Kini keduanya telah duduk di restaurant hotel dimana Puteri menginap, khususnya diruangan VIP.
Tak ada meja luas atau kursi makan yang indah.Puteri heran, namun dia malas untuk bertanya."Ayo duduklah, kita makan dilesehan saja" ujar suaminya.Sejenak Puteri berfikir, dan beberapa saat baru dia mengerti keinginan suaminya. Walau ditempat mewah sekalipun, suaminya ingin makan duduk dilantai, seperti kebiasaan ayah dan dirinya yang tidak suka makan dimeja makan.Ada permadani mewah dan lembut. ukurannya tidak begitu luas, kira- kira dua kali dua meter.Rani segera mengambil posisi agak kesudut, dan dikuti oleh suaminya."Tadi siang makan dimana ?" tanya Akbar setelah keduanya duduk diatas permadani mewah."Dikamar" jawab Rani singkat."Maaf ya, dalam beberapa hari ini mas mungkin terlalu sibuk, karena mas harus mengganti jadwal operasi pasien !"Tidak lama kemudian pramusaji datang membawa hidangan yang dipesan pak Akbar. Setelah hidangan tersusun rapi, pramusaji langsung undur diri meninggalkan ruangan tersebut.Puteri sedikit heran memandangi banyaknya hidangan, tapi kenapa piring cuma satu.Dia melihat kearah suaminya, yang memang sedari tadi memandanginya tanpa dia sadari."Kok piring satu mas?" tanya Puteri pelan, pelan sekali seperti orang berguman."Kita akan makan satu piring berdua selamanya!"Baru Puteri ingat setelah perkataan suaminya itu.Segera puteri mengisi nasi dan beberapa lauk kedalam piring yang agak lebar ukurannya."Makan mas?"ajaknya, setelah meletakkan piring yang telah dia isi dengan nasi dan lauk pauk.Posisi duduk berhadapan yang hanya dibatasi satu piring, membuat wajah keduanya hanya berjarak kira- kira setengah meter saja.Hal yang sederhana, namun siapapun yang melihatnya pasti mengatakan, terlalu romantis.Beberapa kali Akbar menyuapi Puteri dan istrinya itu menerimanya, namun tidak dengan Puteri dia tidak akan menyuapi Akbar, baginya Akbar mempunyai istri yang lebih berkewajiban dan berhak untuk suaminya itu.Siang tadi Puteri banyak berfikir panjang untuk kehidupannya kelak sebelum dan sesudah kabar menceraikannya. Setiap selesai solat dia akan berlama lama duduk diatas sajadah dan memikirkan nasibnya.Ikhlas dan pasrah, sudah pasti Puteri lakukan, tidak akan banyak menuntut dan protes karena dia hanya sebuah iklan yang datang dan pergi tiba-tiba.Doanya hanya satu semoga suaminya itu tidak meminta haknya pada dirinya, itu saja pintanya.Selesai dengan makan sepiring berdua, pak Akbar mulai membuka obrolan."Lagi mikirin apa tadi, kok makan sambil melamun." tanyanya."Puteri cutinya berapa hari mas ?" bukannya menjawab, Puteri malah bertanya balik."Kamu maunya berapa hari ruhi ?"Puteri yang mendengar ucapan sang suami, merasa ada nama lain disebut suaminya, Puteri mengerutkan kedua alisnya.Sedangkan pak Akbar yang melihat respon istri kecilnya itu, tersenyum tipis sambil mengelap mulutnya dengan beberapa tissu."Ruhi...mulai saat, mas akan memanggilmu dengan panggilan Ruhi." jawab Akbar, tanpa mendengar pertanyaan dari istrinya.Puteri yang tahu arti Ruhi dari bahasa Arab adalah ruh atau jiwa, terdiam dan mulai mengerti, kenapa suaminya itu menyematkan panggilan Ruhi untuknya .Seandainya saja suaminya itu bukan pria beristri dan bukan pria yang menurutnya sudah tua, pasti dia akan tersanjung sekali dengan semua perlakuan romantis ini.Tapi sayang, diperlakukan seperti itu semakin membuat Puteri membentengi hati, dia tidak mau jatuh cinta pada pria yang ada didepannya, kasihan Bu Nova. Puteri dapat membayangkan dan merasakan sakit hati yang dialami madunya."Ruhi...! Mas ada dua pilihan untukmu, kamu ingin tinggal dirumah kita sendiri atau tinggal satu rumah dengan Bu Nova." tutur Akbar yang tengah mengupas buah bangga madu untuk cuci mulut mereka. "Bu Nova menawarkannya padamu, dia menyuruh saya untuk membujukmu agar kita tinggal bersama.""tapi kalau kamu tidak mau tinggal bersamanya, ya..tidak apa- apa, mas, faham kok ," ujarnya."Aku terserah mas saja, mana baiknya." jawab Puteri. Walau sebenarnya dia membantah untuk tinggal bersama, namun untuk meminta tinggal dirumah lain, bukankah suaminya itu akan membeli rumah dahulu, dan harga rumah bukankah mahal- mahal. Dan yang pasti dia tidak mau memakan harta pak Akbar. Dan akan dipastikan, Puteri tidak akan mengambil se senpun harta pak Akbar seperti tuduhan madunya.Dan pemikiran pasrah dan ikhlas kembali menguasai hati dan fikirannya."Kalau kita cari rumah lain, mas belum sempat untuk melihatnya. Sebaiknya kita terima tawaran Bu Nova ya ? untuk sementara saja." ucap pak Akbar. Puteri hanya mengangguk." Dua hari lagi, kita akan tinggal bersama, nanti kamar kita akan ada dilantai dua, untuk lantai dua kamu bebas untuk lakukan apapun disitu.Dan lantai dasar itu tempat Bu Nova, dia yang memberi batasan itu." tutur pak Akbar." Mimpi apa aku, sepertinya aku tidak pernah mengambil hak orang, tapi kenapa perjalanan takdirku seperti ini." ucap Puteri dalam hati.***Waktu menunjukkan jam sepuluh malam, ketika mobil yang ditumpangi pak Akbar berhenti di kediaman dia bersama istri pertamanya.Pak Budi, sopir pribadi pak Akbar langsung membukakan pintu mobil ketika mobil sudah berhenti didepan teras rumahnya."Belum tidur ma? tanya pak Akbar begitu dia melihat istrinya masih duduk disofa, didalam kamar mereka."Kenapa handphone mas mati,?" tanpa menjawab pertanyaan suaminya, Bu Nova langsung bertanya dengan suara kesal."ponsel Papa kehabisan daya." Akbar langsung masuk kedalam kamar ganti, untuk menukar pakaiannya, dia tidak lagi mandi karena tadi sudah mandi dikamar hotel yang ditempati Puteri."Papa enggak mandi,?""Sudah tadi, dihotel." jawab Akbar jujur."Wahh...dari rumah sakit, papa langsung menemui perempuan itu dari pada mama istri pertama papa. Luar biasa sekali pengaruhnya dihati papa sekarang ya?" ucap Bu Nova dengan aroma cemburu yang begitu kental.Pak Akbar yang sudah menaikkan kakinya sebelah keatas tempat tidur, mengurungkan niatnya untuk berbaring, dia duduk dipembaringan memperhatikan istri yang sudah bersamanya selama dua puluh lima tahun, sedang emosi dan cemburu yang dalam, dan dia memahami hal itu."Enggak mungkin kan, papa membiarkannya dihotel sendirian tanpa siapapun, setidaknya papa melihat dia masih disana." ucapnya lembut."Kenapa papa tidak langsung bawa dipindah disini saja ?" tanya Bu Nova."Mama yakin, sanggup satu rumah ? Papa harap, mama menyuruhnya tinggal bersama kita, bukan karena mama punya rencana yang tidak baik.""Papa curiga sama mama, baru satu hari papa menikahi perempuan murahan itu tapi sudah menghilangkan kepercayaan papa dengan mama yang sudah dua puluh tahun bersama." rasa cemburunya semakin memuncak di barengi emosi, setelah suaminya mulai curiga terhadapnya."Sudahlah ma ? semenjak mama dan Rizal berulah dibelakangku, terlalu banyak masalah yang ku hadapi. Papa letih ! jangan berdebat lagi ." tutur pak akbar, kemudian dia langsung membaringkan tubuhnya ditempat tidur, mengistirahatkan otak serta tubuhnya yang sudah terlalu capek.Jam satu dini hari Akbar terjaga dari tidur, dilihatnya sang istri masih tertidur dengan damai disamping Sisi kananya. Perlahan pak Akbar bangkit, membetulkan selimut istri tercintanya, mengecup keningnya sesaat, sebelum dia bergerak kekamar mandi.Tak lama kemudian pak Akbar sudah berada diluar kediamannya, melangkahkan kakinya menuju garasi mobil. Hanya tidur dua jam lebih mampu membuat wajah pak Akbar fresh kembali.Membawa salah satu mobilnya, pak Akbar langsung melajukan mobilnya menembus gelapnya malam.Kini dirinya telah sampai dilobi hotel, tempat istri mudanya menginap. Dengan akses yang dia miliki, pak Akbar langsung dapat masuk kedalam kamar hotel sang istri."Assalamulikum" lirihnya, begitu dia membuka pintu kamar. Masuk dan langsung mengunci pintu kamar kembali.Suasana kamar yang terang, langsung dapat membuat mata pria dewasa itu melihat Puteri yang sedang tertidur miring kearahnya, tanpa mengenakan selimut."Kenapa kamar ini terasa pengap dan sedikit panas" ujarnya pe
Jantung Puteri rasanya ingin copot saja, nafasnya sesak, dia susah bernafas dengan posisi seperti itu, tubuhnya bergetar dan Akbar merasakan itu.Begitu juga dengan Akbar, gejolak tubuhnya akan selalu naik sampai keubun- ubun jika berdekatan dengan sang istri, namun sebagai orang yang sudah berpengalaman dia masih mampu untuk menahannya."Tidurlah Ruhi..! Mas hanya ingin seperti ini." ujar Akbar, sambil menutup kedua belah matanya dalam keadaan memeluk tubuh Puteri dengan berbantalkan lengan kekarnya.Puteri yang sedari tadi diam tak bergerak, perlahan menatap kesamping kirinya, dahinya langsung menyentuh pundak sang suami. Tidak ada guna untuk merenggangkan diri lagi, batinnya.Perlahan Puteri memejamkan kelopak matanya, dua suara dengkuran halus dan teratur tak lama terdengar. Ternyata sepasang suami istri beda usia itu telah tidur dengan damai, melupakan sesaat tentang masalah esok hari.Hampir jam enam pagi pak Akbar terjaga dari tidurnya, tangannya yang sudah sangat kebas, namu
"ya Allah, lepaskan hamba dari situasi ini, hamba takut !" sambil membersihkan sisa sarapan mereka tadi Puteri terus berdoa dalam hatinya."Lebih baik aku tinggal di kamar hotel saja dari pada harus serumah," ucap Puteri pada dirinya sendiri.Gadis cantik berwajah teduh itu, duduk disofa sambil termenung. Surai indah miliknya, terbiar dengan sedikit ikatan yang acak. Semakin malas rasa hatinya untuk menunggu sore hari."Tapi percuma saja, mengungkapkan isi hatipun takkan didengar sama pak tua itu, dia lebih mengutamakan kata hati istrinya dari padaku, dan aku sadar posisiku." ucapnya pelan. tak terasa air mata kembali menetes.Tiga hari menginap dan tinggal sendiri, ternyata Puteri melalui hari- harinya dengan bertengkar antara hati dan fikirannya.Fikirannya menolak itu semua, untuk jadi istri kedua tidak pernah terbesit sedikitpun pada fikirannya, apalagi menikah dengan orang tua, fikirannya terus berontak.Namun hati yang lembut dan sangat menyayangi ayahnya, membuat Puteri menutup
Tak ada sedikitpun keinginan Puteri untuk membantah, atau membalas ucapan Bu Nova.Puteri adalah tipe seorang perempuan yang suka memperhatikan tanpa memberi komentar, apalagi masalah tentang hidupnya, dia menyerahkan seluruhnya pada sang ayah.Keceriaan dan keramahannya, hanya sebatas dengan teman- temannya saja. Puteri dapat menjadi seorang yang periang dan pendiam, sesuai dengan siapa dia berinteraksi."Bik, bawa perempuan ini kekamarnya, setelah itu jelaskan semua apa yang aku katakan tadi ?" ucap Bu Nova pada pembantunya."Saya tunggu mas Akbar, Bu ?" "Mas. Eehh suami saya sebaya ayahmu ! Sok istri beneran saja kamu." Bentak Bu Nova yang sudah tersulut emosi karena cemburu.Malas dengan situasi yang ada, Puteri langsung berdiri sambil membawa kopernya, yang sejak tadi ada disampingnya. " Ayo bik ! permisi Bu " Puteri pergi meninggalkan Bu Nova, mengikuti bik Sumi yang sudah berjalan meninggalkan ruang makan.Tanpa melihat sekelilingnya, Puteri berjalan dengan wajah sendu dan me
Suara ketukan pintu terdengar dari luar kamar.Puteri seolah menulikan telinga, enggan untuk membukanya."Nyonya...nyonya muda ...!" suara bik Sumi terdengar dari luar memanggil - manggilnya.Sedikitpun Puteri tidak ada niat, untuk beranjak dari pembaringannya, hingga suara itu tak terdengar lagi, Puteri merasa lega."Mana Puteri nya bik ?" tanya pak Akbar yang sudah duduk dimeja makan."Saya sudah memanggilnya tuan, tapi tak ada jawaban." Jawab bik Sumi."Sudahlah pa...! kita makan dulu, nanti kalau lapar dia akan turun sendiri, mama sudah lapar !" ucap Bu Nova dengan gaya judesnya."Mama kalau lapar, makanlah dulu, papa mau lihat Puteri." ujar pak Akbar dan akan bangkit dari duduknya."Jadi mama makan sendiri, gitu..? sementara papa akan makan bersamanya. Adil macam apa itu..!" sarkas Bu Nova tiba-tiba."Kalau begitu, mama tunggulah sebentar, papa akan melihatnya. Mungkin dia masih canggung dengan situasi disini." tutur pak Akbar, kemudian melangkah menuju lantai dua, tempat dimana
Beberapa hari disibukkan oleh banyak masalah, akhirnya pak Akbar mengambil keputusan, untuk mengambil alih semua pekerjaan yang telah ia berikan dulu kepada puteranya.Berdiri diatas kaki sendiri itu lebih baik. Terlalu kecewa dengan perbuatan sang istri dan sang anak, namun dia tidak bisa menghukum, hanya bisa pasrah dan ikhlas atas takdir Allah. Semoga diusianya yang tidak muda lagi, Allah selalu memberi kesehatan padanya. Itu doa yang selalu dia panjatkan."Kenapa papa bisa secepat itu mengambil keputusan, bukankah papa ingin fokus pada bisnis kesehatan saja." tutur Bu Nova setelah beberapa saat mereka saling diam."Mungkin papa akan melepaskan jabatan sebagai dosen dan akan mengurangi jam terbang operasi. Sudah banyak para dokter syaraf yang jenius dan sudah berpengalaman untuk menggantikan jam kerja papa." jawab Akbar menjelaskan rencananya pada istri pertamanya.Bu Nova hanya mendesah pelan, dengan keputusan sang suami. Walaupun dia kecewa tentang keputusan Akbar yang membelokir
Menahan sesuatu yang telah bergelora, pak Akbar perlahan mendekati sang istri yang tengah terlelap.Pandangan Akbar terhadap Puteri yang sedang terlelap ibarat seekor singa yang tengah kelaparan, namun iman dan akal sehat selalu ada di gerbang terdepan hati dan fikirannya.Puas dengan penglihatannya, pak Akbar mengambil ponsel dari genggaman istrinya yang masih memutar film Hindia romantis, "ternyata kamu pecinta film romantis juga Ruhi..!" ucapnya lirih.Sangat penuh hati- hati Akbar mengangkat membenarkan posisi tidur sang istri yang menurutnya telah berputar arah dari kepala tempat tidur.Menyibakkan anak rambut yang selalu berjuntai di dahi dan telinga istrinya. Membelai wajah, dan mencium sekilas bibir gadis yang sudah hampir satu minggu ini telah menjadi istri sahnya.Tak lama pak Akbar membuka kaus rumahan yang dia pakai, kini dia hanya menggunakan celana training panjang dan bertelanjang dada. Sudah menjadi kebiasannya kalau tidur selalu bertelanjang dada.Sekitar jam sebelas
Selesai solat berjamaah dengan sang istri muda, Akbar kembali masuk ke kamar utama, tempat Bu Nova istri tuanya berada."Mama sudah selesai solat ?" tanya Akbar begitu melihat istrinya yang masih tiduran diranjang dan tidak menjawab sedikitpun pertanyaannya.Kemudian Akbar duduk ditepi ranjang, disamping istrinya itu." Ma...memang sulit dan sakit bagi mama untuk menerima Puteri, tapi bagaimanapun bencinya mama dengannya, itu tidak akan merubah statusnya lagi." nasehatnya."Apa papa akan terus mempertahankan dia sebagai maduku ?" tanya Nova. Kini diapun ikut duduk disisi suaminya."Papa tidak akan menceraikan kalian berdua. Kalian adalah jiwa dan raga papa. Mama adalah raganya papa selama ini." jawab Akbar.Pria dewasa yang semakin berkharismatik diusianya yang tidak muda lagi itu, menghela nafas berat."Bukan mau papa untuk menyakiti mama, dan bukan mau papa untuk melepaskan tanggung jawab papa pada Puteri. Tolong tetaplah berdiri disebelah kanan papa." ucap Akbar penuh kelembutan.
Sudah satu Minggu Puteri kembali kerumah minimalisnya. Seperti biasa sebelum pergi ke rumah sakit Akbar sendiri yang akan mengurus bayi Emran dan istri mudanya. "Ruhi....sayang...? Sudah hampir subuh." Panggil Akbar ditelinga sang istri dengan lembut."Mandilah...lima menit lagi azan subuh." Sambung Akbar saat dilihatnya sang istri sudah bangun dari tidurnya. Tanpa menjawab Puteri segera bergegas mengikuti apa yang diperintahkan sang suami.Solat subuh berjamaah dan mengulang murajaah adalah rutinitas yang mereka lakukan sebelum lengkingan suara Emran menggema dari dalam box bayinya.Jam setengah tujuh Emran telah wangi dengan wajah yang sudah seperti donat tepung, karena ulah sang papa. "Wah...anak papa sudah ganteng...sudah wangi...wangi surga..." Ucap Akbar pada puteranya yang sudah mulai lasak."Kita nenen dulu...? Nenen sama mama..?" Sambungnya lagi sambil menggendong Emran, meletakkannya diatas pangkuan sang istri yang sudah siap duduk diatas sofa."Kuchi....kuchi...anak aku ga
Puteri terus memangku bayi Emran sampai tertidur pulas, setelah menghabiskan susu botolnya.Akbar hanya diam terpaku melihat keajaiban Allah. Doanya telah di ijabah Allah, tidak ada yang lebih membahagiakan dari itu semua.Perlahan Nova menghampiri Puteri dan berkata."Sini...Emran nya biar saya pindahkan ke boxnya saja." Pinta Nova dengan tulus."Haaaah...i..iya..!" Jawab Puteri gugup. Dengan sedikit gemetar Puteri memberikan bayinya kepada Nova. Rasa lemah dengan tulang yang rasanya kaku membuat Puteri tidak dapat bergerak banyak.Tak lama seorang suster datang membawakan teh panas dan bubur nasi sup ayam kampung.Dengan cekatan Akbar menerima troli makanan tersebut dan membawanya kehadapan sang istri."Makan dulu Ruhi...?" Pinta Akbar lembut.Nova yang merasa canggung dengan situasi mereka bertiga, berfikir untuk keluar dari ruangan tersebut."Pa...mama, mau pulang sebentar, nanti mama datang lagi. Kalau ada sesuatu yang mau dibeli, hubungi mama ya pah?" Ucap Nova lembut.Kemudian
Hari ini rencananya Akbar akan memindahkan perawatan untuk Puteri dirumah minimalis mereka. karena bagaimana pun rumah sakit bukan tempat yang bagus untuk tumbuh kembang puteranya yaitu Emran. Tanpa diminta oleh suaminya, pagi- pagi sekali Nova sudah sampai dirumah sakit, tepatnya diruangan Puteri dirawat."Ada apa ma?" Tanya Akbar setelah menjawab salam dari istri pertamanya."Ada apa?" Tanya Akbar lagi, dia merasa heran karena masih terlalu pagi bagi tamu untuk menjenguk pasien."Aku hanya ingin bersama kalian pa..?" Jawab Nova jujur.Pak Akbar yang mendengar hanya menautkan alisnya saja, tanpa berkomentar."Oke...sudah selesai..! Anak papa sudah ganteng, sudah wangi...wangi surga...!" Ucap Akbar pada sang putera yang baru selesai ia mandikan.Dengan memakai pakaian anak enam bulan keatas, Emran nampak lebih besar dari usianya.Dengan menggendongnya sebelum diberikan susu, Akbar ingin anaknya memanggil Puteri dengan jeritan tangisan seperti biasanya. "Mas selalu berdoa, kamu pulang
Assalamualaikum" terdengar suara ketukan pintu dan ucapan salam dari luar ruangan. Akbar yang baru selesai mengaji disisi sang istri, segera membuka pintu untuk melihat siapa yang datang." "Waalaikumsalam" jawab Akbar. Saat tahu siapa yang datang ia menghela nafas dengan berat."Kamu bisa pulang ma?" Tanya Akbar heran. Tanpa menerima uluran tangan Nova yang ingin menyalaminya."Jadi papa enggak suka nengok mama pulang ya?" Tanya Bu Nova sedikit tersinggung. "Bukannya gak suka, tapi mama sendiri yang bilang, kemungkinan mama disana sampai menantu mama siap melahirkan." Jawab Akbar, berlalu meninggalkan istri tuanya yang masih berdiri di pintu."Masuklah kalau mau masuk." Ucap Akbar yang telah duduk disisi Puteri. Sedangkan Putera mereka sedang tidur nyenyak didalam box Beby."Sudah berapa lama dia seperti ini pah?" tanya Nova yang sudah berdiri di dekat Akbar."Hampir sebulan." Jawab Akbar datar. Sambil mengecek beberapa berkas kantor dan rumah sakitnya. Merasa dicuekin, Nova berja
Sekitar pukul delapan malam pak Yusuf sampai ke Jakarta dan langsung menuju rumah sakit tempat anak semata wayangnya melahirkan."Assalamualaikum" ucap pak Yusuf ketika ia telah sampai didepan pintu kamar pasien tempat Puteri berada.Akbar yang baru selesai menunaikan shalat isya, menoleh kearah suara."Waalaikumsalam" jawabnya dan segera menghampiri sahabat karib sekaligus bapak mertuanya.Kedua lelaki itu berjabatan tangan, dan kemudian berpelukan."Aku takut Yusuf...aku takut kalau istriku pingsannya lama." Ucap Akbar dengan suara bergetar."Berdoalah untuk yang terbaik" jawab Yusuf dengan menepuk- nepuk pundak sahabatnya dan melepaskan pelukan mereka.Yusuf menghampiri anaknya yang sudah lama tidak ia kunjungi."Sayang...?" Panggil Yusuf dengan suara bergetar. Diraihnya jemari Puteri digenggamnya erat."Kenapa belum mau bangun sayang....?" Panggilnya pada sang anak yang tertidur dengan damai."Kasian cucu ayah kalau tidak minum ASI, bangunlah. Hadapi semua, menghindar untuk tetap
Satu jam berlalu setelah Akbar membuat penyatuannya dengan sang istri. Jalan lahir sudah memasuki pembukaan tiga, kini Puteri tengah berjalan dan terkadang jongkok kalau rasa mulas menggerayangi perutnya, dan pak Akbar dengan setia terus berada didekat istrinya walau kadang Puteri menyuruhnya untuk istirahat.Sambil berjalan Puteri merasakan perutnya mulas kembali, dan ia meringis lagi"Kita operasi saja, ya sayang...? Kalau operasi, satu jam mendatang kamu tidak merasakan sakit seperti ini lagi." Rayu Akbar kembali.Puteri hanya diam, tak menanggapi ucapan suaminya, Puteri bosan mendengarnya."Mas....? Air kencingnya keluar sendiri." Ucapnya tiba-tiba, dengan melihat lantai yang sudah banjir air yang merembes dari kemaluannya.Akbar yang mendengar ucapan sang istri, segera membawa Puteri kekamar mandi."Itu bukan air kencing sayang, itu air ketubannya sudah pecah, tukar dulu bajunya. Dengan dibantu perawat wanita, Puteri membersihkan tubuhnya yang basah oleh rembesan air ketuban.Sem
Ambulans yang membawa Puteri sampai dilobi rumah sakit bersamaan dengan sampainya Akbar ditempat itu. Pihak rumah sakit yang sudah standby menunggu istri dari bos besar mereka, segera menyambut kedatangan ambulansPintu belakang mobil ambulans segera dibuka, terlihat Puteri yang tengah terpejam.Dua orang perawat laki- laki langsung menurunkan brankar ambulans tersebut."Ruhi....?" Panggil Akbar cemas.Sedangkan Yani juga mengikuti kemana Puteri dibawa tim medis. Ruang persalinan dilantai empat sudah disiapkan sejak tadi, dokter Mira yang sudah standbye menunggu kedatangan Puteri, istri dari atasannya itu segera menyambut dan memeriksa kondisi wanita hamil tersebut."Dokter, saya tidak mau operasi," ucap Puteri lemah."Kita akan usahakan yang terbaik ya Bu...kalau tidak memungkinkan untuk normal terpaksa harus operasi juga, karena kondisi ibu tidak begitu sehat." Ucap dokter Mira. Sedangkan Akbar yang ada disamping Puteri hanya diam mendengarkan dua orang wanita itu berbicara.Selang
"Ruhi...?" Panggil Akbar dengan suara yang cukup kuat. Buru- buru ia menghampiri sang istri yang sedang tertidur pulas di dalam bathtub.Tanpa berfikir panjang, Akbar segera mengangkat Puteri yang tanpa memakai pakaian sehelai pun dan membawanya masuk kedalam kamar tidur, meletakkan dengan lembut dan membungkus tubuh sang istri dengan handuk berukuran besar.Puteri yang merasa tubuhnya terangkat dan tidak merasakan dinginnya air lagi, segera membuka matanya."Ada apa? Kenapa?" Tanya Puteri heran melihat Akbar yang kalang kabut dengan ekspresi wajah yang cemas."Sayang....?" Kamu mau buat mas kena serangan jantung, hhhmmmm...? kenapa kamu tidur dikamar mandi didalam bethup lagi...!" Tanya Akbar lembut namun tegas.Puteri hanya mendesah, sedikit kesal. Perlahan Puteri bangkit, dan berniat untuk mengambil pakaiannya."Mau kemana?" tanya Akbar lagi dengan rasa sabar dan sayangnya."Mau pakai baju," jawab Puteri datar, sedikitpun tidak ada lagi sifat manja yang Puteri tunjukkan kepada Akba
"aku pengen makan dengan piring sendiri mas..?" ucap Puteri saat Akbar akan menghidangkan makan sepiring berdua untuk mereka seperti biasanya."Kenapa?" tanya Akbar heran."Lagi malas aja...!" Jawab Puteri datar.Akbar tidak lagi bertanya, ia mengambil satu lagi piring untuk Puteri."Biar aku buat sendiri mas..?" pinta Puteri sopan pada suaminya yang akan menyendokkan nasi untuknya.Selesai makan, Puteri langsung masuk kedalam kamar, perutnya sering jadi sebah atau seperti kram setiap selesai makan.Sambil meringis membelai perut besarnya Puteri berguman sendiri."Kamu yang sehat ya nak, harus kuat pintar dan soleh seperti papah kamu."Terlalu banyak tertekan perasaan yang tidak bisa ia ungkapkan membuat Puteri dilanda stres yang berkepanjangan ternyata berpengaruh pada kandungannya. Pernyataan dokter yang menyarankan Puteri untuk caecar pada persalinannya nanti, sungguh membuat Puteri takut. Dan ia tetap diam tidak memberitahukan pada sang suami.Sedangkan Akbar yang sudah lama du