Pak Akbar dan Bu nova kembali masuk kedalam kamar hotel istri pertamanya.
Setengah agak memaksa pak Akbar kembali menarik tangan istrinya untuk masuk kedalam kamar mereka."Kamu keterlaluan pa," ratap Bu Nova, menangis histeris.Pak Akbar hanya bisa memeluk berusaha untuk menenangkan gejolak hati istrinya, tanpa bicara.Perlahan dia membimbing Bu Nova untuk duduk disofa. Keduanya duduk terdiam, hanya suara nafas berat pak Akbar yang terdengar."Kita cerai saja pa," pinta Bu Nova.Tak ada jawaban, ingin rasanya pak Akbar menjerit menumpahkan kesal dihati. Tapi tak tahu dia kesal dengan siapa."Hari ini, kita pulang kerumah. Mama bersiaplah, Papa ada jadwal operasi nanti jam sembilan."Bu Nova masih terdiam, sesekali terdengar isakan kecil dari mulutnya." Jangan bawa perempuan itu kerumah kita pa," Pinta Bu Nova" Iya ma," Papa tidak mungkin melakukan itu, jangan fikir yang bukan- bukan. Kami tidak melakukan apapun," sambil membelai kepala istrinya, pak Akbar mencoba bicara lembut dan hati- hati." Papa tidur disofa, Puteri sendiri tidak tahu kalau Papa masuk, jangan ikuti amarah, setinggi apapun kemarahan mama tidak bisa merubah yang sudah terjadi.""Jangan suka marah-marah marah nanti mama kena struk atau jantung, Papa gimana,"" Ya pasti Papa hidup enak dengan perempuan itu,""Papa mau kita bertiga hidup enak," rayu pak Akbar."Mama bersiaplah, papa kekamar Puteri sebentar saja, gak mungkin kita pulang, papa tidak pamit padanya. Jangan lakukan sesuatu yang bisa buat nama baik mama tercemar, ini hotel ma."Tanpa menunggu jawaban sang istri, pak Akbar keluar dari kamar, menuju kamar pengantin.Bu Nova yang ditinggal pergi hanya bengong, ingin rasanya dia melihat suaminya marah dan dia akan senang hati meladeninya."Aku percaya padamu pa, tapi hatiku tetap sakit." Kembali air mata menetes dipipi Bu Nova, terpaksa berdamai dengan keadaan untuk beberapa waktu adalah hal terbaik menurutnya.Di kamar pengantin, Puteri sedang sibuk membersihkan tempat tidur, tidak sabar rasanya dia menunggu pelayan, untuk itu dia membersihkan sendiri." Kamar ini sudah dibooking untuk tiga hari, kamu ingin ikut pulang atau tetap menginap disini." ucap pak Akbar begitu kembali masuk kedalam kamar, setelah sebelumnya memberi salam."Pulang kemana pak ?" tanya Puteri dan memandangnya sekilas.Pak Akbar memandang tajam dan segera menarik nafas."Mas belum menyiapkan rumah untukmu, pagi ini mas harus kembali, Karena ada jadwal operasi nanti jam sembilan.""Atau kamu disini saja dulu, besok atau lusa kita akan cari rumah atau apartemen bersama, hari ini mas betul-betul sangat repot."Puteri hanya bisa mengangguk, sebenarnya ini yang dibenci Akbar, dia ingin sekali Puteri protes atau mengemukakan pendapat.Dia merasa tertekan dan tersiksa kalau istri mudanya itu hanya pasrah dan diam, tapi dia belum tau cara untuk menaklukkan hati gadis dihadapannya.Suara ketukan pintu terdengar dari luar, pak Akbar langsung membuka pintu kamar, seorang pelayan muncul mengantarkan sarapan pagi.Setelah pelayan pergi, pak Akbar berucap kembali."Maaf, mas tidak bisa makan bersamamu, mas harus segera berangkat kerumah sakit." Akbar memandang wajah Puteri dengan seksama, mencoba membaca reaksi wajah istrinya.Namun yang ditangkap hanya wajah polos, dan anggukan kepala, tanpa protes atau bertanya."Sungguh terbuat dari apa hati istriku ini ya allah," guman pak Akbar lirih tak terdengar.Puteri duduk disofa mengambil sarapan yang ada diatas troli untuk dipindahkan kemeja.Pak Akbar yang ingin meninggalkan Puteri, mengurungkan niatnya untuk pergi.Ada rasa kasihan, sayang, tidak tega, sesak, semua menjadi satu. Dia melangkah menghampiri istrinya, yang sejak tadi cuek dengan keberadaannya."Satu saja piringnya," ujarnya." Kita makan pakai tangan," ujarnya lagi, setelah mengambil nasi dan lauknya, Puteri langsung duduk dihadapan pak Akbar, seperti posisi kemarin sore sewaktu mereka makan sepiring berdua.Dekat dan sangat dekat, hembusan nafas pak Akbar hingga terasa di dahi Puteri, tak ada reaksinya, Puteri makan dengan santai dengan beberapa kali suapan penuh.Pak Akbar yang melihat itu tersenyum tipis, perempuan cantik yang tidak ada jaim- jaimnya."Makanlah," pak Akbar sengaja ingin menyuapi Puteri dan ingin melihat reaksinya."Aakk.." puteri langsung mangap, tidak grogi atau rasa malu sedikitpun. Sementara jantung sang suami sudah berdegup kencang."Pak," panggil Puteri kepada suaminya, setelah mereka selesai makan.Yang dipanggil pura- pura tidak mendengar, karena kesal dengan panggilan yang kadang berubah kadang tidak."Pak, Puteri mau kerja lagi, tolong jangan dipecat." ujar Puteri, mengungkapkan isi hatinya.Pak Akbar yang mendengar tersenyum senang, sudah dua hari menikah, baru kali ini Puteri bersuara mengeluarkan sebuah kalimat."Tanpa disadari pak Akbar langsung memeluk istri mudanya. "Terima kasih," ucapnya lirih ditelinga Puteri.Puteri yang terkejut hanya mematung." Makasih untuk apa," tanya puteri heran, sambil mencoba melepaskan pelukan suaminya." Untuk suaramu," suara lirih terdengar kembali ditelinga Puteri, yang membuat dia merinding." Kamu boleh bekerja, tapi tidak sekarang."Membelai lembut dahi Puteri, pak Akbar berucap kembali."Tolong mengerti untuk semua situasi ini, mas akan kerumah sakit sekarang. Kamu beristirahatlah disini, nanti mas kembali lagi."Puteri hanya diam, bersuara dalam hati itu lebih baik baginya, apalagi ayah tercintanya, restu dan ridha atas pernikahan ini, lantas dia bisa apa."Mengecup kening istrinya dengan lembut, dan memberikan tangannya kehadapan Puteri.Puteri langsung mengerti atas kode tersebut, dengan takzim, Puteri mencium punggung tangan suaminya.Setelah Puteri mencium tangannya, pak Akbar bukannya melepaskan tangan sang istri, dia membalas mencium telapak tangan sang istri."Pak ?" Masih tak ingin melepaskan."Pak ?" Panggil Puteri sekali lagi." Ganti panggilannya" tegas sang suami.Puteri hanya menunduk malas."Baiklah mas akan pergi sekarang, nanti mas telepon." Pak Akbar gegas keluar, karena waktu sudah jam delapan lewat sepuluh."Kenapa papa terlalu lama ?" Hardik Bu Nova.Memaklumi kekasaran istrinya, Mungkin itu lebih baik. Fikir pak Akbar."Mungkin nanti atau besok, papa sama Puteri akan mencari rumah untuk ditempatinya." ucap pak Akbar begitu mereka berada didalam mobil.Pak Akbar sudah memakai pakaian dinas dokternya. " Maksudnya ? Apa papa akan ikut pindah juga " tanya istri pertamanya."Papa akan membagi waktu untuk kalian" tegas sang suami dengan nada naik setengah oktaf.Wajah Bu Nova sudah merah padam menahan sesuatu yang bergelora didada."Apa papa akan membelikan rumah juga untuknya ?""Itu tanggung jawab papa ma, dia istriku sekarang, dan papa harus adil untuk kalian." tegasnya sekali lagi, sambil mengotak atik tablet ditangannya.Perasaan Bu Nova gamang sendiri, kalau dia membiarkan suaminya punya rumah lain bersama istri barunya, dia pasti tidak akan tahu, apa yang mereka lakukan. Tapi kalau tinggal satu rumah, apa dia sanggup melihat suaminya dekat bahkan satu kamar dengan wanita lain."Bawa saja perempuan itu tinggal dirumah kita pa, dia bisa menempati kamar atas dan kita kamar bawah." Memandang srius wajah suaminya, yang semakin ganteng dan beribawa kalau sudah memakai jas putih."Srius" ujar pak Akbar. " Mama gak usah mengada- Ngada, jangan punya rencana yang tidak- tidak. Papa tidak suka."Hari ini jadwal pak Akbar terlalu padat, pasien yang sudah antri, yang paling diutamakan, operasi bedah syaraf bukannya cukup hanya satu atau dua jam, dan karena masih minimnya dokter ahli bedah dinegara ini, terkadang membuat jadwal operasi pria beribawa ini tidak pernah kosong setiap harinya.Belum lagi dia juga sebagai pemilik rumah sakit "Berkah Ilahi" rumah sakit yang dia dirikan sendiri, rumah sakit yang banyak membantu pasien yang kurang mampu, rumah sakit yang mengedepankan kesehatan pasiennya terlebih dahulu, tanpa memandang biaya.Rumah sakit yang biaya perobatannya bisa dicicil kemudian, setelah pasien sembuh.Untuk itu rumah sakit Berkah Ilahi selalu dipadati oleh pengunjung, terutama dibagian administrasi kredit, administrasi kredit adalah bagian yang menangani pengobatan ktedit, pasien dan anggota keluarga boleh membayar secara mencicil, untuk jangka waktu yang telah disepakati kedua belah pihak, tanpa memberi atau menambah suku bunga.Dan cabang Berkah Ilahi sudah ada t
Kini keduanya telah duduk di restaurant hotel dimana Puteri menginap, khususnya diruangan VIP.Tak ada meja luas atau kursi makan yang indah.Puteri heran, namun dia malas untuk bertanya."Ayo duduklah, kita makan dilesehan saja" ujar suaminya.Sejenak Puteri berfikir, dan beberapa saat baru dia mengerti keinginan suaminya. Walau ditempat mewah sekalipun, suaminya ingin makan duduk dilantai, seperti kebiasaan ayah dan dirinya yang tidak suka makan dimeja makan.Ada permadani mewah dan lembut. ukurannya tidak begitu luas, kira- kira dua kali dua meter.Rani segera mengambil posisi agak kesudut, dan dikuti oleh suaminya."Tadi siang makan dimana ?" tanya Akbar setelah keduanya duduk diatas permadani mewah."Dikamar" jawab Rani singkat."Maaf ya, dalam beberapa hari ini mas mungkin terlalu sibuk, karena mas harus mengganti jadwal operasi pasien !" Tidak lama kemudian pramusaji datang membawa hidangan yang dipesan pak Akbar. Setelah hidangan tersusun rapi, pramusaji langsung undur diri m
Jam satu dini hari Akbar terjaga dari tidur, dilihatnya sang istri masih tertidur dengan damai disamping Sisi kananya. Perlahan pak Akbar bangkit, membetulkan selimut istri tercintanya, mengecup keningnya sesaat, sebelum dia bergerak kekamar mandi.Tak lama kemudian pak Akbar sudah berada diluar kediamannya, melangkahkan kakinya menuju garasi mobil. Hanya tidur dua jam lebih mampu membuat wajah pak Akbar fresh kembali.Membawa salah satu mobilnya, pak Akbar langsung melajukan mobilnya menembus gelapnya malam.Kini dirinya telah sampai dilobi hotel, tempat istri mudanya menginap. Dengan akses yang dia miliki, pak Akbar langsung dapat masuk kedalam kamar hotel sang istri."Assalamulikum" lirihnya, begitu dia membuka pintu kamar. Masuk dan langsung mengunci pintu kamar kembali.Suasana kamar yang terang, langsung dapat membuat mata pria dewasa itu melihat Puteri yang sedang tertidur miring kearahnya, tanpa mengenakan selimut."Kenapa kamar ini terasa pengap dan sedikit panas" ujarnya pe
Jantung Puteri rasanya ingin copot saja, nafasnya sesak, dia susah bernafas dengan posisi seperti itu, tubuhnya bergetar dan Akbar merasakan itu.Begitu juga dengan Akbar, gejolak tubuhnya akan selalu naik sampai keubun- ubun jika berdekatan dengan sang istri, namun sebagai orang yang sudah berpengalaman dia masih mampu untuk menahannya."Tidurlah Ruhi..! Mas hanya ingin seperti ini." ujar Akbar, sambil menutup kedua belah matanya dalam keadaan memeluk tubuh Puteri dengan berbantalkan lengan kekarnya.Puteri yang sedari tadi diam tak bergerak, perlahan menatap kesamping kirinya, dahinya langsung menyentuh pundak sang suami. Tidak ada guna untuk merenggangkan diri lagi, batinnya.Perlahan Puteri memejamkan kelopak matanya, dua suara dengkuran halus dan teratur tak lama terdengar. Ternyata sepasang suami istri beda usia itu telah tidur dengan damai, melupakan sesaat tentang masalah esok hari.Hampir jam enam pagi pak Akbar terjaga dari tidurnya, tangannya yang sudah sangat kebas, namu
"ya Allah, lepaskan hamba dari situasi ini, hamba takut !" sambil membersihkan sisa sarapan mereka tadi Puteri terus berdoa dalam hatinya."Lebih baik aku tinggal di kamar hotel saja dari pada harus serumah," ucap Puteri pada dirinya sendiri.Gadis cantik berwajah teduh itu, duduk disofa sambil termenung. Surai indah miliknya, terbiar dengan sedikit ikatan yang acak. Semakin malas rasa hatinya untuk menunggu sore hari."Tapi percuma saja, mengungkapkan isi hatipun takkan didengar sama pak tua itu, dia lebih mengutamakan kata hati istrinya dari padaku, dan aku sadar posisiku." ucapnya pelan. tak terasa air mata kembali menetes.Tiga hari menginap dan tinggal sendiri, ternyata Puteri melalui hari- harinya dengan bertengkar antara hati dan fikirannya.Fikirannya menolak itu semua, untuk jadi istri kedua tidak pernah terbesit sedikitpun pada fikirannya, apalagi menikah dengan orang tua, fikirannya terus berontak.Namun hati yang lembut dan sangat menyayangi ayahnya, membuat Puteri menutup
Tak ada sedikitpun keinginan Puteri untuk membantah, atau membalas ucapan Bu Nova.Puteri adalah tipe seorang perempuan yang suka memperhatikan tanpa memberi komentar, apalagi masalah tentang hidupnya, dia menyerahkan seluruhnya pada sang ayah.Keceriaan dan keramahannya, hanya sebatas dengan teman- temannya saja. Puteri dapat menjadi seorang yang periang dan pendiam, sesuai dengan siapa dia berinteraksi."Bik, bawa perempuan ini kekamarnya, setelah itu jelaskan semua apa yang aku katakan tadi ?" ucap Bu Nova pada pembantunya."Saya tunggu mas Akbar, Bu ?" "Mas. Eehh suami saya sebaya ayahmu ! Sok istri beneran saja kamu." Bentak Bu Nova yang sudah tersulut emosi karena cemburu.Malas dengan situasi yang ada, Puteri langsung berdiri sambil membawa kopernya, yang sejak tadi ada disampingnya. " Ayo bik ! permisi Bu " Puteri pergi meninggalkan Bu Nova, mengikuti bik Sumi yang sudah berjalan meninggalkan ruang makan.Tanpa melihat sekelilingnya, Puteri berjalan dengan wajah sendu dan me
Suara ketukan pintu terdengar dari luar kamar.Puteri seolah menulikan telinga, enggan untuk membukanya."Nyonya...nyonya muda ...!" suara bik Sumi terdengar dari luar memanggil - manggilnya.Sedikitpun Puteri tidak ada niat, untuk beranjak dari pembaringannya, hingga suara itu tak terdengar lagi, Puteri merasa lega."Mana Puteri nya bik ?" tanya pak Akbar yang sudah duduk dimeja makan."Saya sudah memanggilnya tuan, tapi tak ada jawaban." Jawab bik Sumi."Sudahlah pa...! kita makan dulu, nanti kalau lapar dia akan turun sendiri, mama sudah lapar !" ucap Bu Nova dengan gaya judesnya."Mama kalau lapar, makanlah dulu, papa mau lihat Puteri." ujar pak Akbar dan akan bangkit dari duduknya."Jadi mama makan sendiri, gitu..? sementara papa akan makan bersamanya. Adil macam apa itu..!" sarkas Bu Nova tiba-tiba."Kalau begitu, mama tunggulah sebentar, papa akan melihatnya. Mungkin dia masih canggung dengan situasi disini." tutur pak Akbar, kemudian melangkah menuju lantai dua, tempat dimana
Beberapa hari disibukkan oleh banyak masalah, akhirnya pak Akbar mengambil keputusan, untuk mengambil alih semua pekerjaan yang telah ia berikan dulu kepada puteranya.Berdiri diatas kaki sendiri itu lebih baik. Terlalu kecewa dengan perbuatan sang istri dan sang anak, namun dia tidak bisa menghukum, hanya bisa pasrah dan ikhlas atas takdir Allah. Semoga diusianya yang tidak muda lagi, Allah selalu memberi kesehatan padanya. Itu doa yang selalu dia panjatkan."Kenapa papa bisa secepat itu mengambil keputusan, bukankah papa ingin fokus pada bisnis kesehatan saja." tutur Bu Nova setelah beberapa saat mereka saling diam."Mungkin papa akan melepaskan jabatan sebagai dosen dan akan mengurangi jam terbang operasi. Sudah banyak para dokter syaraf yang jenius dan sudah berpengalaman untuk menggantikan jam kerja papa." jawab Akbar menjelaskan rencananya pada istri pertamanya.Bu Nova hanya mendesah pelan, dengan keputusan sang suami. Walaupun dia kecewa tentang keputusan Akbar yang membelokir
Sudah satu Minggu Puteri kembali kerumah minimalisnya. Seperti biasa sebelum pergi ke rumah sakit Akbar sendiri yang akan mengurus bayi Emran dan istri mudanya. "Ruhi....sayang...? Sudah hampir subuh." Panggil Akbar ditelinga sang istri dengan lembut."Mandilah...lima menit lagi azan subuh." Sambung Akbar saat dilihatnya sang istri sudah bangun dari tidurnya. Tanpa menjawab Puteri segera bergegas mengikuti apa yang diperintahkan sang suami.Solat subuh berjamaah dan mengulang murajaah adalah rutinitas yang mereka lakukan sebelum lengkingan suara Emran menggema dari dalam box bayinya.Jam setengah tujuh Emran telah wangi dengan wajah yang sudah seperti donat tepung, karena ulah sang papa. "Wah...anak papa sudah ganteng...sudah wangi...wangi surga..." Ucap Akbar pada puteranya yang sudah mulai lasak."Kita nenen dulu...? Nenen sama mama..?" Sambungnya lagi sambil menggendong Emran, meletakkannya diatas pangkuan sang istri yang sudah siap duduk diatas sofa."Kuchi....kuchi...anak aku ga
Puteri terus memangku bayi Emran sampai tertidur pulas, setelah menghabiskan susu botolnya.Akbar hanya diam terpaku melihat keajaiban Allah. Doanya telah di ijabah Allah, tidak ada yang lebih membahagiakan dari itu semua.Perlahan Nova menghampiri Puteri dan berkata."Sini...Emran nya biar saya pindahkan ke boxnya saja." Pinta Nova dengan tulus."Haaaah...i..iya..!" Jawab Puteri gugup. Dengan sedikit gemetar Puteri memberikan bayinya kepada Nova. Rasa lemah dengan tulang yang rasanya kaku membuat Puteri tidak dapat bergerak banyak.Tak lama seorang suster datang membawakan teh panas dan bubur nasi sup ayam kampung.Dengan cekatan Akbar menerima troli makanan tersebut dan membawanya kehadapan sang istri."Makan dulu Ruhi...?" Pinta Akbar lembut.Nova yang merasa canggung dengan situasi mereka bertiga, berfikir untuk keluar dari ruangan tersebut."Pa...mama, mau pulang sebentar, nanti mama datang lagi. Kalau ada sesuatu yang mau dibeli, hubungi mama ya pah?" Ucap Nova lembut.Kemudian
Hari ini rencananya Akbar akan memindahkan perawatan untuk Puteri dirumah minimalis mereka. karena bagaimana pun rumah sakit bukan tempat yang bagus untuk tumbuh kembang puteranya yaitu Emran. Tanpa diminta oleh suaminya, pagi- pagi sekali Nova sudah sampai dirumah sakit, tepatnya diruangan Puteri dirawat."Ada apa ma?" Tanya Akbar setelah menjawab salam dari istri pertamanya."Ada apa?" Tanya Akbar lagi, dia merasa heran karena masih terlalu pagi bagi tamu untuk menjenguk pasien."Aku hanya ingin bersama kalian pa..?" Jawab Nova jujur.Pak Akbar yang mendengar hanya menautkan alisnya saja, tanpa berkomentar."Oke...sudah selesai..! Anak papa sudah ganteng, sudah wangi...wangi surga...!" Ucap Akbar pada sang putera yang baru selesai ia mandikan.Dengan memakai pakaian anak enam bulan keatas, Emran nampak lebih besar dari usianya.Dengan menggendongnya sebelum diberikan susu, Akbar ingin anaknya memanggil Puteri dengan jeritan tangisan seperti biasanya. "Mas selalu berdoa, kamu pulang
Assalamualaikum" terdengar suara ketukan pintu dan ucapan salam dari luar ruangan. Akbar yang baru selesai mengaji disisi sang istri, segera membuka pintu untuk melihat siapa yang datang." "Waalaikumsalam" jawab Akbar. Saat tahu siapa yang datang ia menghela nafas dengan berat."Kamu bisa pulang ma?" Tanya Akbar heran. Tanpa menerima uluran tangan Nova yang ingin menyalaminya."Jadi papa enggak suka nengok mama pulang ya?" Tanya Bu Nova sedikit tersinggung. "Bukannya gak suka, tapi mama sendiri yang bilang, kemungkinan mama disana sampai menantu mama siap melahirkan." Jawab Akbar, berlalu meninggalkan istri tuanya yang masih berdiri di pintu."Masuklah kalau mau masuk." Ucap Akbar yang telah duduk disisi Puteri. Sedangkan Putera mereka sedang tidur nyenyak didalam box Beby."Sudah berapa lama dia seperti ini pah?" tanya Nova yang sudah berdiri di dekat Akbar."Hampir sebulan." Jawab Akbar datar. Sambil mengecek beberapa berkas kantor dan rumah sakitnya. Merasa dicuekin, Nova berja
Sekitar pukul delapan malam pak Yusuf sampai ke Jakarta dan langsung menuju rumah sakit tempat anak semata wayangnya melahirkan."Assalamualaikum" ucap pak Yusuf ketika ia telah sampai didepan pintu kamar pasien tempat Puteri berada.Akbar yang baru selesai menunaikan shalat isya, menoleh kearah suara."Waalaikumsalam" jawabnya dan segera menghampiri sahabat karib sekaligus bapak mertuanya.Kedua lelaki itu berjabatan tangan, dan kemudian berpelukan."Aku takut Yusuf...aku takut kalau istriku pingsannya lama." Ucap Akbar dengan suara bergetar."Berdoalah untuk yang terbaik" jawab Yusuf dengan menepuk- nepuk pundak sahabatnya dan melepaskan pelukan mereka.Yusuf menghampiri anaknya yang sudah lama tidak ia kunjungi."Sayang...?" Panggil Yusuf dengan suara bergetar. Diraihnya jemari Puteri digenggamnya erat."Kenapa belum mau bangun sayang....?" Panggilnya pada sang anak yang tertidur dengan damai."Kasian cucu ayah kalau tidak minum ASI, bangunlah. Hadapi semua, menghindar untuk tetap
Satu jam berlalu setelah Akbar membuat penyatuannya dengan sang istri. Jalan lahir sudah memasuki pembukaan tiga, kini Puteri tengah berjalan dan terkadang jongkok kalau rasa mulas menggerayangi perutnya, dan pak Akbar dengan setia terus berada didekat istrinya walau kadang Puteri menyuruhnya untuk istirahat.Sambil berjalan Puteri merasakan perutnya mulas kembali, dan ia meringis lagi"Kita operasi saja, ya sayang...? Kalau operasi, satu jam mendatang kamu tidak merasakan sakit seperti ini lagi." Rayu Akbar kembali.Puteri hanya diam, tak menanggapi ucapan suaminya, Puteri bosan mendengarnya."Mas....? Air kencingnya keluar sendiri." Ucapnya tiba-tiba, dengan melihat lantai yang sudah banjir air yang merembes dari kemaluannya.Akbar yang mendengar ucapan sang istri, segera membawa Puteri kekamar mandi."Itu bukan air kencing sayang, itu air ketubannya sudah pecah, tukar dulu bajunya. Dengan dibantu perawat wanita, Puteri membersihkan tubuhnya yang basah oleh rembesan air ketuban.Sem
Ambulans yang membawa Puteri sampai dilobi rumah sakit bersamaan dengan sampainya Akbar ditempat itu. Pihak rumah sakit yang sudah standby menunggu istri dari bos besar mereka, segera menyambut kedatangan ambulansPintu belakang mobil ambulans segera dibuka, terlihat Puteri yang tengah terpejam.Dua orang perawat laki- laki langsung menurunkan brankar ambulans tersebut."Ruhi....?" Panggil Akbar cemas.Sedangkan Yani juga mengikuti kemana Puteri dibawa tim medis. Ruang persalinan dilantai empat sudah disiapkan sejak tadi, dokter Mira yang sudah standbye menunggu kedatangan Puteri, istri dari atasannya itu segera menyambut dan memeriksa kondisi wanita hamil tersebut."Dokter, saya tidak mau operasi," ucap Puteri lemah."Kita akan usahakan yang terbaik ya Bu...kalau tidak memungkinkan untuk normal terpaksa harus operasi juga, karena kondisi ibu tidak begitu sehat." Ucap dokter Mira. Sedangkan Akbar yang ada disamping Puteri hanya diam mendengarkan dua orang wanita itu berbicara.Selang
"Ruhi...?" Panggil Akbar dengan suara yang cukup kuat. Buru- buru ia menghampiri sang istri yang sedang tertidur pulas di dalam bathtub.Tanpa berfikir panjang, Akbar segera mengangkat Puteri yang tanpa memakai pakaian sehelai pun dan membawanya masuk kedalam kamar tidur, meletakkan dengan lembut dan membungkus tubuh sang istri dengan handuk berukuran besar.Puteri yang merasa tubuhnya terangkat dan tidak merasakan dinginnya air lagi, segera membuka matanya."Ada apa? Kenapa?" Tanya Puteri heran melihat Akbar yang kalang kabut dengan ekspresi wajah yang cemas."Sayang....?" Kamu mau buat mas kena serangan jantung, hhhmmmm...? kenapa kamu tidur dikamar mandi didalam bethup lagi...!" Tanya Akbar lembut namun tegas.Puteri hanya mendesah, sedikit kesal. Perlahan Puteri bangkit, dan berniat untuk mengambil pakaiannya."Mau kemana?" tanya Akbar lagi dengan rasa sabar dan sayangnya."Mau pakai baju," jawab Puteri datar, sedikitpun tidak ada lagi sifat manja yang Puteri tunjukkan kepada Akba
"aku pengen makan dengan piring sendiri mas..?" ucap Puteri saat Akbar akan menghidangkan makan sepiring berdua untuk mereka seperti biasanya."Kenapa?" tanya Akbar heran."Lagi malas aja...!" Jawab Puteri datar.Akbar tidak lagi bertanya, ia mengambil satu lagi piring untuk Puteri."Biar aku buat sendiri mas..?" pinta Puteri sopan pada suaminya yang akan menyendokkan nasi untuknya.Selesai makan, Puteri langsung masuk kedalam kamar, perutnya sering jadi sebah atau seperti kram setiap selesai makan.Sambil meringis membelai perut besarnya Puteri berguman sendiri."Kamu yang sehat ya nak, harus kuat pintar dan soleh seperti papah kamu."Terlalu banyak tertekan perasaan yang tidak bisa ia ungkapkan membuat Puteri dilanda stres yang berkepanjangan ternyata berpengaruh pada kandungannya. Pernyataan dokter yang menyarankan Puteri untuk caecar pada persalinannya nanti, sungguh membuat Puteri takut. Dan ia tetap diam tidak memberitahukan pada sang suami.Sedangkan Akbar yang sudah lama du