“Aku enggak bisa menceraikan dia Ayah. Selamanya dia akan tetap jadi istriku.”
Aku tidak akan pernah melepasnya. Setelah dia berkorban begitu banyak hanya demi mendapat keturunan dariku. Bagaimana bisa aku melepasnya begitu saja.
“Jangan terlalu percaya diri. Apa istrimu bersedia hidup sama kamu!” sindir Ayahku.
“Prily katakan sesuatu, kamu mencintaiku ‘kan? Jangan diam saja. Yakinkan mereka kalau kita memang sama-sama ingin melanjutkan pernikahan ini,” ucapku sembari menggenggam kedua tangannya erat-erat.
“Lihat ‘kan dia diam saja,” sindir Ayah.
“Dia pasti mau Ayah. Prily bahkan sangat menginginkan anak dariku. Bagaimana dia mau meninggalkan pernikahan ini begitu saja.”
“Ly, Sayang please katakan sesuatu. Kasih Mas kesempatan buat memperbaiki segalanya. Kamu ingin kita punya anak ‘kan. Kita akan punya anak, Sayang. Setelah kamu sembuh. Kita akan mulai program hamil. Lupakan tentang mobil dan impianku. Sekarang hanya akan ada impianmu dan impian kita. Kamu ingin berapa anak 2, 3 atau 5? Aku akan setuju apa pun itu.”
“Cukup!”
Ayah Jery tiba-tiba berteriak dengan suara yang bergetar. Terlihat sekali dia menahan amarah.
“Bram, bawa anakmu keluar,” katanya masih dengan suara yang bergetar. Pria yang duduk di kursi roda itu bahkan bicara tanpa menatap ayahku.
“Jer, maafin aku. Aku benar-benar gagal mendidik dia sebagai lelaki. Kamu tenang saja. Aku akan membuatnya menjauhi putrimu.”
“Ayo pergi, Juna! Kamu masih punya malu enggak, untuk apa masih di sini?”
Ayah bahkan menyeretku dengan kasar.
“Perlu bantuan enggak, Om?” tawar Hisyam. Anak kecil itu, awas saja kuberi pelajaran nanti.
“Ya, seret laki-laki tak tahu diri ini.”
“Siap, Om.”
“Ayo keluar, Mas. Mau kuseret atau keluar sendiri,” tawar Hisyam, dengan wajah yang meremehkanku.
“Dia istriku, enggak ada siapa pun yang berhak mengusirku keluar dari sini! Kecuali dia yang memintaku keluar. Aku enggak akan pergi dari sini.”
Sekarang semua orang tengah menatap ke arah Prily, wanita itu bahkan masih saja bertahan untuk menutup mulutnya rapat-rapat. Namun, kali ini matanya bergerak ke arahku.
“Sayang,” lirihku. Kembali kukecup lengannya. Berharap dia tak mengusirku keluar. Hanya dia harapanku yang terakhir.
“Kasih aku waktu, Mas,” ucap Prily.
“Apa maksud kamu, Ly. Bukankah kamu baru saja bilang ingin punya anak dariku. Hanya karena mereka menyuruh kita bercerai. Kamu berubah secepat itu? Benarkah kamu memang menginginkan perpisahan ini. Dengar, aku memang salah, tapi ....”
“Mas, maaf aku memotong ucapan. Bisakah kamu tenang sedikit. Izinkan aku bicara,” pangkas Prily.
“Oke, lanjutkan saja.”
“Pertama bagiku mereka sangat penting bukan sekedar hanya, seperti yang Mas ucapkan barusan. Mas membuat ayah dan Ibuku bersedih bahkan juga orang tuamu. Kita telah mengecewakan banyak orang. Entah siapa yang salah, aku melakukan ini juga berdasarkan cara Mas memperlakukanku.”
“Apa maksudmu, Sayang. Kamu sudah sakit begini masih saja membela suamimu,” ucap Ibu mertua.
“Harusnya Ayah tak memintamu menikah dengan dia. Maafkan ayah.” Sekarang Ayah Jery malah menjadi emosional.
“Enggak ada yang salah. Enggak perlu menyesal juga. Semua ini juga udah takdir Allah. Mas Juna yang mengajarkan aku buat hemat, maka aku pun melakukannya demi bisa mencapai tujuanku. Bukan Mas Juna yang menyuruhku melakukan ini. Maafin aku ya, kalau caraku salah dan nyakitin kalian semua.”
“Kamu enggak salah. Sejak awal dia yang salah. Memaksamu menunda memiliki momongan. 5 tahun itu bukan waktu yang sebentar, Sayang. Kamu melakukan ini demi laki-laki tak tahu diri itu.”
“Ibu istigfar, dia masih suamiku."
“Masih saja kau membelanya.”
“Ibu, jangan nangis. Bukankah di balik sikap hematnya dia masih peduli dengan keluarga kita. Dia rela membiayai kehidupan kita selama 5 tahun ini. Padahal seharusnya itu di luar tanggung jawabnya.”
“Jadi karena itu kamu melakukan ini? Kamu mengorbankan banyak hal demi kami?”
“Enggak, aku hanya mencoba menjalani takdirku. Terlepas dengan masalah ini, aku anggap ini ujian rumah tanggaku. Untuk itu beri kami waktu untuk berpikir. Biar ke depannya enggak ada lagi penyesalan karena telah mengambil keputusan yang salah. Bukankah Ibu selalu bilang jangan mengambil keputusan saat emosi?”
“Ibu menyesal mengatakan itu padamu. Kamu enggak seharusnya begini. Dia enggak pantas jadi suamimu. Maafin Ibu. Maafin kami yang membuatmu menderita.”
“Enggak ada yang salah. Allah hanya sedang menguji kita. Jangan bilang ini salah Ibu lagi. Jangan menangis ya. Prily ikhlas kok.”
“Mas, pergi aja ya. Kasih aku waktu.”
“Kamu mau meninggalkanku, Ly?”
“Udah ayo, Mas. Jangan banyak dramalah.”
Belum sempat Prily menjawabnya. Hisyam malah lebih dahulu menarikku. Entah kenapa perasaanku mendadak tak enak. Ibu dan ayah mertuaku, seperti membisikkan sesuatu pada istriku.
Seketika Prily tampak terkejut, tetapi kemudian sudut matanya kembali basah. dia terlihat begitu emosional. Lantas dia tiba-tiba menatapku, tetapi sekali lagi Ibu mertua kembali membisikkan sesuatu, dan justru membuat Prily semakin berlinang air mata.
Sayang sekali aku tak bisa mendengarnya. Hisyam lebih dulu menarikku menjauh. Padahal melihatnya begitu sedih, aku merasa khawatir. Dokter berpesan untuk menjaga perasaannya. Namun, Hisyam semakin membawaku menjauh. tenaganya benar-benar tak bisa diremehkan.
“Hisyam, tunggu!”
Akhirnya Prily memanggilku juga. Dia pasti akan memaafkanku seperti biasa.
“Lepas!”
Aku mengentak lengan agar terlepas dari genggaman anak sombong itu.
“Sayang, kamu mau ngasih Mas kesempatan ‘kan? Kamu juga kenapa sampai menangis begini, Ibu bilang apa ke istriku. Ibu seharusnya, tidak membuatnya stres. Ini enggak baik buat kesehatannya,” ucapku.
Sekarang aku kembali berada di sisi ranjang Prily. Masa bodo kalau Ibu mertuaku akan tersinggung. Aku hanya peduli pada Prily, terlalu banyak yang dia korbankan demi pernikahan ini, tak akan kubiarkan satu orang pun menyakitinya.
“Mas ...."
Prily berusaha menggapai lenganku.
"Iya, Sayang. Mas di sini."
"Kadang-kadang kita perlu berpisah sebentar supaya kita menyadari arti seseorang bagi dari kita sendiri.”
“Maksud kamu?”
“Pergilah, untuk semen ...."
“Kamu tadi mohon-mohon buat punya anak sekarang malah mau bercerai. Aku tidak akan mengabulkannya. Bukankah kalian yang meminta kami menikah. Sekarang apa kalian juga akan memaksa kami kembali untuk bercerai? Apa kamu enggak pernah menaruh perasaan sedikit pun. 5 tahun kita bersama. Hanya karena mereka memilih bercerai kau melakukannya. Mereka suruh kamu mati. Kamu mau ikuti juga, hah?”
Prily terdiam.
“Kamu benar-benar enggak punya prinsip! Ini hidupmu harusnya kamu punya keputusan sendiri. Kamu ini bukan anak kecil lagi, yang semuanya harus berdasarkan kemauan orang tuamu.”
“Dari awal hubungan kita memang atas kemauan mereka ‘kan? Asal mereka ridho aku mau menjalankannya.”
“Kau, ucapanmu itu ....”
“Kenapa?”
Sangat menyakitiku, Prily.
Jadi selama 5 tahun ini. Kau menganggapku apa? Pantas saja kau tak pernah protes. Ternyata aku memang tak pernah berarti untukmu.
Aku bahkan menganggap pengorbananmu 4 tahun ini, demi bisa mendapatkan keturunan dariku, itu karena kamu benar-benar mencintaiku. Semuanya hanya demi orang tuamu.
“Apa kamu enggak pernah menganggapku suamimu selama 5 tahun ini?” tanyaku.
Dia diam saja.
“Jangan bilang kamu menjalankan rumah tangga ini hanya demi orang tuamu?” tanyaku.
“Jangan diam saja! Jawab Prily, apakah kau akan rela menjual tubuhmu demi mereka juga?” cibirku kesal.
Aku sudah tak tahan lagi. Beraninya dia mempermainkanku selama ini.
“Arjuna! Tutup mulutmu, kau sudah tidak waras.”
“Ayah, tolong jangan ikut campur. Aku sudah lelah dengan semua ini. Selama ini aku sudah menuruti keinginan kalian. Sekarang biarkan aku mengurus keluargaku sendiri.”
“Kumohon kalian semua pergi! Kami benar-benar butuh waktu berdua.”
“Arjuna jangan keterlaluan!” sentak Ayah.
Entah mendapat keberanian dari mana. Aku benar-benar hilang kendali. Aku hanya ingin bicara berdua dengan istriku sendiri. Kenapa sesulit ini.
“Kubilang pergi, PERGI! Atau perlu aku mendorong kalian semua satu persatu. Dengar! Aku yang paling berhak atas Prily. Kalian tak berhak mengaturnya untuk tetap tinggal atau pergi!”
PoV Prily“Apa kamu juga akan rela menjual tubuhmu demi orang tuamu? Kamu benar-benar enggak punya prinsip!”Mas Arjuna berteriak, sorot matanya memerah menatapku dengan penuh amarah. Aku bahkan baru melihatnya semarah itu sejak pernikahan kami 5 tahun lalu. Tubuhku gemetar, melihat dia yang terus mengusir satu persatu ayah dan ibu bahkan kedua orang tuanya sendiri.Dia yang kukenal selalu menghormati mereka meski terkadang kesal, dia memilih menyimpannya sendiri. Aku bisa tahu, karena sering kedapatan dia menggerutu sendirian di kamar.“Kenapa kau melihatku seperti itu?” tanya Mas Juna, mungkin dia sadar sejak tadi aku terus melihat ke arahnya.“Aku hanya meminta kita berpisah untuk sementara kamu harusnya enggak memperlakukan mereka seperti itu. Bagaimana pun mereka orang tua kita.”“Iya, orang tua yang egois. Suka memaksakan kehendak, memaksa anak-anaknya menikah lalu sekarang seenaknya juga memaksa mereka bercerai! Orang tua seperti itu yang harus kuhormati?”Mas Juna begitu emosi
Sejak pulang dari tempat itu Ibu memaksaku meminum banyak obat setiap hari. Baru kemarin aku tahu mereka mencoba melakukan hipnoterapy untuk menghilangkan ingatanku pada Akbar. Mereka memaksaku percaya kalau Akbar sudah meninggal. Aku seperti orang gila terus mendoakan agar aku tenang di surga tapi nyatanya, kabar kematianmu hanya sebuah rekayasa. Kenapa kamu begitu, Akbar? Apa kamu tak pernah mencoba mencariku? Kenapa kamu mematahkan hatiku, setelah kau berjanji untuk menjaganya agar tetap baik-baik saja. Kau tahu bahkan hidupku telah berhenti sejak saat ayahku membawa kabar kematianmu. Kau tahu berapa banyak derita yang kulalui setelah kepergianmu? Demi terus hidup aku harus menikah dengan pria asing. Aku pikir semua pria akan sama sepertimu. Lembut, penuh perhatian dan tak pernah perhitungan. Kenyataanya dia begitu berbeda. Dia sering marah hanya karena aku membeli barang yang mahal. Akbar, apa kau marah padaku. Sehingga kau meminta Tuhan mengirim suami sepertinya untukku. Kau pe
Plak!Ayah tiba-tiba saja menamparku. Rupanya mereka masih menunggu di luar, setelah aku berhasil mengusir semua orang. Saat itu jam kunjung memang sudah habis jadi yang diperbolehkan masuk hanya satu orang saja. Tentu aku memanfaatkan kesempatan itu untuk membuat mereka pergi, karena dalam hal ini aku yang paling berhak atas istriku sendiri. Terlepas mereka orang tuanya. Sekarang tanggung jawab itu sudah berpindah padaku.“Ayah kenapa lagi?”“Jangan panggil aku Ayah, selama kamu belum menceraikan istrimu!”“Ayah, yang anakmu itu dia atau aku?” Saat itu Ayah sudah bersiap menamparku kembali kalau saja Ibu tidak menahannya. Sudah pasti tak akan terelakkan lagi.“Berani kamu mengatakan itu padanya. Kau tahu kalau bukan karena Jasa mertuamu mana bisa kita hidup dengan layak. Kau tahu berapa banyak hutangku yang sudah dia bayar tanpa meminta ganti sedikit pun? Kau tahu rasanya dipukuli rentenir hanya karena tak bisa bayar hutang, bahkan Ibumu hampir dipaksa melayani nafsu mereka hanya ka
“Kita hidup masing-masing. Apa masih kurang jelas? Tenang saja, aku akan tetap menafkahimu seperti biasa. Oh, tidak mulai besok. Aku akan memberikanmu lebih banyak uang. Begitu ‘kan yang kamu mau?” Aku tersenyum, sengaja ingin tahu bagaimana respons Prily, ketika aku mengikuti semua permintaannya.“Satu lagi, kau boleh bekerja. Mulai hari ini lakukan saja semua yang kau sukai. Aku tidak akan melarangmu.”“Mas cukup! Aku tahu kamu marah, tolong jangan diteruskan.”“Diam! Aku belum selesai bicara.” Entah kenapa aku menangkap raut sendu dari wajah cantiknya. Ah, bukankah dia memang pandai memainkan peran. Aku tidak akan tertipu lagi. Cukup 5 tahun, aku menganggap semua perlakuanmu itu sebuah ketulusan. Ke depannya jangan harap wajahmu itu akan membuatku luluh.“Lupakan soal anak!” tegasku“Mas …” Suara Prily terdengar memelas. Mulai hari ini aku tidak akan membuat semuanya menjadi mudah Prily. Bukankah kau suka bermain tarik ulur? Sayangnya perasaanku bukan layangan yang bisa kau mainkan
PoV 3Tunggu dan bersiaplah, akan ada kejutan menarik buat kamu. Kau pasti akan suka, Sayang.“Kau gugup, Sayang? Lihat apa?” Arjuna tersenyum mengejek, begitu pandangan istrinya beralih pada beberapa karangan bunga yang terpampang memenuhi setiap sudut halaman depan Lazuardy Hotel & Resort. Mirza Akbar Lazuardy, deretan nama yang selama ini selalu memenuhi hati Prily. Hari ini suaminya sendiri yang mengantarnya bertemu sosok itu. Perasaan gugup bercampur takut, membuat wajah Prily seketika memucat.“Mas, kita pulang aja yu!" ajak Prily yang sedikit memelas. Jelas saja Arjuna menolak. Pria itu justru menarik lengan istrinya, lalu menggenggamnya perlahan. Dia harus menurunkan ego, setidaknya agar rencananya berjalan lancar. Tak hanya itu, Arjuna bahkan menarik pinggang ramping istrinya, demi memangkas jarak yang tercipta di antara mereka. “Kenapa mau pulang? Aku susah payah membelikanmu gaun. Kau juga sudah berdandan cantik. Sayang kalau kita tidak masuk ke dalam dulu. Ayolah, hanya
“Aku tidak suka perempuan yang ragu-ragu, kau yakin dengan apa yang kau ucapkan barusan?” tanya Arjuna“Jelas, harusnya aku menyadari sejak dulu kalau kamu bukanlah pria yang layak untuk dijadikan suami!” tegas Prily, bersama dengan tatapannya yang tajam, menyiratkan bahwa benar yang baru saja dia katakan adalah sebuah kebenaran.“Perhitungan, pelit, semaunya sendiri. Suami yang selalu mengumbar kebaikannya pada semua orang, aku yang membiayai keluargamu, ini itu semua harus dicatat, katakan! Apa yang baik darimu? Enggak ada Mas.” Wanita itu bahkan menirukan gaya saat suaminya bicara.Ada kepuasan sendiri bagi Prily, setelah berhasil mengungkapkan semua yang dia pendam selama 5 tahun terakhir. Tak ada penyesalan sedikit pun. Dia tak salah dan tak perlu meminta maaf. Merasa bahwa kebenaran berada di pihaknya. Tekadnya sudah bulat, ia berjanji mulai hari ini tak akan membiarkan Arjuna menggoreskan lara di hatinya lagi. Entah dengan penolakannya atau mengabaiannya.“Hanya karena punya ba
“Cium aku!” Arjuna semakin menekankan wajahnya. Wanita itu sudah tak bisa menghindar selain menuruti kemauan pria mabuk yang berada di hadapannya. Ini sudah tidak benar, ia meyakinkan diri untuk tak larut dalam suasana. Sudah lama Arjuna tak pernah menyentuhnya, pria itu terlalu menjaga jarak sejak ia masuk rumah sakit. Masih terekam jelas bagaimana pria itu selalu mengumpatnya.“Aku tidak suka perempuan sakit,” katanya hampir setiap malam, ketika di mana seharusnya suami istri saling bicara. Dia justru memilih mengumpat habis-habisan. Belum lagi puluhan kalimat lain yang menyesakkan dada. Kini kalimat itu seolah terdengar bersahutan di indra pendengaran Prily. Perlahan hatinya berdesir nyeri, ada kebencian yang menjalar.“Ah, lepas! Pria jahat, kau itu jahat tahu!” Wanita dengan pasmina warna nude itu mengusap bibirnya dengan kasar, lupa kalau sebelum pulang dari pes ia baru saja touch up pewarna bibirnya itu, hingga sebagian pipinya menjadi merah. Ia mendorong dengan sekuat tenaga
“Aku enggak bisa, Bu.” Prily segera beranjak pergi hendak menuju kamarnya. Hari ini tubuh dan psikisnya benar-benar lelah. Tempat tidur lebih ia butuhkan dari pada sebuah nasehat atau paksaan. Tiba-tiba ia teringat akan Arjuna yang selalu mengejeknya perempuan yang tak berprinsip. Selama ini Prily hidup dalam bayang-bayang orang lain. meksi kali ini tekadnya bulat, untuk pisah dari Arjuna. Ia ingin mengurusnya sendiri. Akbar atau orang tuanya tak boleh lagi ikut campur.“Mau ke mana?” Bu Rania mencekal tangan Prily, saat ia sudah hampir mengunci pintu. Pliry sudah sangat kesal. Mereka selalu saja memegang kendali dalam setiap kali keputusan penting dalam hidupnya.“Apa Ibu enggak pernah mengajarkan kamu sopan santun? Ada tamu di luar kamu malah pergi ke kamar.”“Lalu kenapa Ibu diam aja saat dulu Ayah mengusir Akbar dan keluarganya dengan sangat tidak hormat?”Plak!Bu Rania masih mencoba mengatur nafasnya. Tamparan yang mendarat di pipi Prily meninggalkan jejak panas dan perih yang m
“Hisyam, kamu tidak ingin berkata apa pun?”“Aku hanya ingin minta maaf Mbak. Seharusnya aku enggak ikut membencimu.”“Sudahlah, Mbak titip Ayah sama Ibu ya.”“Memangnya Mbak mau ke mana, tolong jangan bikin Hisyam takut.”“Sayangi mereka, Hisyam … berjanjilah.” Bahkan pemuda yang biasanya tampak acuh, hari ini terlihat begitu rapuh.“Hisyam janji, Mbak.”“Ayah.”“Iya, Sayang.”“Lihat dia, bukankah suamiku sangat tampan?" tanya Prily. Sejenak membuat Ayah Jeri memutar kepala ke arah Arjuna.“Iya, dia sangat tampan."“Jangan membencinya lagi, Ayah. Aku sudah sangat bahagia, percayalah.”“Ayah tidak akan membencinya Nak, tapi bisakah kamu berhenti menakuti kami. Dokter pasti bisa sembuhin kamu. Berapa pun biayanya biarlah kami yang membayarnya. Kalau perlu jual saja rumah kami untuk biaya pengobatanmu.” Sekali lagi Prily hanya tersenyum saja.“Dokter, putri saya pasti bisa sembuh ‘kan?” tanya Ayah Jeri. Sayangnya tak mendapat jawaban dari dokter di belakangnya. Namun, ia bukan orang bod
Masa bodo dengan norma dan kesantunan. Wajah yang selalu tampak ramah itu hari ini hanya ada kemarahan di sana. Siapa pun yang menyaksikannya malam itu dibuat merinding. Beberapa warga tampak menahannya, tetapi Arjuna tetap bersikukuh ingin merusak pintu pagar yang terbuat dari besi itu dengan menginjaknya berulang kali. Tak ia pedulikan rasa sakit yang di kakinya. Hanya ada satu wajah yang ada dalam benaknya. Wajah yang selama sembilan bulan ini selalu menyembunyikan kesedihan di balik senyumnya itu sungguh membuatnya semakin muak dengan semua penghuni di rumah ini.Sampai akhirnya ketiga orang yang berada di dalam rumah itu keluar.“Apa kamu sudah gila membuat keributan di jam malam begini?” sentak Ayah Jeri dengan wajah yang merah padam.“Ya, saya gila karena Anda. Anda yang membuat istri saya bersedih sepanjang hari hingga berbulan-bulan. Anda tahu hari ini dia hanya ingin bertemu orang tuanya, tapi sungguh dua orang itu benar-benar egois. Bahkan sedikit pun tak punya belas kasiha
“Mulai besok biar Mas yang membersihkan rumah.”“Mana bisa begitu? Aku masih sehat, kalau sekedar mengurus rumah, itu bukanlah pekerjaan yang berat. Mas jangan terlalu berlebihan! Masa iya sepanjang hari aku hanya berbaring di tempat tidur. Itu sangat membosankan,” elaknya saat pasangan itu kembali ke rumah.“Ini perintah, tidak ada tapi.” Prily tampak menghembuskan nafas kasar. Seorang yang aktif sepertinya tentu saja tak akan setuju.“Mas hanya ingin menjagamu dan bayi kita. Menurutlah sekali, enggak akan lama kok.”“Tapi, aku rasa ini terlalu berlebihan.”“Rumah ini besar, kamu tidak akan sanggup membersihkannya sendirian setiap hari dengan keadaan yang seperti ini. Biar Mas, yang pikirkan bagaimana cara mengurusnya. Mungkin kita akan membayar pekerja part time sesekali.”“Keuangan kita belum stabil, bagaimana bisa kita mengeluarkan uang selagi kita bisa menghematnya?” Kali ini Arjuna yang semula berdiri mendadak menekuk lutut tepat di depan Prily. Tangannya perlahan mengusap lutut
Semula Arjuna berpikir semua akan kembali baik-baik saja, bahwa pernikahannya akan berjalan lancar. Tak ada lagi rasa sakit, khawatir atau pun ketakutan. Mereka akan punya banyak anak, menemani mereka sekolah, sampai tumbuh dewasa. Lalu, menyaksikan saat mereka menemukan pasangan hidup. Sungguh rencana yang bahagia, akan tetapi ia lupa bahkan terkadang rencana yang dirancang begitu sempurna pun bisa gagal hanya dalam sekejap mata.Sore itu dibantu Andika tetangga samping rumahnya. Mereka melajukan mobil dengan kecepatan maksimal menuju rumah sakit. Pria itu langsung tanggap menawarkan bantuan, seolah mengerti di situasi panik, Arjuna akan kesulitan berkonsentrasi dalam menyetir.“Bisa lebih cepat enggak, Mas?” pinta Arjuna, sesekali ia mengusap peluh yang mulai menetes membasahi wajah lelahnya seusai bekerja itu. Prily yang kini berbaring di pangkuannya bahkan sesekali ikut terguncang, saat sesekali melintas pada jalanan yang berlubang. Andika memilih mengiyakan perintah itu, meski se
“Mas.” Prily buru-buru menutup kembali pakaiannya, lalu bangkit dan meraih lenganku.“Maafin aku, Mas. Aku enggak bilang sama kamu dulu. Aku tahu kamu pasti enggak akan setuju, tapi aku enggak bisa Mas, aku enggak akan sanggup melihat kamu meninggalkan aku lebih dahulu.”“Kenapa, Prily?”“Karena aku mencintai kamu.”“Kamu bodoh, untuk apa mempertaruhkan hidupmu demi orang sepertiku?”“Lalu, bagaimana caranya aku harus berterima kasih? Katakan.”“Tetaplah hidup bersamaku.”Sungguh aku sama sekali tidak senang, aku sering membaca artikel tentang orang yang hidup dengan satu ginjal, itu sangat tak mudah. Dia masih muda, seharusnya dia tak sekonyol ini mengorbankan hal paling vital bagi kelangsungan hidupnya. Malam itu aku benar-benar bingung, meski Prily terus meyakinkan dengan dalih jika dia akan menjaga kesehatan dan pola hidupnya dengan sebaik-baiknya tetap saja semua tak akan lagi sama. Ceroboh, bagaimana bisa aku sampai kecolongan memberi tanda tangan pada surat persetujuan itu.“Ka
Hari demi hari berlalu, tetapi tak tampak kehadiran Prily. Pergi ke mana dia sebenarnya, jika benar apa yang dikatakan Nadia jika selama aku tak sadarkan diri ia terus berada di dekatku kenapa begitu aku terjaga. Justru tak pernah sekali pun wajahnya tampak di dekatku. Bahkan sudah sepekan aku berbaring tapi, ia berbohong. Mengatakan jika akan selalu di sisiku, tapi hari ini kenapa pergi.“Assalamu’alaikum,” ucap seseorang dari arah luar. Aku jelas mengenali suara itu. Namun, sungguh bukan aku tak mau bertemu dengan mereka. Hanya saja bukan mereka yang ingin kutemui.“Nak, ini kami Ibu sama Ayah,” lirih suara Ibu yang terdengar bergetar. Kedua matanya bahkan memerah seiring dengan tangannya yang mengusap pelan pergelanganku. Sementara Ayah pria yang selalu tegas dan penuh wibawa itu kini terlihat menyedihkan. Ia bahkan tak segan menitikkan air mata di hadapan sampah. Ya, aku sampah yang dia buang hanya, karena merasa malu pada karibnya.“Kenapa menangis? Saya masih hidup.” ucapku.“Ma
“Bukanlah, Adek tahu Mas pasti enggak akan kasih izin.”“Syukurlah, kalau memang bukan. Mas enggak mau kalau sampai kamu nekat melakukan sesuatu yang akan membahayakan keselamatanmu sendiri. Cukup Mas yang tanggung semuanya. Kau jangan melakukan apa pun.”“Siap komandan,” sahutnya dengan meletakkan telapak tangan di pelipis. Namun, entah kenapa perasaanku mengatakan jika ini semua tak mungkin berjalan begitu saja, semua terkesan terlalu mendadak.“Persiapkan fisik kamu Mas, operasi itu pasti butuh kondisi yang fit ‘kan?”“Selain itu uang juga tak kalah penting.”“Mas ini, Adek sudah katakan untuk menggadaikan sertifikat rumah.”“Kalau kita gadai rumah siapa yang akan membayar angsurannya? Setelah operasi masa pemulihannya pasti butuh waktu yang enggak sebentar.” Prily terlihat berpikir.“Kita jual mobil aja?” kata Prily.“Baru juga beberapa bulan kita pakai, masa udah mau dijual? Kita perlu loh Dek mobil untuk sehari-hari. Apa lagi pas kamu sakit kayak kemarin.”“Kita beli yang second
“Kamu kok pucat, Sayang?”“Aku? hmm ah, masa sih?” Ekspresi keterkejutan di wajahnya tak mampu lagi ia sembunyikan, meski begitu tetap saja, ia masih saja mengelak.“Aku baik-baik aja, kok. Mas aja yang berlebihan, ini cuma karena kepanasan aja,”elaknya. Lantas, ia langsung mengayun langkah menuju dapur untuk kembali memasukkan beberapa hidangan yang sebelumnya telah ia siapkan.“Kalau sakit istirahat, kenapa harus memaksakan diri buat masak?”“Enggak masak kok, cuma angetin yang tadi pagi.”“Sama aja, istirahat saja dulu. Mas serius loh, mukamu pucat banget.”“Perasaan Mas aja kali. Hm begini aja deh, aku mau mandi aja dulu.” Prily tampak mencium aroma pakaiannya. Lantas, bibirnya mengerucut.“Tuh, sudah bau kecut, ini nanti kalau udah bunyi. Minta tolong di keluarkan ya, Mas. Takutnya aku lama di kamar mandi,” tunjuknya pada benda kotak yang panas itu.“Siap, ”ucapku sambil mengacungkan ibu jari yang langsung disambut dengan satu senyuman manis dari istriku.‘Sayang seberapa pun kam
“Tolong jangan melakukan sesuatu yang nantinya malah membahayakan dirimu sendiri!” Sekali lagi Prily justru membingkai senyum.“Memangnya Mas pikir aku mau melakukan apa?”“Syukurlah kalau memang tidak.”“Ayo masuk. Aku siapkan makanan buat kamu,” katanya sambil menggandeng lenganku dengan lembut. Kau tahu, sejak aku mengatakan semuanya. Aku merasa sikap Prily terlalu berlebihan dalam menjagaku. Berkali-kali ingin memprotesnya, tetapi lagi-lagi dia berlindung di balik kalimat bahwa ia hanya ingin berada di dekatku sampai akhir.Seperti malam ini, dia memasak bahkan membuat jus nanas. Manis, tetapi aku paling tidak suka jika setiap malam setelah aku terlelap dia akan pergi diam-diam ke luar kamar hanya untuk pergi dan berdiam diri di tempat ibadah.Dia akan menumpahkan tangisnya di sana, sendirian di mana tak akan ada seorang pun yang akan mengetahui. Termasuk aku. Dia yang ketika pagi, siang dan sore hari selalu membingkai senyum, kenyataannya dia begitu rapuh saat sdang sendiri. Kala