Seperti yang diduga, dan dikatakan pasangan itu, debit air sungai memang deras karena hujan. Suaranya juga terdengar begitu keras. Tapi airnya jernih. Lebarnya sekitar tiga setengah meter, panjangnya entar berapa. Vana menuruni undakan batu untuk ke sisi sungai yang berpasir kasar. Dia berdiri di sebuah batu pandangannya mengedar menyusuri area sungai itu. Dia mengatur napasnya tapi tersenyum puas. “Akhirnya,” desahnya. Tempat itu sepi, hanya terdengar suara air dan kesiur angin. Langit mendung di atas sana tapi hujan sudah berhenti dan cahaya matahari tertutup awan kelabu, tapi pancarannya masih terlihat di ufuk timur. “Aku penasaran dengan seberang sana. Tapi, bagaimana aku menyeberangi sungai ini?” gumamnya menganalisis setelah merasa cukup berdiam diri di sana. Dia melirik kanan dan kirinya, tidak ada jembatan. Hanya ada batu-batu besar yang mungkin bisa dia pijak untuk mengantarkannya ke seberang sungai. Tapi aliran air sungai yang deras membuatnya sedikit takut. Belum perna
Entah Fandra hanya ingin menggoda Vana atau memang sengaja melakukan itu. Tapi setelah menyusupkan tangan kanannya di pinggang Vana dan memeluk gadis itu dari belakang, dia menyerukkan wajahnya di belakang leher Vana, menyembunyikan setengah wajahnya di rambut panjang gadis itu.“Hen- hentikan!” Sengal Vana ketika sesuatu yang lembut dan lembab mengecup tengkuknya.Seringai Fandra hadir, tapi tentu saja Vana tidak tahu.“Ap- apa yang kau lakukan, hm?” tanyanya terbatas. Susah payah menahan suaranya agar tak meloloskan sebuah desahan.Fandra tak menjawab tapi menghentikan aksinya tanpa mengambil jarak.Vana bergerak gendak mengubah posisi tapi Fandra menahan gerakannya.Hujan mengguyur semakin deras, mengaburkan pandangan. Kabut juga mulai menutupi pandangan, membuat sekitarnya agak gelap.“K-kau itu, ap
JDER!Kilat menyambar dibarengi gemuruh guntur langit, tepat di dekat mereka dan itu mengagetkan Vana yang seketika menjatuhkan ponsel yang di pegangnya untuk menutupkan kedua tangannya ke kedua telinga.“Simpan ponselnya, bahaya!” seru Fandra setelah gemuruh mereda.Vana patuh, tanpa kata, dia mematikan ponselnya. Suara keras yang begitu membuat jantungnya berdegup kencang menakutkan sekali.“Suaranya dekat sekali ya kalo dari sini,” katanya, memanjangkan lehernya untuk melirik sekitar.Sawah itu tenang, hanya tertiup angin pegunungan yang dingin, di tambah hujan, semakin dingin.“Itu sudah biasa di sini, jadi penduduk tidak ada yang menyalakan televisi, ponsel atau elektronik lain ketika hujan lebat seperti ini,” jelas Fandra yang juga mematikan ponselnya setelah mengirim pesan singkat pada sang nenek supaya tidak teralalu khawatir.[ Kami baik saja, Nenek tak perlu khawatir, aku akan menjaganya. ]Fandra juga mengedarkan pandangan ke sekitar. Ladang yang tak jauh dari sana juga tam
Bahkan di bawah pun, Vana tidak jauh dari Fandra, tetap menempelkan dirinya pada lengan pria itu yang tengah sibuk menyalakan tungku perapian. Dia sudah terbiasa menyalakannya secara manual, dengan korek api kecil yang ada di sana lalu membakar kertas, menimbunnya dengan jerami keringin yang dia dapatkan tak jauh dari tungku dan kayu bakar.Di saung itu persediaannya lengkap, ada apa saja di sana, bisa menemukan apa pun yang di butuhkan karena kedua suami istri tua itu sudah mempersiapkan segala kemungkinannya bila terjebak di sana ketika musim hujan tiba, sayangnya tidak ada selimut. Tapi, entah juga, Fandra belum memeriksa lemari kayu yang ada di atas itu, berada di sudut. Biasanya di sana ada bantal atau selimut. Ah, kenapa dia tak terpikirkan untuk itu?Api mulai membesar melalap kaku bakar. Barulah Vana melepaskan diri dari Fandra, tapi tak begitu jauh, masih menempelakn dirinya pada pria itu yang mengulurkan kedua tangannya ke tungku.
Sepanjang sisa hujan yang mulai berangsur mereda itu yang Fandra lakukan hanya diam saja di atas kepala Vana yang masih tidur. Sesekali dia memainkan ponselnya setelah merasa kalau guntur dan kilat tak terdengar begitu keras. Sampai lenguhan kecil dari gadis itu terdengar, Fanda pura-pura sibuk dengan tungku yang sudah mulai kehabisan kayu bakarnya.Kedua kelopak mata Vana mulai terbuka perlahan. Hal pertama yang dia lihat adalah arang di tungku perapian karena posisinya menyamping. Dia mengerjap beberapa saat, lantas menggerakan kepalanya ke atas, melirik Fandra yang menoleh padanya.“Kau bangun,” sambut Fandra, datar, terkesan agak kesal. Tapi sebenarnya tidak. dia cukup menikmati kebersamaan tanpa kata itu.“Ya. Maaf, aku tidur,” ujar Vana, bangun dari rebahannya. Tapi udara masih dingin dan dia mengeratkan selimutnya.Mengedarkan pandangan ke segala arah, hujan tak lagi se
Kembali ke Mansion Alatas, Fandra dan Vana bersikap seperti biasa, cuek, dingin, atau berdebat kecil dan cekcok untuk beberapa hal sepele. Tapi itu bukanlah apa-apa bagi yang lain, sudah terbiasa dan menyadari kedekatan di balik perbuatan keduanya. Mungkin terlihat tak dekat ketika sedang bersama anggota yang lain, tapi ketika hanya ada berdua saja, mereka seperti pasangan kasmaran yang kaku.Tapi karena Vana masih bersama ketiga pelayannya dan kembali menjalankan pelatihan di sela jadwal kerjanya. Sejauh ini, Vana bisa mengimbanginya. Berlatih dan bekerja. Namun, dia sama sekali belum memberi tahu Fandra soal kerjanya dan Vana juga tidak tahu di hotel siapa dia bekerja, dia hanya ingin memasak lagi, itu saja.Meskipun tidak tahu di mana dia bekerja, tapi ada Arzal yang selalu ada bersamanya. Dapur hotel itu cukup besar dan luas serta peralatannya juga lengkap dengan bahan-bahan berkualitas yang sempurna memudahkan tim dapur menyajikan makan
Fandra sedikit terlambat pulang saat makan malam. Dia segera bergabung ke ruang makan yang hampir selesai. Dia sempat terdiam ketika menghampiri mejanya di mana Vana berada, dia melihat punggung gadis itu dan teringat dengan seseorang yang berada di pinggir jalan sore tadi.“Akhirnya kamu pulang,” sambut nenek.“Ya, rapatnya agak lama,” kata Fandra.“Tidak apa-apa, setidaknya masih sempat makan bersama kita,” kata Nenek Xu Mei.Hanya anggukan kecil dari Fandra. Dia menerima piringnya yang telah di isi oleh Vana.“Makasih,” dia berucap.Vana hanya membalasnya dengan senyuman. Perhatian Fandra sesaat tertuju pada piring milik gadis itu yang sudah habis.“Kau tak tambah?” tanya pria itu sambil menyendok nasinya dan menyuapkannya ke mulut.“Tidak, udah kenyang,” jawab Vana. Dia juga menyediakan air minum untuk Fandra dan menunggu pria itu menghabiskan makanannya sedangkan yang lain sudah selesai.Melihat apa yang Vana lakukan, nenek dan Diana saling tatap begitu juga Alan, ayahnya Fandra
Semua orang sudah berkumpul di ruang tengah yang biasa mereka gunakan untuk bersantai setelah makan bersama, tapi suasananya tampak serius sekali, melihat ekspresi nenek yang terdiam, juga ayahnya Fandra serta ibunya.Seperti biasanya, Fandra dan Vana duduk berdampingan di sofa bersama Fiona yang tidak ingin jauh dari Vana dan selalu menempel di jam usai makan malam sehingga Fandra tak punya kesempatan untuk menjahilinya, tapi itu bukanlah masalah, dalam diamnya, dia menarik tangan Vana ke belakang tubuhnya untuk dia pegang.Nenek menarik napasnya panjang lalu mengangkat wajahnya dan menatap wajah-wajah yang hadir di sana bergantian, ada keharuan di matanya, menyusup ke hati Vana.“Baiklah, tanpa menunda lagi, Nenek akan menyampaikan keputusan yang sudah Nenek ambil setelah memikirkannya cukup lama,” katanya lalu menjeda dan mengarahkan tatapannya pada Fandra.Mereka semua menunggu apa ya
Sudah hampir satu bulan sejak Fandra pergi ke Jepang untuk urusan bisnisnya ternyata masalahnya rumit sehingga membutuhkan waktu yang lama untuk mengurusnya. Ayah Fandra juga turut pergi satu minggu lalu untuk membantu karena masalahnya semakin besar membuat semua jadi khawatir.Cuaca belakangan ini tidak tentu, hujan deras turun dengan guntur dan kilat padahal siang masih berlangsung tapi hujan sudah turun. Keluarga Alatas menjadi resah tapi mereka saling menguatkan satu sama lain, mendoakan yang sedang berada di luar rumah.Hari ini pagi cerah, tapi saat siang hari mendung berat, langit gelap dengan gemuruh yang terdengar keras. Angin kencang pun tak mau tertinggal menyemarakkan badai yang hendak turun.Dengan semua kabar cuaca yang buruk itu membuat Vana menjadi tak tenang. Fandra tidak bisa dihubungi dua hari ini karena sibuk sekali. Ayah sempat mengabari kalau mereka akan lembur beberapa hari agar masalah segera beres.Vana tidak tahu apapun jadi hanya bisa mendukung saja dan mend
Tiga hari sejak kejadian itu, Vana jarang sekali keluar dan lebih menghabiskan waktunya di rumah Fandra. Dia punya hobi baru sekarang, melakukan banyak hal seperti merangkai bunga, membuat kerajinan dan lain sebagainya. Fandra sibuk dengan pekerjaannya hingga jarang sekali dihubungi, karena Vana tidak ingin menganggu maka pria itulah yang menghubunginya.Vana sudah menjadi bagian dari keluarga besar itu, dan calon istri Fandra jadi dia bisa bebas ke manapun dia mau di gedung selatan itu. Namun, Fandra tidak mengizinkan Vana untuk ke rumah pondok itu.“Vana, kau sibuk?” Heda datang menghampiri.Apa yang terjadi di hotel itu hanya diketahui beberapa orang saja. Fandra membungkam wartawan yang Asheila bawa itu, dan Asheila sendiri sudah pergi lagi. Dua bodyguard yang ditugaskan Fandra pun tidak akan membicarakan masalah itu, hanya Heda dan Gavian yang mengetahuinya lagi, serta Arzal. Yang lain, terutama keluarga Alatas tidak ada yang tahu.“Tidak. Kenapa?” tanya Vana sambil berbalik meng
Vana tampak kelehan, dan berbaring di ranjang yang berantakan.Entah berapa tempat yang mereka jamah, dan memberantakannya bahkan kamar mandi pun tak luput dari mereka.“Kau akan kesakitan saat bangunan nanti.”Vana merespon pelan.“Aku tahu. Tapi, aku tidak bisa … kenapa kau di sini?” tanya Vana lemah.“Aku tidak mungkin meninggalkanmu dengan masalah besar, bukan?”“Ya. Namun, bagaimana kau?” Vana tampak tak berdaya, dia lemah sekarang setelah energinya terkuras habis untuk bergelut dengan pria itu.“Kau akan tahu saat sadar sepenuhnya. Jadi sekarang, tidurlah. Kau pasti lelah,” katanya sambil mengusap kepala Vana dan mendaratkan kecupan di dahi gadis itu.“Kau akan pergi bukan?”“Ya, setelah ini,” jawabnya.“Cepatlah kembali. Aku akan menunggu.”“Tentu. Istirahatlah di sini. Sahabatmu akan menjemput besok. Ibu akan menjagamu sampai aku kembali. Jangan pernah keluar lagi dengan pria lain.”Vana mengangguk. Kedua matanya tampak berat untuk terbuka tapi dia masih mengenali suara itu.“
“Fandra?” Vana memanggil sambil mencari pria itu.Fandra muncul tak lama kemudian.“Ya?” Fandra menyahut. “Ada apa?”“Tidak. Aku pikir kau ke mana. Bukannya kau ingin mengatakan sesuatu padaku, apa itu?” tanya Vana kemudian sambil menatap pria itu yang justru menghindar.“Kau mau melihat sekitar?” tanya Fandra, mengalihkan.“Nanti,” jawab Vana sadar kalau Fandra menghindarinya. “Katakanlah, selagi aku bisa mendengarkannya dengan baik,” kata gadis itu mendesak Fandra.Meskipun ragu, pria itu akhirnya menatap Vana.“Aku akan pergi dinas,” ungkap Fandra akhirnya.Vana tak merespon, membiarkan Fandra kembali menyampaikan sisanya.“Ke Jepang, selama dua minggu,” lanjutnya dan masih menatap Vana, mengawasi ekspresi gadis itu.“Itu saja?” tanya Vana tampak tenang.Kedua alis Fandra terangkat, sedikit heran dengan tanggapan yang gadis itu berikan. Fandra berpikir Vana mungkin akan marah, sedih, atau hal lainnya lagi. Namun ternyata, gadis itu cukup tenang untuk merespon.“Ya,” jawab Fandra si
Setelah hari pertunangan itu Asheila menemui Arzal di tempat pria itu sering berada. Asheila mencari tahu lebih dulu tentang pria itu sebelumnya, dan kini duduk anggun di salah satu kursi café milik Arzal.Dengan senyum puas menghiasi bibir, dan rencana yang telah disusun. Asheila yakin semua akan berhasil sesuai dengan prediksinya bila bekerjasama dengan Arzal. Ashelia pikir bisa mengendalikan pria itu, dan membawa ke sisinya lalu menggunakannya untuk merebut Vana dari Fandra, maka dengan begitu Fandra akan kembali padanya.“Maaf membuatmu menunggu,” suara Arzal membuat Asheila menolehkan kepala.“Tidak apa-apa. Aku sudah menunggumu, duduklah,” ujar Asheila.Sesaat Arzal diam, firasatnya tak enak, menatap wanita di depannya beberapa saat. Tentu saja, Arzal sedikit mengenali Asheila yang ditemuinya di acara Vana dan Fandra tapi Arzal tidak tahu hubungan antara wanita itu dan Fandra.Masih tetap membentuk senyuman di bibir, Asleila menunggu respon dari Arzal dengan perasaan tak sabar.
Setelah serangkaian sambutan, mereka akhirnya bertukar cincin. Fandra memasangkannya di jari manis Vana, memperhatikannya beberapa saat. Gema tepuk tangan memenuhi ruangan. Giliran Vana memasangkan cincinnya di jari manis tangan kiri Fandra. Para hadirin bersorak, menyampaikan bahagianya dan mengucapkan selamat atas pertunangan itu, mereka kini resmi menjadi sepasang kekasih yang membuat iri banyak pihak.Vana memeluk ibunya begitu sesi tukar cincin berakhir dan para tamu undangan bergantian memberinya selamat. Fandra ditarik menjauh oleh Arvan dan bergabung dengan Gavian sedangkan Vana bersama keluarganya, ibu serta nenek mengelilinginya. Ada nenek dan kakek Gavian juga di sana menyampaikan bahagia dan harunya pada Vana serta mendoakannya yang terbaik.“Aku senang akhirnya kamu menjadi bagian dari keluarga ini dan membuat Xu Mei tenang,” kata nenek Gavian sembari mengusap lengan Vana.“Terima kasih atas hadirnya, Nenek, dan mendoakan yang terbaik untukku. Semoga doa baik kembali pada
Ruang ballroom yang tadinya luas, hanya ada dekorasi di sisi ruangan kini tampak megah dengan kursi dan meja, altar, dan panggung, serta pernah pernik yang menghiasi ruangan luas di mansion Alatas itu. Kali ini ruangan tersebut hampir penuh sesak oleh tamu undangan yang hadir, meskipun hanya mengundang kalangan atas, tetap saja banyak.Fandra menunggu bersama keluarganya sembari mendengarkan MC yang membuat sambutan sesuai dengan urutannya. Xu Mei, wanita tua berdarah China itu tampak anggun, diapit oleh menantu dan putra tersayangnya, mereka bak raja dan ratu serta ibu suri yang duduk satu meja bersama pangerannya. Alifika juga ada di sana, di meja yang sama dengan orang tua serta ibunya Vana. Wanita itu sama anggunnya seperti Diana yang duduk di sampingnya.Para tamu undangan itu tampak berseri- seri, ikut gugup menunggu sang putri yang wajahnya masih rahasia, hanya namanya yang tertera di kartu undangan. Semua orang dibuat penasaran, secantik apa dia? Sehebat apa latarnya sehingga
Hari besar itu akhirnya tiba juga. Acara akan dilaksanakan pada malam hari, tapi ketika senja menjadi latar di barat sana Vana sudah di dalam kamarnya, tidak boleh kelaur dan Fandra dilarang menemuinya sejak pagi, bahkan mungkin kemarin malam. Meski begitu, Fandra beberapa kali ingin menemuinya, tak melihat gadis itu rasanya aneh baginya.Alifika dan keluarga lainnya memaksa Fandra untuk pindah ke bagunan lain, dan mereka menahannya di kamar sang nenek. Di sanalah dia berganti baju, sedangkan Vana tetap di kamarnya, sibuk dengan para perias, bahkan ponselnya tak bisa dia mainkan. Hanya para wanita yang boleh datang untuk melihatnya, Fandra tidak boleh. Tampilan Vana akan menjadi kejutan juga untuknya.“Kau yang bertunangan kenapa aku yang gugup,” ujar Sabina yang datang lebih awal bersama Angela untuk menemani Vana.“Iya nih. Bener-benar gila rasanya,” timpal Angela yang duduk di samping Sabina sementara Vana di sofa usai merias wajah dan mengenakan gaun untuk pertunangannya hari ini
Matahari sudah di ufuk barat ketika Fandra akhirnya tiba di rumah. Dia pergi menenangkan dirinya lebih dulu sebelum kembali karena kalau sampai neneknya tahu, dia pasti akan dalam bahaya.Memarkirkan mobilnya sebaik mungkin. Saat senja seperti ini biasanya sang nenek bersantai di teras kediamannya menikmati matahari tenggelam yang terasa hangat. Para pekerja sedang sibuk beralu lalang, semua dipercayakan pada orang lain yang mengurus dekorasi dalam pengawasan sang ibu dan kakaknya.“Kau kembali,” sapa Alifika yang kebetulan berada di ballroom untuk mengecek dekorasi.Sempat Fandra terkejut, tapi dia kemudian bersikap biasa saja melihat sang kakak tengah sibuk dengan kertas di tangannya, mencatat apa yang sudah dan belum selesai di kerjakan.“Ya,” jawabnya singkat.Alifika mengangkat wajahnya dan menatap sang adik beberapa saat lalu menepuk bahunya sebelum