Anak zaman sekarang mana ada yang mau menuruti permintaan orangtuanya begitu saja. Apalagi permintaannya itu sungguh tak pernah ia sukai. Tak segampang itu!
Ayana menghentakkan kakinya kesal ketika Candra mendapatkan izin dari ayahnya untuk mengantar dirinya. Lihat saja kelakuan pria itu sekarang, dengan sangat sopannya ia menyalami kedua orangtuanya dan orangtua Ayana. Bahkan ia tersenyum manis menghampiri Ayana, tak seperti biasanya yang selalu bersikap dingin dan kaku.
Lihat saja, permainan apa yang akan Candra mainkan kali ini pada Ayana. Murid menyebalkan seantero kampus.
"Ayo buruan naik, katanya mau kerja kelompok. Nanti kemalaman," ucap Candra ketika ia sudah memasuki mobilnya sementara Ayana masih berdiri kesal dihadapan mobil mahal tersebut.
"Malah bengong, cepat naik!" ucapnya lagi.
Gubraks...
Dengan kasar Ayana membanting pintu mobil tersebut setelah masuk dan duduk di kursi belakang."Saya bukan supir kamu, jadi saya harap kamu pindah duduk disebelah saya!" pinta Candra dingin tanpa menoleh kearah Ayana yang menatap wajah Candra dari kaca mobil dengan malas tanpa menyahuti pertanyaannya.
Seperti sudah memahami, Candra pun mulai menyalakan mesin mobilnya dan menjalankannya dengan kecepatan sedang.
Hening, tak ada suara diantara mereka. Hanya pemikiran masing-masinglah yang menemani perjalanan mereka saat ini.
Ayana kembali menoleh kearah kaca yang menampilkan wajah Candra yang begitu menatap serius pada arah jalanan, wajahnya begitu terlihat kaku dan dingin membuat Ayana berdecak kesal tak karuan.
"Woy,mau bawa gue kemana lo? Ini bukan arah jalan kerumah Tika ya," protesnya ketika menyadari jalan yang mereka lalui bukanlah jalan yang sering Ayana lewati ketika hendak main kerumah Tika.
"Emang siapa yang mau kesana?" tanya Candra dengan kekehan.
"Hey, gak usah macam-macam ya lo. Gue hajar lo!" ancam Ayana dengan memajukan sedikit tubuhnya mendekati Candra dan tangannya telah siap untuk menjambak rambutnya.
"Hajar aja kalau berani!" tantang Candra dengan santainya.
"Elo tuh ya, benar-benar cari mati sama gue," greget Aya dengan tangan mengepal lalu memukul kursi kemudi dengan keras.
"Mati itu gak perlu dicari, kalau sudah waktunya saya tidak akan pernah bisa mengelak,"
Diam!
Satu kata yang Ayana lakukan saat ini ialah diam setelah mendengarkan kata-kata bijak Candra dengan sangat santainya."Nya?" panggil Candra ketika mobil yang ia kendarai berhenti saat lampu merah.
Bukannya menggubris panggilan Candra Ayana malah sibuk dengan kegiatannya. Berdiam diri sambil sesekali menoleh kanan kiri mencari seseorang yang biasa ia temui dilampu merah.
"Ayana!" ulangnya dengan nada tinggi, nampak sekali wajah Candra yang kini telah memerah menahan emosi dengan tingkah gadis dibelakangnya yang tak menganggap ia ada.
"Nya?!" ulangnya lagi kali ini dengan bentakkan membuat Ayana terperanjat dan menoleh kearahnya sekilas.
"Nya, nya! Emang gue nyonya lo apa? Lo pikir gue budeg, hah?!" kesal Ayana sambil menggebrak kaca mobil kasar.
"Bisa gak sih kamu kalau jadi cewek gak usah kasar gitu! Nanti kalau kacanya pecah, apa kamu mau ganti?" balasnya membuat emosi Ayana semakin naik pitam. Sungguh sabtu malamnya kali benar-benar buruk.
"Ck. Gue ganti! Tenang aja, berapa pun akan gue ganti! Gue gak akan lari dari masalah seperti lo!" sindir Ayana dengan kedua tangannya ia lipat didada.
"So kaya sekali kamu, gak usah sombong! Semua fasilitas yang kamu miliki dan nikmati sekarang tak lain hanya milik orangtuamu," nasehatnya membuat Ayana sontak menatap tajam punggung tegap milik Candra dihadapanya.
So bijak sekali pria ini, bukannya yang sombong itu dia? Bahkan saat ia menyerempetnya, tak ada rasa tanggung jawab sedikit pun. Hanya memberikan beberapa lembar uang sebagai ganti ruginya. Lagak orang kaya memang gitu.
Candra kembali menacapkan pedal gas ketika rambu-rambu jalanan telah berubah menjadi warna hijau.
Cukup lama terdiam, ternyata mobil Candra kini telah terparkir manis tepat di depan cafe.
"Turun!" titah Candra tegas.
Ayana pun segera tersadar dari lamunannya. Pandangannya ia edarkan keseluruh halaman cafe yang cukup ramai dengan kendaraan pribadi.
Detik berikutnya ia turun dari mobil lalu mengikuti langkah Candra hingga memasukki cafe.
Meja kosong tepat di pojok cafe ialah tempat yang Candra pilih membuat Ayana mengangkat sebelah alisnya tinggi. Mau apa dia membawanya ke cafe? Dipojokan lagi, itu kan tempat sepi? Apa jangan-jangan ia sengaja agar bisa dinner berduaan dengan Ayana. Sial, pikiran kotor kini telah menodai otak Ayana.
"Ngapain lo ngajak gue kesini? Lo mau dinner sama gue? Sori ya gue gak tertarik sama lo," geer Ayana dengan sangat pedenya membuat Candra yang baru saja duduk terkekeh.
"Ada yang lucu?" tanya Ayana masih berdiri dihadapan Candra sambil memperhatikan suasana cafe yang hampir sepenuhnya diisi oleh pelanggan yang berpasangan.
"Duduk dulu, kamu gak usah suudzon gitu sama saya. Saya ingin membicarakan prihal perjodohan kita," jelas Candra masih dengan kekehan.
Ayana pun mengangguk lalu duduk dihadapan Candra dengan kaki ia angkat sebelah dan meletakannya diatas kursi yang ia dudukki.
Hembusan napas kesal Candra keluarkan, kelakuan gadis dihadapannya benar-benar menguras emosi.
"Bisa gak sih kamu sopan sedikit sama saya. Setidaknya hargai saya sebagai dosen kamu" pinta Candra.
"Harus?" tanya Ayana dengan menautkan kedua alisnya.
Candra mendengus kesal "Saya lebih tua dari kamu, bisa gak sedikit saja kamu menghargai saya? Bahkan saya sudah bersikap baik padamu, hingga sampai saat ini saya masih sabar menghadapi kamu!"
Tatapan protes Ayana layangkan pada pria menyebalkan dihadapannya. Bagian mana yang Candra anggap baik padanya? Sedangkan sejak awal pertemuannya ia adalah satu-satunya pria yang membuat dirinya dirundung kekesalan dengan segala tingkahnya yang so baik itu. Bahkan tugas-tugas yang bejibun, banyaknya hanya Ayana yang merasakan sedangkan yang lain. Tugasnya enteng-enteng saja, gak pernah tuh kesulitan sedikit pun bahkan tugasnya juga sedikit gak seperti dirinya. Apa itu yang dimaksud dengan baik? Hello, bukannya baik. Itu malah pendeskriminasian woy!
"Ck. Baik darimananya? Bahkan sejak gue ketemu sama lo, lo adalah satu-satunya pria paling menyebalkan!" protes Ayana.
Candra menatap Ayana dengan kesal sesekali wajahnya ia usap kasar. "Berhenti berbicara kasar pada saya!" suruhnya.
"Punya hak apa lo sama gue? Berani-beraninya suruh-suruh gue?!" balas Ayana dengan garang. Candra menghela napas kesal.
"Ck. Bagaimana bisa Om Herlan bisa mempunyai putri preman kaya gini? Bahkan tak ada sopan santunnya sama sekali," decak Candra.
Rasanya Ayana ingin sekali memaki dan merusak wajah kaku Candra yang so perfect itu. Lagak bicaranya seolah-olah menunjukkan jika dirinyalah yang paling tau atitude. Tidak dengan Ayana yang selalu salah dimatanya.
"Gak usah banyak bacot! To the point, bisakan?" pinta Ayana dengan menarik sudut bibirnya, membuat lengkungan yang sangat terpaksa ia lontarkan pada Candra.
"Ah iya, saya mau tanya sama kamu? Bagaimana bisa kamu mau menerima perjodohan ini?" tanya Candra dengan menggaruk alisnya yang tak gatal. Seperti salah tingkah.
"Lo pikir gue mau? Hahaha, sebenarnya gue ogah. Lagian tujuan awalnya juga bukan gue yang akan mereka jodohkan, tapi kakak gue," jelas Ayana membuat atensi Candra begitu fokus padanya.
"Oh, kakak kamu yang mencoba bunuh diri itu ya, kenapa kamu gak sekalian kaya gitu?" ucap Candra membuat Ayana seketika menggebrak meja kasar. Seketika atensi semua orang beralih padanya.
Dengan dengusan kesal, Candra menyandarkan tubuhnya disandaran kursi sembari menahan sabar yang lebih lagi. "Bisa gak, gak usah gebrak meja. Gak malu emangnya dilihatin banyak orang?" tanya Candra dengan suara lembut. "Eh sory, habisnya lo nyebelin," ucap Ayana kikuk dengan kembali duduk tenang."Hemm sory, saya juga tadi refleks aja. Terus kenapa kamu mau menerima perjodohan ini? Gak ada niat berontak seperti kakak kamu gitu? Tanya Candra.Ayana mengedikkan bahu, lalu memperbaiki kembali posisi duduknya. "Mana ada gue ngelawan sama mereka. Gue gak bisa aja gitu lihat mereka sedih karena masalah ini, lagian gue mana bisa menolak permintaan Ayah yang seperti nada perintah buat gue. Lagian gue masih waras ya, gak bakal bunuh diri kaya gitu, enak kalau langsung mati, lah kalau tidak? Kan berabe, bisa-bisa gue kena hukuman Ayah," keluhnya.Candra mengangguk kemudian memesan makanan terlebih dahulu sebelum melanjutkan percakapannya.
"Kenapa mikir gitu? Ya gak mungkinlah, kalau kamu gagal bunuh diri paling mereka senang terus ngebatalin gitu aja deh. Sama yang kakak kamu lakukan" seru Candra. Ayana mendengus sebal dengan menggeleng lemah.
"Gue bukan kak Dinda yang selalu mereka khawatirkan, gue Ayana! Mereka gak mungkin ngelakuin hal yang sama persis ke gue. Gue dan kakak gue beda! Asal lo tau, kasih sayang mereka ke ka Dinda dab gue gak pernah sama. Sejak gue menginjak ramaja, semua berubah! Gue selalu dibeda-bedain tanpa sebab, gue selalu di didik paling keras sama Ayah. Ya mungkin karena basic ayah militer, jadi dia begitu keras ngedidik gue dan bang Devan. Tidak seperti kak Dinda yang selalu dimanja, disayang bahkan kena panas matahari sebentar aja gak dibolehin. Kak Dinda sangat dimanja" ucap Ayana bercerita dengan emosi yang meluap-luap. Entahlah, baru kali ini Ayana begitu nyaman bercerita pada pria dihadapannya ini bahkan dengan sahabatnya sendiri pun ia selalu merasa sungkan jika bercerita mengenai keluarganya. Tapi dengan dia? Entahlah.
"Kenapa begitu? Kamu kan juga sama perempuan, kalau laki-laki sih wajar. Ayah saya juga gitu," ucap Candra santai. Menyadari ada yang janggal dari dirinya, Ayana sontak buru-buru memundurkan kursi sedikit kemudian berdehem menatapnya. "Kenapa jadi gue yang bercerita? Guekan musuh lo, ogah gue cerita sama lo!" ucap Ayana dengan kembali bersikap ketus padanya. Candra menggeleng, tak habis pikir dengan wanita dihadapannya ini yang bahkan sikapnya berubah-ubah. "Saya tidak pernah menganggap kamu sebagai musuh saya, kamunya aja yang selalu menyimpulkan begitu" ucap Candra membuat Ayana diak sekejap. "Terserah sih, terus kenapa lo menerima perjodohan ini?" tanya Ayana memicingkan mata."Asal kamu tau, saya sudah menolak mentah-mentah perjodohan ini tapi usaha saya tidak berhasil, mereka malah mengancam saya...""Payah! Cemen!" tukas Ayana sambil mengambil secangkir kopi latte yang Candra pesan untuknya.
"Saya gak payah, saya hanya mempertahankan hak saya!" bantah Candra.
"Lalu bagaimana rencana kedepannya? Apa kita akan terus melanjutkan perjodohan ini atau berusaha membatalkannya dengan cara apapun?" tanya Ayana setelah meneguk kopi latte tersebut.
Candra menggeleng "Saya tidak tau, makannya saya mengajak kamu kesini untuk membicarakan hal ini. Jika kita sama-sama menolak, apa kedua orangtua kita akan setuju? Tentu tidak bukan, mereka sama-sama kekeh dengan keinginannya. Lagi pula saya gak mau mengecewakan mereka, saya gak mau jatuh sakit-sakitan gara-gara hal ini" jelasnya.
"Terus maksud kamu, kita terima begitu aja perjodohan ini?" tanya Ayana curiga. Candra mengangguk lemah "Apa salahnya kita mencoba?" "Hellooooo, bapak Candra yang terhormat. Pernikahan itu bukan ajang coba-coba ya. Pernikahan itu hal yang sakral," ucap Ayana gemas."Saya tau itu, tapi..."
"Tapi apa? Gue gak mau ya nikah sama lo yang kaku dan menyebalkan kaya gini" potong Ayana cepat membuat Candra ingin sekali menyumpal mulut Ayana dengan kopi panas dihadapannya. "Siapa juga yang mau nikah sama kamu? Premana pasar dan gak punya sopan santun seperti kamu? Saya juga gak mau!""Terus mau lo apa?" tanya Ayana kesal. "Gini aja, kita saling mengenal aja dulu. Kalau nyaman ya pernikahannya kita teruskan kalau gak cocok ya kita cerai" ucap Candra begitu enteng. "Lo gila? Pernikahan itu hal yang sakral, setiap orang menginginkannya sekali seumur hidup. Dan gue juga pengen gitu. Pokoknya gue gak mau, kita batalkan saja perjodohan ini!" putus Ayana. Candra mengusap kasar wajahnya, ditatapnya Ayana yang begitu kesal pada dirinya dengan sekilas. Ia berusaha tenang, agar tidak terpancing emosi. "Gak semudah itu ferguso! Tau sendiri orangtua kita gimana? Mereka basicnya militer, keras! Gak akan bisa lunak!" ucap Candra tegah. Hembusan napas lelahnya Ayana keluarkan, ia kembali meneguk kopi late dengan kasar. "Terus? Gue harus nikah sama lo gitu?""Ya, emang cara terbaik seperti itu. Lagian saya juga gak bakal minta hak saya saat itu juga, saya juga gak bakal nyentuh kamu sedikit pun sebelum kamu rela. Percaya sama saya, kita jalani aja ini semua sesuai kemauan mereka. Saya kasih waktu kamu sampai lulus kuliah untuk bisa mencintai saya dan begitu pun saya. Kalau sampai saat waktu itu tiba, kita belum saling mencintai sebaiknya kita bercerai saja! Bagaimana apa kamu sepakat?""Sepakat apaan? Ogah gue, masa iya belajar mencintai orang kaku dan menyebalkan seperti kamu? Ogah gue!" tolak Ayana mentah-mentah. "Kamu pikir saya juga mau? Tidak! Tapi ini demi kebaikan keluarga kita, demi kebaikan persahabatan ayah kita, demi kesehatan mereka.""Ya terus? Gak harus seperti ini juga kali!""Terus mau kamu apa? Apa kamu punya solusi dari masalah ini? Enggak kan! Gimana sepakat tidak? Kita saling berteman aja, atau kalau perlu pernikahan ini kita sembunyikan?"Pertanyaan Candra sungguh membuat Ayana dilema, pilihan yang Candra berikan padanya sungguh sulit. Namun lagi, lagi mengingat Ayah dan ibunya yang selalu bersikap tak adil pada dirinya membuat ia berpikir untuk cepat-cepat segera berumah tangga untuk pergi menjauh dari keluarganya. Tapi masalahnya bukan sama dia!"Bagaimana? Apa kamu sepakat? " tanya Candra dengan mengulurkan tangannya pada Ayana.
Suara bising kini memenuhi ruangan yang penuh dengan anak manusia muda dengan segudang bakat yang mumpuni. Ya, hari ini kelas yang ditempati Ayana begitu kacau, acara dadakan yang digelar sebagian penghuni kelas begitu ramai gara-gara sang dosen yang tak kunjung datang.Band yang dibuat seadanya dengan alat-alat pembersih serta dua vokalis cantik yang menjadi andalan kini tengah beraksi menghibur kawan-kawannya di kelas. Ulahnya? Siapa lagi kalau bukan Ayana Wiratmi Kencanasari dan gengnya bernama Aster yang beranggotakan empat laki-laki dan dua perempuan."Ya, tumben kamu gak nyanyi? Lesu gitu, kenapa?" itu Tika yang bertanya. Satu-satunya sahabat perempuan yang Ayana miliki sampai saat ini. Sifat polos dan agak sedikit telmi ialah ciri khas yang dimiliki Tika dan tak jangang kepolosan serta ketelatannya berpikir membuat geng Aster pusing kadang terhibur dengannya."Iya, kenapa lo?" sambung Guntur ketika menyadari perubahan Ayana saat ini. Wajahnya
Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir. (surat Ar Ruum ayat 21)Pernikahan bukan hanya menyatukan kedua insan menjadi sepasang suami istri dan mengandung kebolehan melakukan hubungan suami istri, melainkan menikah juga juga salah satu cara memperkuat ibadah, penyempurna agama.Hal ini sesuai dengan hadits tentang pernikahan yang diriwayatkan oleh Baihaqi, Rasulullah SAW bersabda, "Apabila seorang hamba menikah, maka telah sempurna separuh agamanya. Maka takut lah kepada Allah SWT untuk separuh sisanya."Selain itu pernikahan juga bertujuan untuk memperoleh keturunan. Dalam hadits riwayat Ahmad, Ibnu Hibban, dan Thabrani, Rasulullah SAW bersabda "Nikahi lah wanita-wanita yang bersifat p
Suara gemuruh riuh terdengar, ucapan syukur alhamdulillah begitu mengudara disetiap sudut ruangan. Ayana nampak mengucap syukur dengan terpaksa serta mengusap wajahnya dengan pelan beberapa kali seakan ingin menghilangkan rasa gugup dihatinya. Bagaimana pun ini pernikahannya, awal dari kehidupan barunya munafik sekali jika Ayana tak merasakan perasaan gugup seperti mempelai wanita pada umumnya. Ya, meski pernikahan ini dilakukan secara terpaksa sih, tapi tetap saja sisi perempuannya kini keluar."Mohon mempelai wanitanya segera dipertemukan dengan suaminya," ucap penghulu yang diangguki semua orang.Tak lama kemudian Heni menemui Ayana dengan seulas senyum. Digandengnya tangan Ayana untuk segera turun menemui Candra yang kini telah sah menyandang gelar suami dari seorang preman kampus."Berjalanlah dengan anggun, jangan perlihatkan ketomboyanmu disini" bisik Heni. Ayana hanya mampu mengangguk tanpa ingin berprotes pada sang bunda.Satu persa
Seusai akad nikah dan resepsi pernikahan yang digelar secara bersamaan, kini semua anggota keluarga pun telah pulang kerumahnya masing-masing.Candra pun melangkahkan kaki menuju kamar untuk menyusul Ayana yang telah lebih dulu pergi ke kamar.Clek...Bersamaan dengan tangannya membuka knop pintu, ia melangkah kedalam kamar tersebut dan hal pertama yang ia lihat pada ruangan tersebut ialah sebuah foto di kepala ranjang, dengan ukuran lumayan cukup besar dan sangat menarik perhatiannya.Foto seorang pesepak bola andalan Madrid yang status posisinya sebagai penyerang utama siapa lagi kalau bukan Karim Benzema penyerang handal yang telah memberikan 18 tropi dan ia juga tercatat sebagai top skor Madrid di liga spanyol 2019-2020 dengan koleksi 21 bola.Pandangannya beredar ke setiap sudut ruangan kamar ini. Nampak tak seperti kamar perempuan pada umumnya, tak ada meja rias, tak ada ornamen-ornamen khas perempuan sama sekali.&nbs
"Stop!" teriakan Ayana membuat Candra mengerem mobilnya secara tiba-tiba dan membuat jidat Ayana terbentur ke dashboard mobil."Bisa nyetir gak sih?!" bentak Ayana yang tak terima jidatnya terbentur hingga menimbulkan warna biru disana."Bisa gak sih gak usah ngegas!" ketus Candra. Tatapan kesal ia layangkan pada Ayana yang masih mengusap jidatnya yang kini telah membiru."Suka-suka gue!" sewot Ayana. Hembusan napas pelan Candra keluarkan, entah harus seperti apa ia menghadapi Ayana, cewek tomboy, keras kepala dan begitu menyebalkan. Apa ia sanggup menjalani hari-harinya dengan wanita seperti dia? Entahlah, bahkan baru saja memulai, Candra berpikir ingin mengakhiri."Kok turun, mau kemana?" tanya Candra sedikit menurunkan egonya ketika melihat Ayana telah membuka pintu mobil dan hendak turun dari mobilnya."Gue turun disini saja, jatah antar lo sampai disini!"Candra membulatkan mata mendengar perkataan Ayana barusan,
"Pak Candra, aaaargh. Apa kabar? Tiga hari gak ketemu makin ganteng aja nih auranya!" pekik Widi ketika Candra baru saja hendak memasuki ruangannya.Candra pun menggelengkan kepalanya pelan, tak habis pikir dengan tingkah Widi. Dosen seumurannya yang tingkahnya semakin hari semakin aneh."Saya baik, Wid. Terimakasih lo pujiannya" ucapnya tersenyum manis.Melihat senyuman manis yang Candra lontarkan membuat Widi sumeringah, bahagia. Bahkan kini hatinya seolah sedang berbunga-bunga. Namun sial kebahagiaannya tak berlangsung lama ketika seorang perempuan sepantarannya menghampiri mereka dengan berjalan anggun sambil menenteng tas di lengannya.Tatapan jengah Candra layangkan pada wanita disebelahnya yang berpenampilan begitu seksi, tak ada sopan-sopannya sama sekali, menurutnya."Sayang!" pekik wanita itu membuat Candra dan Widi sontak memebelalakan mata. Sejak kapan wanita itu memanggil dirinya dengan sebutan sayang? Bahkan tak ada
Ruang sekertariat BEM kini telah dipenuhi para anak-anak dari berbagai organisasi di kampus ini. Rapat gabungan selalu membuat anak BEM kewalahan dan tak jarang kadang teras sekertariat BEM pun dijadikan tempat untuk menampung semua anak-anak dari berbagai organisasi."Gue bilang apa, gue ikut rapat hari ini" bisik Guntur pada Ayana dengan cengiran khasnya."Jangan lupa, nanti pulang gue nebeng sama lo. Kalau sama si Asepkan kesihan, harus putar balik lagi," bisik Ayana."Siap, bos!"Rapat akan segera dimulai. Semua elemen mahasiswa yang berbeda almamater itu duduk dimeja yang melingkar.Bisma, sang presiden Badan Eksekutif Mahasiswa itu berdiri dengan beberapa kertas ditanganya.Rambut yang dibiarkan sedikit gondrong itu, ia ikat rapi. Pesonanya yang terlihat menawan menjadikan sang presbem itu idaman para cewek-cewek, tak terkecuali dengan Atik. Ia begitu mengagumi laki-laki berambut gondrong dan berkumis tipis itu.
"Eh, hoy! Pak Can?"Teriakan Guntur membuat Candra yang hendak berbalik arah untuk kembali kerumah terpaksa harus kembali berputar, lalu tersenyum sekilas, menghampiri mereka."Ada apa, Gun? Teriak-teriak panggil saya, mau ngapain?" tanya Candra datar, berdiri dihadapan mereka dengan wajah setenang riak air."Ngapain disini, pak? Bukannya kalian ini musuhan ya? Kok bisa bapak ada dirumah ini?" tanya Guntur beruntun. Tanpa disadari Ayana dan Candra saling melempar pandang, mencari beribu alasan untuk jawaban atas pertanyaan dari Guntur tersebut."Ekhem... Saya kesini disuruh ayah saya buat temuin pak Herlan, kata siapa saya musuhan sama perempuan disebelah saya ini? Saya gak ada bilang begitu ya selama ini"Bravo, ucapan Candra membuat Ayana hampir saja tersedak. Alasan yang Candra buat benar-benar membuat Ayana tak menyangka, ternyata laki-laki dingin ini mampu juga jadi seorang pembohong."Oh gitu, emang sih bapak ga
"Bunda! Bangun, shalat subuh yuk"Teriakan dua orang yang berbeda nada suara itu begitu mengganggu waktu tidur Ayana pagi ini. Bukannya bangun, Ayana malah sengaja menarik selimutnya hingga menutupi seluruh tubuhnya membuat kedua laki-laki beda usia itu berkacak pinggang tak terima. Keduanya saling menatap lekat seolah memberi pesan jika keduanya telah merencanakan sesuatu. SatuDuaTiga"Ayo bangun Bunda, nanti subuhnya telat!"Keduanya kembali berteriak dengan menarik kuat selimut yang tengah Ayana kenakan. Sabiru sudah tidak sabar, ia menaiki ranjang dan memeluk Ayana erat. "Bunda, ayo dong" Sabiru kembali membangunkan Ayana dengan mencium wajah cantiknya. Menyadari ada yang tidak beres membuat Ayana segera membuka mata, ia memeluk Sabiru erat. "Sayang, Ummah masih ngantuk. Kalian duluan aja ya nanti Ummah nyusul" Sabiru menggeleng, ia menarik lengan Ayana untuk segera bangun dari pembaringan. "Ayo bunda, kita berjamaah sama Ayah"Kedua mata Ayana memicing, indra pendengarann
Mata Bisma menyala, jarum suntik yang ia pegang pun mampu dipatahkannya. Ia semakin tersulut emosi, dimana otak Ayana kali ini? Bukankah telat satu jam saja nyawa Sabiru taruhannya sementara jarak pesantren dan rumah sakit ini bisa ditempuh tiga puluh menit belum proses pengecekan golongan darah dan kesehatan. "TOLONGLAH PAHAM, AYA! DIA AYAHNYA, DIA YANG PALING BERHAK MENOLONG SABIRU!" teriak Bisma begitu kencang. Candra begitu syok mendengar pernyataan Bisma, ia pun turun dari ranjang pasien menghampiri Ayana yang berdiri kaku diambang pintu."Apakah yang Bisma katakan itu benar?" tanya Candra tak percaya. Ayana masih membeku enggan menjawab. Kedua tangan Candra terangkat, ia mengguncang tubuh Ayana. "Jawab Aya, apakah itu benar?"Melihat pemandangan tersebut membuat Bisma semakin geram, ia tidak mau membuang banyak waktu hanya karena ini. Yang ia pikirkan saat ini hanyalah Sabiru, ia ingin Sabirunya selamat. "Aya aku tidak akan pernah memaafkamu jika Sabiruku tidak selamat," lir
Selepas kepergian Candra, Ayana menangis sesenggukan dengan Sabiru yang sudah tertidur dipelukannya. Dengan datar Bisma mengambil sabiru untuk ia tidurkan lalu menyuruh Ayana untuk menjauh agar tidak mengganggu Sabiru. Ayana menurut, ia menjauh dari Sabiru dan terduduk di kursi tunggu yang tersedia diruangan tersebut. "Kenapa tidak jujur saja? pernyataan yang kamu lontarkan itu suatu kebohongan yang suatu saat akan merugikan kamu sendiri" Bisma menyodorkan tisu pada Ayana dengan kecewa. Kenapa Ayana seolah-olah kembali memberikan harapan besar padanya padahal jelas-jelas ia akan kembali merasakan sakitnya kembali ditolak oleh Ayana. Ayana mendongak, ia menerima tisu tersebut untuk menghapus ingusnya. Bisma duduk disampinya, mendengarkan tangis Ayana yang tidak mau berhenti itu dengan setia."Kenapa dia datang disaat aku hampir saja berhasil melupakannya?" tanya Ayana disela tangisnya. "Yang dia bilang itu benar Ya, pertemuan kalian itu sudah menjadi takdir Tuhan. Kamu tidak bisa
Tiga tahun berlaluSenja, kelabu masih saja menjadi peneman hari-hari Candra sejak tiga tahun terakhir setelah ia tidak pernah menemukan Ayana dimana pun. Kedua orangtua pun tidak ada yang memberitahu kemana perginya Ayana sebenarnya. Sejak tigak tahun terakhir pula, hidup Candra diambang keputus asaan. Ia begitu bingung ingin melanjutkan hidupnya seperti apa sementara kehidupan telah berakhir sejak penyesalan terbesarnya itu."Sudah tiga tahun loh, lu gak mau bangkit melupakannya? Gue aja udah punya anak tiga loh" sindir Haris menemui Candra yang tengah terduduk di balkon kantornya. Ya, Candra kembali bekerja di rumah sakit miliknya sebagai CEO sejak ayahnya mengetahui jika Candra sudah putus dengan Hanin. Candra tak tergerak untuk menjawab, ia masih saja menikmati senja yang akan kembali digantikan dengan gelapnya malam. "Gue masih menunggu dia balik, sekali pun dia sudah bukan jadi istri gue tapi gue akan tetap menjadi miliknya. Gue gak mau nikah dengan siapa pun kecuali dengan
Hari-hari berikutnya adalah penderitaan bagi Candra, sesak yang menggunung dihatinya tidak akan pernah runtuh sebelum ia meminta maaf pada Ayana dan Ayana memaafkannya. Menyesal, merasa bersalah dan rindu yang amat besar membuat hari-hari Candra menjadi sangat kelabu.Untuk menuntaskan semuanya pagi ini bahkan Candra bergegas untuk menjemput Ayana dan meminta maaf padanya, wajah yang sayu itu kini sudah menatap sendu pekarangan rumah Herlan. Disana nampak begitu sepi pagi ini dan Candra tidak begitu yakin kalau Herlan akan mengizinkannya masuk. Namun bukan Candra namanya kalau tidak mencoba. Ia berusaha menguatkan hatinya, bersikap bodo amat memarkirkan mobilnya di pekarangan rumah tersebut. Beberapa penjaga bahkan menyambutnya dengan ramah. Menghela nafas dalam, Candra keluar dari mobil dan berjalan menuju depan pintu rumah tersebut. Belum sempat Candra mengetuk pintu tiba-tiba Adinda keluar dari rumah tersebut dengan pakaian dinasnya. "Kamu, sedang apa disini?" tanya Adinda beg
Sudah hampir tiga bulan sejak perpisahan Candra dengan Ayana, kini dirinya sudah kembali terbiasa menjalani hari-hari. Melakukan pekerjaan rumah tanpa di bantu oleh Ayana. Keterbiasaan itu entah kenapa menjadikan hatinya suram untuk menjalani hari-hari. Ia merasa harinya kurang lengkap tanpa ada pengganggu di hidupnya. Siapa lagi kalau bukan Ayana. Sudah hampir tiga bulan juga Candra tak lagi menjadi seorang CEO dirumah sakit miliknya atau pun di perusahaan milik ayahnya. Hidup Candra kembali lagi kemassa dimana ia hanyalah seorang pegawai rumah sakit biasa di salah satu rumah sakit swasta. Haris, yang merupakan sahabatnya pun tak peduli dengannya. Entah, mungkin ini memang hukuman baginya atas apa yang ia lakukan pada Ayana dulu. Candra menarik napas dalam, menatap kearah sebrang rumah sakit. Dimana ia melihat seseorang yang tidak asing baginya, perempuan yang sedari dulu ia cintai tengah menunggunya duduk santai menikmati secangkir kopi andalan yang disajikan di kafe tersebut.
Rembulan malam telah tenggelam, menghilang di gantikan dengan sinar matahari yang terbit dengan malu-malu. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi, tapi Candra masih asik duduk melamun di kursi meja makan. Ada hati kecil yang menyesal saat ini, luka di wajahnya bahkan masih terasa perih. Setelah malam itu, sepertinya Candra akan benar-benar kehilangan Ayananya. Kemarahan Herlan nampaknya akan mengibarkan bendera permusuhan. Pikirnya. Candra meringis saat melihat pemandangan rumah yang begitu acak-acakan tidak seperti biasanya yang nampak rapi dan harum. Ia menghembuskan nafas kasar ketika cucian yang menggunung seperti melambai-lambai kearahnya. Ini baru beberapa hari Ayana pergi dari rumahnya namun Candra sudah dibuat stres dengan pekerjaan rumah yang menggunung. Kenapa harus takut jika Ayana pergi kan ada Hanin yang akan merawatnya, menggantikan posisi Ayana. Pikirnya Candra begitu dulu tapi Candra salah. Setelah malam itu, Hanin malah seperti terkesan menjauh. Ia begitu sulit d
Mobil berplat nomor dinas itu berhenti tepat di pekarangan rumah Candra. Nampak Herlan bersama kedua ajudannya keluar dari mobil tersebut, mata Herlan memejam lama saat kakinya hendak melangkah ke depan pintu rumah yang sedikit terbuka. Samar-samar Herlan mendengar suara perempuan yang tengah asik berbincang dengan menantunya itu, tentu saja bukan Ayananya. Tangan Herlan terangkat hendak mengetuk pintu, namun dihalangi oleh kedua ajudannya."Izin komandan, sebaiknya jika memang komandan ingin memastikan benar tidaknya jika menantu komandan itu berselingkuh sebaiknya kita tunggu dulu jangan dulu masuk, kita intip saja dari jendela dan dengarkan percakapannya" ujar Roni salah satu ajudan yang paling keluarga Herlan percayai.Herlan menurunkan tangannya, ia menuruti apa yang dikatakan Roni. "Ayo tuan sebaiknya kita intip disini," ajak Roni sedikit menjauhi pintu utama tepat pada jendela besar yang hanya di tutupi kain gorden yang sangat tipis. Dari sana terlihat jelas Candra tengah du
Lantunan surat Al-Baqarah terdengar melangalun lembut menghiasi kamar kos-koasan berukuran 2.5 m kali 3 m itu.Si pembaca begitu menjiwai setiap ayat demi ayat yang ia lantunkan. Apalagi saat ia membaca dan merenungi salah satu arti dari surat al-baqarah ayat 216 yang berbunyi :كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْ ۚ وَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۚ وَعَسٰٓى اَنْ تُحِبُّوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ ࣖ“Diwajibkan atasmu berperang, padahal itu kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui”Melalui surat Al Baqarah 216 Allah telah menjelaskan bahwa kewajiban perang harus dilaksanakan meski hal tersebut bukan sesuatu yang menyenangkan. Dalam ayat tersebut menyebutkan bahwa “boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu” yang berarti peperangan