“Sori bikin kau menunggu aku yang tiba-tiba labil gini,” kata Vana setelah puas dengan perasaan dan pikirannya barulah melirik Heda. “Tak apa. Aku baik saja, santai saja Van,” balas Heda menyentuh lengan Vana yang mengangguk kecil lalu membuang napasnya. Masih tak percaya dengan pengamatannya sendiri, Heda mengalihkan pandangan ke arah lain untuk mencari penghiburan. Setelah menghabiskan jus yang dipesan Heda untuknya, Vana melirik jam dan menimbang lalu bergumam, “sebaiknya aku pulang saja.” Heda mendengar gumamannya itu. “Mau aku antar?” tawarnya menatap Vana yang sepertinya dalam kondisi kurang baik untuk dibiarkan sendiri. Sejak beberapa menit lalu dia jadi banyak termenung. Bila dia menggunakan kendaraan umum Heda khawatir Vana melewatkan alamat yang telah menjadi tempat tinggalnya belakangan. Vana mengangkat wajahnya untuk menatap Heda, mengamatinya beberapa saat dan seolah Vana mengerti tawaran sahabatnya itu, dia akhirnya mengangguk. “Ya, tolong. Rasanya aku terlalu les
Mobil Heda tiba di depan gerbang besar rumah itu. Vana menurunkan kaca jendelanya untuk mengonfirmasi dirinya. “Aku kembali,” katanya singkat sambil tersenyum yang segera dibalas oleh penjaga dan memberi isyarat pada rekannya untuk membuka pintu. “Penjagaannya cukup ketat,” komentar Heda sambil menyetir. “Yeah,” sahut Vana, mengangguk. Mobil melewati halaman luas dan sampai di lapangan. Heda mengikuti instruksi Vana untuk berhenti de depan air mancur. “Astaga. Ada Nenek,” ujar Vana terkejut ketika mobil berhenti. Nenek yang baru saja berjalan dari koridor menuju lapangan yang biasa untuk parkir mobil menoleh. Vana segera keluar dari dalamnya setelah menepuk pundak temannya untuk ikut turun. “Nenek,” panggil Vana sambil mendekat, sedikit berlari. Wanita tua itu tersenyum lebar melihat kepulangan Vana seolah sejak tadi nenek menunggunya. “Kamu sudah kembali,” sambut nenek senang. “Ya. Apa yang sedang Nenek lakukan di sini?” tanya Vana meraih tangan keriputnya. “Hendak jalan- j
Senja tampak begitu indah ketika mereka memutuskan untuk berhenti sejenak di salah satu kursi taman yang terlindungi oleh dedaunan sehingga cahaya matahari tak menyorot langsung mereka.Vana masih diam, sedikit kesal mengingat teman-temannya yang ternyata mengenal Fandra, bahkan mendambanya melebihi dirinya. Kebencian kembali hadir dalam diri Vana untuk Fandra setelah mereka mulai baikan. Tiba-tiba dia mendadak enggan untuk bertemu pria itu dan otaknya merencanakan untuk menghindarinya sebisa mungkin nanti.“Oh ya, Vana, kamu bebas bukan besok?” tanya nenek.“Ya. Kenapa?” Vana menatap nenek bingung tapi senyum lebar dan hangat di wajah tua itu membuatnya penasaran.“Temani Nenek berkunjung ke rumah salah satu teman baik, bisa?” tanyanya lagi.Sesaat Vana terdiam kemudian mengangguk kecil.“Bisa. Ke manapun Nenek ingin aku temani, aku siap,” katanya percaya diri yang mengundang tawa nenek untuk berderai.“Kamu pasti akan menyukainya,” kata nenek pelan tapi tak menjelaskan apa pun, meng
Pagi sudah berganti tapi Vana tidak turun untuk sarapan sampai membuat para pelayannya cemas tapi dia bilang baik-baik saja dan sedang memilih baju untuk pergi bersama nenek.“Tapi langit mendung pagi ini,” katanya sedikit mengeluh.Vana menghentikan aksinya mematut diri di cermin sambil memegang dress abu tanpa lengan. Dia mendesah melihat pantulan tiga pelayannya yang muram dari cermin. Maka dia berbalik.“Ayolah, jangan kalian juga semendung pagi di luar sana,” tegurnya.“Tapi kami khawatir karena Nona tidak turun untuk sarapan,” kata pelayan keduanya.“Benar. Kami takut Nyonya marah,” tambah pelayan ketiga.“Hush. Kalian tidak boleh begitu,” ujar pelayan Mega menegur rekannya di belakang. Keduanya langsung terdiam dan menunduk.Mendengar itu Vana menelengkan kepalanya, menghe
“Sampai jumpa lagi. Semoga perjalanannya menyenangkan,” kata Diana, ibu dari Fandra itu mengantar kepergian nenek dan Vana di depan rumah besar tersebut.“Sampai jumpa lagi,” balas nenek sebelum masuk ke mobilnya.Vana masih tetap tinggal di situ setelah menutup pintu saat nenek masuk.“Vana,” Diana menghampiri, menyentuh lengan Vana lembut. “Tolong jaga Nenek. Dia pasti senang bisa bertemu dengan temannya. Semoga kamu juga menikmati perjalanan ini,” katanya.Senyum Vana hadir di wajahnya, menenangkan wanita itu yang meskipun kata-katanya menghibur, dalam nada bicaranya terdengar kecemasan. Vana tahu itu.“Ibu tak perlu khawatir, aku akan menjaganya dengan baik. Kalau begitu, aku permisi dulu,” kata Vana.Diana mengangguk kecil dan membiarkan Vana masuk ke mobil dan duduk di samping nenek. Wanita can
Seorang wanita seusia nenek menyajikan teh hangat untuk mereka begitu duduk di kursi berbahan rotan.“Terima kasih,” ucap Vana pada wanita itu yang membalasnya dengan senyuman lalu duduk di kursi lain.“Tempat ini sama sekali tak banyak berubah,” kata nenek setelah matanya menjelajahi tempat itu.Mereka berada di sebuah lembah, tepat di kaki gunung. Di sekitar situ rumah-rumah tak berdekatan, seperti permukiman yang Vana lihat dalam perjalanan tadi. Rumah itu berjarak, kira-kira terhalang dua kebun ketika dia mengamatinya tadi.“Kami tak banyak mengubahnya. Masih menikmati suasana seperti dulu. Aku senang kau datang, Xu Mei. Sudah lama sekali sejak terakhir kali kau berkunjung,” kata wanita itu menatap nenek.“Ya. Sudah lama sekali. Mungkin, setelah kepergian suamiku waktu itu, aku datang untuk menenangkan diri,” kata nenek.
Tidak banyak yang Vana lakukan di rumah itu ketika malam tiba. Hujan masih turun di luar sana. Hamparan alam terlihat gelap dari jendela yang tak bertirai. Tapi tempat itu hangat dan sejuk karena udara alam yang begitu alami.Tetes air terlihat di dedaunan yang tersorot cahaya lampu. Vana memperhatikannya sambil merenung. Tempat itu damai, menenangkan pikirannya yang sempat berkecamuk. Di sini, dalam ketenangan malam bersama alam, melodinya terdengar begitu indah di luar sana, suara derasnya air sungai yang tak jauh dari rumah, gemericik air, keciur angin, serta binatang malam yang terdengar.“Apa yang dia lakukan?” pikirnya penasaran dengan pandangan menyapu kegelapan di depan sana.Usai makan malam dan mendengarkan cerita Masayu tentang kepindahan mereka ke lmbah itu untuk menghabiskan watu tuanya setelah pensiun dari segala tekanan kota dan pekerjaan, mereka hidup damai di sana meskipun hanya berdua saja d
Meskipun pagi itu hujan turun dengan gerimis, tapi mentari tetap menyinari bumi. Cahayanya yang kemerahan begitu indah terlukis di langit timur, kemunculan yang begitu menakjubkan.Vana berdiri diam di tempatnya berpijak. Dia masih bisa melihat matahari terbut itu dengan begitu jelas sekali di balik gerimis yang turun sedikit menaikan intensitasnya. Tapi hal menakjubkan terjadi seiring matahari terus naik, bias cahaya menembus rintik hujan itu menghasilkan lukisan indah yang begitu besar dan nyata. Kedua mata gadis itu berbinar, senyum haru terlukis di bibirnya.“Pelangi,” dia bergumam takjub melihat ke arah barat di mana pelangi melengkung begitu nyata dan dekat dari tempatnya berdiri walaupun dia tahu, itu hanyalah bias cahaya matahari. “indah.”Tak ingin melewatkan kesempatan langka itu, dia mengeluarkan ponselnya dari saki celana lalu mengabadikannya dalam beberapa jepretan kamera ponselnya dari berbagai angle dan memeriksanya. Tapi sesuatu menarik perhatiannya dari layar ponsel i
Sudah hampir satu bulan sejak Fandra pergi ke Jepang untuk urusan bisnisnya ternyata masalahnya rumit sehingga membutuhkan waktu yang lama untuk mengurusnya. Ayah Fandra juga turut pergi satu minggu lalu untuk membantu karena masalahnya semakin besar membuat semua jadi khawatir.Cuaca belakangan ini tidak tentu, hujan deras turun dengan guntur dan kilat padahal siang masih berlangsung tapi hujan sudah turun. Keluarga Alatas menjadi resah tapi mereka saling menguatkan satu sama lain, mendoakan yang sedang berada di luar rumah.Hari ini pagi cerah, tapi saat siang hari mendung berat, langit gelap dengan gemuruh yang terdengar keras. Angin kencang pun tak mau tertinggal menyemarakkan badai yang hendak turun.Dengan semua kabar cuaca yang buruk itu membuat Vana menjadi tak tenang. Fandra tidak bisa dihubungi dua hari ini karena sibuk sekali. Ayah sempat mengabari kalau mereka akan lembur beberapa hari agar masalah segera beres.Vana tidak tahu apapun jadi hanya bisa mendukung saja dan mend
Tiga hari sejak kejadian itu, Vana jarang sekali keluar dan lebih menghabiskan waktunya di rumah Fandra. Dia punya hobi baru sekarang, melakukan banyak hal seperti merangkai bunga, membuat kerajinan dan lain sebagainya. Fandra sibuk dengan pekerjaannya hingga jarang sekali dihubungi, karena Vana tidak ingin menganggu maka pria itulah yang menghubunginya.Vana sudah menjadi bagian dari keluarga besar itu, dan calon istri Fandra jadi dia bisa bebas ke manapun dia mau di gedung selatan itu. Namun, Fandra tidak mengizinkan Vana untuk ke rumah pondok itu.“Vana, kau sibuk?” Heda datang menghampiri.Apa yang terjadi di hotel itu hanya diketahui beberapa orang saja. Fandra membungkam wartawan yang Asheila bawa itu, dan Asheila sendiri sudah pergi lagi. Dua bodyguard yang ditugaskan Fandra pun tidak akan membicarakan masalah itu, hanya Heda dan Gavian yang mengetahuinya lagi, serta Arzal. Yang lain, terutama keluarga Alatas tidak ada yang tahu.“Tidak. Kenapa?” tanya Vana sambil berbalik meng
Vana tampak kelehan, dan berbaring di ranjang yang berantakan.Entah berapa tempat yang mereka jamah, dan memberantakannya bahkan kamar mandi pun tak luput dari mereka.“Kau akan kesakitan saat bangunan nanti.”Vana merespon pelan.“Aku tahu. Tapi, aku tidak bisa … kenapa kau di sini?” tanya Vana lemah.“Aku tidak mungkin meninggalkanmu dengan masalah besar, bukan?”“Ya. Namun, bagaimana kau?” Vana tampak tak berdaya, dia lemah sekarang setelah energinya terkuras habis untuk bergelut dengan pria itu.“Kau akan tahu saat sadar sepenuhnya. Jadi sekarang, tidurlah. Kau pasti lelah,” katanya sambil mengusap kepala Vana dan mendaratkan kecupan di dahi gadis itu.“Kau akan pergi bukan?”“Ya, setelah ini,” jawabnya.“Cepatlah kembali. Aku akan menunggu.”“Tentu. Istirahatlah di sini. Sahabatmu akan menjemput besok. Ibu akan menjagamu sampai aku kembali. Jangan pernah keluar lagi dengan pria lain.”Vana mengangguk. Kedua matanya tampak berat untuk terbuka tapi dia masih mengenali suara itu.“
“Fandra?” Vana memanggil sambil mencari pria itu.Fandra muncul tak lama kemudian.“Ya?” Fandra menyahut. “Ada apa?”“Tidak. Aku pikir kau ke mana. Bukannya kau ingin mengatakan sesuatu padaku, apa itu?” tanya Vana kemudian sambil menatap pria itu yang justru menghindar.“Kau mau melihat sekitar?” tanya Fandra, mengalihkan.“Nanti,” jawab Vana sadar kalau Fandra menghindarinya. “Katakanlah, selagi aku bisa mendengarkannya dengan baik,” kata gadis itu mendesak Fandra.Meskipun ragu, pria itu akhirnya menatap Vana.“Aku akan pergi dinas,” ungkap Fandra akhirnya.Vana tak merespon, membiarkan Fandra kembali menyampaikan sisanya.“Ke Jepang, selama dua minggu,” lanjutnya dan masih menatap Vana, mengawasi ekspresi gadis itu.“Itu saja?” tanya Vana tampak tenang.Kedua alis Fandra terangkat, sedikit heran dengan tanggapan yang gadis itu berikan. Fandra berpikir Vana mungkin akan marah, sedih, atau hal lainnya lagi. Namun ternyata, gadis itu cukup tenang untuk merespon.“Ya,” jawab Fandra si
Setelah hari pertunangan itu Asheila menemui Arzal di tempat pria itu sering berada. Asheila mencari tahu lebih dulu tentang pria itu sebelumnya, dan kini duduk anggun di salah satu kursi café milik Arzal.Dengan senyum puas menghiasi bibir, dan rencana yang telah disusun. Asheila yakin semua akan berhasil sesuai dengan prediksinya bila bekerjasama dengan Arzal. Ashelia pikir bisa mengendalikan pria itu, dan membawa ke sisinya lalu menggunakannya untuk merebut Vana dari Fandra, maka dengan begitu Fandra akan kembali padanya.“Maaf membuatmu menunggu,” suara Arzal membuat Asheila menolehkan kepala.“Tidak apa-apa. Aku sudah menunggumu, duduklah,” ujar Asheila.Sesaat Arzal diam, firasatnya tak enak, menatap wanita di depannya beberapa saat. Tentu saja, Arzal sedikit mengenali Asheila yang ditemuinya di acara Vana dan Fandra tapi Arzal tidak tahu hubungan antara wanita itu dan Fandra.Masih tetap membentuk senyuman di bibir, Asleila menunggu respon dari Arzal dengan perasaan tak sabar.
Setelah serangkaian sambutan, mereka akhirnya bertukar cincin. Fandra memasangkannya di jari manis Vana, memperhatikannya beberapa saat. Gema tepuk tangan memenuhi ruangan. Giliran Vana memasangkan cincinnya di jari manis tangan kiri Fandra. Para hadirin bersorak, menyampaikan bahagianya dan mengucapkan selamat atas pertunangan itu, mereka kini resmi menjadi sepasang kekasih yang membuat iri banyak pihak.Vana memeluk ibunya begitu sesi tukar cincin berakhir dan para tamu undangan bergantian memberinya selamat. Fandra ditarik menjauh oleh Arvan dan bergabung dengan Gavian sedangkan Vana bersama keluarganya, ibu serta nenek mengelilinginya. Ada nenek dan kakek Gavian juga di sana menyampaikan bahagia dan harunya pada Vana serta mendoakannya yang terbaik.“Aku senang akhirnya kamu menjadi bagian dari keluarga ini dan membuat Xu Mei tenang,” kata nenek Gavian sembari mengusap lengan Vana.“Terima kasih atas hadirnya, Nenek, dan mendoakan yang terbaik untukku. Semoga doa baik kembali pada
Ruang ballroom yang tadinya luas, hanya ada dekorasi di sisi ruangan kini tampak megah dengan kursi dan meja, altar, dan panggung, serta pernah pernik yang menghiasi ruangan luas di mansion Alatas itu. Kali ini ruangan tersebut hampir penuh sesak oleh tamu undangan yang hadir, meskipun hanya mengundang kalangan atas, tetap saja banyak.Fandra menunggu bersama keluarganya sembari mendengarkan MC yang membuat sambutan sesuai dengan urutannya. Xu Mei, wanita tua berdarah China itu tampak anggun, diapit oleh menantu dan putra tersayangnya, mereka bak raja dan ratu serta ibu suri yang duduk satu meja bersama pangerannya. Alifika juga ada di sana, di meja yang sama dengan orang tua serta ibunya Vana. Wanita itu sama anggunnya seperti Diana yang duduk di sampingnya.Para tamu undangan itu tampak berseri- seri, ikut gugup menunggu sang putri yang wajahnya masih rahasia, hanya namanya yang tertera di kartu undangan. Semua orang dibuat penasaran, secantik apa dia? Sehebat apa latarnya sehingga
Hari besar itu akhirnya tiba juga. Acara akan dilaksanakan pada malam hari, tapi ketika senja menjadi latar di barat sana Vana sudah di dalam kamarnya, tidak boleh kelaur dan Fandra dilarang menemuinya sejak pagi, bahkan mungkin kemarin malam. Meski begitu, Fandra beberapa kali ingin menemuinya, tak melihat gadis itu rasanya aneh baginya.Alifika dan keluarga lainnya memaksa Fandra untuk pindah ke bagunan lain, dan mereka menahannya di kamar sang nenek. Di sanalah dia berganti baju, sedangkan Vana tetap di kamarnya, sibuk dengan para perias, bahkan ponselnya tak bisa dia mainkan. Hanya para wanita yang boleh datang untuk melihatnya, Fandra tidak boleh. Tampilan Vana akan menjadi kejutan juga untuknya.“Kau yang bertunangan kenapa aku yang gugup,” ujar Sabina yang datang lebih awal bersama Angela untuk menemani Vana.“Iya nih. Bener-benar gila rasanya,” timpal Angela yang duduk di samping Sabina sementara Vana di sofa usai merias wajah dan mengenakan gaun untuk pertunangannya hari ini
Matahari sudah di ufuk barat ketika Fandra akhirnya tiba di rumah. Dia pergi menenangkan dirinya lebih dulu sebelum kembali karena kalau sampai neneknya tahu, dia pasti akan dalam bahaya.Memarkirkan mobilnya sebaik mungkin. Saat senja seperti ini biasanya sang nenek bersantai di teras kediamannya menikmati matahari tenggelam yang terasa hangat. Para pekerja sedang sibuk beralu lalang, semua dipercayakan pada orang lain yang mengurus dekorasi dalam pengawasan sang ibu dan kakaknya.“Kau kembali,” sapa Alifika yang kebetulan berada di ballroom untuk mengecek dekorasi.Sempat Fandra terkejut, tapi dia kemudian bersikap biasa saja melihat sang kakak tengah sibuk dengan kertas di tangannya, mencatat apa yang sudah dan belum selesai di kerjakan.“Ya,” jawabnya singkat.Alifika mengangkat wajahnya dan menatap sang adik beberapa saat lalu menepuk bahunya sebelum