"Sebagai orang yang dibuang dari kawanan, aku harus bisa apa aja," jawab Ben. Ia sajikan sop ayam pesanan Ann dengan memberinya sentuhan terakhir, menabur bawang goreng. "Aku bakalan jadi bawang goreng itu," celetuk Ann tanpa sadar, "pelengkap yang bikin makanan jadi lebih enak," tuturnya mengulas senyum. "Kamu punya impian dan karir yang harus kamu kejar, renungin itu dulu. Aku cukup mampu ngelindungin kamu dari Eriska tanpa harus nikah," ucap Ben sungguh-sungguh. "Tapi kamu nggak akan dipercaya Kakek kamu kan?" "Aku nggak punya kewajiban buat bikin Kakek percaya, jangan bikin kamu terbebani." Ann menyeruput kuah sopnya demi membuat dirinya berpikir jernih. Kenapa ia justru antusias sekali dinikahi oleh Ben padahal Ben tidak serius melakukan itu? "Keuntungan yang bisa kamu dapet dengan jadi istriku dan masuk ke keluarga besar adalah perlindungan yang lebih luas dari ancaman Eriska dan orang-orangnya," gumam Ben membuat Ann menghentikan kunyahannya. "Itu bedanya kalau ka
Pembicaraan mengenai pernikahan yang masih mengambang malam itu tak lagi dilanjutkan. Baik Ben maupun Ann sibuk lagi dengan kegiatan masing-masing. Ben jarang pulang, bahkan tak bertemu Ann sama sekali selama 2 minggu ini. Sedangkan Ann mulai ramai menerima tawaran membintangi iklan dan menjadi model majalah-majalah fashion. Meski bertanya-tanya ke mana Ben pergi dan apa saja yang dilakukan oleh lelaki dingin itu, Ann tak berani mencari tahu pada orang-orang rumah. Berusaha untuk mengakrabkan diri dengan Chester dan harimau lainnya adalah pilihan Ann di sela-sela jadwal padatnya. Rasa rindu kadang menyerangnya, tapi ia bisa apa jika hubungannya dengan Ben bukanlah apa-apa. "Tunggu di situ Chest, aku kudu belajar ini," ucap Ann berdialog pada Chester yang kini mulai berani ia bawa masuk ke kamarnya. Seperti pada Ben, Chester menurut. Hewan buas ini duduk di kaki Ann, sementara Ann tampak membolak-balik buku catatannya. Minggu ini, kuliahnya mulai memasuki Ujian Akhir Semester. Me
"Aku panggilin dokter ya Mas," ucap Ann segera beranjak dari posisi duduknya untuk mendekat ke arah ranjang Ben. "Ann," panggil Ben parau. Ia bahkan memejamkan matanya lagi dan beberapa kali terlihat menelan ludah. "Aku nggak pa-pa," ujarnya setelah menghela napas panjang. "Tapi kamu demam tinggi," ucap Ann jelas khawatir. Ben menepuk ranjang di sebelahnya, berharap agar Ann mendekat dan duduk di sana. Bak paham maksud Ben, Ann menuruti permintaan lelaki ini, ia duduk, tangannya dengan berani meraba leher Ben. "Mas, panas banget lho," ujar Ann. "Panggilin dokter ya?" "Aku udah punya perawat di sini, ngapain manggil dokter lagi," balas Ben. "Ya udah, minum pereda demam, bentar kuambilin," kata Ann siap beranjak dari sisi Ben tapi Ben lebih cepat menahan pergelangan tangannya. "Kamu ngapain nyari aku ke kamar?" tanya Ben. "Sebelom Bang Rino pergi dia pesen ke aku kalau badan kamu rada anget, makanya aku ngecek ke sini," jawab Ann, "minum obat ya Mas," bujuknya. "Nanti aja,
"Istirahat ya Mas," pinta Ann mengecup pipi Ben sayang, masih cemas karena demam yang Ben derita belum juga reda. "Kamu tau, aku bahkan nggak mesen cewek manapun selama di Singapura dan China," cerita Ben, sedikit meracau. Bukannya memaksa Ben untuk berbaring lagi, Ann justru penasaran dengan yang baru saja Ben ucapkan. Dahinya mengernyit, ia tunggu Ben menjelaskan ucapannya. "Ngerasa punya istri jadinya," lanjut Ben tertawa geli. "Setelah 18 tahun, ini kali pertamanya ada yang ngerawat aku pas demam. Omonganku kacau ke mana-mana ya," desisnya sadar diri. "Kamu udah nggak terkontrol, sekarang kamu istirahat, ini hampir jam 1 pagi Mas," pinta Ann sedikit memaksa. "Kamu mau nemenin di sini?" "Iya aku temenin kamu, aku musti pantau suhu tubuh kamu Mas," ujar Ann kemudian duduk di kursi baca lagi. "Mantau suhu kenapa jauh-jauh di situ? Kamu bisa tidur di kursi baca keras gitu?" pancing Ben benar-benar berbeda dengan dirinya yang lalu. Manja sekali ia pada Ann kali ini,
"Kadang aku mikir kalau aku itu murahan banget, mau-maunya dicium, diraba, bahkan satu rumah sama cowok yang bukan siapa-siapaku. Tapi kamu udah ngebeli aku, sekarang nggak cuma tubuhkubyang kamu milikin, tapi seluruhnya termasuk hati dan pikiranku," gumam Ann lirih, timbul tenggelam. Ben tak memberikan reaksi, pertanda ia sudah terlelap dalam mimpi. Ann pun begitu, setelah mengecup ujung runcing dagu Ben, ia ikut memejamkan matanya. Mereka tidur di ranjang yang sama untuk pertama kalinya, dengan perasaan yang sudah berkembang pesat dari sebelumnya. Sepanjang mereka terlelap, Ben beberapa kali mengigau, mengatakan sesuatu yang tidak ingin ia lakukan. Saat Ann terjaga, hari sudah pagi. Sinar matahari menyeruak di celah jendela, membuat Ann memicingkan matanya. Di sebelahnya Ben masih nyaman memejamkan mata, damai sekali wajahnya. Ann raba kening Ben, panasnya sudah turun. Perlahan Ann bangun, berniat mengganti air kompres ke dapur. "Syukur badan kamu udah baikan," bisik Ann lagi-lag
"Ann!" sapa Taka ceria, senyumnya terkembang di balik kacamata hitamnya menyambut sang calon menantu pilihan. "Selamat datang!" serunya. "Rada jauh ya Om," ucap Ann mengitarkan pandangan, mereka ada di kawasan pelabuhan. "Di sinilah pusat bisnis keluarga kita dikembangkan, Ann, rahasia dan sangat tertutup," balas Taka. Ia ajak Ann berjalan mengikutinya. "Maaf ya, aku ambil hari libur kamu yang seharusnya kamu pake buat belajar. Masih jalan UAS?" tanyanya. Ann mengangguk sambil berusaha mengimbangi langkah lebar Taka. Beberapa orang bertubuh tegap dan berwajah seram mengikuti keduanya, mengawal dengan setia. "Nggak pa-pa Om, ini juga kebetulan libur Sabtu dan Minggu, nggak ada kerjaan juga akunya," kata Ann. "Seharusnya Om nggak perlu repot-repot bawa aku tur khusus gini," ujarnya. "Enggak, aku nggak repot. Sebagai calon istrinya Ben yang nantinya bakalan ketemu sama Ketua, aku perlu mempersiapkan kamu. Aku tau kamu buta soal pekerjaan Ben, dan ini kewajibanku untuk ngasih t
"Tapi Om tetep dukung Mas Ben sejauh ini," sahut Ann tersenyum. "Itu cukup berarti buat Mas Ben, Om." "Ben nggak boleh hancur di tangan orang Adyaksa, Ann." "Siapa bilang aku bakalan hancur?" lagi-lagi Ben muncul di tengah percakapan seru Ann dan calon mertuanya. "Ngebawa Ann tanpa seijinku ke sini? Apa maksudnya?" tanyanya tegang. "Tenang dulu dong," Taka menyambut santai, "dia harus tau kerjaanmu kan?" ujarnya. "Kamu kenapa nggak pamit, Ann?" Ben beralih menatap Ann kesal. "Tadinya kupikir kamu udah tau kalau aku diajakin Om Taka ke sini," jawab Ann jujur, ia melirik Taka. "Suka ya kamu diajak pergi sama Om-Om?" gumam Ben kejam. "Apa sih Mas!" Ann cemberut, "aku pulang aja kalau gitu," desisnya segera berdiri. "Aku yang pergi, kalian lanjutin tur berdua," tahan Taka ikut berdiri, ia beri komando pada anak buahnya untuk meninggalkan ruangan. Sambil menatap langkah Taka yang perlahan menjauh, Ann tak mau duduk lagi. Ia kesal juga pada Ben yang asal mengatainya seperti t
"Jadi aku harus nunggu kamu selesai ngerokok dulu?" tanya Ann mengembus napas kasar, ia harus bersabar. "Eriska, anak kedua dari keluarga besar Adyaksa Ghautama," ungkap Ben, ia masih sesekali mengisap rokoknya yang baru disulut. "Aku jaga dia sekuat tenaga, aku nggak nyentuh dia dan gimanapun caranya kutahan diriku buat nggak nidurin dia," lanjutnya. "Karena dia masih perawan?" gumam Ann. Ben mengangguk, "Dia ngaku kalau dia belom pernah kenal dan jatuh cinta sama cowok manapun sebelum ketemu gue. Kami pacaran, harus kuakuin, kami punya banyak kesamaan dan aku jatuh cinta juga sama dia." Mendengar kalimat Ben yang jatuh cinta pada sosok Eriska, Ann spontan menggigit bibir bawahnya. Siapkah ia terluka? "Selama hampir dua tahun dia rapi banget menutupi latar belakangnya, sampe pada akhirnya Mama dapet info soal keluarganya dan Kakek murka. Aku udah terlanjur jatuh dan susah bagiku buat bangun lagi, apalagi Eriska banyak ngisi duniaku," Ben melanjutkan ceritanya. "Dan di saat ak
"Baru pertama kali ini aku liburan ke Eropa. Mimpi apa aku bisa ke sini sama orang yang paling berarti di hidupku," desis Ann lirih. Matanya mengitar takjub, masih tidak percaya pada apa yang kini tengah dialaminya. London tengah ada di awal musim gugur saat ini. Suhu udara cukup dingin untuk kulit Ann yang terbiasa dengan suhu tropis khatulistiwa. Ia sampai memeluk tubuhnya sendiri dengan menyilangkan kedua tangan di depan dada untuk menghangatkan tubuhnya. Liburan musim panas di Inggris Raya baru akan selesai dan Westminster cukup sepi dari wisatawan di bulan-bulan ini. "Pilihan yang tepat kita keluar malam hari, untungnya Christ udah akrab sama Lala, jadi kita bisa keluar malem-malem gini, biar Christ istirahat," ujar Ben sengaja merangkul leher istrinya mesra. "Lala udah kenal Danisha lama, jadi kayaknya Christ sering diajak jalan bareng juga sama Lala, makanya mereka cepet akrab," gumam Ann. "Mas, indah banget Inggris Raya," ujarnya tak hentinya berdecak. Meninggalkan
Ann menyesap teh melati buatan Ben sambil memejamkan mata. Sungguh pagi yang begitu damai dan menenangkan baginya, tanpa beban. Christ sedang sarapan pagi bersama Ben di ruang makan, sedangkan Ann sendiri duduk di halaman belakang, sesekali mengusap punggung Chester yang kini memang sengaja diboyong ke rumah baru demi memulihkan kesehatannya. Minggu depan kuliah Ann sebagai Maba akan dimulai, jadi, ia sengaja menikmati momen-momen emas ini tanpa gangguan. "Ane-san, berangkat seolah dulu," kata Christ mendatangi Ann sambil membungkukkan badannya. "Oke, hati-hati ya, semangat sekolahnya!" balas Ann melambaikan tangannya ceria, menatap punggung kecil nan kokoh Christ yang berlalu menjauh. Untuk kegiatan sekolah dan les privat yang harus dijalani Christ, Ann menyiagakan seorang sopir antar-jemput. Ben juga meminta Sony untuk menjadi penjaga Christ selama berkegiatan di luar rumah. "Kamu nggak ada agenda ke mana-mana hari ini, Ann?" tegur Ben yang menyusul duduk di seberang Ann, menent
"Hai, Christoper!" sapa Eriska yang sudah datang lebih dulu di sebuah coutage tempat mereka dijadwalkan bertemu. Seperti rencana, Ann dan Ben mengantar Christ bertemu dengan Eriska. Satu titik balik kehidupan Christ akan ditentukan hari ini. Ann tidak tahu apa yang tengah dirancang oleh Eriska untuk mengusiknya lagi, tapi ia percaya Ben bisa mengatasi gangguan Eriska lebih baik ketimbang sebelumnya."Mami Eris," balas Christ melambaikan tangan sekenanya, juga memberi senyum simpul yang asing. "Kamu tambah tinggi ya," puji Eriska. "Makanmu pasti enak-enak pas ikut Ben," katanya. "Makasih udah menuhin permintaanku," tambahnya ke arah Ben sambil memeluk Christ yang tampak canggung. "Gue pengin urusan kita segera selesai," balas Ben. "Biar Christ mesen makanan dulu ya," tandas Eriska. "Aku udah makan sama Ann dan Ben sebelum ke sini," ucap Christ sangat fasih. "Kata Ann, Mami kangen sama aku," gumamnya. "Iya," jawab Eriska mengangguk. "Mami nggak bawa makanan kesukaanku?" tembak Ch
Setelah sekian lama tidak beraktivitas di ranjang karena kondisi kesehatannya, Ben cukup berhati-hati bergerak. Ann lebih banyak memimpin permainan, sang istri berbalik memegang posisi dominan. "Joanna," Ben mengerang lirih, menikmati pemandangan sang istri yang meliuk-liuk di atasnya. "Berasa liat aku di Queen's Diary lagi ya Mas," goda Ann masih sempat bercanda. "Ini lebih juara sensasinya," balas Ben merem-melek, terbakar gairah. Ann terkikik, ia bergerak makin cepat, tapi tetap berhati-hati. Ben yang tengah berbaring di bawahnya itu masih belum sembuh total, jadi mereka tidak boleh bermain liar. "Ane-san!" Ben mengeja panggilan istrinya, ia tiba di puncak dengan senyuman lepas yang puas. "Wah," deru napas Ann masih terengah, "lega, Big Ben? 250 juta transfer ke rekeningku ya," candanya lucu. Ia bangkit dan duduk di sebelah suaminya, membiarkan Ben meriah selimut untuk menutupi tubuh mereka. "Nggak 300 juta sekalian?" tawar Ben. Ann mengangguk, "Boleh. Dikasih 500 juta lebi
Setitik air mata Ann jatuh, ia berpaling agar tak ketahuan tengah bersedih. Sesak di dadanya berusaha ia sembunyikan sebisa mungkin, hatinya telah jatuh teramat banyak pada Christ. "Kenapa aku harus milih? Aku udah tinggal di sini kan?" gumam Christ lugu. "Kamu bukan anggota keluarga, Eriska minta kamu kembali ke keluarga kamu," ungkap Ben gamblang, terdengar sangat tega. "Ane-san," Christ menoleh Ann, "apa aku harus milih? Aku aku harus ikut Mami Eris?" tanyanya hampir menangis. "Kamu boleh tetep tinggal di sini kalau kamu mau, Christ," jawab Ann. "Asal kamu memilih tinggal bersama kami, kamu boleh tinggal selamanya di sini," sambar Ben. Christ terdiam, ia tampak bingung dan hanya memainkan kancing bajunya sebagai bentuk pelarian. Anak sekecil Christ tentu mempunyai banyak perspektif pada setiap orang yang pernah merawatnya. Ann meski galak dan tegas, tidak pernah memukul atau menggunakan kekerasan. Begitu pula dengan Ben, meski ia keras dan kejam, selalu menekan Christ dengan
"Marah, Ane-san?" tegur Ben yang menyadari perubahan sikap istrinya semenjak pulang dari rumah makan tadi siang. "Hem?" Ann melirik suaminya sekejap, lantas fokus lagi memainkan ponselnya. "Kamu marah sama aku, Ann?" ulang Ben sabar. "Marah? Emangnya kamu kenapa?" tanya Ann balik. Ben mendecak, ia tahu Ann sedang tidak mau diajak mengobrol. Istrinya ini tengah marah, enggan ditanya-tanya tapi jika Ben tak acuh, kemarahan itu akan semakin membesar. "Coba bilang, salahku di mana?" pancing Ben. "Wah," Ann tertawa dalam tatapan piasnya yang tak menyangka. "Nggak sadar salahnya?" "Oke, aku salah ngambil keputusan setuju sama Eriska? Bener?" "Terus?" "Aku mengabaikan kamu," desis Ben meringis, takut salah. "Bukan cuma mengabaikan, Mas. Aku nggak kamu anggep ada di tempat itu. Seharusnya kamu tanya dulu keputusanku, kan?" sergah Ann bagai siap memuntahkan lahar panas dari mulutnya. "Iya, aku minta maaf," ungkap Ben tak mau memperpanjang masalah. Salah atau tidak salah, ia tetap ha
"How's life, Ann? Kamu bahagia?" tanya Eriska yang ditemui oleh Ann di sebuah rumah makan besar. Ann melirik sang suami yang duduk di sebelahnya. Ben tampak tak acuh, ia itarkan pandangan ke sekeliling, enggak bertemu tatap dengan Eriska. Dari sorot matanya, tampak Eriska masih begitu mendamba suami Ann itu. "Gue nggak punya alasan buat nggak bahagia setelah suami masih hidup di sisi gue," jawab Ann jumawa. "Asal nggak ada orang yang mengusik kami lagi, gue yakin bahagia selamanya," gumamnya. "Ben," Eriska tersenyum, mencoba mengambil perhatian mantan pacarnya itu. "Aku nggak akan ngusik kalian lagi. Cuma satu penginku, aku diijinin buat ketemu sama Christ. Sekarang udah nggak ada Papa yang bakalan nyakitin dia, boleh nggak Christ disuruh milih, mau ikut aku atau kalian? Aku janji, setelah Christ milih, aku nggak akan pernah muncul dalam kehidupan kalian lagi," ujarnya. Ben yang semula tak peduli akhirnya memfokuskan pandangannya pada Eriska. Keduanya bertemu tatap, diam dan tak a
Proses recovery Ben memakan banyak waktu dan perjuangan yang cukup panjang. Selama itu, Ann setia mendampingi, membantu sang suami mendapatkan tubuh bugarnya lagi. "Dua tusukan yang nggak akan pernah bisa dilupain," desis Ann sambil menunjuk bekas luka di dada dan perut Ben yang kancing kemejanya sengaja tidak dikancingkan. "Nggak kamu bikin tato, Mas?" tanyanya. Ben menggeleng, "Luka tembak ini sengaja kutato karena pengin kuhilangkan. Kalau luka tusuk beda cerita, ini award perasaanku atas kamu Ann. Aku terluka buat ngelindungin kamu, itu kebanggaan tersendiri," ujarnya. "Tapi aku jadi ngerasa bersalah kalau liat bekas luka ini. Kamu ada di ambang kematian selama 5 bulan, gimana aku nggak sedih.""Apa mau kutato aja biar kamu nggak sedih?" tawar Ben. Gelengan Ann berikan, "Kalau kamu nggak ngeliat aku sebagai bentuk kesalahan, sedihku bisa ganti jadi kebahagiaan kok Mas," ucapnya lembut, plin-plan. Senyuman Ben terkembang, ia kibaskan lagi pedangnya untuk kembali memulai latiha
Dua puluh empat jam pasca hidup kembali, Ben dinyatakan dalam kondisi yang sangat bagus oleh dokter. Tubuhnya sudah melewati pemeriksaan dan pengecekan dan tidak ada organ tubuhnya yang malfungsi. Ben hanya memerlukan banyak latihan bergerak dan berjalan untuk menormalkan kembali sendi-sendi dan tulangnya. "Dia minta pindah sekolah di sini, pengin jagain Ketua tapi dia ngeluh bosan nunggu kamu bangun, tiap hari begitu," ucap Ann tertawa. "Dia jagain kamu dengan baik ya," kekeh Ben sudah mulai lancar berkomunikasi. Ann mengangguk, "Kadang dia ngomel, kenapa Ketua nggak bangun-bangun padahal dia mau cerita gimana dia ngelawan anak-anak lain yang nyoba ngerundung dia," ceritanya. "Udah ya Mas, biar dia stay di Indo aja, Christ pasti nggak mau kalau disuruh balik ke Jepang lagi. Nanti aja kalau dia udah bisa milih mau lanjut studi di Jepang atau di negara mana pun, kita bisa atur lagi," urainya. "Aku ikut kebijakan kamu, Ane-san," kata Ben lembut. "Ah, Adyaksa sekarang dipegang sama