17 tahun kemudian...
Suasana pagi ini tak terlalu menenangkan.
Hiruk pikuk keadaan jalan raya begitu memperlihatkan suasana di pagi hari yang memang terkadang agak ramai dibanding hari-hari lainnya.
Iya.
Hari ini adalah hari Senin.
Orang-orang tampak sibuk berangkat kerja ataupun sekolah sepagi mungkin.
Mungkin hari Senin bisa kita ibaratkan sebagai rajanya macet. Entah dari kota atau daerah pinggiran kota, semuanya sama saja.
Semua orang sangat sibuk dengan urusannya masing-masing.
Apalagi jika malamnya hujan deras, maka sebagian orang sudah ada yang tahu kalau salah satu daerahnya akan ada yang terkena banjir.
Bukan karena sok tahu, tapi karena memang sudah kenyataannya seperti itu.
Hampir dari semua anak-anak yang sekolah juga, berlomba-lomba untuk bisa bangun sepagi mungkin.
Tapi tetap saja di antara semua fenomena itu, masih ada segelintir orang yang santai dan tidak mempedulikan keadaan nanti.
Hal itupun memang tengah dialami oleh seorang anak dari salah satu keluarga kecil yang tinggal di perumahan elit.
Namanya adalah Rumi Azazil Mauza.
Setelah bangun tidur, dia berjalan lunglai ke kamar mandi untuk mempersiapkan diri ke sekolah.
Meski saat ini upacara, tapi dia tidak peduli mau terlambat ataupun tidak.
Bahkan kalau nanti dia dikeluarkan dari sekolah pun, dia tidak akan peduli.
"Heh brengsek! Cepetan!" seperti biasa, dia selalu mendengar ada seseorang yang menggedor pintu kamar mandi dengan kasar ketika dirinya masuk.
Padahal orang yang menggedor tahu kalau Rumi baru saja masuk ke dalam kamar mandi beberapa menit yang lalu.
Tapi dirinya seperti tidak boleh diberi kesempatan lebih untuk lama-lama di sini.
Rumi mempercepat kegiatan mandinya lalu keluar.
Dia hanya mendapati sepasang mata dengan tatapan yang dingin dan tak pernah memberi sedikit pun senyuman kepada dia.
Mata itu yang selalu ia lihat setiap pagi, setiap siang, setiap malam bahkan setiap hari.
Tidak ada perubahan sama sekali dari waktu ke waktu.
"Lho jaket gue mana ya?" gumamnya sambil mencari-cari jaket yang ia maksud di dalam lemari kamarnya.
Dia belum tua dan bukan juga pelupa.
Rumi masih ingat betul ketika malam kemarin dia menyimpan jaket itu ke dalam lemarinya. Dan setelah itu, dia tidak lagi memegang ataupun menyimpan alih jaketnya di mana.
Pria itu terdiam sesaat. Meskipun masih pagi, tapi emosinya sudah biasa terpacu keruh dan tidak menenangkan.
Setelah selesai bersiap-siap, secepat kilat Rumi mengambil tasnya kemudian turun ke bawah dan menghampiri seorang pembantu yang sudah bekerja belasan tahun di rumahnya ini.
"Bi?" sapanya sambil memakai sepatu. "Lihat jaket Rumi yang masih baru itu nggak? Yang warna hitam."
Bi Nia, wanita setengah baya yang sedang menyapu dapur itu..., perlahan menghampiri anak tuannya.
"Yang dua hari lalu baru dibeli itu bukan, dek?"
Rumi mengangguk. "Iya. Lihat engga?"
"Aduh saya lihat." ujarnya berbisik. "Tapi malam kemarin pas saya mau istirahat, saya lihat nyonya pergi ke belakang sambil bawa jaket adek yang itu."
"Wah? Kemana bi?"
"Ke belakang rumah. Karena penasaran, saya ikuti dari belakang dan ternyata...." Bi Nia menghentikan ucapannya karena dia merasa tak tega untuk mengatakan hal itu.
"Ternyata apa, bi?" Rumi penasaran.
"Maaf sebelumnya. Tapi saya lihat jaket adek dibakar di sana. Mungkin adek bisa ke belakang buat lihat bukti bekas bakarannya."
Rumi menghela napasnya berat. Tanpa mengucapkan sepatah apa pun lagi, dia lantas mengambil tasnya kemudian pergi dengan perasaan yang kacau dan bergemuruh.
"Dek? Adek belum makan dari malem! Makan dulu!" teriak Bi Nia sambil mengejar Rumi, tapi seorang wanita menarik tangannya.
"Jangan pernah paksa orang yang engga mau makan! Pergi sana. Mending buatin saya teh."
Wanita itu terlalu ketus hingga membuat Bi Nia hanya mengangguk kecil kemudian pergi dari sana.
Ada hati ingin sekali menangis dalam diri bi Nia.
Bukan karena dia tak tahan dengan sikap keras dari majikannya itu, tapi dia terlalu kasihan dengan sang anak yang setiap harinya selalu saja mendapat cobaan.
Terkadang hanya karena masalah kecil saja, piring dan mangkuk banyak yang pecah berantakan.
Rumi menjalankan motornya dengan kecepatan tinggi.
Dia sama sekali tak peduli dengan dirinya sendiri apakah mau tertabrak atau mati di tempat.
Justru mungkin, Rumi adalah salah satu manusia langka yang ada di dunia ini karena ketika dia pergi dari rumah, bukan keselamatan yang ia doakan.
Tapi dia, justru sangat berharap kalau dalam perjalanannya itu, dirinya ditabrak mobil, terluka parah hingga tak bernapas lagi.
Dia terlalu bosan dengan keadaan yang terus mengekang dirinya hingga sampai seperti ini.
Bosan, semangat pun rasanya sudah tidak ada lagi.
"Pak? Kok gerbangnya ditutup?" tanya Rumi pada salah satu satpam sekolah ketika dia sudah sampai di sana.
Satpam itu kebingungan karena melihat Rumi dengan rapinya sudah memakai seragam seperti siap untuk melaksanakan upacara.
"Eh kamu ini dari mana aja? Masa engga tahu kalau sekarang libur?"
Rumi membulatkan mata. Dia terdiam sambil menggaruk-garuk kepalanya tak gatal.
"Aduh. Kamu ngigau atau engga dengar omongan guru? Semua anak mungkin lagi pada tidur di rumahnya. Tapi kamu udah rajin-rajin ke sini kayak emang mau belajar. Emangnya nggak ngeliat grup kelas?"
"Engga, Pak. Saya jarang buka handphone." pria itu lantas pergi dengan perasaan yang masih dilanda kebingungan.
Bukan bingung kenapa dia tidak tahu kalau sekarang libur, justru dia bingung harus pergi kemana ketika ada libur seperti ini?
Apakah harus kembali ke rumah? Tapi rasanya tak mungkin.
Dia terlalu muak dengan kondisi rumah.
Bahkan kalau dirinya memiliki kekuatan lebih untuk bisa kabur dari sana, maka dari dulu dia sudah pergi dan tak akan pernah kembali.
Dia sudah berjanji pada dirinya sendiri bahwa suatu saat nanti, dia akan pergi dari sana bagaimanapun itu caranya.
"Brengsek! Gue harus kemana?"
Dia terus memutar otaknya agar bisa berpikir jernih.
Hidupnya benar-benar gelap.
Selama sekolah, dia tidak pernah memiliki teman dekat ataupun teman sebangku seperti orang lain.
Meskipun wajahnya tampan dan mampu menarik perhatian wanita, tapi bagi orang-orang yang sudah tahu sikapnya, Rumi perlahan dijauhi dan tidak ditemani oleh siapapun.
Dia tidak jahat ataupun brutal terhadap orang lain. Justru orang merasa aneh bahkan takut ketika melihat sikapnya yang tertutup dan tidak mau banyak bicara dengan orang lain.
Sorot mata tajam dengan Hoodie hitam yang selalu ia pakai, mampu membuat orang-orang merasa bahwa bisa saja Rumi adalah seorang psikopat.
Jadi belum juga dia didekati, orang-orang sudah berpikiran negatif dan memilih untuk menjauhinya.
Bahkan di kelasnya pun, tak ada satu orang pun yang berani bertanya atau pun mengajaknya bercanda.
Apalagi para wanita, dia benar-benar terlihat takut ketika bertemu dengan Rumi karena desas-desus psikopat yang kebenarannya tentulah bukan.
Dia tahu kalau dirinya tengah diperbincangkan seperti itu.
Tapi Rumi memilih diam daripada mengangkat suara karena percuma saja, tak akan ada orang yang bisa membela dia. Tak akan ada orang yang bisa percaya dan tidak akan ada orang yang mau mendengar semua pendapatnya itu.
Jadi Rumi memilih bungkam dan menganggap semua omongan itu hanyalah angin lalu saja.
...
Karena sudah sore, akhirnya pria itu memutuskan untuk kembali ke tempat peristirahatan.Iya.Baginya rumah hanya tempat peristirahatan saja.Tidak ada yang lebih istimewa daripada itu.Apalagi setelah tadi, ketika Rumi datang ke sekolah dan mendapati kabar bahwa hari ini libur, dia hanya memutuskan untuk jalan-jalan keliling daerah sana dengan niat menghabiskan bensin.Karena dia tidak tahu harus pergi kemana lagi.Mau main ke rumah teman? Tapi teman mana yang mau bermain dengannya?Mau pulang ke rumah? Tapi apa bisa dirinya tahan satu hari di sana tanpa bepergian?Tidak. Dia tidak akan tahan.Mungkin kalau tahan pun, Rumi akan seperti mayat hidup yang terus saja berjalan tanpa napas.Seperti biasa anak itu selalu pulang beberapa menit sebelum azan Magrib berkumandang.Dia tidak mau terlalu banyak bicara dengan semua orang yang ada di rumah. Karena bagi dia, semuanya begitu membosankan.Sekali lagi bagi Rumi, ru
"Dasar tolol! Bisa-bisanya dia nyimpen sepatu di sini. Kurang ajar banget tuh anak."Baru saja Rumi akan terlelap dari tidurnya, tiba-tiba dia mendengar suara gaduh hingga membuat matanya kembali terjaga.Iya.Suara itu tak lain dan tak bukan, milik dari seorang wanita penguasa di rumah ini.Dia terdiam di tempat tidurnya sambil terus memasang telinganya dengan jeli.Apa saja yang akan ibunya katakan di bawah sana.Lagipula apa masalahnya? Rumi hanya menyimpan sepatu di rak sepatu yang biasa dijadikan sebagai tempat untuk menyimpan alas kaki.Entah itu sandal ataupun sepatu.Apa hanya karena rak sepatu itu dipenuhi oleh sepatu mahal milik ibunya sehingga sepatu miliknya tidak boleh mengisi tempat kosong itu?Apakah sampai seketat itu peraturan di rumah ini?Dengan berani Rumi membuka pintunya lalu turun ke bawah.Dia mengambil sepatu sekolahnya yang sudah berantakan di mana-mana. Untung saja ada bi Nia di sana yang me
Kamu akan kembali pada Sang Pencipta ketika sudah waktunya.Percayalah.Kamu harus tetap menjadi dirimu yang kuat.Kamu boleh menangis.Tapi jangan sampai kamu menyerah....Setelah selesai meluapkan seluruh kekesalan dan kesesakan yang ada di dalam hati, Rumi menutup buku diary-nya dan memutuskan untuk kembali beristirahat di atas kasur.Perlu digarisbawahi.Keluarga Rumi adalah keluarga kaya yang hartanya melimpah karena dulu, ayahnya bekerja di pertambangan dan sudah menduduki jabatan tertinggi di sana.Kehidupan istri dan anaknya pun pasti terjamin.Namun siapa sangka dibalik kemelimpahan harta itu, ada seorang anak yang terabaikan bahkan selalu terpojokan.Rumi tak pernah mendapat kebahagiaan.Bahkan untuk kasur tidurnya saja, sudah tidak bisa kita katakan lagi sebagai kasur yang layak.Anak itu tak pernah meminta. Lagipula dia tidak peduli mau tidur tanpa alas atau di lantai sekalipun.Dia hany
"Gua udah cape liat wajah lu tau engga?" bentak Letty sambil mendorong sang anak hingga jatuh ke belakang.Untung saja Bi Nia datang, lantas membangunkan Rumi dari sana."Lu memang anak pembawa sial! Nggak pernah sekali aja lu bikin hidup gua tenang. Kehadiran lu merubah segala suasana. Lu seharusnya mikir jadi manusia! Ngotak dikit! Jangan pernah sok pengen kelihatan baik. Lu sama sekali nggak ada tandingannya sama siapapun! Lu cuma sampah!"Letty benar-benar jahat.Dia sama sekali tak pernah memikirkan bagaimana sakitnya sang anak ketika dibicarakan seperti itu.Letty memang bukan seorang ibu.Hati dia terlalu batu dan tidak mau menerima keadaan yang menimpanya.Tak hanya keluarga besarnya dia yang tidak menyukai Letty.Justru terkadang, tetangganya pun merasa kasihan mendengar Rumi yang terus saja dimarahi hanya karena hal sepele.Pernah waktu itu ketika hari Minggu, tetangga samping rumahnya sedang menyiram tanaman di depan r
Sepertinya, hanya orang-orang langka yang selalu menyalahkan dirinya sendiri atas semua kesalahan yang menimpanya.Berbeda dari seorang Rumi yang mungkin hidupnya tengah berada diambang hidup atau pun mati.Dia tidak menyalahkan dirinya sendiri saat ini. Mungkin kalau bisa kita teori kan, justru dia yang selalu disalahkan untuk semua permasalahan padahal dirinya tidak melakukan apa-apa ataupun berbuat sesuatu, tapi hanya hal sepele saja.Pernyataan tadi tidak berlaku bagi Rumi.Justru yang benar, adalah manusia langka karena benar-benar diperlakukan tidak buruk di dunia ini.Bukan oleh orang jahat ataupun orang lain.Justru yang paling menyakitkan, kesakitan itu berasal dari keluarganya sendiri.Bahkan tak jarang, seorang Rumi selalu mengeluh dan berdoa kepada Tuhan agar bisa mematikan dirinya di suatu tempat.Dia ingin mencapai kedamaian, yang mana dalam kedamaian itu tidak ada satu orang pun yang bisa mengganggunya lagi. Dia
Warna Fajar semakin terlihat terang.Aku memutuskan untuk bangun dari tempat tidur, dengan kondisi tubuh yang benar-benar pegal seperti remuk.Apalagi jika aku memegang area wajah, rasa sakitnya terasa sekali.Seperti biasa aku selalu membuka jendela kamar agar bisa menghirup udara sejuk di sini.Aku terdiam sesaat sambil memperhatikan warna indahnya matahari yang akan terbit.Angin sejuk menyelinap masuk ke dalam tulangku yang hampir tak berdaging.Sebelum memutuskan untuk mandi dan bersiap-siap ke sekolah, aku selalu terdiam beberapa menit di sini.Menetralkan seluruh pikiran buruk dan melupakan kejadian tadi malam yang begitu menyakitkan.Pernah sekali saja aku bisa tenang diam di rumah.Atas segala kejadian yang terjadi, aku kemudian memutuskan untuk diam dan tak banyak bicara daripada membuat Ibu lebih murka.Walau memang sejatinya hatiku meronta dan ingin memberontak, tapi percuma saja.Dia tidak akan
Setelah berputar-putar mengelilingi jalanan depan rumah, akhirnya Rumi menemukan satu penjual nasi goreng di seberang posisinya saat ini.Dia kurang tahu penjual itu karena belum pernah membelinya.Karena tukang nasi goreng yang biasa dia beli tutup, akhirnya Rumi memutuskan untuk membeli nasi gorengnya di sana saja.Lagi pula dia berpikir, semua nasi goreng itu sama. Jadi dia yakin ibunya pasti tidak curiga karena dia membeli nasi gorengnya di tempat yang berbeda.Sedikit tenang.Rumi menghampiri penjual itu kemudian memberikan uang lima belas ribu.Porsi lima belas ribu, adalah porsi yang cukup spesial untuk sekedar nasi goreng di sini."Dibungkus atau dimakan di sini dek?" tanya sang penjual."Dibungkus aja pak."Penjual itu melirik sedikit ke arah orang yang membeli dagangannya saat ini. Dia sedikit keheranan dan kaget tatkala melihat pergelangan tangan Rumi yang benar-benar kecil dan kurus sekali.Muncul rasa
Sebuah pagi yang begitu menyeramkan dari pagi-pagi di hari sebelumnya.Awan yang mendung dan langit yang menghitam, seperti cukup memberi isyarat kepada orang-orang bahwa salah satu rumah dari banyaknya rumah yang indah di sana tengah terjadi kehebohan yang luar biasa.Tak akan ada orang yang mampu memahami selain tetangganya sendiri.Lagipula mana ada orang yang mau menikmati luka yang justru dia terima dari keluarganya?Sudah terlalu muak bagi seorang Rumi mendengar kata sakit, semangat, patah, hancur dan kata-kata menyebalkan lainnya.Dia tidak membutuhkan kata itu.Bahkan untuk sekadar menginterpretasikan rasa sakitnya, dia tidak tahu harus dengan apa karena rasa sakitnya itu benar-benar terasa sakit.Andai dia bisa pergi ke suatu bukit yang tinggi kemudian berteriak sehingga orang-orang dunia mendengarnya.Dia akan bertanya,"Akankah ada orang-orang yang lebih malang daripada aku? Akankah ada orang yang hidupnya di
"Di, itu anak siapa?" tanya Reksa ketika melihat Hamdi membawa seorang anak pria bersamanya ke kafe.Anak itu terlihat murung dan tak banyak bicara. Wajahnya selalu menunduk kebawah tentang berani melihat orang-orang.Dia terlihat manis. Karena jarang keluar rumah, membuat kulit anak itu begitu putih dan tinggi semampai.Ada lesung pipi di pipi kirinya. Terlihat manis ketika tersenyum. Ditambah lagi ada beberapa tahi lalat di bawah bibir dan pelipis kanannya, membuat anak itu terlihat tampan dan mencuri perhatian banyak orang yang ada di cafe itu.Sedari tadi dia tak berbicara satu katapun. Apa yang Ayahnya katakan, cara dia menjawab hanya mengangguk atau berbisik kepadanya.Anak itu juga tak tertarik melemparkan pandangan ke segala arah. Matanya hanya tertuju pada sebuah piring yang ada di depannya sambil memakan makanan di atasnya."Ah ini?" Hamdi memperjelas sementara Reksa mengangguk. "Ini anakku satu-satunya. Namanya Rumi.""Oh R
Dokter itu menangis ketika melihat kondisi Rumi semakin membaik.Tak tahu kenapa saat dia mendapati anak itu berbaring, kenangannya bersama Hamdi seketika mencuat ke permukaan.Iya.Dokter spesialis bernama Reksa Adi yang telah membantu Rumi, ialah teman dekat sekaligus teman seperjuangannya Hamdi Alana.Mereka sudah bersama-sama sejak kecil. Dan tentunya mereka pun sudah saling tahu sikap masing-masing bagaimana.Reksa selalu mengobati keluarganya. Bahkan dia sendiri yang yang melihat secara langsung tatkala temannya, Hamdi menghembuskan napas terakhirnya di sini.Kejadian beberapa tahun lalu itu masih membekas di dalam hatinya. Apalagi ketika mereka berdua saling mengobrol di cafe waktu itu, Hamdi sering bercerita tentang sikap istrinya yang begitu ketus terhadap Rumi.Dulu ketika dirinya bertemu dengan dia, Rumi terlihat sebagai anak yang memiliki tubuh bagus, terawat dan ceria.Jauh berbeda saat dirinya bertemu lagi d
"Ha? Apa?" Letty seketika membulatkan mata ketika mendengar penjelasan dari Bi Nia bahwa Rumi kecelakaan.Semua orang terdiam ketika melihat reaksi ibunya Rumi yang tak bisa ditebak ini.Entah terkejut karena kasihan atau bagaimana, tapi Bi Nia merasa bahwa Letty akan bersikap baik-baik saja terhadap anak itu.Bahkan sebenarnya Letty sendiri tak peduli kalau Rumi akan seperti apa. Kehadirannya di rumah itu pun hanya menjadi beban dan tidak ada yang lebih baik lagi dari sebuah beban.Jahat memang apalagi yang menganggap dirinya adalah ibunya sendiri.Letty seakan menganggap kalau apa yang dilakukan Rumi, maka bukanlah menjadi bagian dari tanggung jawabnya.Mungkin dari sekian banyak ibu yang ada di dunia ini, hanya Letty ibu yang memiliki hati tega dan tak peduli melihat anaknya menderita."Nyonya, pokoknya kita harus ke sana. Kasihan dek Rumi." pinta bi Nia sambil menangis.Wanita itu merebut plastik yang dipegang oleh Bi Nia.
Suara sirine ambulans menggemakan jalan raya. Lajunya yang cepat membuat kendaraan memiliki kesadaran diri untuk menepi dan membiarkan mobil itu berjalan lebih dulu dari mereka.Memang.Suara sirine itu menandakan bahwa ada keadaan darurat di dalamnya.Banyak orang yang berhamburan keluar dari rumah karena mereka mendengar suara sirene itu keras sekali.Bahkan di tempat kejadian, masih ada banyak orang yang mengerumuni sambil berusaha membersihkan darah-darah yang berceceran di sana.Untungnya ada beberapa orang yang peduli dan membersihkan darah itu, tak hanya menimpakan pasir saja ke atasnya.Mereka menyiramnya dengan air kemudian menyikatnya dengan sabun agar nanti darahnya tidak berbekas.Suara sirene itu masih terdengar sampai bermeter-meter.Orang-orang yang rumahnya berada di gang dalam pun, masih bisa mendengar samar suara itu dari telinga mereka.Ada banyak orang yang bingung sebenarnya apa yang terjadi. T
Pria itu masih bolak balik berputar mengelilingi jalan raya karena dia kebingungan mencari penjual sosis dan bakso keinginan ibunya itu.Masih banyak tempat-tempat yang ditutup karena biasanya, para penjual sudah mulai menjajakan dagangannya dari sore hari sampai larut malam.Kalau pagi, dia hanya menemukan beberapa penjual seperti tukang bubur, tukang nasi kuning, nasi uduk dan gorengan hangat.Sudah dua kali dia memutar balikkan motornya, tapi tidak ada satupun penjual yang dia dapat.Tapi Rumi tak berhenti sampai sana. Dia akan terus mencari keberadaan penjual itu meskipun dalam hatinya masih ada firasat tidak mungkin ada yang jual.Lagi pula percuma kalau dia pulang ke rumah. Karena Letty tak akan pernah mau mendengar alasan anaknya bagaimana.Dia ingin semua keinginannya terpenuhi apa pun caranya atau seperti apa.Sudah sekitar sepuluh menit dirinya berlalu-lalang di jalanan yang sama. Jalanan ini adalah jalanan yang dipenuhi ban
Pria itu terdiam sesaat tatkala mendengar sebuah pertanyaan yang mampu membuat hatinya tertegun. Pertanyaan itu hanya terucap dari seorang anak yang mungkin bagi orang lain, pertanyaan yang keluar dari anak kecil hanyalah hal biasa dan tidak usah terlalu dipikirkan.Tapi, semuanya akan lain lagi bagi seorang Alya. Dia anak yang begitu aktif dan kritis terhadap suatu hal.Bahkan dia tak segan untuk menanyakan langsung jika ada sesuatu yang masih mengganjal pada hatinya.Alya adalah anak yang sangat pintar di sekolah. Maka tak heran jika dia seringkali menjadi juru bicara ketika lomba cerdas cermat. Karena dirinya mampu merangkai kata ataupun menjelaskan suatu hal dari materi tersebut.Sesaat suasana hening.Sebenarnya diamnya Rumi bukan hanya sekedar diam. Saat ini dia tengah merangkai kata yang bagus agar Alya bisa memahami maksudnya seperti apa."Kak?" Alya memegang tangannya hingga membuat pria itu tersentak kaget.
Aku benar-benar dibuat terkejut tatkala mendengar penjelasan dari anak ini.Ha? Mana mungkin sekarung besar itu kita hanya mendapatkan upah yang kecil sekali?Aku sampai dibuat heran dan tak percaya dengan kenyataan ini."Alya, kamu nggak bohong kan? Masa kamu dapat upah sekecil itu?"Dia tersenyum. "Emang kakak kira, kita bakal dapat berapa?""Ya barang kali aja bisa nyampe dua puluh ribu atau tiga puluh ribu."Alya seketika tertawa. "Aduh, kak. Kalau misal aku bisa dapat sampai segitu, mungkin kita nggak akan tinggal di sini."Suasana masih terlihat cerah sekali. Aku melihat anak-anak tampak riang bermain di halaman depan rumah.Mereka sama sekali tak terganggu dengan aroma busuk yang menyengat di sini. Apalagi kalau tiba-tiba ada angin yang lewat, bau itu malah semakin membuatku ingin memuntahkan isi perut.Aku melihat Alya sebagai anak yang begitu tangguh. Umurnya memang masih kecil. Tapi dia sudah terlihat dew
Aku tercengang bukan main tatkala mendengar penjelasan dari Bi Nia tentang anak-anak yang begitu hebat dan kuat ini.Bahkan kalau boleh aku jelaskan kepada kalian, anak-anak di sini adalah anak yang riang dan tak pernah mengeluh sedikitpun.Meskipun harus ku akui tinggal di sekitaran sampah itu tak sehat dan tentunya tidak akan bisa membuat anak berkembang baik, tapi mereka benar-benar memanfaatkan apa yang ada selagi itu bisa membuat dirinya bahagia, maka tak masalah.Aku sampai tak bisa berkata apa-apa lagi selain takjub dan bangga dengan anak-anak ini.Bahkan meskipun mereka makan dari makanan yang tidak selayaknya dimakan, tetapi mereka tetap ceria."Kakak sini!" tiba-tiba ada satu anak yang menarik tanganku.Dia perempuan. Wajahnya cantik dan putih. Tapi sayang, bajunya kotor dan kumal.Mungkin karena faktor keadaan di rumahnya juga yang seperti itu."Apa?" tanyaku berusaha mengakrabkan diri."Kakak coba lihat kapal
Hiruk pikuk keadaan pasar begitu menggegarkan suasana.Orang-orang tampak sibuk membeli kebutuhan hidupnya masing-masing.Ada yang membeli ikan, beras, telur, daging, sayuran bahkan buah-buahan.Hampir semua dari mereka berkumpul di tempat-tempat yang ingin mereka beli dagangannya.Ketika sampai, Rumi hanya bisa ternganga melihat keindahan yang baginya terasa langka.Meskipun tanah yang ia pijak begitu becek dan kotor, bahkan kalau kita mau berjalan ke belakang untuk membuang sampah, selalu ada banyak belatung yang berserakan di atas tanah itu.Menjijikkan sekali memang.Namun justru yang membuat perhatian anak itu teralih, bukan karena kotor dan kumuhnya tempat itu.Justru karena dia sedikit senang bisa melihat orang-orang bisa mengekspresikan dirinya di sini.Pasar sebagai tempat bebas bagi mereka untuk mengobrol, saling tawar-menawar antara penjual dengan pembeli, bahkan kita juga bisa menemukan orang yang diajak meng