Tiga hari sejak kejadian itu, Vana jarang sekali keluar dan lebih menghabiskan waktunya di rumah Fandra. Dia punya hobi baru sekarang, melakukan banyak hal seperti merangkai bunga, membuat kerajinan dan lain sebagainya. Fandra sibuk dengan pekerjaannya hingga jarang sekali dihubungi, karena Vana tidak ingin menganggu maka pria itulah yang menghubunginya.Vana sudah menjadi bagian dari keluarga besar itu, dan calon istri Fandra jadi dia bisa bebas ke manapun dia mau di gedung selatan itu. Namun, Fandra tidak mengizinkan Vana untuk ke rumah pondok itu.“Vana, kau sibuk?” Heda datang menghampiri.Apa yang terjadi di hotel itu hanya diketahui beberapa orang saja. Fandra membungkam wartawan yang Asheila bawa itu, dan Asheila sendiri sudah pergi lagi. Dua bodyguard yang ditugaskan Fandra pun tidak akan membicarakan masalah itu, hanya Heda dan Gavian yang mengetahuinya lagi, serta Arzal. Yang lain, terutama keluarga Alatas tidak ada yang tahu.“Tidak. Kenapa?” tanya Vana sambil berbalik meng
Sudah hampir satu bulan sejak Fandra pergi ke Jepang untuk urusan bisnisnya ternyata masalahnya rumit sehingga membutuhkan waktu yang lama untuk mengurusnya. Ayah Fandra juga turut pergi satu minggu lalu untuk membantu karena masalahnya semakin besar membuat semua jadi khawatir.Cuaca belakangan ini tidak tentu, hujan deras turun dengan guntur dan kilat padahal siang masih berlangsung tapi hujan sudah turun. Keluarga Alatas menjadi resah tapi mereka saling menguatkan satu sama lain, mendoakan yang sedang berada di luar rumah.Hari ini pagi cerah, tapi saat siang hari mendung berat, langit gelap dengan gemuruh yang terdengar keras. Angin kencang pun tak mau tertinggal menyemarakkan badai yang hendak turun.Dengan semua kabar cuaca yang buruk itu membuat Vana menjadi tak tenang. Fandra tidak bisa dihubungi dua hari ini karena sibuk sekali. Ayah sempat mengabari kalau mereka akan lembur beberapa hari agar masalah segera beres.Vana tidak tahu apapun jadi hanya bisa mendukung saja dan mend
“Fandra, duduklah,” ujar seorang wanita yang kisaran usianya pertengahan enam puluh tahun. Tangannya yang sudah keriput menunjuk sofa di depannya. Altafandra Alatas, pria yang baru saja turun dari lantai dua rumahnya itu hanya menoleh sekilas lalu menurut, duduk di sofa. “Katakanlah jika ada yang ingin Nenek katakan, aku ada urusan,” kata Fandra. Dia sepertinya tahu apa yang akan dibicarakan. Menarik napasnya, sang nenek sudah menduga Fandra akan mengatakan itu. Maka tanpa kata sang nenek, wanita keturunan China itu menyodorkan beberapa lembar foto ke hadapan Fandra. Pria itu melihatnya, memperhatikan beberapa potret gadis. “Pergilah kencan buta,” titah sang nenek sembari mengambil gelas tehnya. Tidak hanya sang nenek di sana, tapi juga ada ayah serta ibu, dan sang adik satu-satunya. “Sudah berapa kali aku bilang tidak akan pernah melakukan itu. Tidakkah Nenek mendengarnya dengan jelas?” kata Fandra dengan nada suara yang meninggi. “Aku sudah muak dengan ini!” tegasnya sambil men
Brak! Prang! Duk! Bruk!Suara benda-benda yang berjatuhan terdengar begitu nyaring. Rumah yang tadinya rapi kini telah berserakan barang-barangnya bagai kapal pecah, tak lagi seindah di awal. Seorang wanita hanya bisa terduduk lemas di tempatnya dengan napas yang tak berarturan, air matanya jatuh dari pelupuk, menatap tajam pria yang memporak-porandakan seisi rumah makannya. Dia tak punya tenaga lagi untuk sekadar menyuarakan satu kata. Wajahnya bahkan merah di ujung sudut mata dan bibirnya terkena hantaman.“Apa kau lihat-lihat, hah? Kau seharusnya bayar tepat waktu maka aku tidak akan melakukan hal ini, sialan!” kata si ketua dari kelompok rentenir.“Bukankah aku sudah bilang itu bukan lagi urusanku, tapi urusannya!” balas wanita yang tak berdaya itu sebisa mungkin membalas.Ini bukan memang bukan salahnya, tapi kenapa dia yang harus menderita?Si ketua tertawa remeh, tak percaya mendengar apa yang di katakan wanita itu. Dia kembali berbalik, berjongkok di hadapan sang wanita dan
“Ada insiden di sini,” kata wanita itu sambil menolehkan wajahnya ke samping.Vana memperhatikan, ada kabel di belakang telinganya, dan hal itu membuatnya semakin bertanya-tanya siapa gerangan.Gadis itu membantu sang ibu untuk bangun agar pindah tempat duduk di kursi. Dia membiarkan wanita itu membuat laporan karena perhatiannya kini tertuju pada wanita yang amat dia sayangi.“Maafkan aku terlambat, Ma,” ucap Vana dengan nada yang menyesal. Suaranya terdengar parau, kedua tangannya menggenggam sang ibu yang mencoba untuk tersenyum.“Tidak apa-apa, Vana. Seandainya bisa, kamu tidak perlu datang,” kata ibunya.“Bagaimana mungkin?” Nada suara Vana naik, tidak setuju dengan sang ibu.Dia tidak lagi bisa mengatakan apa-apa selain mengasihi wanita cantik yang kini wajahnya di penuhi lebam. Tangan sang ibu mengusap kepalanya lembut.Beberapa orang datang sedikit terburu membuat perhatian Vana dan ibunya teralihkan ke pintu masuk. Sekitar tiga orang pria dengan setelan jas hitam serupa denga
“Aaaargh!” jeritan terkejut dari arah depannya membuat Fandra berjengit.Bola matanya nyaris menggelinding dari cangkangnya ketika melihat sesosok gadis di hadapannya, si pelaku yang menjerit nyaring.“Siapa kau?”Suara keduanya beradu. Mereka berhadapan meskipun terdapat jarak sekitar lima meter. Tapi tidak ada benda apapun yang menjadi sekat antara mereka.“Ini rumahku. Kau yang siapa?” Suara Fandra terdengar dingin dan berat, memusatkan pandangannya pada sosok gadis itu yang berdiri di depan sebuah pintu. “Tunggu! Kamar itu … kau, apa yang kau lakukan di sini, hah? Kau siapa?” tanya pria itu tak sabar.“Ada apa ribut-ribut?” Terdengar langkah kaki mendekat, yang datang tak hanya seorang, melainkan nyaris seluruh penghuni rumah.Baik Fandra atau gadis itu sama-sama mengalihkan pandangan.“Dia ….” Lagi-lagi keduanya bersamaan angkat bicara membuat yang lain bingung.“Ah. Kami bisa menjelaskannya, Fandra,” ujar sang nenek setelah memahami situasinya.“Menjelaskan apa?” Fandra menatap
Keputusan sang nenek untuk menempatkan Vana di rumah Alatas itu tak terbantahkan. Tidak ada yang bisa mengubah keputusan wanita yang telah menjadi ratu di rumah itu bahkan Fandra sekalipun. Pria itu kini pergi entah kemana membuat Vana kebingungan di sana.“Jangan khawatir, dia memang seperti itu, menyebalkan,” bisik Fiona, adik Fandra itu yang sejak tadi duduk tepat di samping Vana menonton sang kakak yang marah.Vana hanya meliriknya sekilas, paham dengan apa yang Fiona katakan. Dia kemudian mengedarkan pandangannya ke ruang yang cukup besar itu.“Seperti istana,” gumamnya pelan.Fiona yang mendengarnya dan terkekeh. Dia merasa Vana itu lucu, bukan merendahkannya atau maksud buruk lainnya. Entah mengapa, begitu dia melihat Vana kemarin, gadis remaja itu ikut menyambut hangat seperti sang nenek.“Mau jalan- jalan?” tawar Fiona. Dia menatap Vana.“Jalan?”“Ya. Ayo! Aku akan menjadi guidemu, Kak Vana,” ujar Fiona semangat. Dia bahkan mengulurkan tangannya ala prince.Meskipun kebingung
Waktu seolah berhenti untuk beberapa menit ketika kedua benda kenyal itu saling bersentuhan. Dua pasang mata itu saling membulat terkejut tapi sesaat keduanya terpana oleh sorot mata masing- masing yang begitu dekat. Sementara itu Fiona yang berlari di belakang Vana otomatis menghentikan larinya begitu menyaksikan apa yang terjadi. Dia menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan, membulatkan matanya. Dia jelas terkejut sekaligus cemas akan keadaan Vana tapi tak berani mendekat ketika sadar siapa yang ditabrak Vana tadi. Tanpa kata Vana segera mendorong tubuh kekar itu. Meskipun shock, dia tak mengeluarkan suara yang mungkin bisa saja memanggil seluruh penghuni mansion itu. Biarlah Fiona yang menjadi saksi atas insiden itu. “Apa yang kau lakukan?” Setelah kesadarannya kembali sepenuhnya, Vana protes keras. “Kau yang salah. Di mana matamu, hah?” balas pria itu tak mau kalah. “Mana aku tahu kau ada di sana. Iiiiiih, sialan!” sungut Vana sambil melap bibirnya yang masih merasakan keh
Sudah hampir satu bulan sejak Fandra pergi ke Jepang untuk urusan bisnisnya ternyata masalahnya rumit sehingga membutuhkan waktu yang lama untuk mengurusnya. Ayah Fandra juga turut pergi satu minggu lalu untuk membantu karena masalahnya semakin besar membuat semua jadi khawatir.Cuaca belakangan ini tidak tentu, hujan deras turun dengan guntur dan kilat padahal siang masih berlangsung tapi hujan sudah turun. Keluarga Alatas menjadi resah tapi mereka saling menguatkan satu sama lain, mendoakan yang sedang berada di luar rumah.Hari ini pagi cerah, tapi saat siang hari mendung berat, langit gelap dengan gemuruh yang terdengar keras. Angin kencang pun tak mau tertinggal menyemarakkan badai yang hendak turun.Dengan semua kabar cuaca yang buruk itu membuat Vana menjadi tak tenang. Fandra tidak bisa dihubungi dua hari ini karena sibuk sekali. Ayah sempat mengabari kalau mereka akan lembur beberapa hari agar masalah segera beres.Vana tidak tahu apapun jadi hanya bisa mendukung saja dan mend
Tiga hari sejak kejadian itu, Vana jarang sekali keluar dan lebih menghabiskan waktunya di rumah Fandra. Dia punya hobi baru sekarang, melakukan banyak hal seperti merangkai bunga, membuat kerajinan dan lain sebagainya. Fandra sibuk dengan pekerjaannya hingga jarang sekali dihubungi, karena Vana tidak ingin menganggu maka pria itulah yang menghubunginya.Vana sudah menjadi bagian dari keluarga besar itu, dan calon istri Fandra jadi dia bisa bebas ke manapun dia mau di gedung selatan itu. Namun, Fandra tidak mengizinkan Vana untuk ke rumah pondok itu.“Vana, kau sibuk?” Heda datang menghampiri.Apa yang terjadi di hotel itu hanya diketahui beberapa orang saja. Fandra membungkam wartawan yang Asheila bawa itu, dan Asheila sendiri sudah pergi lagi. Dua bodyguard yang ditugaskan Fandra pun tidak akan membicarakan masalah itu, hanya Heda dan Gavian yang mengetahuinya lagi, serta Arzal. Yang lain, terutama keluarga Alatas tidak ada yang tahu.“Tidak. Kenapa?” tanya Vana sambil berbalik meng
Vana tampak kelehan, dan berbaring di ranjang yang berantakan.Entah berapa tempat yang mereka jamah, dan memberantakannya bahkan kamar mandi pun tak luput dari mereka.“Kau akan kesakitan saat bangunan nanti.”Vana merespon pelan.“Aku tahu. Tapi, aku tidak bisa … kenapa kau di sini?” tanya Vana lemah.“Aku tidak mungkin meninggalkanmu dengan masalah besar, bukan?”“Ya. Namun, bagaimana kau?” Vana tampak tak berdaya, dia lemah sekarang setelah energinya terkuras habis untuk bergelut dengan pria itu.“Kau akan tahu saat sadar sepenuhnya. Jadi sekarang, tidurlah. Kau pasti lelah,” katanya sambil mengusap kepala Vana dan mendaratkan kecupan di dahi gadis itu.“Kau akan pergi bukan?”“Ya, setelah ini,” jawabnya.“Cepatlah kembali. Aku akan menunggu.”“Tentu. Istirahatlah di sini. Sahabatmu akan menjemput besok. Ibu akan menjagamu sampai aku kembali. Jangan pernah keluar lagi dengan pria lain.”Vana mengangguk. Kedua matanya tampak berat untuk terbuka tapi dia masih mengenali suara itu.“
“Fandra?” Vana memanggil sambil mencari pria itu.Fandra muncul tak lama kemudian.“Ya?” Fandra menyahut. “Ada apa?”“Tidak. Aku pikir kau ke mana. Bukannya kau ingin mengatakan sesuatu padaku, apa itu?” tanya Vana kemudian sambil menatap pria itu yang justru menghindar.“Kau mau melihat sekitar?” tanya Fandra, mengalihkan.“Nanti,” jawab Vana sadar kalau Fandra menghindarinya. “Katakanlah, selagi aku bisa mendengarkannya dengan baik,” kata gadis itu mendesak Fandra.Meskipun ragu, pria itu akhirnya menatap Vana.“Aku akan pergi dinas,” ungkap Fandra akhirnya.Vana tak merespon, membiarkan Fandra kembali menyampaikan sisanya.“Ke Jepang, selama dua minggu,” lanjutnya dan masih menatap Vana, mengawasi ekspresi gadis itu.“Itu saja?” tanya Vana tampak tenang.Kedua alis Fandra terangkat, sedikit heran dengan tanggapan yang gadis itu berikan. Fandra berpikir Vana mungkin akan marah, sedih, atau hal lainnya lagi. Namun ternyata, gadis itu cukup tenang untuk merespon.“Ya,” jawab Fandra si
Setelah hari pertunangan itu Asheila menemui Arzal di tempat pria itu sering berada. Asheila mencari tahu lebih dulu tentang pria itu sebelumnya, dan kini duduk anggun di salah satu kursi café milik Arzal.Dengan senyum puas menghiasi bibir, dan rencana yang telah disusun. Asheila yakin semua akan berhasil sesuai dengan prediksinya bila bekerjasama dengan Arzal. Ashelia pikir bisa mengendalikan pria itu, dan membawa ke sisinya lalu menggunakannya untuk merebut Vana dari Fandra, maka dengan begitu Fandra akan kembali padanya.“Maaf membuatmu menunggu,” suara Arzal membuat Asheila menolehkan kepala.“Tidak apa-apa. Aku sudah menunggumu, duduklah,” ujar Asheila.Sesaat Arzal diam, firasatnya tak enak, menatap wanita di depannya beberapa saat. Tentu saja, Arzal sedikit mengenali Asheila yang ditemuinya di acara Vana dan Fandra tapi Arzal tidak tahu hubungan antara wanita itu dan Fandra.Masih tetap membentuk senyuman di bibir, Asleila menunggu respon dari Arzal dengan perasaan tak sabar.
Setelah serangkaian sambutan, mereka akhirnya bertukar cincin. Fandra memasangkannya di jari manis Vana, memperhatikannya beberapa saat. Gema tepuk tangan memenuhi ruangan. Giliran Vana memasangkan cincinnya di jari manis tangan kiri Fandra. Para hadirin bersorak, menyampaikan bahagianya dan mengucapkan selamat atas pertunangan itu, mereka kini resmi menjadi sepasang kekasih yang membuat iri banyak pihak.Vana memeluk ibunya begitu sesi tukar cincin berakhir dan para tamu undangan bergantian memberinya selamat. Fandra ditarik menjauh oleh Arvan dan bergabung dengan Gavian sedangkan Vana bersama keluarganya, ibu serta nenek mengelilinginya. Ada nenek dan kakek Gavian juga di sana menyampaikan bahagia dan harunya pada Vana serta mendoakannya yang terbaik.“Aku senang akhirnya kamu menjadi bagian dari keluarga ini dan membuat Xu Mei tenang,” kata nenek Gavian sembari mengusap lengan Vana.“Terima kasih atas hadirnya, Nenek, dan mendoakan yang terbaik untukku. Semoga doa baik kembali pada
Ruang ballroom yang tadinya luas, hanya ada dekorasi di sisi ruangan kini tampak megah dengan kursi dan meja, altar, dan panggung, serta pernah pernik yang menghiasi ruangan luas di mansion Alatas itu. Kali ini ruangan tersebut hampir penuh sesak oleh tamu undangan yang hadir, meskipun hanya mengundang kalangan atas, tetap saja banyak.Fandra menunggu bersama keluarganya sembari mendengarkan MC yang membuat sambutan sesuai dengan urutannya. Xu Mei, wanita tua berdarah China itu tampak anggun, diapit oleh menantu dan putra tersayangnya, mereka bak raja dan ratu serta ibu suri yang duduk satu meja bersama pangerannya. Alifika juga ada di sana, di meja yang sama dengan orang tua serta ibunya Vana. Wanita itu sama anggunnya seperti Diana yang duduk di sampingnya.Para tamu undangan itu tampak berseri- seri, ikut gugup menunggu sang putri yang wajahnya masih rahasia, hanya namanya yang tertera di kartu undangan. Semua orang dibuat penasaran, secantik apa dia? Sehebat apa latarnya sehingga
Hari besar itu akhirnya tiba juga. Acara akan dilaksanakan pada malam hari, tapi ketika senja menjadi latar di barat sana Vana sudah di dalam kamarnya, tidak boleh kelaur dan Fandra dilarang menemuinya sejak pagi, bahkan mungkin kemarin malam. Meski begitu, Fandra beberapa kali ingin menemuinya, tak melihat gadis itu rasanya aneh baginya.Alifika dan keluarga lainnya memaksa Fandra untuk pindah ke bagunan lain, dan mereka menahannya di kamar sang nenek. Di sanalah dia berganti baju, sedangkan Vana tetap di kamarnya, sibuk dengan para perias, bahkan ponselnya tak bisa dia mainkan. Hanya para wanita yang boleh datang untuk melihatnya, Fandra tidak boleh. Tampilan Vana akan menjadi kejutan juga untuknya.“Kau yang bertunangan kenapa aku yang gugup,” ujar Sabina yang datang lebih awal bersama Angela untuk menemani Vana.“Iya nih. Bener-benar gila rasanya,” timpal Angela yang duduk di samping Sabina sementara Vana di sofa usai merias wajah dan mengenakan gaun untuk pertunangannya hari ini
Matahari sudah di ufuk barat ketika Fandra akhirnya tiba di rumah. Dia pergi menenangkan dirinya lebih dulu sebelum kembali karena kalau sampai neneknya tahu, dia pasti akan dalam bahaya.Memarkirkan mobilnya sebaik mungkin. Saat senja seperti ini biasanya sang nenek bersantai di teras kediamannya menikmati matahari tenggelam yang terasa hangat. Para pekerja sedang sibuk beralu lalang, semua dipercayakan pada orang lain yang mengurus dekorasi dalam pengawasan sang ibu dan kakaknya.“Kau kembali,” sapa Alifika yang kebetulan berada di ballroom untuk mengecek dekorasi.Sempat Fandra terkejut, tapi dia kemudian bersikap biasa saja melihat sang kakak tengah sibuk dengan kertas di tangannya, mencatat apa yang sudah dan belum selesai di kerjakan.“Ya,” jawabnya singkat.Alifika mengangkat wajahnya dan menatap sang adik beberapa saat lalu menepuk bahunya sebelum