“Arghh….. “
Seorang lelaki tua terbaring menyamping di lantai dan berteriak kesakitan. Kedua tangannya memegang sesuatu di antara kedua pahanya. “Saya kan sudah bilang sebelumnya, tidak boleh ada sentuhan berlebihan. Apalagi ajakan untuk tidur.” Seorang gadis muda berambut cokelat dan bermata abu-abu berdiri tepat di sebelah pria tua itu. Gadis muda yang terlihat amat sangat cantik, bahkan kecantikannya bisa disandingkan dengan sang dewi kecantikan itu sendiri. Gadis itu sudah mengambil ancang-ancang untuk sekali lagi menginjak benda yang pria tua itu lindungi, namun si pria tua sudah duluan mencekal kaki si gadis. Rupanya si tua bangka ini sudah pulih sepenuhnya dari rasa sakit yang dia rasakan. Gadis itu kesakitan karena tubuhnya terjatuh menghantam lantai. Dan si pria tua itu segera mengambil kesempatan untuk menindihnya. Tidak mau membiarkan si gadis melarikan diri. Dia sudah membayar mahal dan tidak mau rugi. “Kamu pikir bisa lari begitu saja? Dasar murahan. Kamu pikir berapa harga yang kubayar untuk berkencan denganmu?” Belum juga si pria tua melakukan apa pun, dengan cepat gadis cantik itu bergerak menekan batang leher pria itu dengan ekspresi tenang. Si cantik menekan daerah di antara jakun, membuat pria tua itu kesakitan dan mulai kehabisan napas. Dengan cepat keadaan berbalik. Pria tua itu sudah nyaris pingsan ketika akhirnya si gadis cantik sudah berdiri lagi. Ditatapnya pria tua itu dengan ekspresi datar. “Saya akan mengembalikan semua uang dan hadiah dari anda besok. Setelah ini saya harap kita tidak perlu bertemu lagi.” Sang gadis cantik dengan bodi bak gitar Spanyol, segera melangkahkan kaki keluar dari kamar hotel itu. Langkahnya sedikit tergesa karena merasa muak, tapi dia masih mempertahankan ekspresi wajah datarnya. “Nona Star? Anda sudah selesai?” tanya seorang perempuan yang tampak hanya beberapa tahun lebih tua dari Star. Wanita yang terlihat seperti pengawal itu, segera menyamakan langkah dengan Star. Atau lebih tepatnya, berjalan tepat satu langkah dibelakang Star. “Kembalikan semua uang dan barang yang diberikan tua bangka itu, tanpa terkecuali. Dan lain kali pastikan klienku tidak punya sifat buruk seperti yang ini, Irina.” Semua itu Star ucapkan dengan ekspresi dan nada suara datar. Tapi penekanan pada tiap kata, sanggup membuat orang yang tidak biasa menghadapinya jadi ciut. “Baik Nona. Akan saya pastikan keinginan Nona terlaksana.” Irina menyodorkan sebotol teh kemasan dari merk dan rasa kesukaan Star yang telah dibukakan sebelumnya. Star meneguk teh miliknya dengan sedikit tergesa. Rasanya sangat melelahkan sekali menghadapi pria seperti tua bangka tadi. Benar-benar menguras tenaga. Star menenggak sekali lagi botol minumannya sambil berjalan. Akibatnya dia tidak terlalu memperhatikan jalannya dan menabrak seorang pria dengan cukup keras, sampai botol yang dipegangnya terjatuh dan isinya tumpah ke kemeja putih pria itu. “Aduh, maaf Mas.”“Kalau jalan pakai mata dong,” teriak pria itu dengan kesal. Star segera mengulurkan tangan ke Irina untuk meminta saputangan. Dan tentu saja segera membantu pria yang ditabraknya itu membersihkan noda teh pada kemeja putihnya. “Apaan sih?” pria itu menepis tangan Star dengan sangat kasar. “Jangan asal main pegang saja.” “Maaf,” seru Star dengan ekspresi sangat tenang dan masih saja datar.“Memangnya kau tahu berapa harga kemejaku? Maaf saja tidak cukup tahu,” lagi pria itu berteriak. Star menghembuskan napas lelah. Kenapa juga hari ini dia bertemu dengan pria-pria yang luar biasa mengesalkannya. Star sudah tidak punya tenaga untuk bertengkar. Jalan terbaik adalah dengan jalan damai. Mengaku salah dan ganti rugi, selesai.“Maaf, saya kurang memperhatikan jalan. Jika berkenan, izinkan saya untuk mengganti kemeja anda.” “Memangnya kamu sanggup menggantinya?” pria itu berseru pongah. Star tidak menjawab. Dia kembali mengulurkan tangannya pada Irina. Dan tanpa perlu diberitahu lagi, Irina mengeluarkan kotak kartu nama dan memberikan selembar pada Star. “Kebetulan saya sedang buru-buru, jadi saya akan titip kartu nama saya saja. Anda bisa meminta ganti ruginya kapan saja. Saya pasti akan membayar.” Star mengambil tangan lelaki itu dan meletakkan kartu namanya di telapak tangan pria itu. Membuat pria tampan itu mengernyit bingung. “Karena saya sedang sibuk, anda boleh menghubungi ke nomor itu untuk meminta ganti rugi. Saya pasti akan menggantinya.” Setelah mengatakan semua hal itu, Star segera berlalu pergi melewati pria yang masih ternganga itu. Bahkan Star tidak peduli pada umpatan kasar yang didengarnya dari pria itu. Dia terlalu lelah untuk mengurusi orang lain. “Apa saya perlu membereskan pria yang tadi?” Irina bertanya dengan sopan. “Tidak perlu Irina. Tidak perlu buang-buang waktu untuk orang temperamen seperti itu. Lebih baik kita pulang. Aku lelah.” Irina mengangguk sopan dan terus mengikuti sang Nona dengan posisi siaga. Dan begitu sampai di mobil, Irina dengan sigap membukakan pintu belakang untuk Star. “Kita pulang,” Irina yang duduk di kursi penumpang sebelah sopir bergumam pelan.***** “Ada apa denganmu, Harvie?” “Aku jadi tidak berniat lagi untuk ikut acara kalian deh.” Pria yang bernama Harvie, langsung duduk di sofa sebelah sahabatnya itu. “Ada apa dengan pakaianmu itu?” lelaki yang lain bertanya. “Ada perempuan murahan yang menabrakku dan menumpahkan teh di kemejaku,” Harvie menjawab dengan ekspresi marah. “Ya, minta saja dia ganti rugi. Siapa tahu dia bisa jadi partner ranjangmu malam ini,” pria yang pertama bicara kembali memberikan pendapatnya. Disambut dengan tawa pria kedua. “Aku heran kenapa kalian diusia segini masih saja sibuk mencari penghangat ranjang. Cari istri dong.” Seorang pria lain yang baru memasuki ruang VIP di club malam yang terletak di hotel ternama itu, menyapa satu per satu sahabatnya. “Masalahnya, itu hal yang sulit Mark. Hei, Harvie. Mungkin kau bisa memberikan nomor telepon gadis tadi pada Marcus Langton yang suci ini. Kau sempat meminta nomornya kan?” “Dia memberiku kartu nama sih, tapi aku sedang tidak ingin bermain dengan siapa pun. Aku mau pulang saja setelah setor muka pada kalian.” Harvie mengeluarkan sekotak rokok. Harvie hendak menyulutnya, tapi rupanya dia lupa bawa pemantik. Jadinya sebatang rokok itu langsung dilempar ke asbak. “Kau serius tidak mau ikut denganku dan Mike? Cewek hari ini katanya luar biasa,” Lucas memberitahu. “Party sama berapa perempuan hari ini?” Marcus bertanya santai. “Seorang satu lah, jadi totalnya tiga. Berhubung Harvie batal, kau mau ambil jatahnya?” Mike menjawab santai. “Tidak, Bung. Aku akan pulang dengan Harvie.” Marcus menolak dengan tegas. Dia tidak suka main perempuan seperti ketiga sahabatnya yang lain. “Berhentilah mengikutiku Mark. Nanti kita dibilang gay,” Harvie mendengkus kesal dan berdiri dari sofa. “Aku mau pulang.” “Kau sungguh mau pulang?” tanya Mike. “Ya. Moodku sudah hancur karena pakaianku kotor dan karena perempuan kurang ajar tadi. Sebagai gantinya, aku traktir.” Harvie melempar selembar kartu berwarna hitam keemasan dengan tulisan ‘infinite’. Sebelum keluar dari ruangan, Harvie kembali memperingatkan Marcus untuk tidak mengikutinya. Harvie berjalan menembus kerumunan orang yang meliuk-liuk tidak jelas. Beberapa perempuan bahkan menatapnya penuh gairah, tapi Harvie tidak menggubris mereka. Satu-satunya yang ingin dia lakukan sekarang adalah pulang ke penthouse-nya, mandi dan pergi tidur. Besok pagi baru dia akan berurusan dengan perempuan arogan tadi.***To be continued***“Selamat pagi Nona. Sudah saatnya anda bangun.” Seorang wanita berumur akhir empat puluhan menarik gorden yang menutupi jendela besar di kamar Star. Sinar matahari yang masuk, tidak membuat wanita itu terbangun. “Nona Callista, sudah saatnya anda bangun.” Wanita itu mengguncang pelan bahu Star. Hanya perlu waktu semenit sampai Star terbangun dari tidurnya. Wanita itu menggosok matanya, kemudian merenggangkan badan dan bangkit untuk duduk. Segera setelah sang nona berada di posisi duduk, wanita tua tadi menyerahkan segelas air putih hangat. “Hari ini anda mau sarapan di kamar seperti biasa?” “Hm, bawakan aku yang biasanya saja.” Star membalas wanita itu dengan datar-datar saja. “Segera Nona Callista,” jawab wanita itu lembut. Wanita yang sedari tadi memanggil Star dengan nama Callista itu segera undur diri. Meninggalkan Star yang masih duduk dengan malas di ranjang king size miliknya. Callista Arwen adalah nama asli, sementara nama Star itu hanyalah nama samaran yang dig
“Callista.” Seorang perempuan dengan rambut sebahu, berlari mendekati Star yang sedang bejalan menuju ke gerbang sekolahnya. Gadis itu segera merangkul Star dengan erat. “Hari ini busnya penuh gak?” tanya gadis berambut pendek itu dengan ceria. Bukan tanpa alasan, sahabat dari Star ini bertanya. Pasalnya untuk menutupi dirinya yang berasal dari keluarga Arwen, Star benar-benar berusaha hidup seperti orang biasa. Termasuk dengan naik bus untuk ke sekolah. Biasanya Irina akan menurunkan Star di dekat halte bus dan dari situ Star akan berangkat sendiri. Sementara Irina akan mengikuti dari kejauhan dan juga menggunakan GPS untuk memantau Star. “Memangnya apa yang kau harapkan dari bus Hillary Wilson? Pasti penuh lah. Apalagi di jam seperti ini.” Star menoyor Hillary lumayan keras, membuat gadis itu mengaduh. “Untuk apa juga sih kita disuruh tetap ke sekolah? Padahal kita tidak melakukan apa-apa. Kita kan termasuk dalam kelompok bawah yang tidak akan disibukkan dengan prom.” Hillar
“Dasar perempuan kurang ajar.” Harvie membanting ponselnya ke atas meja. Dia baru saja menelepon perempuan yang menumpahkan teh ke kemeja dan jas miliknya yang berharga ribuan dollar itu. Menurut pihak laundry, nodanya mungkin tidak akan hilang dengan sempurna. Karena itulah, dia menelepon perempuan dengan nama Star untuk meminta ganti rugi. Asisten pribadinya, untuk menyelidiki tentang Star berdasar kartu nama sana. Sayang, yang bisa dia dapatkan hanyalah data-data yang terdapat di aplikasi sugar dady terkenal, tempat Star terdaftar. Dia adalah sugar baby termahal dengan segudang syarat dan ketentuan berlaku. Termasuk tidak menerima ajakan ‘tidur’ bersama. “Omong kosong. Tidak mungkin dia tidak pernah tidur dengan seorang pria pun,” gumam Harvie dengan sangat kesal. Yang membuat Harvie makin kesal, Star meminta dirinya yang menentukan waktu janjian karena dia sedang sekolah. “Masih sekolah saja sudah jual diri. Dengan generasi muda bobrok, bagaimana masa depan bumi ini ke
“Ini siapa Vie?” tanya wanita yang ada di depan pintu pada Harvie. “Maaf saya… “ Star menghentikan kata-katanya ketika sebuah tangan mendarat di bahunya. Star perlu mendonggak untuk melihat siapa pemilik tangan itu. Sesuai dugaan itu adalah tangan Harvie. “Karena Mama udah tahu, sekalian kenalan saja deh. Ini pacar aku. Mama bisa panggil dia Star,” Harvie menjelaskan dengan santai. Penjelasan singkat dari Harvie membuat Star cukup terkejut. Wanita yang dipanggil Harvie sebagai Mama lebih terkejut lagi. Dia bahkan menatap gadis mungil di sebelah Harvie dari ujung kepala sampai ujung kaki. Dan dilihat berkali-kali sekalipun gadis itu terlihat seperti anak junior high school. Wanita paruh baya itu menganga sambil menatap anaknya dan anak kecil di sebelah Harvie secara bergantian. Apakah anaknya ini pedofil? “Biar saya jelas…” “Karena Mama sudah kenalan. Biar Harvie antar Star ke lobi dulu ya, Ma. Jemputannya sudah datang.” “Tapi saya…” “Ayo sayang.” Harvie sama sekali tid
"Nona, ponsel anda berdering." Irina memberitahu Star. Yang empunya ponsel, hanya melirik sekilas benda yang diletakkannya di kursi sebelahnya. Star tidak menyimpan nomor yang tertera, tapi dia tahu siapa yang menelepon. Itu adalah nomor yang tadi pagi meneleponnya. Nomor milik pria pemarah yang baru saja dia temui. "Blokirkan nomor ini." Star menyerahkan ponselnya pada Irina dengan malas. Star tidak ingin lagi berurusan dengan pria seperti itu, bikin sakit kepala. Baru baju yang dibeli di luar negeri saja ributnya minta ampun. Bukan tidak mampu, tapi menyebalkan. "Apa Nona akan langsung pulang ke rumah?" Irina bertanya sambil melakukan tugas yang baru saja diberikan Star. "Ya, kalau bisa aku ingin dipijat dan spa juga. Irish hari ini free kan?" "Akan saya tanyakan," Irina menjawab sambil menyerahkan ponsel nonanya. Kemudian Irina mengambil ponselnya sendiri dan menelepon saudariya. Sementara Irina sibuk dengan ponselnya, Star memilih untuk menatap keluar jendela mobil. Memi
"Pacar? Bukan teman tidur kan? Saya tidak ...." "Pacar saja." Harvie memotong kalimat perempuan di depannya. Star menaikkan sebelah alisnya mendengar permintaan yang menurutnya absurd itu. Kenapa pula harus pura-pura jadi pacar? Pria ini kan bisa menarik siapa saja, kenapa harus dirinya? Tidak mungkin tidak ada perempuan di sekitar Harvie. "Kenapa harus seperti itu?" tanya Star tidak mengerti. Bukan karena Star bodoh, tapi dia tidak bisa mengerti sikap Harvie. "Apa omonganku tadi kurang jelas? Aku tidak mau dijodohkan," balas Harvie sedikit kesal. "Anda kan tinggal menolak saja." Star makin bingung saja mendengar pernyataan pria di depannya itu. Apa susahnya menolak? "Ini tidak segampang yang kau pikirkan bodoh." Harvie menggeram kesal. "Mamaku itu orangnya pantang menyerah sudah berkali-kali kutolak, tapi tetap saja dia ngotot. Lagipula. aku tidak bisa terus-terusan menolaknya. Jadi hal yang harus kulakukan adalah membawa seorang wanita ke hadapannyai." "Maaf, saya masih
"What the ...." Harvie nyaris saja mengumpat, ketika melihat Star keluar dari ruang ganti.Ini sudah baju yang kelima, tapi Harvie masih kesulitan menentukan gaun yang tepat, semua terlihat bagus dipakai Star. Padahal Harvie sudah sengaja memilih butik yang biasa saja, tapi tetap saja Star terlalu sempurna. Niatnya menghemat uang, karena biaya kontrak sudah mahal. Eh, malah rasanya kini Harvie merasa tawaran yang dia berikan terlihat murah. "Pilihlah yang mana saja," Harvie berucap dengan helaan napas frustasi. "Kalau begitu, aku mau dress off shoulder selutut berwarna merah, dengan desain rok berbentuk huruf a itu." Pemilihan yang sangat bagus sebenarnya. Warna merah menyala membuat Star yang putih jadi makin bersinar. Star mengangguk melihat penampilannya dicermin. Dia menyukai pilihannya. Harganya tidak mahal. Hanya sekitar sejutaan, tapi bahan dan jahitannya cukup bagus. Dan terlihat cocok dengannya. Sebaliknya, Harvie malah mengumpat dalam hati begitu melihat pilihan S
"Tidak mungkin," gumam Helena dengan mata melotot melihat penampilan Star yang jelas-jelas terlihat mahal itu. Paling sedikit juga sepuluh juta. "Nih, kalau Mama mau lihat notanya." Harvie yang sudah menduga ini, telah menyiapkan nota pembelian tadi dan menyerahkannya pada sang ibu. Helena menyambar kertas-kertas itu dengan kasar dan melihat jumlah yang tertera di sana. Beberapa detik kemudian dia ternganga, tidak percaya dengan angka-angka yang dilihatnya itu. Benda-benda yang dipakai Star memang tidak semahal kelihatannya. "Pacarku ini memang masih muda, Ma. Tapi dia gak matre. Bahkan tadi kami sempat bertengkar mempermasalahkan siapa yang harus membayar." Helena mendelik ke arah anaknya itu. Jelas terlihat diamerasa marah dan juga malu, tapi yang namanya emak-emak tidak akan pernah mau disalahkan. "Pada akhirnya kan tetap kamu yang bayar. Lagi pula Yvonne belum tentu suka padanya," sergah Helena ketus. "Helena, bisa gak sih kamu lebih sopan pada tamu?" Isaac yang sedari
Tidak ada satu manusia pun yang tahu apa yang direncanakan oleh Tuhan. Semisal tentang jangka waktu hidup seorang manusia. Setelah kematian Ronald Arwen yang sudah diprediksi. Berita duka yang lain datang dua tahun kemudian. Secara tiba-tiba Peter Carlton meninggal dalam kecelakaan kerja, saat sedang meninjau lokasi pembangunan. Tepat di saat cucu keempatnya lahir. Anak itu kemudian diberi nama Peter Carlton Jr. Ada juga kejadian tak terduga lain ditahun yang sama. Ketika Marvel Leonard Carlton masuk rumah sakit karena ada masalah pada jantungnya. Lubang di jantung yang dulu membuatnya harus masuk NICU, nyatanya tidak berhasil menutup sempurna. Hal itu baru diketahui ketika berumur tujuh tahun. Untungnya, tidak ada yang membuat nyawanya terancam. Marvel hanya perlu operasi untuk menyumbat lubang tersebut, setelahnya Marvel bisa hidup normal. Hal lain yang perlu dirawat dari Marel hanya matanya. Dari usia enam tahun dia sudah harus menggunakan kacamata tebal. Itu terjadi bukan
Marvel menunduk dengan wajah terpesona. Matanya dan bibirnya membuka dengan lucunya, saking terpesonanya dia pada adik bayinya yang baru lahir. Marvel tiap hari bertemu dengan adiknya, tapi tetap saja berekspresi seperti itu. "Eh, Marvel. Pipinya adiknya jangan ditusuk-tusuk gitu dong, Nak." Star mengambil tangan anaknya dengan lembut, agar tidak lagi menjahili si kecil July. Dilarang menggunakan jarinya, kini Marvel kembali mengganggu adiknya dengan cara lain. Kali ini si kecil marvel mengecup pipi July dengan gemas. "Astaga, kecil-kecil sudah ada bibit playboynya." Gumaman asal Helena membuat semua orang tertawa. Helena kembali mengadakan acara syukuran kecil-kecilan untuk cucu ketiganya yang cantik, tepat sebulan setelah kelahirannya. Seperti biasa, bukan hanya Carlton dan Arwen saja yang datang. Keluarga besar Langton juga datang. "Ma, tolong jangan didoaiin yang aneh-aneh dong." Harvie langsung protes mendengar Helena berkata seperti itu. Harvie mengakui kalau dulu dia m
"Mari kita dengar sambutan dari siswa paling berprestasi kita." Seseorang diatas podium mempersilakan Star bergabung. Star berdiri dari tempatnya duduk di barisan paing depan. Dia tersenyum lebar dan berjalan pelan ke atas podium dengan perutnya yang sudah mulai membuncit. "Pertama-tama saya ingin mengucapkan terima kasih pada Tuhan Yang Maha Esa." Star memulai pidatonya dengan ucapan terima kasih pada berbagai pihak. "Terakhir terima kasih untuk keluargaku. Papa, Mama, adik-adik, Mertua, serta suami dan anak-anakku." Star tersenyum penuh haru ke arah keluarganya duduk. Hanya ada Harvie dan kedua orang tua Star di sana, tapi itu saja sudah lebih dari cukup. Lagi pula akan sangat merepotkan kalau anak-anak juga ikut ke acara wisudanya, jadi Helena dan Peter yang mendapat jatah menjaga anak-anak. "Mungkin banyak yang bingung bagaimana saya membagi waktu jadi ibu rumah tangga dan kuliah, tapi ... Saya bisa jadi seperti ini karena keluarga saya. Karena punya suami yang mendukung ser
"Star ada diatas main sama anak-anak." Hera memberitahu ketika melihat Harvie. "Thank you, Ma." Harvie segera berlari ke lantai atas, tempat anak-anak biasa bermain. Ini sudah hari ketiga sejak Star menginap di rumah orang tuanya dan dia sudah amat sangat rindu dengan keluarga kecilnya. "Star?" Harvie membuka pintu ruang bermain dengan pelan dan menemukan kalau semua penghuninya tengah tertidur di atas karpet tebal. Star tertidur dengan laptop yang terbuka, dikelilingi oleh Yvonne, Marvel, Amora dan Benedict. Pemandangan yang sangat manis dan Harvie sungguh berharap bisa punya keluarga besar seperti ini. Tidak ingin mengganggu istirahat mereka, Harvie mengendap-ngendap untuk mematikan laptop Star. Dan dia mulai memindahkan satu persatu manusia itu ke kamar masing-masing. *** "Sudah bangun?" Star mengerjap perlahan mendengar suara Harvie yang sudah dia rindukan. Star pikir dia masih bermimpi dan mengeratkan pelukannnya pada Harvie. "Masih ngantuk ya?" Harvie bertanya de
Star mengetukkan kaki ke teras rumah dengan wajah amat kesal. Irina yang berdiri di sebelahnya dengan memegang setumpuk kertas, tidak berani menatap bosnya itu. "Daddy ke mana sih?" tanya Star dengan ketus. "Biar saya teleponkan." Irina segera bergerak cepat mengambil ponselnya dan menyerahkannya pada Star untuk bicara. "Daddy tahu sudah berapa lama aku nungguin?" tanya Star dengan luar biasa ketusnya. "Maaf, Sayang. Rapatnya selesai lebih lama dar ..." "I don't care. Kan aku sudah bilang berhenti kerja dan suruh Brian yang urus semuanya. Susah banget ya gak kerja selama beberapa bulan?" "Gak bisa gitu, Sayang. Soalnya ini proyek be ...." "Lebih penting proyek atau anakmu? Datang dalam lima menit atau aku pulang ke rumah Mama." Star mematikan sambungan secara sepihak. Setelah penolakan yang dilakukan Star tempo hari, dia akhirnya melakukan test kehamilan karena merasa khawatir. Tentu saja hasilnya positif, dan membuat Star mengamuk. Sekali lagi, Star bukannya tidak mau punya
"Mami. Mami." Marvel berlari-lari untuk menghampiri ibunya yang sedang mengerjakan tugas akhir kuliahnya. Star yang sedang sakit kepala pun refleks tersenyum melihat bocah empat tahun itu. "Kenapa sayang?" Star mengangkat Marvel dan mendudukkan anak yang kini sudah membulat itu di pangkuannya. "Vel mo ade." Usia Marvel sudah empat tahun lebih, tapi belum bisa bicara lancar seperti Yvonne dulu. Dia memang terlambat mulai bicara, jadi kosakatanya masih minim. "Marvel mau adek?" tanya Star dengan ekspresi sedikit horor. "Maksudnya mau punya adek?" Ekspresi Star terlihat makin horor saja ketika anak bungsunya ini mengangguk. Kenapa juga si Marvel bisa tiba-tiba minta adek? "Kenapa Marvel mau minta adek?" tanya Star penasaran. "Lion punya ade," jawab Marvel dengan senyum mengembang. Sepertinya pria kecil Star itu mulai memikirkan indahnya punya adik lagi. “Rion?” Star mengumpat dalam hati. Lain kali Star tidak akan membiarkan Marvel main dengan Rion. “Kakak Von uga.” "Ka
“DONI.” Doni menggeram kesal mendengar suara ayahnya yang menggelegar. Dengan sangat terpaksa, dia meninggalkan permainan game onlinenya dan menghampiri sang ayah. “Kamu ini sebenranya ngapain sih?” tanya sang ayah dengan wajah terlihat sedikit kesal. “Maksud Ayah apaan sih?” tanya Doni bingung. Tapi tiba-tiba saja ayahnya tersenyum. “Kita sekeluarga diundang untuk grand opening mal. Kerjasama Olympus Grup dan Constate Enterprise.” Ayah Doni berteriak riang sambil memeluk anaknya. Bagi para pengusaha, diundang oleh perusahaan kondang saja merupakan suatu kebanggaan. Apalagi yang mengundang ini merupakan perusahaan kelas dunia. “Lalu? Hubungannya denganku apa?” tanya Doni makin bingung. “Katanya pimpinan Constate dan anak tertua dari Olympus Grup mengenalmu secara pribadi, makanya mereka mau mengundang. Ini kesempatan yang sangat baik Doni.” “Apanya?” tanya Doni makin bingung. “Kamu ini gimana sih? Kuliah bisnis, tapi tidak tahu apa-apa soal bisnis. Katanya pemimpin Olympus,
Waktu bergulir dengan cepat. Tidak terasa ujian semester pertama sudah dekat dan Star mah didera banyak masalah yang membuatnya tidak fokus. Marvel terserang flu berat dan menulari Yvonne. Karena Marvel punya masalah pada jantungnya, dia terpaksa harus diinapkan di rumah sakit. Lalu karena Yvonne juga merengek ingin menginap di rumah sakit, dia juga terpaksa dirawat. Kata dokter sih tidak ada masalah karena Star dan Harvie membawa mereka ke rumah sakit tepat waktu, tapi tetap saja Star khawatir dan mempengaruhi fokusnya untuk kuliah. Belum lagi gosip-gosip yang mulai bermunculan. Sama seperti dulu, banyak yang menggosipkannya sebagai wanita panggilan, hamil diluar nikah, peliharaan om-om dan lain sebagainya. Kehadiran Yvonne dan Marvel yang selalu datang menjemput jadi pemicunya. Bukan berarti Star menyalahkan anak-anak. Dia dulu juga sudah digosipkan seperti itu dan kebetulan saja kemunculan anak-anak seolah jadi pembenar gosip itu. Selain itu, Doni yang sudah lama tidak me
"Kok sedari tadi kamu cemberut sih?" Harvie yang baru pulang langsung mengecup puncak kepala Star yang masih menemani anak-anak main. Dua anak kecil itu juga ikut-ikutan minta dikecup oleh ayah mereka. Hanya dikecup, tidak di peluk apalagi digendong karena Harvie belum mandi. "Tante Nadine udah mau balik ke Inggris." Star menjawab dengan jujur. "Terus?" "Terus aku jadi gak punya teman ngobrol seasik dia lagi. Jadinya kalau lagi pusing urusin anak-anak, gak ada teman curhat." Bibir Star maju sedikit, membuat wajahnya makin cemberut saja. "Kalau cuma curhat kan ada banyak orang yang bisa ditemani curhat. Lagi pula kan masih bisa saling telepon atau chat. Beda waktu Indonesia - Inggris kan tidak terlalu jauh." "Oh, iya juga ya. Baru sadar." Cengiran Star membuat Harvie menggeleng pelan. "Tapi kalau kamu memang butuh pengalihan ketika merasa lelah dengan anak-anak, Daddy punya ide yang bagus untuk itu." Harvie tersenyum melihat wajah bingung Star yang selalu membuatnya gemas