Bersamaan dengan azan magrib, Akbar sampai didepan kediaman yang sudah belasan tahun ia tempati bersama istri pertamanya.Tanpa berkata dengan sang sopir, ia langsung masuk menuju kamar utama."Solat berjamaah kita ma...!" ajaknya, saat dia sudah berada didalam kamar."Papa wudhu lah, biar mama tunggu." jawab Nova yang sudah memakai mukenanya.Selesai solat berjamaah, Akbar melanjutkan ibadahnya dengan zikir dan doa...serta membaca Alquran. Sedangkan Bu Nova, segera keluar kamar untuk membantu bik Sumi untuk menyiapkan makan malam.Selesai dengan bacaan alqurannya, Akbar tidak langsung bangkit dari duduknya.Lama ia termenung dalam kesendirian, menarik ulur semua kejadian, yang terlalu berimbas pada kehidupan pribadinya.Ada rasa nyeri didada saat ini, apabila ia mengingat istri mudanya yang sendiri dirumah baru mereka.Mempunyai dua istri ternyata sesakit ini.Sakit jika jauh dari salah satunya, namun tidak mungkin juga menyatukan dua hati mereka untuk tinggal di satu atap.Tidak mu
Empat hari bersama cinta pertamanya tidak sedikitpun Bu Nova tenang dengan keberadaan suami disisinya, apalagi setelah mengetahui jika suami dan madunya telah melakukan malam pertamanya. Sementara akbar yang dicueki sang istri hanya bisa pasrah, mencoba mengalihkan kegalauan dengan membawa pekerjaan kantor untuk dikerjakan dirumah utama.Kamis sore menjelang magrib, Akbar baru sampai dirumah minimalis milik Puteri, istri mudanya."Assalamualaikum" ucapnya lirih. Memeluk istri mungilnya yang baru selesai mandi.Mengendus dengan rakus tubuh atas istrinya, seperti mencari ketenangan Akbar menyusuri seluruh wajah tengkuk dan leher sang istri."Sudah mau magrib, kenapa baru selesai mandi hhhhmm ?" tanya Akbar namun tetap melakukan aktifitasnya."Baru pulang dari apotik akunya maass ?" jawab Puteri dengan nada manja."Maasssss ?" satu desahan telah keluar begitu saja dari bibir sang istri.Puteri telah terbiasa dengan perbuatan suaminya itu, hanya bisa pasrah, menerima dan mengikuti kemauan
Pak Akbar melangkah gontai meninggalkan rumah istri mudanya, setelah mendengar semua ucapan- ucapan Nova."Tuan..." panggil bik Ijah heran. Melihat majikannya melangkah keluar rumah dan pergi begitu saja, tanpa menjawab panggilannya."Nyonya itu tuan kenapa pergi lagi ya ?" tanya bik Ijah pada Puteri yang sedang menyeka air matanya."Hahhh....kenapa bik ?" tanya Puteri terkejut."Tuan tadi datang, belum lagi masuk. Kenapa pergi lagi ya ?" ucap bik Ijah mengulangi pertanyaannya tadi.Puteri segera berdiri. Dan ingin mengejar suaminya."Tuan sudah pergi nyonya." ucap bik Ijah.Bu Nova yang mendengar ucapan bik Ijah jadi takut sendiri. Takut kalau suaminya mendengar semua ucapannya. Buru- buru ia permisi dan pergi dari rumah Puteri."Tadi, mas Akbar datang sendiri ya bik ?" tanya Puteri lagi. Setelah Bu Nova pergi dari rumahnya."Iya nya...! Hanya sendiri. Pak Hasan tidak ada." jawab bik Ijah.Ada perasaan aneh yang mengganjal dihati Puteri, suaminya pulang, namun tidak menemuinya. Puter
Sudah tengah malam namun Puteri masih belum dapat kabar tentang suaminya. Ponselnya juga mati sejak siang tadi. Entah berapa banyak miscall dan chat darinya. Perasaan was- was dan takut menghantuinya."Bik...bibik tau nomor ponsel pak Hasan ?" Tanya Rani pada pembantu yang sudah dianggapnya seperti ibunya sendiri."Enggak nyah...bibi enggak tau." jawab bik Ijah.Semalaman Puteri enggak bisa tidur memikirkan Akbar. Ingin mendatangi kediamannya yang bersama Bu Nova, tapi Puteri takut. Walau bagaimana pun Puteri adalah orang ketiga dalam rumah tangga mereka.Keesokannya, sekitar jam tiga sore. Rizal sampai kembali ketanah air yang selama beberapa bulan ini ia tinggalkan. Meninggalkan segudang masalah.Dengan menaiki taksi ia segera pergi kerumah sakit untuk menemui kedua orang tuanya."Assalamualaikum ma" ucapnya lirih pada wanita yang sedang duduk termenung memandangi suaminya yang terbujur dipembaringan dengan selang infus dan beberapa selang lainnya.Bu Nova langsung menoleh keasal su
"maafkan Rizal ma? Karena Rizal mama jadi tertekan dan tersiksa perasaan." ucap Rizal dengan rasa bersalahnya.Bu Nova hanya menghela nafas panjang tanpa menjawab ucapan Rizal."Ini...bukalah sendiri ponsel papamu. Cari nomornya dan hubungi sendiri." ucap Bu Nova setelah mengeluarkan ponsel suaminya dari dalam tasnya.Rizal segera menerima ponsel papanya dan terus melangkah keluar ruangan.Menghidupkan kembali ponsel sang papa yang sudah mati selama papanya kecelakaan.Begitu ponsel aktif puluhan chat dan miscall muncul dilayar ponsel dari yang bernama Ruhiku.Dada Rizal rasa ingin meletup, tatkala membaca semua chat yang dikirim Puteri. Rasa yang dulu sempat bertunas dihatinya karena perjodohan, harus berganti dengan rasa harus menghormati sebagai ibu tiri.Melihat gambar profil seorang perempuan yang sempat dia kasihi. Ada rasa sesak, sesal yang dalam tidak lagi berarti. "Semoga kamu bahagia menjadi istri papaku" doanya dalam hati untuk mantan kekasih hati.Suara getaran ponsel terd
"pa...bagaimana, apa papa yang sakit?" tanya Bu Nova setelah dokter meninggalkan ruangan."Alhamdulillah..!" Jawab Akbar datar."Panggilkan Puteri." perintahnya. Tanpa menegur Rizal yang berdiri disamping istrinya.Rizal hanya mendesah pelan, melihat papanya yang menganggap dirinya tidak ada. Rizal hanya bisa pasrah, toh..memang dia penyebab semua ini.Tanpa berkata apapun Rizal segera keluar untuk memanggil Puteri, ibu tirinya.Melihat bayangan Puteri yang sudah jalan menjauh, buru- buru Rizal mengejarnya."Put...Puteri?" panggilnya.Puteri segera menoleh kebelakang mendengar namanya dipanggil seseorang."Maaf...kamu dipanggil papaku." Ujar Rizal, lalu membuang pandangannya saat tatapan mereka beradu."Untuk apa..?" jawab Puteri Rizal menggeleng pelan."Maafkan aku Puteri. Maafkan tentang kejadian itu. Tolong maafkan aku." Ucap Rizal saat Puteri akan meninggalkannya.Tanpa menjawab apapun Puteri kembali melangkah menuju kamar suaminya."Maaf atau tidak, tidak akan merubah semua yang
Hari ini Akbar diperbolehkan pulang, dan tetap akan melakukan berobat jalan beberapa kali lagi.Puteri ikut mengantarkan suaminya kembali kerumah utama. Walaupun sebenarnya hari ini adalah hari Jumat jadwal Akbar untuk menginap dirumahnya. Namun Puteri mengalah dan meminta suaminya untuk kembali kekediamannya bersama Bu Nova."Aku pulang dulu ya mas..."pamit Puteri, setelah Akbar duduk diruang santai dirumah utamanya. Rumah mewah yang memiliki dua lantai, yang sempat Puteri tinggali selama tiga hari."Iya...hati- hati. Ingat pesan dan ucapan mas ya Ruhi..?" "Iya mas... assalamualaikum" pamit Puteri dengan mencium punggung tangan dan telapak tangan suaminya beberapa kali, sebelum meninggalkan tempat itu.Bu nova memperhatikan dari sudut kamar utama, ada rasa nyeri yang tetap terpatri tidak mau hilang. "Sungguh sopan dan istri idaman kamu Putri" guman Bu Nova. "Aku akan memberikan kebahagiaanmu pa..! Semoga aku sanggup." Sambungnya dalam hati."Papa mau istirahat dikamar atau disini p
Sabtu pagi ini Akbar masih belum kekantor ataupun kerumah sakit untuk beraktifitas seperti biasa. Rencananya ia akan mulai bekerja dihari Senin mendatang.Pagi ini ia telah bersiap- siap untuk pergi kerumah keduanya yaitu rumah tempat tinggal Puteri sekarang. Karena bagaimana pun dihari Jumat, Sabtu dan Minggu adalah jadwalnya untuk tidur bersama istri keduanya.Nova masuk kedalam kamar dan memberikan teh ginseng hangat, kesukaan suaminya."Minum dulu tehnya pa, sebelum pergi" ucap Bu Nova. Akbar hanya diam, namun melakukan apa yang diperintahkan istrinya."Obatnya jangan lupa dibawa, pa?"sambungnya."Iya....makasih ya ma" jawab Akbar.Ada rasa terharu dan sedih, namun inilah kenyataan hidup. Apapun ceritanya, hidup harus dijalankan sampai Izrail memanggil.Mobil yang membawa Akbar perlahan keluar dan hilang dari pandangan Bu Nova. Hari pertama aku melepaskanmu untuk pergi menjumpai maduku. Ucap Bu Nova dalam hati."Papa sudah pergi ma?" tanya Rizal yang baru keluar dari dalam kamarn
Sudah satu Minggu Puteri kembali kerumah minimalisnya. Seperti biasa sebelum pergi ke rumah sakit Akbar sendiri yang akan mengurus bayi Emran dan istri mudanya. "Ruhi....sayang...? Sudah hampir subuh." Panggil Akbar ditelinga sang istri dengan lembut."Mandilah...lima menit lagi azan subuh." Sambung Akbar saat dilihatnya sang istri sudah bangun dari tidurnya. Tanpa menjawab Puteri segera bergegas mengikuti apa yang diperintahkan sang suami.Solat subuh berjamaah dan mengulang murajaah adalah rutinitas yang mereka lakukan sebelum lengkingan suara Emran menggema dari dalam box bayinya.Jam setengah tujuh Emran telah wangi dengan wajah yang sudah seperti donat tepung, karena ulah sang papa. "Wah...anak papa sudah ganteng...sudah wangi...wangi surga..." Ucap Akbar pada puteranya yang sudah mulai lasak."Kita nenen dulu...? Nenen sama mama..?" Sambungnya lagi sambil menggendong Emran, meletakkannya diatas pangkuan sang istri yang sudah siap duduk diatas sofa."Kuchi....kuchi...anak aku ga
Puteri terus memangku bayi Emran sampai tertidur pulas, setelah menghabiskan susu botolnya.Akbar hanya diam terpaku melihat keajaiban Allah. Doanya telah di ijabah Allah, tidak ada yang lebih membahagiakan dari itu semua.Perlahan Nova menghampiri Puteri dan berkata."Sini...Emran nya biar saya pindahkan ke boxnya saja." Pinta Nova dengan tulus."Haaaah...i..iya..!" Jawab Puteri gugup. Dengan sedikit gemetar Puteri memberikan bayinya kepada Nova. Rasa lemah dengan tulang yang rasanya kaku membuat Puteri tidak dapat bergerak banyak.Tak lama seorang suster datang membawakan teh panas dan bubur nasi sup ayam kampung.Dengan cekatan Akbar menerima troli makanan tersebut dan membawanya kehadapan sang istri."Makan dulu Ruhi...?" Pinta Akbar lembut.Nova yang merasa canggung dengan situasi mereka bertiga, berfikir untuk keluar dari ruangan tersebut."Pa...mama, mau pulang sebentar, nanti mama datang lagi. Kalau ada sesuatu yang mau dibeli, hubungi mama ya pah?" Ucap Nova lembut.Kemudian
Hari ini rencananya Akbar akan memindahkan perawatan untuk Puteri dirumah minimalis mereka. karena bagaimana pun rumah sakit bukan tempat yang bagus untuk tumbuh kembang puteranya yaitu Emran. Tanpa diminta oleh suaminya, pagi- pagi sekali Nova sudah sampai dirumah sakit, tepatnya diruangan Puteri dirawat."Ada apa ma?" Tanya Akbar setelah menjawab salam dari istri pertamanya."Ada apa?" Tanya Akbar lagi, dia merasa heran karena masih terlalu pagi bagi tamu untuk menjenguk pasien."Aku hanya ingin bersama kalian pa..?" Jawab Nova jujur.Pak Akbar yang mendengar hanya menautkan alisnya saja, tanpa berkomentar."Oke...sudah selesai..! Anak papa sudah ganteng, sudah wangi...wangi surga...!" Ucap Akbar pada sang putera yang baru selesai ia mandikan.Dengan memakai pakaian anak enam bulan keatas, Emran nampak lebih besar dari usianya.Dengan menggendongnya sebelum diberikan susu, Akbar ingin anaknya memanggil Puteri dengan jeritan tangisan seperti biasanya. "Mas selalu berdoa, kamu pulang
Assalamualaikum" terdengar suara ketukan pintu dan ucapan salam dari luar ruangan. Akbar yang baru selesai mengaji disisi sang istri, segera membuka pintu untuk melihat siapa yang datang." "Waalaikumsalam" jawab Akbar. Saat tahu siapa yang datang ia menghela nafas dengan berat."Kamu bisa pulang ma?" Tanya Akbar heran. Tanpa menerima uluran tangan Nova yang ingin menyalaminya."Jadi papa enggak suka nengok mama pulang ya?" Tanya Bu Nova sedikit tersinggung. "Bukannya gak suka, tapi mama sendiri yang bilang, kemungkinan mama disana sampai menantu mama siap melahirkan." Jawab Akbar, berlalu meninggalkan istri tuanya yang masih berdiri di pintu."Masuklah kalau mau masuk." Ucap Akbar yang telah duduk disisi Puteri. Sedangkan Putera mereka sedang tidur nyenyak didalam box Beby."Sudah berapa lama dia seperti ini pah?" tanya Nova yang sudah berdiri di dekat Akbar."Hampir sebulan." Jawab Akbar datar. Sambil mengecek beberapa berkas kantor dan rumah sakitnya. Merasa dicuekin, Nova berja
Sekitar pukul delapan malam pak Yusuf sampai ke Jakarta dan langsung menuju rumah sakit tempat anak semata wayangnya melahirkan."Assalamualaikum" ucap pak Yusuf ketika ia telah sampai didepan pintu kamar pasien tempat Puteri berada.Akbar yang baru selesai menunaikan shalat isya, menoleh kearah suara."Waalaikumsalam" jawabnya dan segera menghampiri sahabat karib sekaligus bapak mertuanya.Kedua lelaki itu berjabatan tangan, dan kemudian berpelukan."Aku takut Yusuf...aku takut kalau istriku pingsannya lama." Ucap Akbar dengan suara bergetar."Berdoalah untuk yang terbaik" jawab Yusuf dengan menepuk- nepuk pundak sahabatnya dan melepaskan pelukan mereka.Yusuf menghampiri anaknya yang sudah lama tidak ia kunjungi."Sayang...?" Panggil Yusuf dengan suara bergetar. Diraihnya jemari Puteri digenggamnya erat."Kenapa belum mau bangun sayang....?" Panggilnya pada sang anak yang tertidur dengan damai."Kasian cucu ayah kalau tidak minum ASI, bangunlah. Hadapi semua, menghindar untuk tetap
Satu jam berlalu setelah Akbar membuat penyatuannya dengan sang istri. Jalan lahir sudah memasuki pembukaan tiga, kini Puteri tengah berjalan dan terkadang jongkok kalau rasa mulas menggerayangi perutnya, dan pak Akbar dengan setia terus berada didekat istrinya walau kadang Puteri menyuruhnya untuk istirahat.Sambil berjalan Puteri merasakan perutnya mulas kembali, dan ia meringis lagi"Kita operasi saja, ya sayang...? Kalau operasi, satu jam mendatang kamu tidak merasakan sakit seperti ini lagi." Rayu Akbar kembali.Puteri hanya diam, tak menanggapi ucapan suaminya, Puteri bosan mendengarnya."Mas....? Air kencingnya keluar sendiri." Ucapnya tiba-tiba, dengan melihat lantai yang sudah banjir air yang merembes dari kemaluannya.Akbar yang mendengar ucapan sang istri, segera membawa Puteri kekamar mandi."Itu bukan air kencing sayang, itu air ketubannya sudah pecah, tukar dulu bajunya. Dengan dibantu perawat wanita, Puteri membersihkan tubuhnya yang basah oleh rembesan air ketuban.Sem
Ambulans yang membawa Puteri sampai dilobi rumah sakit bersamaan dengan sampainya Akbar ditempat itu. Pihak rumah sakit yang sudah standby menunggu istri dari bos besar mereka, segera menyambut kedatangan ambulansPintu belakang mobil ambulans segera dibuka, terlihat Puteri yang tengah terpejam.Dua orang perawat laki- laki langsung menurunkan brankar ambulans tersebut."Ruhi....?" Panggil Akbar cemas.Sedangkan Yani juga mengikuti kemana Puteri dibawa tim medis. Ruang persalinan dilantai empat sudah disiapkan sejak tadi, dokter Mira yang sudah standbye menunggu kedatangan Puteri, istri dari atasannya itu segera menyambut dan memeriksa kondisi wanita hamil tersebut."Dokter, saya tidak mau operasi," ucap Puteri lemah."Kita akan usahakan yang terbaik ya Bu...kalau tidak memungkinkan untuk normal terpaksa harus operasi juga, karena kondisi ibu tidak begitu sehat." Ucap dokter Mira. Sedangkan Akbar yang ada disamping Puteri hanya diam mendengarkan dua orang wanita itu berbicara.Selang
"Ruhi...?" Panggil Akbar dengan suara yang cukup kuat. Buru- buru ia menghampiri sang istri yang sedang tertidur pulas di dalam bathtub.Tanpa berfikir panjang, Akbar segera mengangkat Puteri yang tanpa memakai pakaian sehelai pun dan membawanya masuk kedalam kamar tidur, meletakkan dengan lembut dan membungkus tubuh sang istri dengan handuk berukuran besar.Puteri yang merasa tubuhnya terangkat dan tidak merasakan dinginnya air lagi, segera membuka matanya."Ada apa? Kenapa?" Tanya Puteri heran melihat Akbar yang kalang kabut dengan ekspresi wajah yang cemas."Sayang....?" Kamu mau buat mas kena serangan jantung, hhhmmmm...? kenapa kamu tidur dikamar mandi didalam bethup lagi...!" Tanya Akbar lembut namun tegas.Puteri hanya mendesah, sedikit kesal. Perlahan Puteri bangkit, dan berniat untuk mengambil pakaiannya."Mau kemana?" tanya Akbar lagi dengan rasa sabar dan sayangnya."Mau pakai baju," jawab Puteri datar, sedikitpun tidak ada lagi sifat manja yang Puteri tunjukkan kepada Akba
"aku pengen makan dengan piring sendiri mas..?" ucap Puteri saat Akbar akan menghidangkan makan sepiring berdua untuk mereka seperti biasanya."Kenapa?" tanya Akbar heran."Lagi malas aja...!" Jawab Puteri datar.Akbar tidak lagi bertanya, ia mengambil satu lagi piring untuk Puteri."Biar aku buat sendiri mas..?" pinta Puteri sopan pada suaminya yang akan menyendokkan nasi untuknya.Selesai makan, Puteri langsung masuk kedalam kamar, perutnya sering jadi sebah atau seperti kram setiap selesai makan.Sambil meringis membelai perut besarnya Puteri berguman sendiri."Kamu yang sehat ya nak, harus kuat pintar dan soleh seperti papah kamu."Terlalu banyak tertekan perasaan yang tidak bisa ia ungkapkan membuat Puteri dilanda stres yang berkepanjangan ternyata berpengaruh pada kandungannya. Pernyataan dokter yang menyarankan Puteri untuk caecar pada persalinannya nanti, sungguh membuat Puteri takut. Dan ia tetap diam tidak memberitahukan pada sang suami.Sedangkan Akbar yang sudah lama du