Suara bising kini memenuhi ruangan yang penuh dengan anak manusia muda dengan segudang bakat yang mumpuni. Ya, hari ini kelas yang ditempati Ayana begitu kacau, acara dadakan yang digelar sebagian penghuni kelas begitu ramai gara-gara sang dosen yang tak kunjung datang.
Band yang dibuat seadanya dengan alat-alat pembersih serta dua vokalis cantik yang menjadi andalan kini tengah beraksi menghibur kawan-kawannya di kelas. Ulahnya? Siapa lagi kalau bukan Ayana Wiratmi Kencanasari dan gengnya bernama Aster yang beranggotakan empat laki-laki dan dua perempuan.
"Ya, tumben kamu gak nyanyi? Lesu gitu, kenapa?" itu Tika yang bertanya. Satu-satunya sahabat perempuan yang Ayana miliki sampai saat ini. Sifat polos dan agak sedikit telmi ialah ciri khas yang dimiliki Tika dan tak jangang kepolosan serta ketelatannya berpikir membuat geng Aster pusing kadang terhibur dengannya.
"Iya, kenapa lo?" sambung Guntur ketika menyadari perubahan Ayana saat ini. Wajahnya begitu kacau, tak ada gurat keceriaan disana. Hanya wajah lesu dan mata panda yang terlukis disana dengan tubuh yang berjoget lemah tak seheboh biasanya."Gue gak tidur semalaman," jawab Ayana lemah membuat ketiga temannya menoleh dan menghentikan aktivitasnya."Tumben lo gak tidur, ada masalah apa? Cerita!" pinta Leo yang mendekati Ayana diikuti Marten dibelakangnya. "Ceritanya panjang, mana mungkin gue cerita sama kalian," lesu Ayana mengingat kesepakatannya dengan Candra yang dimana point pertama dalam kesepakatan ialah merahasiakan pernikahan mereka ke publik, termasuk pada gengnya. "Sepanjang apa sih Ay, biasanya juga lo kaya toa kalau bercerita. Tak lesu seperti ini," sahut Marten dengan dengusan sebal. "Sepanjang jalan kenangan, kitakan selalu bersama... " jawab Ayana asal membuat ketiga temannya menggeleng dengan kekehan. Selalu saja begitu, jika ia tak mau bercerita tentang masalahnya pasti saja ia mengelak dengan nyanyian asalnya."Kebiasaan!" seru Asep dengan menjitak kepala Ayana pelan.
Aya mendengua sebal, melirik Asep yang duduk dihadapannya dengan tampang tak berdosa membuat Ayana berpikir ingin memakannya hidup-hidup. Udah jitak kepala orang masih berani duduk tenang, dasar Asep. "Bukan gue yang kebiasaan, tapi lo. Sep!" ucap Ayana mencubit pinggang Asep sekeras mungkin. "Adududuh, ampun Ya. Gak lagi, lagi deh. Sumpah" Asep mengaduh dengan teriakan memohon ampun sementara sahabatnya yang lain menertawakannya. "Ih, Ya. Asepnya jangan dicubitin. Kesihan tau" larang Tika dengan menepuk-nepuk pundak Ayana pelan. "Biarin Tik. Biar dia tau rasa!" ucap Ayana dengan masih mencubit pinggang Asep tersebut. "Ya, dendam apa lo sama si Asep. Gitu amat nyubitnya" kekeh Guntur. Sementara Leo dan Marteen berusaha untuk menjauhkan Asep dari Ayana. "Si asep belum ngasih nasi Padang sama gue Tur, makannya gue kesal" gerutu Ayana."Ketimbang nasi padang doang, yaallah, Ya. Lo tinggal pergi ke warung depan napa" ucap Asep segera menghindar dan mengumpat dibelakang tubuh Leo yang cukup besar."Biasanya juga lo bawain jatah buat kita tanpa diminta. Mau belajar pelit lo? Iya?" tanya Marteen sarkasme.
Asep menggeleng lemah, kadang tak habis pikir dengan sifat kedua sahabatnya ini yang suka sarkasme tapi dibalik itu semua hatinya pada baik sekali padanya.
"Jadi, mau maraneh teh apa, hah?!" tanya Asep dengan keluar dari persembunyiannya dengan berkacak pinggang.
"Nasi Padang!" seru mereka bersamaan.
"Yauudah ayo!" ajak Asep berjalan terlebih dahulu meninggalkan kelima sahabatnya yang nampak tersenyum puas mengerjai Asep, si cowok berdarah sunda itu.
Geng Aster pun keluar dari kelasnya, berjalan dengan penuh wibawa membuat semua mahasiswa baru yang melihatnya menjerit, takjub, kagum bahkan tak jarang pujian demi pujian mereka lontarkan.
"Mas Leooo! Aaa, tak kenal maka taaruf. Taarufan yuk, biar kenal selaligus sayang!" pekik seorang mahasiswi baru yang Leo hiraukan, tak peduli dan sudah tidak aneh lagi mendapati wanita seperti itu pada dirinya."Yaampun, a Asep! Aku padamu!" teriakan salah satu maba terdengar begitu nyaring dan melengking. Asep yang berjalan terlebih dulu, kini perlahan mundur ketika seseorang yang berteriak nyaring itu menghampirinya.
"Kenapa lo sep? Cemen, perempuan itu masa lo ngehindar gitu" heran Leo ketika Asep buru-buru pasang badan untuk bersembunyi ketengah-tengah mereka.
"Menjauhi fitnah," jawab Asep so agamis.
"Menjauhi fitnah gimana maksudnya?" tanya Tika polos.
"Ogah gue jelasin ke elo, ujung-ujungnya lo telmi juga" kekeh Marteen yang paling malas jika sudah mendengar pertanyaan Tika.
"Telmi itu apa?" lagi, lagi dengan kepolosannya Tika bertanya membuat Marteen dan Leo berdecak kesal. Tidak habis pikir dengan sifat sahabatnya itu, entah ibunya kurang mendidik dia atau dianya emang otaknya agak lemot? Entahlah, yang jelas Tika mah gitu polos dan lemot tapi juga bisa dewasa secara tiba-tiba.
"Tau ah, tanya aja sama si Asep" ketus Leo membuat Ayana dan ketiga pria itu menahan senyumnya sebisa mungkin, apalagi melihat perempuan so kecentilan yang tadi berteriak kini semakin mendekat pada mereka.
"Astagfirullah, tolong gue napa" keluh Asep dengan berkeringat dingin di dahinya ketika maba kecentilan itu ada dihadapannya.
"Hai, kenalin gue Lyodra. Mahasiswa baru jurusan kedokteran," sapa Lyodra dengan senyuman manis dengan mengulurkan tangannya pada Asep.
Bukannya senang disapa perempuan cantik bahkan sampai diajak kenalan, Asep malah diam seribu bahasa dengan menelan saliva susah payah.
"Saya Guntur!" ucap Guntur menjabat tangan Lyodra dengan tampang humorisnya.
"Ih, bukan kak Guntur yang Lyodra mau tapi a Asep!" kesal Lyodra dengan mencak-mencak.
"Heh, bocah! Si Asep gak suka perempuan, gak suka kenal-kenalan. Minggir lo, kita lapar!" seru Ayana dengan menyingkirkan Lyodra dihadapan mereka.
"Cabut guys!" seru lagi Ayana pada teman-temannya. Mereka pun akhirnya kembali berjalan menuju warung nasi padang di kantin kampus.
"Alhamdulillah," syukur Asep bernapas lega, setelah perempuan itu tak mengikutinya.
"Sep, telmi itu apa?" tanya Tika disela-sela perjalanan mereka menuju kantin dengan masih penasaran, wajah polosnya begitu kentara sekali. Ia bahkan tak memikirkan bagaimana tegangnya Asep tadi. Semua teman-teman Tika hanya menggeleng tak habis pikir, termasuk Asep.
"Telmi itu, ya telat mikir Tika sayang. Udah ya gak usah dengerin apa kata Leo, dia kan suka gitu jadi gak usah di anggap" jawab Asep lembut pada Tika membuat siapapun yang mendengarnya akan meleleh dan seketika jatuh cinta. Ya begitulah Asep, sedari zaman smp sikapnya gitu kalau sama cewek lemah lembut bahkan tak jarang ia memberi perhatian lebih pada Tika dan Ayana. Baginya kedua perempuan itu ialah mutiara yang harus ia jaga segalanya selain ibunya.
"Ih Leo tega sama Tika, Leo jahat!" kesal Tika mencebikkan mulutnya.
"Udah Tik, mending kita makan aja gak usah dengarin ucapan Leo ya, " bujuk Aya ketika mereka baru saja sampai di warung nasi Padang, milik si Asep. Kadang mereka suka gak habis pikir dengan si Asep, itu anak keturunan sunda. Emak bapaknya sunda asli tapi jualannya nasi Padang, bahkan lagu-lagu yang paling ia sukai dan kadang suka diputar diwarungnya juga bukan lagu sunda ataupun melayu melainkan lagu-lagu ambon manise. Asli, si Asep ini emang aneh. Kagak jelas kaya susu cap beruang.
"Mang ujang, buatin lima ya. Seperti biasa!" teriak Asep dengan mengambil dua kursi untuk Ayana dan Tika yang gak kebagian.
"Siap, a" seru mang Ujang.
Semua pesanan sudah tersaji, tanpa pikir panjang kelimanya begitu lahap menyantap hidangan tersebut dengan sesekali melempar obrolan ringan.
Tring!
Suara notip pesan dari ponsel Ayana mengganggu sarapan pagi mereka, dengan decakan kesal Ayana menyimpan sepiring nasi padang yang baru ia makan setengahnya untuk melihat pesan dari siapa yang mengganggu acara sarapannya.
"Ck. Rese emang!" decak Ayana segera bangkit dari duduknya setelah membaca pesan yang ternyata dari laki-laki si pengganggu ketenangannya, siapalagi kalau bukan Candra. Pria yang tak ia sukai itu dengan sangat tak mau taunya mengirimi Ayana pesan untuk segera menemui dirinya di luar gerbang kampus.
"Guys, gue cabut ya. Ada urusan mendadak, biasalah bokap" alibi Ayana ketika berpamitan pada para sahabatnya itu.
Mereka sontak mengangguk dan membiarkan Ayana pergi begitu saja, tentu saja mereka paham jika sudah menyangkut dengan ayahnya berarti itu sangat penting.
***
"Lo mau apaan sih, gue belum selesai makan. Ganggu aja lo," protes Ayana ketika mereka berdua tengah berada tepat diluar gerbang kampus."Kita kebutik sekarang, ibu nyuruh kita untuk kesana sekarang! " ucap Candra begitu dingin padanya.
"Ngapain? Lo ajalah, gue ogah" tolak Ayana.
"Saya tidak menerima penolakan, ayo naik!" pinta Candra membukakan pintu mobilnya untuk Ayana.
"Lah, terus motor gue?""Nanti teman saya yang urus!" jawabnya tegas, Ayana menggeleng ia tidak mau sijagonya di tumpangi orang lain. Tidak, sijago hanya miliknya dan tidak boleh ada siapapun yang berani menyentuhnya kecuali para sahabatnya dan orang yang ia sayang. Sebegitu sayangnya ia sama motor gedenya, memang.
"Kenapa? Kok bengong. Ayo masuk!" pinta Candra ketika Ayana masih saja berdiri dengan tampang bengongnya.
"Enggak! Lagian ngapain ke butik? Ogah gue! " tolak Ayana keras.
"Masuk gak? Atau kamu pengen orang tua kita kecewa, marah? Iya?" lagi, lagi membawa perasaan orang tua membuat Ayana mencoba melunakkan hatinya.
"Gue akan ikut, tapi gak semobil dengan lo!" putusnya tegas.
"Lalu?" tanya Candra menaikan sebelah alisnya tinggi.
"Gue mau bawa motor gue, nanti lo ikutin gue dibelakang" pinta Ayana.
"Tidak! Kamu naik mobil saya, motor biar teman saya yang urus" tolak Candra. Tentu saja Candra menolak, nanti kalau ibunya tau pasti ia akan kena omel habis-habisan. Apalagi sang ibu yang begitu menyayangi Aya, tentunya ia tidak akan rela jika calon menantunya itu kepanasan saat naik motor.
"Yaudah gue gak akan pergi!" kekeh Ayana. Sama-sama keras kepala membuat perdebatan keduanya menjadi ajang tontonan satpam jaga kampus di luar gerbang tersebut yang sedang santai menikmati sesapan demi sesapan jamu yang menjadi rutinitas ketika pukul sembilan pagi.
"Kamu nurut atau... "
"Atau apa hah? Ingat ya, gue akan lebih kejam dari lo!" potong Ayana sambil menunjuk-nunjuk wajah Candra emosi.
Diam, satu kata yang saat ini Candra lakukan. Percuma saja, ia mengancam gadis dihadapannya. Itu tidak akan mempan baginya. Ialah seorang Ayana, si preman kampus mana ada takut-takutnya sama orang. Ia begitu berani, membuat Candra disatu sisi kagum padanya namun tetap saja jengkel dengan kelakuan nakalnya itu.
"Baiklah, saya izinin kamu naik motor tapi ingat kamu harus beri penjelasan pada ibu saya dengan kata-kata yang benar" akhirnya Candra memutuskan untuk menuruti kemauan Ayana, sebaiknya Candra mengalah saja, jika tidak dituruti dan Candra masih kekeh dengan keinginannya itu justru akan membuat perdebatan diantara mereka terus berlanjut. Bisa-bisa ibunya mengomel karena mereka telat gara-gara hal sepele kaya gitu lagi.
"Siap, beres. Aman-aman," ucap Ayana dengan senyum penuh kemenangan. Kedua jempolnya tangannya ia angkat lalu berjalan mundur untuk memasuki kampus yang dimana sijago kesayangannya masih terparkir rapi di parkiran kampus ini.
Hanya lima belas menit perjalanan. Mereka sampai di butik yang sudah di janjikan, dengan segera Ayana memarkirkan motornya kemudian tanpa menunggu Candra ia masuk terlebih dahulu ke toko tersebut yang dimana pemandangan pertama yang Ayana lihat ialah dua orang wanita dewasa sedang berbincang-bincang manja. Siapalagi kalau bukan ibunya Candra dan pemilik butik tersebut yang notabenenya sebagai sahabat dari ibunya.
"Assalamualaikum, tante" sapa Ayana dengan menyalami takzim ibu dan pemilik butik tersebut.
"Waalaikumsalam nak, loh kamu sendiri? Candra mana?" tanya ibunya Candra begitu kaget ketika Ayana sendiri yang datang.
"Candra disini Bu, maaf ya telat" jawab Candra yang baru saja tiba dengan wajah kesalnya.
"Syukurlah, kirain kamu gak jadi kesini. Ayo duduk dulu, biar ibu sama tantemu yang pilih baju buat kalian" ucap ibunya lembut. Candra pun mengangguk kemudian duduk disebelah Ayana yang nampak risih.
Setelah beberapa kalimat yang terlontar dari mulut sang ibu pada temannya itu yang Ayana ketahui bernama Wina itu kini meninggalkan mereka untuk menampilkan gaun rancangannya dari ruangan kedua."Gimana, apa kamu suka?" tanya sang calon mertua pada Ayana ketika wina kembali dengan membawa dua gaun ditangannya.
"Sepertinya itu berlebihan deh tan, kan kita hanya mau akad nikah saja. Sebaiknya yang simpel," tolak Ayana dengan sangat hati-hati takut menyinggung.
"Huum sih, lalu gimana kalau yang disebelahnya. Simple, elegant. Cocok ditubuh kamu," ujarnya menunjuk gaun disebelahnya. Ayana mengangguk, mengamati gaun tersebut lumayan cukup lama.
Simple sih, tapi sayang Ayana tidak menyukai apapun yang berbau feminim. Tapi apalah daya, jika mulai saat ini ia harus terlihat biasa saja ketika disuguhkan dengan pakaian feminim dan harus terbiasa ketika sudah sah menjadi seorang istri.
"Bagus, kalau tante suka Aya juga suka deh." ucap Ayana terpaksa.
"Yasudah pilih yang itu saja, gimana Nak menurut kamu? Bagus gak?" tanya ibunya Ratih pada Candra. Tanpa basa-basi Candra mengiyakan ucapan sang ibu.
"Sip, jeng pilih yang ini aja ya" ucap Ratih dengan begitu bahagia.
"Oke, fiks ya" jawab Wina. Ratih mengangguk, setelah itu ia mengajak anak dan calon menantunya untuk pergi ke mall sekalian menjebak mereka agar bisa berduaan dan saling mengenal.
"Bu, ngapain sih ke mall segala. Belanja lagi, iya?" tanya Candra ketika mereka baru saja keluar dari butik.
"Lah, iya. Namanya perempuan ya hobi belanja, sekalian tuh calon istri kamu belanjain" jawab Ratih.
Ayana menggaruk tengkuk tak gatal, ingin menolak tapi sungkan dengan segala kebaikan yang ibunya Candra berikan padanya.
"Tapi bu," ucap Ayana ragu.
"Kenapa sih nak? Gak usah malu-malu lah," sela Ratih gemas pada Ayana.
"Bukan begitu bu, soalnya Ayana bawa motor sendiri " ucap Ayana tak enak hati pada Ratih.
Tatapan tajam, Candra layangkan pada Ayana sedangkan Ratih kini tengah bersiap untuk mengomeli sang putra habis-habisan.
"Kamu ini Can, ibu bilang tadi apa? Pergi berdua, jangan sendiri-sendiri. Kalian itu harus sering pergi berduaan, biar mengenal satu sama lain. Gimana sih kamu Can, dibilangin juga" omel Ratih, Candra hanya bisa menangkupkan kedua tangannya di dada.
"Ayana, sialan!" gerutu Candra dalam hati dengan menatap tajam pada Ayana sementara yang ditatap kini tengah tersenyum mengejek padanya.
***
Dengan masih kesal, Candra berjalan mengikuti kedua perempuan dihadapannya mengelilingi mall yang sebegitu besarnya sambil menenteng beberapa kantong belanjaan milik ibunya dan Ayana."Bu, udah ya. Candra lapar, pengen makan" keluh Candra dengan lesu. Sungguh Candra tak habis pikir dengan tingkah perempuan yang kalau belanja suka lupa segalanya bahkan tak pikir dua kali jika beli seauatu yang mereka sukai, padahal semua itu tidak terlalu diperlukan. Dan ini yang Candra tidak suka dengan sifat perempuan, pemborosan!
"Ibu juga lapar, kita makan disitu ya" ucap Ratih mengajak Candra dan Ayana untuk pergi ke tempat makan yang tak jauh dari mereka berdiri.
"Nah, gitu dong bu" ucap Candra dengan segera berjalan menuju tempat makan tersebut tanpa memperdulikan kedua perempuan yang ia tinggalkan dibelakang.
"Giliran makan aja, semangat" sindir Ratih yang baru saja tiba dan ikut duduk bersama Ayana dihadapan Candra.
"Lapar, pengen makan!" ketus Candra melihat- lihat menu makanan yang disajikan dilestoran tersebut.
"Kebiasaan kamu nak, oh iya Ya. Ibu tinggal sebentar ya, mau ketoilet dulu" pamit Ratih dengan beranjak pergi membiarkan mereka berduaan.
"Senang kamu! Saya tersiksa kaya gini, senang?!" bentak Candra meletakan buku menu dengan kasar dimeja tersebut.
Ayana mendenguskan tawa puas, melihat wajah Candra yang tertekuk sedari dibutik tadi. "Ya senanglah, haha"
Helaan napas kesal Candra keluarkan, wajah tertekuknya kini berubah jadi dingin kembali. Ditatapnya Ayana dengan lekat sambil kedua tangannya menopang dagu. "Sebenarnya kamu kesal sama saya itu karena apa sih? Motif nya apa sih?" tanya Candra heran, pasalnya Candra tak pernah tau alasan yang sebenarnya. Mengapa ia membencinya sebegitu besarnya bahkan sampai-sampai ia di anggap musuh olehnya padahal Candra tak tau apapun, tak pernah membuat masalah dengannya.
"Lo aneh, cowok aneh!" kekeh Ayana sembari bersandar disandaran kursi, menghindari kedua mata elang milik Candra yang kini menatapnya lekat.
"Cuma itu doang? Aneh? Yaampun Ayana, cumanitu doang kamu anggap saya musuh" ucap Candra tak percaya dengan menunjuk dirinya sendiri sementara Ayana hanya mengedikkan bahu tak peduli.
"Pepatah mengatakan, tak kenal maka tak sayang. Kamu menganggap saya aneh karena kamu belum mengenal jauh saya. Kamu hanya mengenal saya sebatas nama dan cerita orang, bukan dari diri saya sendiri" jelas Candra dengan kesal. Lagi, lagi Ayana hanya mengedikkan bahu tak peduli.
Bagi Candra, tidak akan ada rasa sayang jika diantara keduanya tak saling mengenal, kalau pun ada itu seperti sebuah keajaiban. Sebab sebuah hubungan yang baik, itu dimulai dengan perkenalan yang cukup baik pula. Seperti pepatah mengatakan Tak kenal maka tak sayang, nah pada dasarnya untuk memahami seseorang, menyayangi bahkan mencintai itu semua harus dimulai dengan perkenalan terlebih dahulu.Seperti halnya salah satu surat dalam al-qur'an yang pertama kali diturunkan ialah surat al-alaq, surat makiyah yang terdiri dari 19 ayat ini diawali dengan kata "iqra" maka bacalah. Seperti sebuah perintah, jika kita membacanya terlebih insyaallah dahulu insyaAllah kita bisa dapat mengenal serta memahami semua firman-firman Allah yang telah ada di al-qur'an.
"Lo gak usah natap gue kaya gitu!" pinta Ayana risih dengan menjauhkan wajah Candra dari hadapannya.Tanpa mereka sadari, seseorang sedang tersenyum menyeringai sambil memotret mereka diam-diam. Pikirnya, bukti itu sudah cukup untuk melapor pada majikkannya.
Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir. (surat Ar Ruum ayat 21)Pernikahan bukan hanya menyatukan kedua insan menjadi sepasang suami istri dan mengandung kebolehan melakukan hubungan suami istri, melainkan menikah juga juga salah satu cara memperkuat ibadah, penyempurna agama.Hal ini sesuai dengan hadits tentang pernikahan yang diriwayatkan oleh Baihaqi, Rasulullah SAW bersabda, "Apabila seorang hamba menikah, maka telah sempurna separuh agamanya. Maka takut lah kepada Allah SWT untuk separuh sisanya."Selain itu pernikahan juga bertujuan untuk memperoleh keturunan. Dalam hadits riwayat Ahmad, Ibnu Hibban, dan Thabrani, Rasulullah SAW bersabda "Nikahi lah wanita-wanita yang bersifat p
Suara gemuruh riuh terdengar, ucapan syukur alhamdulillah begitu mengudara disetiap sudut ruangan. Ayana nampak mengucap syukur dengan terpaksa serta mengusap wajahnya dengan pelan beberapa kali seakan ingin menghilangkan rasa gugup dihatinya. Bagaimana pun ini pernikahannya, awal dari kehidupan barunya munafik sekali jika Ayana tak merasakan perasaan gugup seperti mempelai wanita pada umumnya. Ya, meski pernikahan ini dilakukan secara terpaksa sih, tapi tetap saja sisi perempuannya kini keluar."Mohon mempelai wanitanya segera dipertemukan dengan suaminya," ucap penghulu yang diangguki semua orang.Tak lama kemudian Heni menemui Ayana dengan seulas senyum. Digandengnya tangan Ayana untuk segera turun menemui Candra yang kini telah sah menyandang gelar suami dari seorang preman kampus."Berjalanlah dengan anggun, jangan perlihatkan ketomboyanmu disini" bisik Heni. Ayana hanya mampu mengangguk tanpa ingin berprotes pada sang bunda.Satu persa
Seusai akad nikah dan resepsi pernikahan yang digelar secara bersamaan, kini semua anggota keluarga pun telah pulang kerumahnya masing-masing.Candra pun melangkahkan kaki menuju kamar untuk menyusul Ayana yang telah lebih dulu pergi ke kamar.Clek...Bersamaan dengan tangannya membuka knop pintu, ia melangkah kedalam kamar tersebut dan hal pertama yang ia lihat pada ruangan tersebut ialah sebuah foto di kepala ranjang, dengan ukuran lumayan cukup besar dan sangat menarik perhatiannya.Foto seorang pesepak bola andalan Madrid yang status posisinya sebagai penyerang utama siapa lagi kalau bukan Karim Benzema penyerang handal yang telah memberikan 18 tropi dan ia juga tercatat sebagai top skor Madrid di liga spanyol 2019-2020 dengan koleksi 21 bola.Pandangannya beredar ke setiap sudut ruangan kamar ini. Nampak tak seperti kamar perempuan pada umumnya, tak ada meja rias, tak ada ornamen-ornamen khas perempuan sama sekali.&nbs
"Stop!" teriakan Ayana membuat Candra mengerem mobilnya secara tiba-tiba dan membuat jidat Ayana terbentur ke dashboard mobil."Bisa nyetir gak sih?!" bentak Ayana yang tak terima jidatnya terbentur hingga menimbulkan warna biru disana."Bisa gak sih gak usah ngegas!" ketus Candra. Tatapan kesal ia layangkan pada Ayana yang masih mengusap jidatnya yang kini telah membiru."Suka-suka gue!" sewot Ayana. Hembusan napas pelan Candra keluarkan, entah harus seperti apa ia menghadapi Ayana, cewek tomboy, keras kepala dan begitu menyebalkan. Apa ia sanggup menjalani hari-harinya dengan wanita seperti dia? Entahlah, bahkan baru saja memulai, Candra berpikir ingin mengakhiri."Kok turun, mau kemana?" tanya Candra sedikit menurunkan egonya ketika melihat Ayana telah membuka pintu mobil dan hendak turun dari mobilnya."Gue turun disini saja, jatah antar lo sampai disini!"Candra membulatkan mata mendengar perkataan Ayana barusan,
"Pak Candra, aaaargh. Apa kabar? Tiga hari gak ketemu makin ganteng aja nih auranya!" pekik Widi ketika Candra baru saja hendak memasuki ruangannya.Candra pun menggelengkan kepalanya pelan, tak habis pikir dengan tingkah Widi. Dosen seumurannya yang tingkahnya semakin hari semakin aneh."Saya baik, Wid. Terimakasih lo pujiannya" ucapnya tersenyum manis.Melihat senyuman manis yang Candra lontarkan membuat Widi sumeringah, bahagia. Bahkan kini hatinya seolah sedang berbunga-bunga. Namun sial kebahagiaannya tak berlangsung lama ketika seorang perempuan sepantarannya menghampiri mereka dengan berjalan anggun sambil menenteng tas di lengannya.Tatapan jengah Candra layangkan pada wanita disebelahnya yang berpenampilan begitu seksi, tak ada sopan-sopannya sama sekali, menurutnya."Sayang!" pekik wanita itu membuat Candra dan Widi sontak memebelalakan mata. Sejak kapan wanita itu memanggil dirinya dengan sebutan sayang? Bahkan tak ada
Ruang sekertariat BEM kini telah dipenuhi para anak-anak dari berbagai organisasi di kampus ini. Rapat gabungan selalu membuat anak BEM kewalahan dan tak jarang kadang teras sekertariat BEM pun dijadikan tempat untuk menampung semua anak-anak dari berbagai organisasi."Gue bilang apa, gue ikut rapat hari ini" bisik Guntur pada Ayana dengan cengiran khasnya."Jangan lupa, nanti pulang gue nebeng sama lo. Kalau sama si Asepkan kesihan, harus putar balik lagi," bisik Ayana."Siap, bos!"Rapat akan segera dimulai. Semua elemen mahasiswa yang berbeda almamater itu duduk dimeja yang melingkar.Bisma, sang presiden Badan Eksekutif Mahasiswa itu berdiri dengan beberapa kertas ditanganya.Rambut yang dibiarkan sedikit gondrong itu, ia ikat rapi. Pesonanya yang terlihat menawan menjadikan sang presbem itu idaman para cewek-cewek, tak terkecuali dengan Atik. Ia begitu mengagumi laki-laki berambut gondrong dan berkumis tipis itu.
"Eh, hoy! Pak Can?"Teriakan Guntur membuat Candra yang hendak berbalik arah untuk kembali kerumah terpaksa harus kembali berputar, lalu tersenyum sekilas, menghampiri mereka."Ada apa, Gun? Teriak-teriak panggil saya, mau ngapain?" tanya Candra datar, berdiri dihadapan mereka dengan wajah setenang riak air."Ngapain disini, pak? Bukannya kalian ini musuhan ya? Kok bisa bapak ada dirumah ini?" tanya Guntur beruntun. Tanpa disadari Ayana dan Candra saling melempar pandang, mencari beribu alasan untuk jawaban atas pertanyaan dari Guntur tersebut."Ekhem... Saya kesini disuruh ayah saya buat temuin pak Herlan, kata siapa saya musuhan sama perempuan disebelah saya ini? Saya gak ada bilang begitu ya selama ini"Bravo, ucapan Candra membuat Ayana hampir saja tersedak. Alasan yang Candra buat benar-benar membuat Ayana tak menyangka, ternyata laki-laki dingin ini mampu juga jadi seorang pembohong."Oh gitu, emang sih bapak ga
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki- laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (Q.S. an-Nisaa‟ [4]: 34).***Byur!Sepagi ini, Ayana telah dikagetkan dengan siraman air dingin ke wajahnya. Bahkan tak tanggung-tanggung air segayung itu disiramkan dengan satu kali siraman membuat Ayana terkaget dan sontak terbangun kedinginan."Can! Apaan sih lo, ganggu orang tidur aja!" kesal Ayana ketika melihat Candra dengan tampang tak berdosanya berdiri memegang gayung disebelah Ayana."Cepat bangun, solat subuh" ujarnya dingin tanpa memperdulikan kekesalan Ayana."Lo tuh ya," geram Ayana. Candra hanya mengedikkan bahu tak peduli dengan melenggang pergi meninggalkan Ayana.Dengan sangat terpaksa Ayana beranjak pergi ke kamar mandi, membersihkan badannya serta segera solat subuh
"Bunda! Bangun, shalat subuh yuk"Teriakan dua orang yang berbeda nada suara itu begitu mengganggu waktu tidur Ayana pagi ini. Bukannya bangun, Ayana malah sengaja menarik selimutnya hingga menutupi seluruh tubuhnya membuat kedua laki-laki beda usia itu berkacak pinggang tak terima. Keduanya saling menatap lekat seolah memberi pesan jika keduanya telah merencanakan sesuatu. SatuDuaTiga"Ayo bangun Bunda, nanti subuhnya telat!"Keduanya kembali berteriak dengan menarik kuat selimut yang tengah Ayana kenakan. Sabiru sudah tidak sabar, ia menaiki ranjang dan memeluk Ayana erat. "Bunda, ayo dong" Sabiru kembali membangunkan Ayana dengan mencium wajah cantiknya. Menyadari ada yang tidak beres membuat Ayana segera membuka mata, ia memeluk Sabiru erat. "Sayang, Ummah masih ngantuk. Kalian duluan aja ya nanti Ummah nyusul" Sabiru menggeleng, ia menarik lengan Ayana untuk segera bangun dari pembaringan. "Ayo bunda, kita berjamaah sama Ayah"Kedua mata Ayana memicing, indra pendengarann
Mata Bisma menyala, jarum suntik yang ia pegang pun mampu dipatahkannya. Ia semakin tersulut emosi, dimana otak Ayana kali ini? Bukankah telat satu jam saja nyawa Sabiru taruhannya sementara jarak pesantren dan rumah sakit ini bisa ditempuh tiga puluh menit belum proses pengecekan golongan darah dan kesehatan. "TOLONGLAH PAHAM, AYA! DIA AYAHNYA, DIA YANG PALING BERHAK MENOLONG SABIRU!" teriak Bisma begitu kencang. Candra begitu syok mendengar pernyataan Bisma, ia pun turun dari ranjang pasien menghampiri Ayana yang berdiri kaku diambang pintu."Apakah yang Bisma katakan itu benar?" tanya Candra tak percaya. Ayana masih membeku enggan menjawab. Kedua tangan Candra terangkat, ia mengguncang tubuh Ayana. "Jawab Aya, apakah itu benar?"Melihat pemandangan tersebut membuat Bisma semakin geram, ia tidak mau membuang banyak waktu hanya karena ini. Yang ia pikirkan saat ini hanyalah Sabiru, ia ingin Sabirunya selamat. "Aya aku tidak akan pernah memaafkamu jika Sabiruku tidak selamat," lir
Selepas kepergian Candra, Ayana menangis sesenggukan dengan Sabiru yang sudah tertidur dipelukannya. Dengan datar Bisma mengambil sabiru untuk ia tidurkan lalu menyuruh Ayana untuk menjauh agar tidak mengganggu Sabiru. Ayana menurut, ia menjauh dari Sabiru dan terduduk di kursi tunggu yang tersedia diruangan tersebut. "Kenapa tidak jujur saja? pernyataan yang kamu lontarkan itu suatu kebohongan yang suatu saat akan merugikan kamu sendiri" Bisma menyodorkan tisu pada Ayana dengan kecewa. Kenapa Ayana seolah-olah kembali memberikan harapan besar padanya padahal jelas-jelas ia akan kembali merasakan sakitnya kembali ditolak oleh Ayana. Ayana mendongak, ia menerima tisu tersebut untuk menghapus ingusnya. Bisma duduk disampinya, mendengarkan tangis Ayana yang tidak mau berhenti itu dengan setia."Kenapa dia datang disaat aku hampir saja berhasil melupakannya?" tanya Ayana disela tangisnya. "Yang dia bilang itu benar Ya, pertemuan kalian itu sudah menjadi takdir Tuhan. Kamu tidak bisa
Tiga tahun berlaluSenja, kelabu masih saja menjadi peneman hari-hari Candra sejak tiga tahun terakhir setelah ia tidak pernah menemukan Ayana dimana pun. Kedua orangtua pun tidak ada yang memberitahu kemana perginya Ayana sebenarnya. Sejak tigak tahun terakhir pula, hidup Candra diambang keputus asaan. Ia begitu bingung ingin melanjutkan hidupnya seperti apa sementara kehidupan telah berakhir sejak penyesalan terbesarnya itu."Sudah tiga tahun loh, lu gak mau bangkit melupakannya? Gue aja udah punya anak tiga loh" sindir Haris menemui Candra yang tengah terduduk di balkon kantornya. Ya, Candra kembali bekerja di rumah sakit miliknya sebagai CEO sejak ayahnya mengetahui jika Candra sudah putus dengan Hanin. Candra tak tergerak untuk menjawab, ia masih saja menikmati senja yang akan kembali digantikan dengan gelapnya malam. "Gue masih menunggu dia balik, sekali pun dia sudah bukan jadi istri gue tapi gue akan tetap menjadi miliknya. Gue gak mau nikah dengan siapa pun kecuali dengan
Hari-hari berikutnya adalah penderitaan bagi Candra, sesak yang menggunung dihatinya tidak akan pernah runtuh sebelum ia meminta maaf pada Ayana dan Ayana memaafkannya. Menyesal, merasa bersalah dan rindu yang amat besar membuat hari-hari Candra menjadi sangat kelabu.Untuk menuntaskan semuanya pagi ini bahkan Candra bergegas untuk menjemput Ayana dan meminta maaf padanya, wajah yang sayu itu kini sudah menatap sendu pekarangan rumah Herlan. Disana nampak begitu sepi pagi ini dan Candra tidak begitu yakin kalau Herlan akan mengizinkannya masuk. Namun bukan Candra namanya kalau tidak mencoba. Ia berusaha menguatkan hatinya, bersikap bodo amat memarkirkan mobilnya di pekarangan rumah tersebut. Beberapa penjaga bahkan menyambutnya dengan ramah. Menghela nafas dalam, Candra keluar dari mobil dan berjalan menuju depan pintu rumah tersebut. Belum sempat Candra mengetuk pintu tiba-tiba Adinda keluar dari rumah tersebut dengan pakaian dinasnya. "Kamu, sedang apa disini?" tanya Adinda beg
Sudah hampir tiga bulan sejak perpisahan Candra dengan Ayana, kini dirinya sudah kembali terbiasa menjalani hari-hari. Melakukan pekerjaan rumah tanpa di bantu oleh Ayana. Keterbiasaan itu entah kenapa menjadikan hatinya suram untuk menjalani hari-hari. Ia merasa harinya kurang lengkap tanpa ada pengganggu di hidupnya. Siapa lagi kalau bukan Ayana. Sudah hampir tiga bulan juga Candra tak lagi menjadi seorang CEO dirumah sakit miliknya atau pun di perusahaan milik ayahnya. Hidup Candra kembali lagi kemassa dimana ia hanyalah seorang pegawai rumah sakit biasa di salah satu rumah sakit swasta. Haris, yang merupakan sahabatnya pun tak peduli dengannya. Entah, mungkin ini memang hukuman baginya atas apa yang ia lakukan pada Ayana dulu. Candra menarik napas dalam, menatap kearah sebrang rumah sakit. Dimana ia melihat seseorang yang tidak asing baginya, perempuan yang sedari dulu ia cintai tengah menunggunya duduk santai menikmati secangkir kopi andalan yang disajikan di kafe tersebut.
Rembulan malam telah tenggelam, menghilang di gantikan dengan sinar matahari yang terbit dengan malu-malu. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi, tapi Candra masih asik duduk melamun di kursi meja makan. Ada hati kecil yang menyesal saat ini, luka di wajahnya bahkan masih terasa perih. Setelah malam itu, sepertinya Candra akan benar-benar kehilangan Ayananya. Kemarahan Herlan nampaknya akan mengibarkan bendera permusuhan. Pikirnya. Candra meringis saat melihat pemandangan rumah yang begitu acak-acakan tidak seperti biasanya yang nampak rapi dan harum. Ia menghembuskan nafas kasar ketika cucian yang menggunung seperti melambai-lambai kearahnya. Ini baru beberapa hari Ayana pergi dari rumahnya namun Candra sudah dibuat stres dengan pekerjaan rumah yang menggunung. Kenapa harus takut jika Ayana pergi kan ada Hanin yang akan merawatnya, menggantikan posisi Ayana. Pikirnya Candra begitu dulu tapi Candra salah. Setelah malam itu, Hanin malah seperti terkesan menjauh. Ia begitu sulit d
Mobil berplat nomor dinas itu berhenti tepat di pekarangan rumah Candra. Nampak Herlan bersama kedua ajudannya keluar dari mobil tersebut, mata Herlan memejam lama saat kakinya hendak melangkah ke depan pintu rumah yang sedikit terbuka. Samar-samar Herlan mendengar suara perempuan yang tengah asik berbincang dengan menantunya itu, tentu saja bukan Ayananya. Tangan Herlan terangkat hendak mengetuk pintu, namun dihalangi oleh kedua ajudannya."Izin komandan, sebaiknya jika memang komandan ingin memastikan benar tidaknya jika menantu komandan itu berselingkuh sebaiknya kita tunggu dulu jangan dulu masuk, kita intip saja dari jendela dan dengarkan percakapannya" ujar Roni salah satu ajudan yang paling keluarga Herlan percayai.Herlan menurunkan tangannya, ia menuruti apa yang dikatakan Roni. "Ayo tuan sebaiknya kita intip disini," ajak Roni sedikit menjauhi pintu utama tepat pada jendela besar yang hanya di tutupi kain gorden yang sangat tipis. Dari sana terlihat jelas Candra tengah du
Lantunan surat Al-Baqarah terdengar melangalun lembut menghiasi kamar kos-koasan berukuran 2.5 m kali 3 m itu.Si pembaca begitu menjiwai setiap ayat demi ayat yang ia lantunkan. Apalagi saat ia membaca dan merenungi salah satu arti dari surat al-baqarah ayat 216 yang berbunyi :كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْ ۚ وَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۚ وَعَسٰٓى اَنْ تُحِبُّوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ ࣖ“Diwajibkan atasmu berperang, padahal itu kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui”Melalui surat Al Baqarah 216 Allah telah menjelaskan bahwa kewajiban perang harus dilaksanakan meski hal tersebut bukan sesuatu yang menyenangkan. Dalam ayat tersebut menyebutkan bahwa “boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu” yang berarti peperangan