🌷🌷Pagi-pagi buta suara Dewi sudah membuat gaduh saat nongol di kamar, padahal ayam tetangga saja belum pada bangun. Lah ini anak udah stand by aja dimari.“The. Ada kabar baik buat kamu!” Dewi menarik selimut yang menutupi tubuhku.“Paan, sih, Wi. Ini masih pagi tau!” Aku malas membuka mata. Lampu dan gorden pun masih tertutup rapat. Jika pun sudah siang, Bi Sumi pasti membangunkanku.“Pagi dari Hongkong. Udah jam sembilan loh, The!” Dewi menarik tanganku agar duduk. Oke, aku manut. Dewi bisa lebih sadis dari ibu tiri jika keinginannya tidak dituruti.Aku bisa menebak, jika Dewi bersekutu dengan Bi Sumi agar masuk zona nyamanku. Dasar mereka wanita nggak ada akhlaq!Aku melihat Dewi sudah rapi dengan dandanan yang natural. Bibir yang hanya dilapisi lipensetip tipis, ditambah taburan bedak bayi membuatnya terlihat lebih segar kaya asinan Bogor.“Mandi, gih. Jangan lupa hari ini ada kencan buta hari kedua!” Dewi menunjukkan angka dua dengan jarinya.Ish, lagi-lagi Dewi mengingatkan
🌷🌷Siapa sih yang tidak pernah mengalami kasus bau kaki seperti kasus Roy Bayangan kemarin. Aku, Dewi, dan kamu yang lagi baca pun pasti pernah mengalami? Hayo ngaku! Pasti kakimu pernah bau, ya 'kan? Kalo nggak ngaku, aku sumpahin yang boong jadi sukses. Amin!Mataku nyaris tidak bisa terpejam malam ini. Di luar hujan, sepertinya langit dan seperangkatnya mengerti akan adanya hati yang sedang gegana. Gelisah galau merana.Huhuhu ... gagal lagi, deh punya pacar ganteng. Padahal aku udah semangat banget mau ngenalin Roy ke Papa, dan gara-gara Dewi itu semua sirna.Saat jalan pulang kemarin, Dewi tak henti minta maaf. Bahkan ingin membatalkan kencan buta untuk besok pagi, padahal antrean stok lelaki untuk kencan besok panjang, ada sepuluh orang yang ingin merasakan kencan denganku. Namun kali ini aku yang menyeleksi orang-orang itu dan pilihanku jatuh kepada pemilik akun bernama Dede kontainer. Ebuset, namanya aneh banget. Tapi kalo bukan karena tampangnya yang ganteng, aku nggak baka
🌷🌷Menjalin hubungan dengan mantan? Tidaaak ....Aku meremas rambut menirukan gaya perempuan saat melihat suaminya yang direbut pelakor.Memimpikannya saja aku tidak berani, apalagi sampai menginginkan itu terjadi. Kata Papa gula alias sugar dady, mantan itu rasanya kaya sayur kemarin lusa. Asem, kecut, basi! Mau dihangatkan pake cara dipresto juga rasanya akan tetep nggak enak. Jangan dicicipi, letakkan ke tempat pembuangan sampah yang terdalam, biar dia tenggelam dan nggak bisa bangkit lagi. Nggak percaya? Sana cobain deh.Hari ini Dewi tidak ada kabar, terakhir di chat dia bilang kalau masih sibuk mengurus pernikahannya. Ya sudah. Urusan comblang menyomblang ini biar aku yang tangani sendiri. Malu jika sampai urusan jodoh teman pun turun tangan. Kan katanya jodoh ada di tangan Tuhan, jadi biarlah takdir Tuhan yang berbicara, dan aku yang melakukannya semaksimal mungkin. Hiya ... bisa ngomong bijak aku. HahahaSore ini langit mendung, hujan turun rintik-rintik mirip air mataku yan
🌷 Wanita itu tulang rusuk, lelaki tulang punggung, mantan tulang belulang. Buang!🌷🌷Aku meremas kertas berwarna merah muda yang diberikan Pak Edi-OB kantor. Di sana tertulis nama Denis dengan seorang wanita berinisial T. Tapi itu bukan Terasi apalagi nama Theresia, melainkan nama Tania yang bersandingan dengan nama Denis.Harusnya aku yang di sana, dampingimu dan bukan dia, harusnya aku yang kau cinta dan bukan dia ... huwo uwo ....Sakit, nyesek, plus pengen makan odading campur jadi satu. Air mata luruh tanpa salam. Dada ini pun remuk redam.Huaaaaaaaa ... Denis kamu jahat! Tangisku menggelegar sambil garuk-garuk tembok. Untungnya aku memiliki ruangan pribadi, jadi mau menangis sambil koprol pun bebas.Surat undangan pernikahan Denis yang masih disegel, aku potong-potong menjadi bagian paling kecil. Diiringi lagu mengheningkan cipta, dan berakhir di tempat sampah.Huuhuhu ... membayangkan hal itu membuatku kembali berderai air mata dan menjadi cengeng. Aku menyeka air mata deng
🌷🌷Tidak pernah terlintas di benakku bisa akur dengan mantan. Hal Yang sering aku lakukan dulu adalah menjaga jarak sejauh mungkin dengan mereka. Perasaan takut disakiti lagi, lebih dominan dari rasa benci, dan aku memilih menjauh.Denis mengantarku pulang setelah puas jalan-jalan di taman, tidak lupa ia membelikan aku pop corn. Ia masih ingat rupanya dengan apa yang kusuka.Aroma parfum dari tubuhnya memenuhi rongga hidung saat aku duduk manis di boncengan membangkitkan kenangan di masa lalu. Ahh ... aku merindukan momen kebersamaan ini.“Pilihin parfum dong, Sayang,” ucapnya kala itu saat kami tengah berbelanja di sebuah pusat perbelanjaan, dan aku dengan senang hati memilih.“Ini kayanya cocok deh!” Aku menyodorkan parfum dengan aroma campuran menthol dan pinus. Menurutku cocok dengannya yang maskulin tapi terkesan dingin, mirip primata yang ada di hutan. Denis memang seperti itu, btw.Denis dengan wajah semringah saat aku menyodorkan parfum pilihanku. Sejak saat itu ia selalu me
Bab. 7Aku, Dewi dan Denis duduk bertiga di ruang tengah. Sahabatku tertawa lepas saat Denis melemparkan guyonan padanya. Mudah-mudahan masalah yang Dewi hadapi segera menemukan titik terang dan Denis berhenti mengejarku.“The ... gimana kencan buta kamu. Ada hasil?” Dewi menanyakan itu tanpa rasa bersalah. Harusnya ia berpikir ribuan kali jika masuk ke sebuah grup biro jodoh. Ini pun risikonya tidak main-main, jika dalam waktu 30 hari masih jomlo, maka akan dinikahkan dengan orang yang pilihan admin grup.Otakku membayangkan bagaimana calon suami pilihan admin. Tiba-tiba tubuhku bergidik saat terbayang Lamban yang jadi suamiku. Nggak bakal bisa bohong kalo dia jadi suamiku, sedangkan aku paling jago bohong sama Papa.Eits ... jangan ditiru, ya.Aku menjawab pertanyaan Dewi dengan menggelengkan kepala, lalu mengembuskan napas panjang.“Mas ini, siapa kamu, The?” Dewi menunjuk Denis yang tengah fokus nonton drakor. Yaelah, laki-laki, kok doyan nonton beginian.“Dia mantan aku d
Aku berusaha mencairkan suasana dengan bertanya seputar pekerjaannya dan apesnya dijawab pake gaya rapper.Pengen rasanya ngelus dada laki orang. Eh, dada Denis nggak apa-apa, deh. Dia pasti seneng dielus dadanya sama aku. Aku juga kangen nggak lakuin itu.Hayo, loh. Theresia, kamu nakal!Aku berusaha berbaur dengan situasi begini, meski yang kulihat Dewi sepertinya tidak nyaman. Ia bahkan butuh ketenangan yang jauh lebih tenang setelah masalah gagalnya pernikahannya.Duh, Wi. Maafin aku.Tiba-tiba mataku menangkap sosok tak asing, seorang lelaki tengah menggandeng tangan wanita hendak masuk ke dalam cafe.“Dion!” seruku pelan, tapi sepertinya Dewi mendengar ucapanku. Wajahnya lalu menatap ke arah sosok yang sedang aku amati.Raut wajah Dewi berubah drastis. Wajahnya yang semula sedikit ceria, kini mendadak muram.Kesialan hari ini tidak sampai di sini, Dion pun menyadari kehadiran Dewi. Lelaki itu berjalan mendekat ke arah kami.“Hai, Wi. Kamu lagi apa?” tanyanya. Dion memas
Memang benar, sejak saat aku menerima surat undangan pernikahan Denis, aku resign dan mengurung diri di rumah selama hampir setengah tahun. Lalu berikutnya aku kembali bertemu Dewi setelah sekian lama tidak berjumpa. Saat lulus SMA, Dewi ikut orang tuanya kuliah di luar negeri dan aku tetap di sini.Aku menoleh ke arah Denis, wajah lelaki itu menampakkan keseriusan. Ah, entahlah, aku tidak mau membayangkan yang indah-indah, tapi di sisi lain, hatiku pun kesepian dan sepertinya aku butuh manusia seperti Denis.Ah, dasar aku labil.“Kamu bawa aja uangnya. Aku nggak butuh!” Aku masih dengan pendirian ini, enggan menjalin dengan manusia yang sudah menjadi mantan.Lah, emang kalo udah mantan, dia jadi setan, gitu?“Ini hak kamu. Aku kembalikan.”Kartu ATM ia letakkan di dekatku. Denis lantas berdiri. Ih ... kok cepet banget pergi.“Aku pulang dulu.” Denis mengarahkan wajahnya, menatapku yang sedang menatapnya.“Saranku, kencan butanya nggak usah diterusin. Karena cintaku padamu aka
Saat aku tengah tertawa, tiba-tiba Teguh bangkit dan berjalan ke wastafel cuci piring lalu menyalakan keran dan membasuh wajahnya. “Om kacamata, jangan dihapus dulu make-upnya!” teriak Beha tidak terima. Ia berlari mendekati lelaki itu, tapi Teguh tidak menggubris perkataannya. Teguh menghapus make-up yang menempel di wajahnya, setelah dirasa bersih, ia mengambil tissue di meja makan dan melap kering wajahnya. “Om ....” Beha menarik celana Teguh, wajahnya sendu dan matanya basah. “Sini, Sayang. Dandanin Om Manis, aja!” teriak Denis. Aku yang semula melihat ke arah Teguh, kini beralih ke Denis. Wajahnya sudah tidak karuan akibat ulah Bra, tapi dia santuy dan tidak protes. Wajah Beha kembali semringah, ia lalu berlari dan mulai ikut mendandani Denis. Tapi kali ini dia mulai merias rambut Denis dengan koleksi jepitan miliknya. “The, saya pamit pulang. Ada metting mendadak!” seru Teguh.Tanpa melihat ke arahku dan si kembar, lelaki jangkung itu berlalu. Di dalam sini, ada yang
🌷🌷 Hari pertama selesai, meski ada sedikit insiden kecil. Denis dan Teguh tidak bisa menghias rambut si kembar dengan rapi. Maklum, lah, mereka berdua 'kan masih bujang, belum khatam soal mengurus anak kecil. Akhirnya setelah aku rayu keduanya mengikhlaskan rambut diikat ala kadarnya. Setelah makan malam, Bra dan Beha tertidur pulas di kamarku. Malam ini, sampai tujuh hari ke depan aku harus rela berbagi kamar dengan mereka. Aku tidak masalah, itung-itung belajar jika suatu hari nanti memiliki anak dari pernikahanku dengan salah satu dari lelaki ini. Denis atau Teguh? “The ... aku pulang,” ucap Denis. Aku mengangguk. Teguh pun mengucapkan kalimat yang sama. Aku mengantar kedua lelaki itu sampai teras. “Tunggu!” seruku pada keduanya. Denis dan Teguh memutar badannya menghadapku. “Kenapa, The?” tanya Teguh. “Saranku kalian nyerah aja. Aku yakin ucapan Papa siang tadi nggak serius soal kompetisi konyol ini. Jadi aku harap kalian besok nggak usah datang ke sini lagi,” uc
🌷🌷Papa melarikan diri di kamar, menguncinya rapat agar tidak diganggu si kembar. Idih, curang.“Papa minta bantuan kamu, The, awasin mereka!” seru Papa sebelum pintu kamar terkunci.Papa yang punya rencana, kenapa aku yang harus merana? Untung dia Papaku, kalo bukan, udah aku hiiih!Aku terduduk di sofa, lemas. Sementara telinga harus kebal saat si kembar mulai berteriak-teriak.Denis dan Teguh saling sikut, Denis berbisik pada Teguh, tapi aku masih bisa mendengar.“Cara bedain mereka gimana, Guh?”“Ntah, Den. Aku juga nggak tau!”Aku tertawa dalam hati. Si kembar memiliki wajah dan postur tubuh yang sama. Bahkan tahi lalat di wajah pun sama, panjang rambut pun tidak beda. Yang membedakan hanya cara menata rambut mereka. Jika Bra terbiasa dikuncir dua, sedangkan Beha selalu ingin dikepang.“Om, Manis, Bra mau maen sepeda! serunya pada Denis. Ia sepertinya menyukai Denis yang hitam manis mirip gula jawa.“Om, Kacamata, Beha juga mau! Ayo ambil sepeda di garasi!” seru Beha pada Teguh
🌷🌷Aku membolak-balikkan tumpukan berkas di hadapan. Belum lagi kerjaan lain yang menunggu untuk segera diselesaikan. Aku harus bagaimana. Pikiranku terus berada di rumah, memikirkan hal aneh-aneh yang akan dilakukan Papa ke Denis dan Teguh.Bagaimana nasib mereka?Tiba-tiba pikiranku memutar memori kejadian kencan dua minggu yang lalu, aku menjalani kencan buta dengan orang yang berbeda. Rasanya aku seperti orang yang nggak laku. Diobral dengan harga murah. Ish, apaan, sih. Akhirnya aku pun menekan tombol winner, sebagai tanda bahwa aku sudah menemukan jodoh.Namun, dari kejadian itu aku bisa menyimpulkan bahwa tidak ada manusia yang sempurna.Meski pun demikian, Tuhan akan selalu punya cara untuk bisa membahagiakan hambanya, bukan? Melalui Denis dan juga kembalinya Teguh. Dua orang di masa lalu, yang kini hadir kembali.Denis si hitam manis kaya Malika yang dirawat dengan sepenuh hati. Pun Teguh, lelaki berkacamata yang memiliki pertahanan diri seteguh namanya.Teguh atau Denis, p
🌷🌷Aku tidak pernah membayangkan akan seperti ini. Bisa duduk berdampingan dengan Teguh adalah hal yang mustahil bagiku. Itu dulu, tapi sekarang lain cerita, lelaki berkacamata yang dulu dikenal jail dan sering bikin masalah kini terlihat kalem dan berwibawa. Tentunya makin ganteng.Tuhan ... kuatkan iman hamba!Aku banyak diam dan melihat sisi jalan, sementara Teguh bercerita tentang bagaimana ia menjalani hari-harinya setelah wisuda. Mulai dari mengerjakan pekerjaan serabutan, hingga mencapai kesuksesan sepet sekarang ini.“Kamu sekarang kerja di mana, The?” tanyanya. Ia mungkin sengaja menyelipkan pertanyaan saat ocehannya tidak aku hiraukan.“Aku kerja di perusahaan milik keluarga temanku. Sebagai marketing.” Aku menoleh sekilas ke arah Teguh yang sedang mengemudi, tapi jantungku berdebar lebih kencang seperti habis lari maraton lapangan. Apalagi saat dirinya menoleh sekilas ke arahku, membuat kami beradu pandang. Ya ampun, rasanya jantung kaya mau copot.“Kamu bagaimana? Sudah
🌷🌷Semalam padahal aku mimpi ketemu oppa Korea yang gantengnya nyaris naik genteng, kenapa hari ini malah ketemu sama setan kampus. Sial, memang. Hasrat hati ingin mengusirnya, tapi aku mengenal Teguh dengan baik, pendiriannya seteguh namanya. Yang artinya ia bukan tipe orang yang mudah diusir.Ndableg memang!Lelaki berkacamata itu meraih ponsel di saku celananya dan tampak menelepon seseorang yang entah siapa.“Baik, saya tunggu,” ucapnya dan sambungan telepon terputus.“Jadi sampai di mana obrolan kita tadi?” tanyanya, wajahnya yang lumayan ganteng tapi tidak sepadan dengan otaknya yang kurang separo. Orang ini harusnya berada di rumah sakit jiwa, bukannya malah berkeliaran bebas seperti ini.“Kamu nggak waras-waras, ya?” tanyaku sinis. Lagi pula, satu detik saat dirinya datang pun, kita belum terlibat obrolan apa pun.Teguh terkekeh, raut wajahnya menandakan bahagia. Entah, dia bahagia karena apa. Mungkin saja mainannya saat di kampus dulu, kini sedang duduk berhadapan dengannya
🌷🌷Harusnya aku tidak selemah ini. Harusnya aku bisa lebih kuat dari sebelumnya. Jatuh dalam hal cinta hal biasa, tapi cara untuk bangkit bisa membedakan seperti apa dirimu yang sesungguhnya.Aku menghempaskan tubuh di sofa, suasana rumah yang sepi membuatku tenang. Terlebih Papa masih akan tinggal di puncak bareng Bang Bro dalam waktu yang tidak ditentukan.Aku memejamkan mata dengan kepala bersandar di sandaran soga. Rasa lelah membuatku cepat mengantuk. Tapi saat diri ini hendak terlelap, bayangan wajah Denis terlintas di ingatan.Sial.Aku kembali membuka mata, berusaha menepis bayangan malaikat maut itu. Sikap dan perlakuan lembut Denis selama ini berhasil menyelinap masuk ke dalam hati. Perlahan tapi pasti, aku mulai terbiasa dengan kehadirannya dan itu membuatku nyaman.Apakah sebuah kesalahan jika aku tidak mau memberikan kesempatan kedua untuk Denis? Hati kecilku ingin kembali, tapi di hati lain aku takut jika ia akan mengkhianati cinta lagi.Aku dilema.Di saat kegamangan,
🌷🌷Film yang sedang diputar menampakkan adegan seorang lelaki tampan tengah duduk berdampingan dengan seorang wanita di sebuah taman yang dipenuhi bunga tulip.Asep sialan. Kenapa pilih nonton film romantis, aku 'kan baperan orangnya.“Sayang ... bibirmu basah!” seru lelaki itu.“Tolong basahi dengan lidahmu,” ucap si gadis tanpa ragu.Aku memerhatikan orang-orang yang ada di bioskop, semuanya fokus pada layar lebar di hadapan. Di ujung podium aku melihat sepasang manusia sedang asyik berbisik-bisik sampai ke tetangga.Aku kembali menatap layar bioskop, tapi tiba-tiba wajah si aktor berubah menjadi wajah Denis, dan wanita yang ada di sampingnya persis seperti wanita yang kulihat tadi.Denis mendekatkan wajahnya dengan menjulurkan lidahnya hendak menyentuh bibir gadis itu, aku menutup mata dan telinga dengan tangan, diri ini tidak sanggup untuk melihat adegan selanjutnya.Tidaaakk ....Aku berteriak lantang dan untuk sesaat aku melupakan di mana aku berada.Jantungku seolah berhenti
🌷🌷“Menarilah, Theresia!” seru Denis menyemangati. Ruang auditorium sudah sepi ditinggalkan karyawan karena metting telah usai, tapi Denis masih menahanku di sini dan ia ingin melihatku menari.Bukan perkara sulit untuk mengabulkan permintaannya, karena menari adalah hobi yang diturunkan Mama padaku.Aku melepas sepatu high heels lalu berdiri dengan bertumpu pada ujung jari, aku menari balet, dan Mama adalah gurunya.Denis menyalakan music dari ponselnya, suara piano mengalun lembut. Denis berdiri dengan tubuh bersandar di dinding, wajahnya terus mengarah padaku, membuatku salah tingkah.Alunan suara piano seolah menghipnotis, membuatku enggan berhenti dan terus menari. Sudah lama aku tidak menari sebebas ini karena dulu sempat terpuruk saat Mama pergi untuk selamanya.“Theresia ....” Aku membuka mata, lalu menoleh saat Papa menepuk bahu. Rupanya tadi aku tengah melamun.Papa duduk di sampingku, wajah senjanya menatapku teduh.Kedatangan Denis pagi ini malah membuat suasana hatiku s