Kamu akan kembali pada Sang Pencipta ketika sudah waktunya.
Percayalah.
Kamu harus tetap menjadi dirimu yang kuat.
Kamu boleh menangis.
Tapi jangan sampai kamu menyerah.
...
Setelah selesai meluapkan seluruh kekesalan dan kesesakan yang ada di dalam hati, Rumi menutup buku diary-nya dan memutuskan untuk kembali beristirahat di atas kasur.
Perlu digarisbawahi.
Keluarga Rumi adalah keluarga kaya yang hartanya melimpah karena dulu, ayahnya bekerja di pertambangan dan sudah menduduki jabatan tertinggi di sana.
Kehidupan istri dan anaknya pun pasti terjamin.
Namun siapa sangka dibalik kemelimpahan harta itu, ada seorang anak yang terabaikan bahkan selalu terpojokan.
Rumi tak pernah mendapat kebahagiaan.
Bahkan untuk kasur tidurnya saja, sudah tidak bisa kita katakan lagi sebagai kasur yang layak.
Anak itu tak pernah meminta. Lagipula dia tidak peduli mau tidur tanpa alas atau di lantai sekalipun.
Dia hanya ingin menemukan kedamaiannya sendiri. Dia hanya ingin diperlakukan selayaknya seorang anak dan seorang manusia.
Tak rumit.
Tapi justru sekeliling yang merumitkan keinginannya itu.
Krekk!!
Suara pintu terbuka tiba-tiba ia dengar.
Rumi yang sedari tadi berusaha menutup kedua matanya, lagi-lagi kembali terjaga karena suara itu begitu mengganggu telinganya.
Iya.
Suara pintu itu tepat sekali berada di samping kamarnya.
Krekk!! Krekk!!
"Argh!" pria itu terbangun dan melirik jam dinding yang berdenting dan menunjukkan pukul satu malam.
Karena penasaran, ia lantas turun dari tempat tidurnya untuk memeriksa siapakah orang yang masuk ke kamar sampingnya.
Rumi jalan berjinjit agar suara derap kakinya tidak terdengar. Dia sengaja melakukan itu karena hanya ingin memastikan saja.
Setelah tahu siapa yang masuk nanti, dia akan kembali masuk ke kamarnya untuk tidur.
"Sayang, kamu mau pulang kapan?" suara itu membuat Rumi tergugah untuk mendekati pintu dan menempelkan telinganya ke sana.
"Aku bener-bener rindu kamu. Aku rindu dengan kenangan kita yang begitu indah. Apalagi sebelum kedatangan anak pembawa sial itu. Jujur, sayang. Sampai saat ini aku masih mencintai kamu. Nggak tahu gimana caraku untuk bisa melupakan semua kenangan kita. Karena kamu adalah satu-satunya pria yang mampu mengisi kekosongan di hatiku sampai sekarang. Kenapa dengan mudahnya kamu pergi tanpa meminta pamit kepadaku?" terdengar suara getir dari Letty, wanita kesepian yang kini sedang berbincang dengan foto suaminya di bekas kamar mereka berdua. Air matanya meluruh ketika mendapati foto yang terus saja ia ciumi setiap hari.
Hatinya tak bisa berpaling.
Walaupun sudah ditinggalkan beberapa tahun yang lalu, tapi cinta dan kasih sayangnya masih tetap sama.
"Kamu egois, sayang. Dulu kamu memintaku jangan pergi ataupun berjalan beriringan tanpa genggamanmu. Seberusaha mungkin aku mengikuti apa katamu. Tapi kenapa? Kenapa kamu yang justru meninggalkanku sendirian di sini? Kenapa kamu membiarkanku terluka setiap harinya? K-kamu jangan membahas siapapun selain kita. Meskipun kamu benar-benar menyayangi anak itu, tapi selamanya aku akan tetap menganggap dia sebagai anak pembawa sial yang tak ada untungnya di keluarga kita. Dia bukan manusia, sayang. Kamu harus tahu. Dia layaknya titisan Azazil yang sengaja aku sematkan nama itu kepada dirinya, karena anak itu seperti iblis. Dia iblis pembawa keburukan bagi kita. Dan kenapa kamu masih tetap menyayanginya? Cobalah kamu bisa memahami keadaan anak itu. Andai kamu masih ada di sini. Mungkin kamu akan mengerti semuanya."
Rumi terduduk lesu ketika mendengar ucapan ibunya yang terisak. Bahkan dia sendiri tak kuat mendengarkan lagi ucapan sang ibu yang begitu menyakitkan hatinya itu.
Sebegitu burukkah dia sehingga ibunya sendiri menyematkan namanya dengan nama iblis?
Dia baru paham sekarang.
Pantas saja waktu itu ketika pertama kali masuk ke sekolah, dan guru agamanya mengabsen nama siswa-siswa yang ada di kelas itu, dia keheranan dan menanyakan kebenaran dari nama tengahnya Rumi.
Karena anak itu tak tahu, dia membenarkan ucapan gurunya bahwa nama tengahnya memang Azazil.
Rumi Azazil Mauza.
Pantas saja gurunya keheranan. Mungkin dia berpikir apakah ada orang tua yang tega menyematkan nama iblis kepada anaknya sendiri?
Rumi sudah mengerti sekarang.
Hidupnya benar-benar tabu dan tak ada satu orang pun yang bisa menganggapnya lebih dari sekedar abu.
"Heh! Ngapain lu ada di sini?!"
Dirinya sontak terkejut ketika mendapati Ibunya sudah ada di belakang dengan wajah yang tak bersahabat.
Wajah itu adalah wajah yang setiap hari Rumi lihat ketika wanita itu menatapnya.
Seperti jijik, muak bahkan benci.
Rumi seketika berdiri.
"Bu, j-jadi Azazil itu nama iblis?" tanya sang anak dengan suara gemetar.
Wanita itu memelototinya. "Iya. Kenapa? Bagus kan? Lu emang pantas dapetin nama kayak gitu."
"Tapi kenapa ibu tega ngasih nama iblis ke Rumi? Apa salah Rumi sama ibu? Nama adalah doa dan kenapa Ibu tega-teganya memberiku nama yang tak baik? Seberapa jahatnya Rumi emang, Bu? Rum-"
Plakkk!!!
Satu tamparan keras melayang tepat ke arah pipi sang anak.
"Jangan pikir lu bisa megang tangan gue, babi! Lu bukan anak gua dan jangan pernah sekali-kali lagi ngomong ibu ke gua. Gua jijik ngelihat wajah lu tau nggak?! Bahkan kalau bisa milih, gua lebih mending liat tai anjing daripada lu!"
Darah Rumi tiba-tiba bergejolak panas. Dia benar-benar tak terima dikatakan seperti itu apalagi oleh ibunya sendiri.
Tangannya mengepal hebat. Suara gemeretak gigi yang menahan amarah semakin terdengar.
Ibunya hanya berlalu saja tanpa pernah memikirkan perasaan sang anak bagaimana ketika dirinya mengatakan hal itu.
Bukan lagi air mata kesesakan yang turun dari mata sang anak.
Air mata itu, adalah air mata kemarahan yang semakin meluap dan membakar dirinya.
Bugg!!!
Prangg!!!
Sebuah pukulan ia lesatkan ke jendela kamar yang membuat kaca jendela itu hancur berkeping-keping.
Ibunya yang sedang menuruni tangga, kembali naik ke atas dan berlari menghampiri sang anak lalu menamparnya sekali lagi.
Tamparan itu membuat Rumi jatuh tersungkur.
Hidungnya berdarah karena tersantuk ujung meja yang ada di depan kamarnya.
"Kurang ajar lu ya!" wanita itu menarik kerah baju sang anak dan mencengkramnya dengan erat.
Tak peduli anaknya mau berdarah sekalipun, tingkat kemarahan dia tidak akan menurun.
"Lu nantang gua, hah? Lu bisa apa?" teriaknya dengan keras hingga membuat seisi rumah bangun.
Bi Nia yang sedang tertidur lelap di kamar belakang, tiba-tiba terbangun karena mendengar ada suara kaca pecah dan dilanjut dengan suara teriakan dari majikannya.
Wanita setengah baya itu seketika berlari untuk melihat apa yang terjadi.
Dan ternyata apa yang dia khawatirkan itu benar.
Kondisi Letty dan Rumi tengah memanas.
"Gua iblis!" balas Rumi dengan teriak tanpa menghiraukan ucapan aku, kamu, atau ibu lagi.
Dia sudah benar-benar muak dengan semuanya.
"Gua iblis dan jangan salahin kalau sikap gua juga kayak iblis! Siapa? Siapa orang tua yang berani ngasih anaknya dengan nama iblis selain lo, hah?"
Bi Nia terkejut ketika mendengar ucapan Rumi yang tak seperti biasanya.
Dia lantas berlari ke atas untuk bisa menenangkan hati sang anak kesayangan tuannya itu.
...
"Gua udah cape liat wajah lu tau engga?" bentak Letty sambil mendorong sang anak hingga jatuh ke belakang.Untung saja Bi Nia datang, lantas membangunkan Rumi dari sana."Lu memang anak pembawa sial! Nggak pernah sekali aja lu bikin hidup gua tenang. Kehadiran lu merubah segala suasana. Lu seharusnya mikir jadi manusia! Ngotak dikit! Jangan pernah sok pengen kelihatan baik. Lu sama sekali nggak ada tandingannya sama siapapun! Lu cuma sampah!"Letty benar-benar jahat.Dia sama sekali tak pernah memikirkan bagaimana sakitnya sang anak ketika dibicarakan seperti itu.Letty memang bukan seorang ibu.Hati dia terlalu batu dan tidak mau menerima keadaan yang menimpanya.Tak hanya keluarga besarnya dia yang tidak menyukai Letty.Justru terkadang, tetangganya pun merasa kasihan mendengar Rumi yang terus saja dimarahi hanya karena hal sepele.Pernah waktu itu ketika hari Minggu, tetangga samping rumahnya sedang menyiram tanaman di depan r
Sepertinya, hanya orang-orang langka yang selalu menyalahkan dirinya sendiri atas semua kesalahan yang menimpanya.Berbeda dari seorang Rumi yang mungkin hidupnya tengah berada diambang hidup atau pun mati.Dia tidak menyalahkan dirinya sendiri saat ini. Mungkin kalau bisa kita teori kan, justru dia yang selalu disalahkan untuk semua permasalahan padahal dirinya tidak melakukan apa-apa ataupun berbuat sesuatu, tapi hanya hal sepele saja.Pernyataan tadi tidak berlaku bagi Rumi.Justru yang benar, adalah manusia langka karena benar-benar diperlakukan tidak buruk di dunia ini.Bukan oleh orang jahat ataupun orang lain.Justru yang paling menyakitkan, kesakitan itu berasal dari keluarganya sendiri.Bahkan tak jarang, seorang Rumi selalu mengeluh dan berdoa kepada Tuhan agar bisa mematikan dirinya di suatu tempat.Dia ingin mencapai kedamaian, yang mana dalam kedamaian itu tidak ada satu orang pun yang bisa mengganggunya lagi. Dia
Warna Fajar semakin terlihat terang.Aku memutuskan untuk bangun dari tempat tidur, dengan kondisi tubuh yang benar-benar pegal seperti remuk.Apalagi jika aku memegang area wajah, rasa sakitnya terasa sekali.Seperti biasa aku selalu membuka jendela kamar agar bisa menghirup udara sejuk di sini.Aku terdiam sesaat sambil memperhatikan warna indahnya matahari yang akan terbit.Angin sejuk menyelinap masuk ke dalam tulangku yang hampir tak berdaging.Sebelum memutuskan untuk mandi dan bersiap-siap ke sekolah, aku selalu terdiam beberapa menit di sini.Menetralkan seluruh pikiran buruk dan melupakan kejadian tadi malam yang begitu menyakitkan.Pernah sekali saja aku bisa tenang diam di rumah.Atas segala kejadian yang terjadi, aku kemudian memutuskan untuk diam dan tak banyak bicara daripada membuat Ibu lebih murka.Walau memang sejatinya hatiku meronta dan ingin memberontak, tapi percuma saja.Dia tidak akan
Setelah berputar-putar mengelilingi jalanan depan rumah, akhirnya Rumi menemukan satu penjual nasi goreng di seberang posisinya saat ini.Dia kurang tahu penjual itu karena belum pernah membelinya.Karena tukang nasi goreng yang biasa dia beli tutup, akhirnya Rumi memutuskan untuk membeli nasi gorengnya di sana saja.Lagi pula dia berpikir, semua nasi goreng itu sama. Jadi dia yakin ibunya pasti tidak curiga karena dia membeli nasi gorengnya di tempat yang berbeda.Sedikit tenang.Rumi menghampiri penjual itu kemudian memberikan uang lima belas ribu.Porsi lima belas ribu, adalah porsi yang cukup spesial untuk sekedar nasi goreng di sini."Dibungkus atau dimakan di sini dek?" tanya sang penjual."Dibungkus aja pak."Penjual itu melirik sedikit ke arah orang yang membeli dagangannya saat ini. Dia sedikit keheranan dan kaget tatkala melihat pergelangan tangan Rumi yang benar-benar kecil dan kurus sekali.Muncul rasa
Sebuah pagi yang begitu menyeramkan dari pagi-pagi di hari sebelumnya.Awan yang mendung dan langit yang menghitam, seperti cukup memberi isyarat kepada orang-orang bahwa salah satu rumah dari banyaknya rumah yang indah di sana tengah terjadi kehebohan yang luar biasa.Tak akan ada orang yang mampu memahami selain tetangganya sendiri.Lagipula mana ada orang yang mau menikmati luka yang justru dia terima dari keluarganya?Sudah terlalu muak bagi seorang Rumi mendengar kata sakit, semangat, patah, hancur dan kata-kata menyebalkan lainnya.Dia tidak membutuhkan kata itu.Bahkan untuk sekadar menginterpretasikan rasa sakitnya, dia tidak tahu harus dengan apa karena rasa sakitnya itu benar-benar terasa sakit.Andai dia bisa pergi ke suatu bukit yang tinggi kemudian berteriak sehingga orang-orang dunia mendengarnya.Dia akan bertanya,"Akankah ada orang-orang yang lebih malang daripada aku? Akankah ada orang yang hidupnya di
Hiruk pikuk keadaan pasar begitu menggegarkan suasana.Orang-orang tampak sibuk membeli kebutuhan hidupnya masing-masing.Ada yang membeli ikan, beras, telur, daging, sayuran bahkan buah-buahan.Hampir semua dari mereka berkumpul di tempat-tempat yang ingin mereka beli dagangannya.Ketika sampai, Rumi hanya bisa ternganga melihat keindahan yang baginya terasa langka.Meskipun tanah yang ia pijak begitu becek dan kotor, bahkan kalau kita mau berjalan ke belakang untuk membuang sampah, selalu ada banyak belatung yang berserakan di atas tanah itu.Menjijikkan sekali memang.Namun justru yang membuat perhatian anak itu teralih, bukan karena kotor dan kumuhnya tempat itu.Justru karena dia sedikit senang bisa melihat orang-orang bisa mengekspresikan dirinya di sini.Pasar sebagai tempat bebas bagi mereka untuk mengobrol, saling tawar-menawar antara penjual dengan pembeli, bahkan kita juga bisa menemukan orang yang diajak meng
Aku tercengang bukan main tatkala mendengar penjelasan dari Bi Nia tentang anak-anak yang begitu hebat dan kuat ini.Bahkan kalau boleh aku jelaskan kepada kalian, anak-anak di sini adalah anak yang riang dan tak pernah mengeluh sedikitpun.Meskipun harus ku akui tinggal di sekitaran sampah itu tak sehat dan tentunya tidak akan bisa membuat anak berkembang baik, tapi mereka benar-benar memanfaatkan apa yang ada selagi itu bisa membuat dirinya bahagia, maka tak masalah.Aku sampai tak bisa berkata apa-apa lagi selain takjub dan bangga dengan anak-anak ini.Bahkan meskipun mereka makan dari makanan yang tidak selayaknya dimakan, tetapi mereka tetap ceria."Kakak sini!" tiba-tiba ada satu anak yang menarik tanganku.Dia perempuan. Wajahnya cantik dan putih. Tapi sayang, bajunya kotor dan kumal.Mungkin karena faktor keadaan di rumahnya juga yang seperti itu."Apa?" tanyaku berusaha mengakrabkan diri."Kakak coba lihat kapal
Aku benar-benar dibuat terkejut tatkala mendengar penjelasan dari anak ini.Ha? Mana mungkin sekarung besar itu kita hanya mendapatkan upah yang kecil sekali?Aku sampai dibuat heran dan tak percaya dengan kenyataan ini."Alya, kamu nggak bohong kan? Masa kamu dapat upah sekecil itu?"Dia tersenyum. "Emang kakak kira, kita bakal dapat berapa?""Ya barang kali aja bisa nyampe dua puluh ribu atau tiga puluh ribu."Alya seketika tertawa. "Aduh, kak. Kalau misal aku bisa dapat sampai segitu, mungkin kita nggak akan tinggal di sini."Suasana masih terlihat cerah sekali. Aku melihat anak-anak tampak riang bermain di halaman depan rumah.Mereka sama sekali tak terganggu dengan aroma busuk yang menyengat di sini. Apalagi kalau tiba-tiba ada angin yang lewat, bau itu malah semakin membuatku ingin memuntahkan isi perut.Aku melihat Alya sebagai anak yang begitu tangguh. Umurnya memang masih kecil. Tapi dia sudah terlihat dew
"Di, itu anak siapa?" tanya Reksa ketika melihat Hamdi membawa seorang anak pria bersamanya ke kafe.Anak itu terlihat murung dan tak banyak bicara. Wajahnya selalu menunduk kebawah tentang berani melihat orang-orang.Dia terlihat manis. Karena jarang keluar rumah, membuat kulit anak itu begitu putih dan tinggi semampai.Ada lesung pipi di pipi kirinya. Terlihat manis ketika tersenyum. Ditambah lagi ada beberapa tahi lalat di bawah bibir dan pelipis kanannya, membuat anak itu terlihat tampan dan mencuri perhatian banyak orang yang ada di cafe itu.Sedari tadi dia tak berbicara satu katapun. Apa yang Ayahnya katakan, cara dia menjawab hanya mengangguk atau berbisik kepadanya.Anak itu juga tak tertarik melemparkan pandangan ke segala arah. Matanya hanya tertuju pada sebuah piring yang ada di depannya sambil memakan makanan di atasnya."Ah ini?" Hamdi memperjelas sementara Reksa mengangguk. "Ini anakku satu-satunya. Namanya Rumi.""Oh R
Dokter itu menangis ketika melihat kondisi Rumi semakin membaik.Tak tahu kenapa saat dia mendapati anak itu berbaring, kenangannya bersama Hamdi seketika mencuat ke permukaan.Iya.Dokter spesialis bernama Reksa Adi yang telah membantu Rumi, ialah teman dekat sekaligus teman seperjuangannya Hamdi Alana.Mereka sudah bersama-sama sejak kecil. Dan tentunya mereka pun sudah saling tahu sikap masing-masing bagaimana.Reksa selalu mengobati keluarganya. Bahkan dia sendiri yang yang melihat secara langsung tatkala temannya, Hamdi menghembuskan napas terakhirnya di sini.Kejadian beberapa tahun lalu itu masih membekas di dalam hatinya. Apalagi ketika mereka berdua saling mengobrol di cafe waktu itu, Hamdi sering bercerita tentang sikap istrinya yang begitu ketus terhadap Rumi.Dulu ketika dirinya bertemu dengan dia, Rumi terlihat sebagai anak yang memiliki tubuh bagus, terawat dan ceria.Jauh berbeda saat dirinya bertemu lagi d
"Ha? Apa?" Letty seketika membulatkan mata ketika mendengar penjelasan dari Bi Nia bahwa Rumi kecelakaan.Semua orang terdiam ketika melihat reaksi ibunya Rumi yang tak bisa ditebak ini.Entah terkejut karena kasihan atau bagaimana, tapi Bi Nia merasa bahwa Letty akan bersikap baik-baik saja terhadap anak itu.Bahkan sebenarnya Letty sendiri tak peduli kalau Rumi akan seperti apa. Kehadirannya di rumah itu pun hanya menjadi beban dan tidak ada yang lebih baik lagi dari sebuah beban.Jahat memang apalagi yang menganggap dirinya adalah ibunya sendiri.Letty seakan menganggap kalau apa yang dilakukan Rumi, maka bukanlah menjadi bagian dari tanggung jawabnya.Mungkin dari sekian banyak ibu yang ada di dunia ini, hanya Letty ibu yang memiliki hati tega dan tak peduli melihat anaknya menderita."Nyonya, pokoknya kita harus ke sana. Kasihan dek Rumi." pinta bi Nia sambil menangis.Wanita itu merebut plastik yang dipegang oleh Bi Nia.
Suara sirine ambulans menggemakan jalan raya. Lajunya yang cepat membuat kendaraan memiliki kesadaran diri untuk menepi dan membiarkan mobil itu berjalan lebih dulu dari mereka.Memang.Suara sirine itu menandakan bahwa ada keadaan darurat di dalamnya.Banyak orang yang berhamburan keluar dari rumah karena mereka mendengar suara sirene itu keras sekali.Bahkan di tempat kejadian, masih ada banyak orang yang mengerumuni sambil berusaha membersihkan darah-darah yang berceceran di sana.Untungnya ada beberapa orang yang peduli dan membersihkan darah itu, tak hanya menimpakan pasir saja ke atasnya.Mereka menyiramnya dengan air kemudian menyikatnya dengan sabun agar nanti darahnya tidak berbekas.Suara sirene itu masih terdengar sampai bermeter-meter.Orang-orang yang rumahnya berada di gang dalam pun, masih bisa mendengar samar suara itu dari telinga mereka.Ada banyak orang yang bingung sebenarnya apa yang terjadi. T
Pria itu masih bolak balik berputar mengelilingi jalan raya karena dia kebingungan mencari penjual sosis dan bakso keinginan ibunya itu.Masih banyak tempat-tempat yang ditutup karena biasanya, para penjual sudah mulai menjajakan dagangannya dari sore hari sampai larut malam.Kalau pagi, dia hanya menemukan beberapa penjual seperti tukang bubur, tukang nasi kuning, nasi uduk dan gorengan hangat.Sudah dua kali dia memutar balikkan motornya, tapi tidak ada satupun penjual yang dia dapat.Tapi Rumi tak berhenti sampai sana. Dia akan terus mencari keberadaan penjual itu meskipun dalam hatinya masih ada firasat tidak mungkin ada yang jual.Lagi pula percuma kalau dia pulang ke rumah. Karena Letty tak akan pernah mau mendengar alasan anaknya bagaimana.Dia ingin semua keinginannya terpenuhi apa pun caranya atau seperti apa.Sudah sekitar sepuluh menit dirinya berlalu-lalang di jalanan yang sama. Jalanan ini adalah jalanan yang dipenuhi ban
Pria itu terdiam sesaat tatkala mendengar sebuah pertanyaan yang mampu membuat hatinya tertegun. Pertanyaan itu hanya terucap dari seorang anak yang mungkin bagi orang lain, pertanyaan yang keluar dari anak kecil hanyalah hal biasa dan tidak usah terlalu dipikirkan.Tapi, semuanya akan lain lagi bagi seorang Alya. Dia anak yang begitu aktif dan kritis terhadap suatu hal.Bahkan dia tak segan untuk menanyakan langsung jika ada sesuatu yang masih mengganjal pada hatinya.Alya adalah anak yang sangat pintar di sekolah. Maka tak heran jika dia seringkali menjadi juru bicara ketika lomba cerdas cermat. Karena dirinya mampu merangkai kata ataupun menjelaskan suatu hal dari materi tersebut.Sesaat suasana hening.Sebenarnya diamnya Rumi bukan hanya sekedar diam. Saat ini dia tengah merangkai kata yang bagus agar Alya bisa memahami maksudnya seperti apa."Kak?" Alya memegang tangannya hingga membuat pria itu tersentak kaget.
Aku benar-benar dibuat terkejut tatkala mendengar penjelasan dari anak ini.Ha? Mana mungkin sekarung besar itu kita hanya mendapatkan upah yang kecil sekali?Aku sampai dibuat heran dan tak percaya dengan kenyataan ini."Alya, kamu nggak bohong kan? Masa kamu dapat upah sekecil itu?"Dia tersenyum. "Emang kakak kira, kita bakal dapat berapa?""Ya barang kali aja bisa nyampe dua puluh ribu atau tiga puluh ribu."Alya seketika tertawa. "Aduh, kak. Kalau misal aku bisa dapat sampai segitu, mungkin kita nggak akan tinggal di sini."Suasana masih terlihat cerah sekali. Aku melihat anak-anak tampak riang bermain di halaman depan rumah.Mereka sama sekali tak terganggu dengan aroma busuk yang menyengat di sini. Apalagi kalau tiba-tiba ada angin yang lewat, bau itu malah semakin membuatku ingin memuntahkan isi perut.Aku melihat Alya sebagai anak yang begitu tangguh. Umurnya memang masih kecil. Tapi dia sudah terlihat dew
Aku tercengang bukan main tatkala mendengar penjelasan dari Bi Nia tentang anak-anak yang begitu hebat dan kuat ini.Bahkan kalau boleh aku jelaskan kepada kalian, anak-anak di sini adalah anak yang riang dan tak pernah mengeluh sedikitpun.Meskipun harus ku akui tinggal di sekitaran sampah itu tak sehat dan tentunya tidak akan bisa membuat anak berkembang baik, tapi mereka benar-benar memanfaatkan apa yang ada selagi itu bisa membuat dirinya bahagia, maka tak masalah.Aku sampai tak bisa berkata apa-apa lagi selain takjub dan bangga dengan anak-anak ini.Bahkan meskipun mereka makan dari makanan yang tidak selayaknya dimakan, tetapi mereka tetap ceria."Kakak sini!" tiba-tiba ada satu anak yang menarik tanganku.Dia perempuan. Wajahnya cantik dan putih. Tapi sayang, bajunya kotor dan kumal.Mungkin karena faktor keadaan di rumahnya juga yang seperti itu."Apa?" tanyaku berusaha mengakrabkan diri."Kakak coba lihat kapal
Hiruk pikuk keadaan pasar begitu menggegarkan suasana.Orang-orang tampak sibuk membeli kebutuhan hidupnya masing-masing.Ada yang membeli ikan, beras, telur, daging, sayuran bahkan buah-buahan.Hampir semua dari mereka berkumpul di tempat-tempat yang ingin mereka beli dagangannya.Ketika sampai, Rumi hanya bisa ternganga melihat keindahan yang baginya terasa langka.Meskipun tanah yang ia pijak begitu becek dan kotor, bahkan kalau kita mau berjalan ke belakang untuk membuang sampah, selalu ada banyak belatung yang berserakan di atas tanah itu.Menjijikkan sekali memang.Namun justru yang membuat perhatian anak itu teralih, bukan karena kotor dan kumuhnya tempat itu.Justru karena dia sedikit senang bisa melihat orang-orang bisa mengekspresikan dirinya di sini.Pasar sebagai tempat bebas bagi mereka untuk mengobrol, saling tawar-menawar antara penjual dengan pembeli, bahkan kita juga bisa menemukan orang yang diajak meng