? Aku tuh bosan banget dengar kalian bahas ini terus-terusan. Rasanya aku pengen cepat-cepat lulus sekolah terus kerja dan jadi orang kaya? Biar Mbak enggak perlu lagi tinggal sama si pelit itu. Mbak enggak lihat apa, dulu tuh Mbak agak gendut dikit. Sekarang udah kayak mayat hidup. Tulang doang!” Entah kenapa Hisyam selalu saja bisa memancing senyumku. Caranya memperhatikanku memang kejam dan menusuk, tapi sejenak benar-benar membuatku melupakan masalah.

“Nah gitu dong senyum, kalau diam aja aku merinding Mbak. Berasa nengokin mayat.”

“Astaghfirrullah, jangan bicara sembarangan Hisyam!”

“Maaf Mbak, bercanda. Oh iya, aku pulang dulu.”

“Kenapa buru-buru?”

“Si pelit mau datang,” katanya sembari melihat ke arah gawainya. Pasti dia menyuruh seseorang untuk berjaga di luar.

“Bukannya biasanya kamu enggak takut apa pun?”

“Mbak yang memaksaku buat tunduk, asalkan Mbak bilang mau pisah. Aku akan tetap di sini.” Aku bingung Hisyam. Meski aku ingin sekali berpisah dengannya, tetapi nuraniku berkata tidak. Bagaimana kalau Akbar sudah memiliki kehidupan sendiri. Aku hanya akan jadi wanita menyedihkan. Bukankah selama 10 tahun ini dia tak pernah mencariku. Seharusnya kalau dia memang punya kehidupan yang baik, dia pasti menepati janjinya. Ibu bilang dia punya perusahaan yang akhir-akhir ini cukup berkembang. Ibu pernah tak sengaja bertemu dengan Akbar sepulang dari rumah sakit. Pria itu bahkan cukup sopan, dia masih mau menyapa Ibu. 10 tahun berlalu Ayah dan Ibu tetap sama. Hanya karena Akbar terlihat menjanjikan dia langsung menyuruhku berpisah. Padahal selama ini, mereka yang menguatkanku agar mempertahankan rumah tanggaku.

“Mbak enggak usah berpura-pura lagi, aku tahu Mbak pasti masih memikirkan Mas Akbar. Ibu pasti sudah mengatakannya kemarin sama Mbak. Makanya Mbak tiba-tiba mutusin buat pisah sementara? Kenapa enggak selamanya aja. Bukankah Mbak sudah lama menunggunya. Mungkin aja dia mulai menunjukkan diri buat bawa Mbak  pergi.” Hisyam masih saja bicara.

“Kamu mendukungku bersama Akbar?” tanyaku.

“Asal dia bisa buat Mbak bahagia. Aku jelas mendukung, tetapi kalau sampai dia membuat Mbak terpuruk lagi aku enggak akan segan menghabisinya.”

“Hisyam ….” Entah kenapa aku mendadak emosional. Ke mana saja aku selama ini, sehingga aku mengabaikan kehadirannya.

“Mbak kenapa kamu jadi lemah begini. Dia mungkin baik pada keluarga kita, tapi dia memintamu menunda untuk punya anak, bagaimana mungkin Mbak tetap yakin mau hidup sama laki-laki seperti itu. Dia yang begitu perhitungan pada calon darah dagingnya sendiri, enggak layak dipertahankan.”

“Hisyam, Mbak cuma takut dia sudah punya orang lain. Kalau Mbak saja sudah menikah, mana mungkin dia juga masih melajang. Apa lagi dengan keadaan ekonominya yang sekarang. Mbak justru merasa enggak percaya diri.”

“Mbak ‘kan belum tahu, makanya kalian ketemu dulu. Apa perlu aku yang cari tahu Mas Akbar sudah menikah atau belum?”

“Enggak usah, kalau memang sudah takdir kita dipertemukan. Allah pasti akan kasih jalan buat ketemu.”

“Mbak benar-benar udah keracunan sama si pelit itu. Mbak besok-besok kubawakan kyai buat rukiah ya, Mbak pokoknya jangan sampai jatuh cinta sama dia. Eh tapi Mbak enggak cinta ‘kan sama dia?”

Aku sendiri bingung dengan perasaanku. Sebatas balas budi atau jatuh cinta. Aku memang gila menyerahkan uang tabunganku padanya. Setelah melihat anak-anak bermain di taman di dekat rumahku, Ibu hamil yang setiap hari mengusap perut buncitnya yang menggemaskan. Aku ingin sekali mengalaminya. Merasakan jadi Ibu, setidaknya mungkin dengan itu bisa memberiku semangat hidup.

“Ehem!” seseorang tiba-tiba saja datang dari arah pintu. Membuat Hisyam sedikit terkejut. Namun, kali ini dia justru menantangnya.

“Sudah curhatnya?”

“Mm Mas kamu sejak kapan di situ? Terus itu wajah kamu kenapa lebam-lebam?”

“Apa urusannya denganmu, aku ingin tidur. Kalian jangan berisik.” Mas juna terlihat tak acuh. Apa dia telah mendengar obrolan kami, lalu merasa cemburu? Aku tidak tahu apa yang telah dia lakukan di luar sana. Namun, melihatnya penuh dengan lebam membuatku sedikit cemas. Akbar, kenapa kamu harus hadir saat aku telah mencoba mengikhlaskanmu. Sekarang aku harus bagaimana, sedang pria ini. Haruskah aku meninggalkannya?

Bab terkait

  • Catatan Usang    Bukankah Adil, Sayang?

    Plak!Ayah tiba-tiba saja menamparku. Rupanya mereka masih menunggu di luar, setelah aku berhasil mengusir semua orang. Saat itu jam kunjung memang sudah habis jadi yang diperbolehkan masuk hanya satu orang saja. Tentu aku memanfaatkan kesempatan itu untuk membuat mereka pergi, karena dalam hal ini aku yang paling berhak atas istriku sendiri. Terlepas mereka orang tuanya. Sekarang tanggung jawab itu sudah berpindah padaku.“Ayah kenapa lagi?”“Jangan panggil aku Ayah, selama kamu belum menceraikan istrimu!”“Ayah, yang anakmu itu dia atau aku?” Saat itu Ayah sudah bersiap menamparku kembali kalau saja Ibu tidak menahannya. Sudah pasti tak akan terelakkan lagi.“Berani kamu mengatakan itu padanya. Kau tahu kalau bukan karena Jasa mertuamu mana bisa kita hidup dengan layak. Kau tahu berapa banyak hutangku yang sudah dia bayar tanpa meminta ganti sedikit pun? Kau tahu rasanya dipukuli rentenir hanya karena tak bisa bayar hutang, bahkan Ibumu hampir dipaksa melayani nafsu mereka hanya ka

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-22
  • Catatan Usang   Dunia Begitu Sempit

    “Kita hidup masing-masing. Apa masih kurang jelas? Tenang saja, aku akan tetap menafkahimu seperti biasa. Oh, tidak mulai besok. Aku akan memberikanmu lebih banyak uang. Begitu ‘kan yang kamu mau?” Aku tersenyum, sengaja ingin tahu bagaimana respons Prily, ketika aku mengikuti semua permintaannya.“Satu lagi, kau boleh bekerja. Mulai hari ini lakukan saja semua yang kau sukai. Aku tidak akan melarangmu.”“Mas cukup! Aku tahu kamu marah, tolong jangan diteruskan.”“Diam! Aku belum selesai bicara.” Entah kenapa aku menangkap raut sendu dari wajah cantiknya. Ah, bukankah dia memang pandai memainkan peran. Aku tidak akan tertipu lagi. Cukup 5 tahun, aku menganggap semua perlakuanmu itu sebuah ketulusan. Ke depannya jangan harap wajahmu itu akan membuatku luluh.“Lupakan soal anak!” tegasku“Mas …” Suara Prily terdengar memelas. Mulai hari ini aku tidak akan membuat semuanya menjadi mudah Prily. Bukankah kau suka bermain tarik ulur? Sayangnya perasaanku bukan layangan yang bisa kau mainkan

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-22
  • Catatan Usang   Ini Bukan Lagi Permainan

    PoV 3Tunggu dan bersiaplah, akan ada kejutan menarik buat kamu. Kau pasti akan suka, Sayang.“Kau gugup, Sayang? Lihat apa?” Arjuna tersenyum mengejek, begitu pandangan istrinya beralih pada beberapa karangan bunga yang terpampang memenuhi setiap sudut halaman depan Lazuardy Hotel & Resort. Mirza Akbar Lazuardy, deretan nama yang selama ini selalu memenuhi hati Prily. Hari ini suaminya sendiri yang mengantarnya bertemu sosok itu. Perasaan gugup bercampur takut, membuat wajah Prily seketika memucat.“Mas, kita pulang aja yu!" ajak Prily yang sedikit memelas. Jelas saja Arjuna menolak. Pria itu justru menarik lengan istrinya, lalu menggenggamnya perlahan. Dia harus menurunkan ego, setidaknya agar rencananya berjalan lancar. Tak hanya itu, Arjuna bahkan menarik pinggang ramping istrinya, demi memangkas jarak yang tercipta di antara mereka. “Kenapa mau pulang? Aku susah payah membelikanmu gaun. Kau juga sudah berdandan cantik. Sayang kalau kita tidak masuk ke dalam dulu. Ayolah, hanya

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-22
  • Catatan Usang   Arjuna Menggila

    “Aku tidak suka perempuan yang ragu-ragu, kau yakin dengan apa yang kau ucapkan barusan?” tanya Arjuna“Jelas, harusnya aku menyadari sejak dulu kalau kamu bukanlah pria yang layak untuk dijadikan suami!” tegas Prily, bersama dengan tatapannya yang tajam, menyiratkan bahwa benar yang baru saja dia katakan adalah sebuah kebenaran.“Perhitungan, pelit, semaunya sendiri. Suami yang selalu mengumbar kebaikannya pada semua orang, aku yang membiayai keluargamu, ini itu semua harus dicatat, katakan! Apa yang baik darimu? Enggak ada Mas.” Wanita itu bahkan menirukan gaya saat suaminya bicara.Ada kepuasan sendiri bagi Prily, setelah berhasil mengungkapkan semua yang dia pendam selama 5 tahun terakhir. Tak ada penyesalan sedikit pun. Dia tak salah dan tak perlu meminta maaf. Merasa bahwa kebenaran berada di pihaknya. Tekadnya sudah bulat, ia berjanji mulai hari ini tak akan membiarkan Arjuna menggoreskan lara di hatinya lagi. Entah dengan penolakannya atau mengabaiannya.“Hanya karena punya ba

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-22
  • Catatan Usang   Harta Memang Segalanya

    “Cium aku!” Arjuna semakin menekankan wajahnya. Wanita itu sudah tak bisa menghindar selain menuruti kemauan pria mabuk yang berada di hadapannya. Ini sudah tidak benar, ia meyakinkan diri untuk tak larut dalam suasana. Sudah lama Arjuna tak pernah menyentuhnya, pria itu terlalu menjaga jarak sejak ia masuk rumah sakit. Masih terekam jelas bagaimana pria itu selalu mengumpatnya.“Aku tidak suka perempuan sakit,” katanya hampir setiap malam, ketika di mana seharusnya suami istri saling bicara. Dia justru memilih mengumpat habis-habisan. Belum lagi puluhan kalimat lain yang menyesakkan dada. Kini kalimat itu seolah terdengar bersahutan di indra pendengaran Prily. Perlahan hatinya berdesir nyeri, ada kebencian yang menjalar.“Ah, lepas! Pria jahat, kau itu jahat tahu!” Wanita dengan pasmina warna nude itu mengusap bibirnya dengan kasar, lupa kalau sebelum pulang dari pes ia baru saja touch up pewarna bibirnya itu, hingga sebagian pipinya menjadi merah. Ia mendorong dengan sekuat tenaga

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-22
  • Catatan Usang   Apa Tuhan Marah?

    “Aku enggak bisa, Bu.” Prily segera beranjak pergi hendak menuju kamarnya. Hari ini tubuh dan psikisnya benar-benar lelah. Tempat tidur lebih ia butuhkan dari pada sebuah nasehat atau paksaan. Tiba-tiba ia teringat akan Arjuna yang selalu mengejeknya perempuan yang tak berprinsip. Selama ini Prily hidup dalam bayang-bayang orang lain. meksi kali ini tekadnya bulat, untuk pisah dari Arjuna. Ia ingin mengurusnya sendiri. Akbar atau orang tuanya tak boleh lagi ikut campur.“Mau ke mana?” Bu Rania mencekal tangan Prily, saat ia sudah hampir mengunci pintu. Pliry sudah sangat kesal. Mereka selalu saja memegang kendali dalam setiap kali keputusan penting dalam hidupnya.“Apa Ibu enggak pernah mengajarkan kamu sopan santun? Ada tamu di luar kamu malah pergi ke kamar.”“Lalu kenapa Ibu diam aja saat dulu Ayah mengusir Akbar dan keluarganya dengan sangat tidak hormat?”Plak!Bu Rania masih mencoba mengatur nafasnya. Tamparan yang mendarat di pipi Prily meninggalkan jejak panas dan perih yang m

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-22
  • Catatan Usang   Apakah Kamu Layak?

    “Aku enggak selemah itu.” Prily kesal. Mulut suaminya benar-benar jahat. “Nyesel aku, tahu begini kubiarkan saja kamu lompat,” gerutunya pelan, tetapi tetap saja sampai pada indera pendengaran milik Arjuna.“Yakin nyesel? Buktinya dicium.” Arjuna tersenyum mengejek, yang dibalas dengan kerlingan malas dari Prily. Namun, sejenak ia baru sadar. Harusnya orang mabuk tak akan mengingat apa yang terjadi.“Mas ngerjain aku, ya? Sebenarnya kemarin itu enggak benar-benar mabukk ‘kan?” Arjuna semakin melebarkan senyumnya. Seiring dengan dahi Prily yang mengerut karena heran. Sejak kamarin ia terus mengkhawatirkan keselamatan suaminya. Bisa-bisanya pria ini malah mengerjainya hanya untuk mendapatkan ciuman.“Ya sudah sih, sana jalan. Ngapain masih di sini? Katanya enggak selemah itu, Awas!” Arjuna sengaja menaikkan ke dua kakinya ke atas. Lalu meluruskannya di sana hingga membuat Prily mau tak mau bangkit dari tempat duduknya. Ia bahkan meniru gaya bicara istrinya yang sok kuat itu. Mengab

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-31
  • Catatan Usang   Pukul Satu Malam itu

    “Kenapa? Apa begini cara orang tuamu mendidik putrinya? Habis manis sepah dibuang. Ada pria yang lebih kaya, kamu langsung menempel dengannya seperti prangko, sedangkan si miskin yang selama ini menemanimu dibuang begitu saja,” sindir Arjuna, masih dengan smirk yang menyeramkan.“Mas Arjuna cukup! Kamu boleh marah padaku, tapi bukan berarti kamu boleh menjelekkan orang tuaku.” Kali ini Prily mengeraskan suaranya.“Cih, Aku tahu, seperti apa aku di mata keluargamu. Bukankah dari dulu, kamu juga menyukai dia? Seharusnya kamu enggak meninggalkan catatanusangmu di kamar kita. Aku tahu sejak pulang dari rumah sakit, kamu mencaribenda ini siang dan malam ‘kan?”“Jadi buku itu ada di kamu?” Prily tak tahu lagi harus bicara apa, selain pertanyaan sia-sia yang dia sendiri sudah tahu jawabannya. Ia begitu gugup, Arjuna pasti telah membaca semua isinya. Mati sudah, buku ituhampir semuanya berisi curahan hatinya tentang Akbar. Belum lagi beberapa keluhannya selama berumah tangga dengan Arjuna.“A

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-31

Bab terbaru

  • Catatan Usang   Aku Sungguh Membutuhkanmu

    “Hisyam, kamu tidak ingin berkata apa pun?”“Aku hanya ingin minta maaf Mbak. Seharusnya aku enggak ikut membencimu.”“Sudahlah, Mbak titip Ayah sama Ibu ya.”“Memangnya Mbak mau ke mana, tolong jangan bikin Hisyam takut.”“Sayangi mereka, Hisyam … berjanjilah.” Bahkan pemuda yang biasanya tampak acuh, hari ini terlihat begitu rapuh.“Hisyam janji, Mbak.”“Ayah.”“Iya, Sayang.”“Lihat dia, bukankah suamiku sangat tampan?" tanya Prily. Sejenak membuat Ayah Jeri memutar kepala ke arah Arjuna.“Iya, dia sangat tampan."“Jangan membencinya lagi, Ayah. Aku sudah sangat bahagia, percayalah.”“Ayah tidak akan membencinya Nak, tapi bisakah kamu berhenti menakuti kami. Dokter pasti bisa sembuhin kamu. Berapa pun biayanya biarlah kami yang membayarnya. Kalau perlu jual saja rumah kami untuk biaya pengobatanmu.” Sekali lagi Prily hanya tersenyum saja.“Dokter, putri saya pasti bisa sembuh ‘kan?” tanya Ayah Jeri. Sayangnya tak mendapat jawaban dari dokter di belakangnya. Namun, ia bukan orang bod

  • Catatan Usang   Maaf

    Masa bodo dengan norma dan kesantunan. Wajah yang selalu tampak ramah itu hari ini hanya ada kemarahan di sana. Siapa pun yang menyaksikannya malam itu dibuat merinding. Beberapa warga tampak menahannya, tetapi Arjuna tetap bersikukuh ingin merusak pintu pagar yang terbuat dari besi itu dengan menginjaknya berulang kali. Tak ia pedulikan rasa sakit yang di kakinya. Hanya ada satu wajah yang ada dalam benaknya. Wajah yang selama sembilan bulan ini selalu menyembunyikan kesedihan di balik senyumnya itu sungguh membuatnya semakin muak dengan semua penghuni di rumah ini.Sampai akhirnya ketiga orang yang berada di dalam rumah itu keluar.“Apa kamu sudah gila membuat keributan di jam malam begini?” sentak Ayah Jeri dengan wajah yang merah padam.“Ya, saya gila karena Anda. Anda yang membuat istri saya bersedih sepanjang hari hingga berbulan-bulan. Anda tahu hari ini dia hanya ingin bertemu orang tuanya, tapi sungguh dua orang itu benar-benar egois. Bahkan sedikit pun tak punya belas kasiha

  • Catatan Usang   Patah

    “Mulai besok biar Mas yang membersihkan rumah.”“Mana bisa begitu? Aku masih sehat, kalau sekedar mengurus rumah, itu bukanlah pekerjaan yang berat. Mas jangan terlalu berlebihan! Masa iya sepanjang hari aku hanya berbaring di tempat tidur. Itu sangat membosankan,” elaknya saat pasangan itu kembali ke rumah.“Ini perintah, tidak ada tapi.” Prily tampak menghembuskan nafas kasar. Seorang yang aktif sepertinya tentu saja tak akan setuju.“Mas hanya ingin menjagamu dan bayi kita. Menurutlah sekali, enggak akan lama kok.”“Tapi, aku rasa ini terlalu berlebihan.”“Rumah ini besar, kamu tidak akan sanggup membersihkannya sendirian setiap hari dengan keadaan yang seperti ini. Biar Mas, yang pikirkan bagaimana cara mengurusnya. Mungkin kita akan membayar pekerja part time sesekali.”“Keuangan kita belum stabil, bagaimana bisa kita mengeluarkan uang selagi kita bisa menghematnya?” Kali ini Arjuna yang semula berdiri mendadak menekuk lutut tepat di depan Prily. Tangannya perlahan mengusap lutut

  • Catatan Usang   Aroma Surga

    Semula Arjuna berpikir semua akan kembali baik-baik saja, bahwa pernikahannya akan berjalan lancar. Tak ada lagi rasa sakit, khawatir atau pun ketakutan. Mereka akan punya banyak anak, menemani mereka sekolah, sampai tumbuh dewasa. Lalu, menyaksikan saat mereka menemukan pasangan hidup. Sungguh rencana yang bahagia, akan tetapi ia lupa bahkan terkadang rencana yang dirancang begitu sempurna pun bisa gagal hanya dalam sekejap mata.Sore itu dibantu Andika tetangga samping rumahnya. Mereka melajukan mobil dengan kecepatan maksimal menuju rumah sakit. Pria itu langsung tanggap menawarkan bantuan, seolah mengerti di situasi panik, Arjuna akan kesulitan berkonsentrasi dalam menyetir.“Bisa lebih cepat enggak, Mas?” pinta Arjuna, sesekali ia mengusap peluh yang mulai menetes membasahi wajah lelahnya seusai bekerja itu. Prily yang kini berbaring di pangkuannya bahkan sesekali ikut terguncang, saat sesekali melintas pada jalanan yang berlubang. Andika memilih mengiyakan perintah itu, meski se

  • Catatan Usang   Baby Breath

    “Mas.” Prily buru-buru menutup kembali pakaiannya, lalu bangkit dan meraih lenganku.“Maafin aku, Mas. Aku enggak bilang sama kamu dulu. Aku tahu kamu pasti enggak akan setuju, tapi aku enggak bisa Mas, aku enggak akan sanggup melihat kamu meninggalkan aku lebih dahulu.”“Kenapa, Prily?”“Karena aku mencintai kamu.”“Kamu bodoh, untuk apa mempertaruhkan hidupmu demi orang sepertiku?”“Lalu, bagaimana caranya aku harus berterima kasih? Katakan.”“Tetaplah hidup bersamaku.”Sungguh aku sama sekali tidak senang, aku sering membaca artikel tentang orang yang hidup dengan satu ginjal, itu sangat tak mudah. Dia masih muda, seharusnya dia tak sekonyol ini mengorbankan hal paling vital bagi kelangsungan hidupnya. Malam itu aku benar-benar bingung, meski Prily terus meyakinkan dengan dalih jika dia akan menjaga kesehatan dan pola hidupnya dengan sebaik-baiknya tetap saja semua tak akan lagi sama. Ceroboh, bagaimana bisa aku sampai kecolongan memberi tanda tangan pada surat persetujuan itu.“Ka

  • Catatan Usang   Luka yang Sama

    Hari demi hari berlalu, tetapi tak tampak kehadiran Prily. Pergi ke mana dia sebenarnya, jika benar apa yang dikatakan Nadia jika selama aku tak sadarkan diri ia terus berada di dekatku kenapa begitu aku terjaga. Justru tak pernah sekali pun wajahnya tampak di dekatku. Bahkan sudah sepekan aku berbaring tapi, ia berbohong. Mengatakan jika akan selalu di sisiku, tapi hari ini kenapa pergi.“Assalamu’alaikum,” ucap seseorang dari arah luar. Aku jelas mengenali suara itu. Namun, sungguh bukan aku tak mau bertemu dengan mereka. Hanya saja bukan mereka yang ingin kutemui.“Nak, ini kami Ibu sama Ayah,” lirih suara Ibu yang terdengar bergetar. Kedua matanya bahkan memerah seiring dengan tangannya yang mengusap pelan pergelanganku. Sementara Ayah pria yang selalu tegas dan penuh wibawa itu kini terlihat menyedihkan. Ia bahkan tak segan menitikkan air mata di hadapan sampah. Ya, aku sampah yang dia buang hanya, karena merasa malu pada karibnya.“Kenapa menangis? Saya masih hidup.” ucapku.“Ma

  • Catatan Usang   Akan Kubalas

    “Bukanlah, Adek tahu Mas pasti enggak akan kasih izin.”“Syukurlah, kalau memang bukan. Mas enggak mau kalau sampai kamu nekat melakukan sesuatu yang akan membahayakan keselamatanmu sendiri. Cukup Mas yang tanggung semuanya. Kau jangan melakukan apa pun.”“Siap komandan,” sahutnya dengan meletakkan telapak tangan di pelipis. Namun, entah kenapa perasaanku mengatakan jika ini semua tak mungkin berjalan begitu saja, semua terkesan terlalu mendadak.“Persiapkan fisik kamu Mas, operasi itu pasti butuh kondisi yang fit ‘kan?”“Selain itu uang juga tak kalah penting.”“Mas ini, Adek sudah katakan untuk menggadaikan sertifikat rumah.”“Kalau kita gadai rumah siapa yang akan membayar angsurannya? Setelah operasi masa pemulihannya pasti butuh waktu yang enggak sebentar.” Prily terlihat berpikir.“Kita jual mobil aja?” kata Prily.“Baru juga beberapa bulan kita pakai, masa udah mau dijual? Kita perlu loh Dek mobil untuk sehari-hari. Apa lagi pas kamu sakit kayak kemarin.”“Kita beli yang second

  • Catatan Usang   Kabar Baik

    “Kamu kok pucat, Sayang?”“Aku? hmm ah, masa sih?” Ekspresi keterkejutan di wajahnya tak mampu lagi ia sembunyikan, meski begitu tetap saja, ia masih saja mengelak.“Aku baik-baik aja, kok. Mas aja yang berlebihan, ini cuma karena kepanasan aja,”elaknya. Lantas, ia langsung mengayun langkah menuju dapur untuk kembali memasukkan beberapa hidangan yang sebelumnya telah ia siapkan.“Kalau sakit istirahat, kenapa harus memaksakan diri buat masak?”“Enggak masak kok, cuma angetin yang tadi pagi.”“Sama aja, istirahat saja dulu. Mas serius loh, mukamu pucat banget.”“Perasaan Mas aja kali. Hm begini aja deh, aku mau mandi aja dulu.” Prily tampak mencium aroma pakaiannya. Lantas, bibirnya mengerucut.“Tuh, sudah bau kecut, ini nanti kalau udah bunyi. Minta tolong di keluarkan ya, Mas. Takutnya aku lama di kamar mandi,” tunjuknya pada benda kotak yang panas itu.“Siap, ”ucapku sambil mengacungkan ibu jari yang langsung disambut dengan satu senyuman manis dari istriku.‘Sayang seberapa pun kam

  • Catatan Usang   Di Balik Senyum

    “Tolong jangan melakukan sesuatu yang nantinya malah membahayakan dirimu sendiri!” Sekali lagi Prily justru membingkai senyum.“Memangnya Mas pikir aku mau melakukan apa?”“Syukurlah kalau memang tidak.”“Ayo masuk. Aku siapkan makanan buat kamu,” katanya sambil menggandeng lenganku dengan lembut. Kau tahu, sejak aku mengatakan semuanya. Aku merasa sikap Prily terlalu berlebihan dalam menjagaku. Berkali-kali ingin memprotesnya, tetapi lagi-lagi dia berlindung di balik kalimat bahwa ia hanya ingin berada di dekatku sampai akhir.Seperti malam ini, dia memasak bahkan membuat jus nanas. Manis, tetapi aku paling tidak suka jika setiap malam setelah aku terlelap dia akan pergi diam-diam ke luar kamar hanya untuk pergi dan berdiam diri di tempat ibadah.Dia akan menumpahkan tangisnya di sana, sendirian di mana tak akan ada seorang pun yang akan mengetahui. Termasuk aku. Dia yang ketika pagi, siang dan sore hari selalu membingkai senyum, kenyataannya dia begitu rapuh saat sdang sendiri. Kala

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status