"Nona, ponsel anda berdering." Irina memberitahu Star.
Yang empunya ponsel, hanya melirik sekilas benda yang diletakkannya di kursi sebelahnya. Star tidak menyimpan nomor yang tertera, tapi dia tahu siapa yang menelepon.Itu adalah nomor yang tadi pagi meneleponnya. Nomor milik pria pemarah yang baru saja dia temui. "Blokirkan nomor ini." Star menyerahkan ponselnya pada Irina dengan malas. Star tidak ingin lagi berurusan dengan pria seperti itu, bikin sakit kepala. Baru baju yang dibeli di luar negeri saja ributnya minta ampun. Bukan tidak mampu, tapi menyebalkan. "Apa Nona akan langsung pulang ke rumah?" Irina bertanya sambil melakukan tugas yang baru saja diberikan Star. "Ya, kalau bisa aku ingin dipijat dan spa juga. Irish hari ini free kan?" "Akan saya tanyakan," Irina menjawab sambil menyerahkan ponsel nonanya. Kemudian Irina mengambil ponselnya sendiri dan menelepon saudariya. Sementara Irina sibuk dengan ponselnya, Star memilih untuk menatap keluar jendela mobil. Memikirkan apa yang harus dipakainya untuk prom nanti. Tidak boleh terlalu mencolok, tapi juga tidak boleh terlalu murahan. Ketika sedang asyik melamun ponsel Star berdering lagi. Star tidak langsung mengangkatnya. Dia melihat dulu nomor yang tertera di sana. Masih nomor yang tidak terdaftar. Walau merasa sedikit ragu, Star mengangkatnya. "Kau memblokir nomorku?" Suara pemarah yang sudah tererkam jelas di kepala Star menyapa gendang telinganya, bahkan sebelum dirinya selesai menguucapkan 'halo'. Star langsung mendesah pelan, merasa menyesal mengangkat telepon itu. "Saya rasa masalah kita sudah selesai, Tuan," Star mempertahankan suara tenangnya dengan baik. "Sayangnya belum, Bocah. Kau masih harus menjadi pacar pura-puraku," Harvie mendesis menahan kesal. "Saya tidak bisa," jawab Star singkat dan tegas. "Kau harus bisa. Aku sudah terlanjur mengenalkanmu sebagai pacarku pada mamaku. Kalau aku tiba-tiba membawa orang lain, Mama akan menganggapku main-main dan menikahkanku pada wanita tak jelas pilihannya." "Itu bukan urusan saya, Tuan." Star membalas penjelasan panjang Harvie dengan satu kalimat pendek dan tegas. "Bukan urusanmu? Kau merusak pakaianku," Harvie berteriak marah. "Saya sudah membayarnya lunas, sesuai permintaan Anda dalam mata uang dollar. Jadi semua sudah selesai, Tuan. Jika tidak ada lagi yang penting, akan saya tutup teleponnya." Star masih sempat mendengar umpatan marah lelaki itu, tapi dia mengabaikannya dan menutup telepon. Bahkan mematikan ponselnya. "Nona, Irish akan datang sejam lagi. Apa itu baik-baik saja?" tanya Irina tenang dan sopan. "Ya, tidak apa-apa. Yang jelas dia datang sebelum aku tertidur." Star mengangguk setuju. "Kira-kira dua menit yang lalu ada ajakan kencan yang masuk lewat aplikasi untuk jumat siang. Apakah Nona mau menerimanya?" "'Dua menit lalu?" Star bertanya penuh curiga. "Ya, tepat pada saat anda sedang menerima telepon." Star berpikir sejenak tentang kemungkinan pria pemarah tadi yang mengajak kencan. Tadi mereka sedang bertelepon, jadi ada kemungkinan dia menggunakan ponsel. Atau bahkan nama orang lain. "Apa ada foto di profilnya?" Star bertanya sekali lagi. Irina tidak menjawab Star dan langsung memberikan tablet yang digunakan untuk urusan pekerjaan. Memang ada foto pada profil orang itu. Namanya Mark, dia terlihat seperti pria tiga puluhan yang baik dan baru bergabung di aplikasi beberapa menit lalu. "Terima saja," Star akhirnya menjawab setelah berpikir selama lima menit.*** "Sudah lama menunggu ya?" Star kaget melihat sosok yang tiba-tiba duduk di depannya. Itu adalah lelaki yang ditemuinya beberapa hari lalu. Si pemarah yang kalau tidak salah bernama Harvard? "Apa yang Tuan lakukan di sini?" tanya Star tenang. "Tentu saja berkencan denganmu," Harvie menjawab dengan santai. Tangan pia itu terangkat ke udara sambil menjentikkan jari, memanggil pelayan restoran mahal itu untuk memesan sesuatu. Terlihat sangat sombong. "Saya tidak ingat punya janji kencan dengan Anda." Star tidak lupa menyunggingkan senyum profesionalnya. "Tapi kau punya janji kencan dengan seseorang bernama Mark. Ketemu di sini jam satu siang. Sudah makan siang?" Harvie bertanya sambil membalik buku menu dengan cepat. "Burger steak dengan french fries saja deh. Minumnya virgin mojito. Take away and make it quick." Harvie menyerahkan buku menu kembali "Anda menipu saya?" tanya Star masih dengan nada yang sangat tenang. Padahal Harvie sudah berharap wanita ini marah. "Menipu dari mana? Aplikasinya mengizinkan pakai nama dan foto samaran kok." Star memejamkan matanya untuk mengumpulkan kesabaran. Entah mengapa, kesabarannya selalu terkikis ketika bersama pria ini. Star melantunkan mantra dengan untaian kata 'sabar'. "Baiklah, Tuan. Karena sudah terlanjur mari kita jalani kencan sehari kita." Sekali lagi Star menyunggingkan senyum profesional. "Apa kau belum melihat persyaratan yang kuajukan?" Harvie bertanya dengan senyum miringnya. Dengan kening berkerut, Star segera memeriksa salinan kontrak yang bisa dimodifikasi oleh para sugar daddy. Aplikasi ini selalu menyertakan kontrak yang membuat kedua belah pihak lebih nyaman dengan kekuatan hukum yang kuat. Sehingga jika terjadi pelanggaran, tidak ada pihak yang dapat dirugikan melalui jalur hukum sekalipun. Kening Star makin berkerut ketika membaca salinan kontrak itu. Jangka waktu yang diminta oleh Harvie tidaklah singkat. Satu tahun dan Harvie bebas mengajak kencan sebanyak apa pun. "Saya rasa terjadi sedikit kesalahan di sini. Jadi bagaimana kalau kita batalkan saja kontraknya?" Star berusaha mengelak, walau kepalanya sudah sakit. "Sepertinya kau melewatkan satu hal penting lagi. Coba baca pasal pembatalan kontraknya," ucap Harvie dengan kening berkerut, setelah gagal membaca pikiran perempuan di depannya. Harvie memasang wajah seriusnya. Dia sungguh penasaran dengan reaksi perempuan di depannya. Penasaran bagaimana bisa Star mengontrol emosi dengan sangat baik. Derina saja kadang-kadang masih kelepasan. Jelas Star masih jauh lebih muda dari Derina dan gadis di depannya ini, jauh lebih baik dari adik sahabatnya itu. "Pembatalan kontrak secara sepihak wajib membayar denda seratus kali lipat dari harga yang disetujui?" Pertanyaan Star membuyarkan lamuanan Harvie. Perempuan di depannya masih terlihat tenang dan sangat anggun. Membuat Harvie kembali menyunggingkan senyum miring, sambil berbisik dalam hatinya. 'Menarik'. "Ya, dan harga yang kita setujui itu seratus juta rupiah." Star memahan napas sesaat. Seratus juta dikali seratus sama dengan sepuluh milyar. Itu luar biasa banyak. Mungkin Star bisa membayarnya, tapi itu berarti para pelayan di rumah mungkin akan tidak gajian selama beberapa bulan. Belum pengeluaran penting lainnya. Itu berarti, mau tidak mau Star harus setuju kan? "Baiklah Tuan. Karena sudah terlanjur seperti ini, mari kita teruskan saja." Pada akhirnya Star mengalah. "Oke, kalau begitu aku langsung pada intinya saja. Seperti yang sudah tertulis. Selama setahun ini, kau harus pura-pura jadi pacarku."***To be continued****Halo, ketemu lagi. Kali ini Star dan Harvie yang nongol. Udah sedikit dimodifikasi dari yang dulu sih, tapi isi masih sama.
"Pacar? Bukan teman tidur kan? Saya tidak ...." "Pacar saja." Harvie memotong kalimat perempuan di depannya. Star menaikkan sebelah alisnya mendengar permintaan yang menurutnya absurd itu. Kenapa pula harus pura-pura jadi pacar? Pria ini kan bisa menarik siapa saja, kenapa harus dirinya? Tidak mungkin tidak ada perempuan di sekitar Harvie. "Kenapa harus seperti itu?" tanya Star tidak mengerti. Bukan karena Star bodoh, tapi dia tidak bisa mengerti sikap Harvie. "Apa omonganku tadi kurang jelas? Aku tidak mau dijodohkan," balas Harvie sedikit kesal. "Anda kan tinggal menolak saja." Star makin bingung saja mendengar pernyataan pria di depannya itu. Apa susahnya menolak? "Ini tidak segampang yang kau pikirkan bodoh." Harvie menggeram kesal. "Mamaku itu orangnya pantang menyerah sudah berkali-kali kutolak, tapi tetap saja dia ngotot. Lagipula. aku tidak bisa terus-terusan menolaknya. Jadi hal yang harus kulakukan adalah membawa seorang wanita ke hadapannyai." "Maaf, saya masih
"What the ...." Harvie nyaris saja mengumpat, ketika melihat Star keluar dari ruang ganti.Ini sudah baju yang kelima, tapi Harvie masih kesulitan menentukan gaun yang tepat, semua terlihat bagus dipakai Star. Padahal Harvie sudah sengaja memilih butik yang biasa saja, tapi tetap saja Star terlalu sempurna. Niatnya menghemat uang, karena biaya kontrak sudah mahal. Eh, malah rasanya kini Harvie merasa tawaran yang dia berikan terlihat murah. "Pilihlah yang mana saja," Harvie berucap dengan helaan napas frustasi. "Kalau begitu, aku mau dress off shoulder selutut berwarna merah, dengan desain rok berbentuk huruf a itu." Pemilihan yang sangat bagus sebenarnya. Warna merah menyala membuat Star yang putih jadi makin bersinar. Star mengangguk melihat penampilannya dicermin. Dia menyukai pilihannya. Harganya tidak mahal. Hanya sekitar sejutaan, tapi bahan dan jahitannya cukup bagus. Dan terlihat cocok dengannya. Sebaliknya, Harvie malah mengumpat dalam hati begitu melihat pilihan S
"Tidak mungkin," gumam Helena dengan mata melotot melihat penampilan Star yang jelas-jelas terlihat mahal itu. Paling sedikit juga sepuluh juta. "Nih, kalau Mama mau lihat notanya." Harvie yang sudah menduga ini, telah menyiapkan nota pembelian tadi dan menyerahkannya pada sang ibu. Helena menyambar kertas-kertas itu dengan kasar dan melihat jumlah yang tertera di sana. Beberapa detik kemudian dia ternganga, tidak percaya dengan angka-angka yang dilihatnya itu. Benda-benda yang dipakai Star memang tidak semahal kelihatannya. "Pacarku ini memang masih muda, Ma. Tapi dia gak matre. Bahkan tadi kami sempat bertengkar mempermasalahkan siapa yang harus membayar." Helena mendelik ke arah anaknya itu. Jelas terlihat diamerasa marah dan juga malu, tapi yang namanya emak-emak tidak akan pernah mau disalahkan. "Pada akhirnya kan tetap kamu yang bayar. Lagi pula Yvonne belum tentu suka padanya," sergah Helena ketus. "Helena, bisa gak sih kamu lebih sopan pada tamu?" Isaac yang sedari
Star bergeming mendengarkan jawaban dari Hera. Jangankan diakui, wanita itu bahkan tidak mengenali dirinya sama sekali. Seorang ibu yang sangat luar biasa. "Apa yang kamu harapkan Star?" bisiknya pada diri sendiri. Star kembali menghadap ke arah cermin untuk memperbaiki ekspresi wajah nelangsanya. Star menepuk pelan kedua pipinya beberapa kali, sebelum beranjak keluar dari toilet. Baru saja beberapa langkah berjalan menjauhi toilet, Star sudah menabrak seseorang. Star bisa merasakan dress barunya basah. Bisa dipastikan, minuman orang itu tertumpah. "Astaga, maafkan saya! Apakah anda tidak apa-apa Nona?" suara bariton seseorang terdengar. "Ah, iya. Saya tidak apa-apa. Hanya sedikit basah," jawab Star datar. "Anda boleh membersihkan dress anda dengan ini." Lelaki itu mengulurkan sapu tangan yang terlihat mahal. Star tidak langsung menerima saputangan itu. Dirinya memilih untuk melihat wajah orang yang menabraknya dan menunggu reaksi pria itu selanjutnya. Begitu Star menatap
Star bersandar di pintu dalam bilik toilet. Dia dengan terpaksa ikut dengan Harvie karena kata-kata pria itu tadi. Padahal sudah disembunyikan dengan baik, tapi kenapa pria itu bisa tahu. Bagaimanapun caranya, dirinya harus bisa meminta Harvie tutup mulut. Star tidak ingin mencari masalah dengan keluarga besar Arwen. Walau mereka tidak pernah peduli padanya, setidaknya keluarga itu memberikan penghidupan pada Star. Setidaknya Star tidak ingin menjadi orang yang tidak tahu balas budi. "Lama amat sih," Harvie mengeluh begitu melihat Star keluar dari toilet. Star tidak menjawab Harvie dan berjalan mendahului pria itu, menuju ke arah lift yang bisa dilihatnya dari jarak jauh. Kelakuan Star ini jelas membuat Harvie merasa geram. Baru kali ini ada perempuan yang berani-beraninya mencueki dirinya. "Hei, aku bicara padamu." Harvie mencekal lengan Star dengan kasar, sampai gadis itu sedikit oleng dan menubruk tubuh Harvie. "Tadi sok jual mahal, sekarang cari kesempatan. Mau main tari
"Derina? Apa yang kau lakukan di sini?" Harvie terlihat heran melihat adik dari sahabatnya itu. "Pacar Kak Harvie?" Bukannya menjawab, Derina malah bertanya balik. "Aku duluan yang bertanya padamu Derina." "Maaf." Derina meminta maaf sambil menjepit rambutnya ke telinga. "Tadi aku tanya Tante Helena, katanya Kak Harvie pulang sebelum makan malam. Jadi aku membawakan makan malam," lanjut Derina sambil memberi tote bag kertas. "Thanks perhatiannya, tapi sebenarnya gak perlu. Aku sama pacarku mau keluar cari makan. Yuk Star." Baru juga Harvie mau melangkah, tiba-tiba saja dia teringat sesuatu. Awalnya Harvie ragu, tapi dia memutuskan untuk menanyakan apa yang dikhawatirkannya. "Apa kau mengambil kartu akses dari Mark lagi?" "Aku tidak mengambil, Kak. Aku meminjam," Harvie mengulurkan tangannya dengan santai pada Derina. "Kembalikan padaku." "Ini punya Kak Mark, Kak. Harus aku balikin ke dia lagi." Derina enggan memberikan kartu akses pintu milik Mark yang dipegangnya. "K
Star memandang kartu berwarna hitam yang diberikan oleh Harvie dua hari lalu. Star masih tidak mengerti kegunaan kartu ini untuk dirinya, tapi Star mengambilnya tanpa banyak tanya. "Nona? Sarapannya mau diantarkan sekarang?" Karin bertanya dengan sopan. "Boleh aku memeluk Karin?" tanya Star sopan, dengan senyum lebar yang begitu lembut. Walau Karin hanyalah kepala pelayan di rumahnya, Star selalu sopan pada wanita itu. Bahkan pada pelayan lain pun Star seperti itu. Alih-alih memberi perintah dengan kasar, Star melakukannya dengan lembut. Dia juga selalu bertanya kesediaan si pelayan melakukan tugasnya seperti tadi. "Makasih ya karena Karin selalu ada untuk Star. Makasih sudah mau jadi ibu untuk Star." Tidak lupa juga, Star mengucapkan terima kasih. "Ada yang membuat Nona tidak nyaman?" Karin yang sudah membesarkan Star dari baru lahir, tentu tahu ketika majikan sekaligus anak asuhnya itu sedang gudah. Star yang mandiri dan tenang, tidak akan semanja ini jika tidak punya m
"Bersiap-siaplah sekarang, aku akan menjemputmu sebentar lagi." Harvie berbicara dengan nada memerintah lewat telepon. "Saya tidak bisa." Star menjawab singkat pada Harvie melalui panggilan telepon. "Kenapa? Ini kan sudah lewat jam pulang sekolah?" tanya Harvie denga nada kesal. "Saya ada sidang sore ini." Star yang enggan berkomunikasi lama dengan Harvie memilih untuk menjawab dengan singkat. Sayangnya itu malah membuat Harvie makin penasaran. "Sidang apaan sih. Jangan sok sibuk ya. Aku bisa mencari tahu posisimu sekarang juga." "Terserah. Yang jelas saya sudah mengatakan yang sebenarnya." Star baru akan mematikan teleponnya ketika mendengar teriakan Harvie. "Jangan pernah matikan teleponnya." Star mengernyit bingung. Bagaimana pria itu bisa mengatahui gerakannya? Apa dia mengirim mata-mata? Hari Star sudah sangat melelahkan. Setelah menghadapi pak kepala sekolah, dirinya masih harus menghadapi bisik-bisikan yang terlalu keras untuk disebut bisikan. Bahkan ada beberap
Tidak ada satu manusia pun yang tahu apa yang direncanakan oleh Tuhan. Semisal tentang jangka waktu hidup seorang manusia. Setelah kematian Ronald Arwen yang sudah diprediksi. Berita duka yang lain datang dua tahun kemudian. Secara tiba-tiba Peter Carlton meninggal dalam kecelakaan kerja, saat sedang meninjau lokasi pembangunan. Tepat di saat cucu keempatnya lahir. Anak itu kemudian diberi nama Peter Carlton Jr. Ada juga kejadian tak terduga lain ditahun yang sama. Ketika Marvel Leonard Carlton masuk rumah sakit karena ada masalah pada jantungnya. Lubang di jantung yang dulu membuatnya harus masuk NICU, nyatanya tidak berhasil menutup sempurna. Hal itu baru diketahui ketika berumur tujuh tahun. Untungnya, tidak ada yang membuat nyawanya terancam. Marvel hanya perlu operasi untuk menyumbat lubang tersebut, setelahnya Marvel bisa hidup normal. Hal lain yang perlu dirawat dari Marel hanya matanya. Dari usia enam tahun dia sudah harus menggunakan kacamata tebal. Itu terjadi bukan
Marvel menunduk dengan wajah terpesona. Matanya dan bibirnya membuka dengan lucunya, saking terpesonanya dia pada adik bayinya yang baru lahir. Marvel tiap hari bertemu dengan adiknya, tapi tetap saja berekspresi seperti itu. "Eh, Marvel. Pipinya adiknya jangan ditusuk-tusuk gitu dong, Nak." Star mengambil tangan anaknya dengan lembut, agar tidak lagi menjahili si kecil July. Dilarang menggunakan jarinya, kini Marvel kembali mengganggu adiknya dengan cara lain. Kali ini si kecil marvel mengecup pipi July dengan gemas. "Astaga, kecil-kecil sudah ada bibit playboynya." Gumaman asal Helena membuat semua orang tertawa. Helena kembali mengadakan acara syukuran kecil-kecilan untuk cucu ketiganya yang cantik, tepat sebulan setelah kelahirannya. Seperti biasa, bukan hanya Carlton dan Arwen saja yang datang. Keluarga besar Langton juga datang. "Ma, tolong jangan didoaiin yang aneh-aneh dong." Harvie langsung protes mendengar Helena berkata seperti itu. Harvie mengakui kalau dulu dia m
"Mari kita dengar sambutan dari siswa paling berprestasi kita." Seseorang diatas podium mempersilakan Star bergabung. Star berdiri dari tempatnya duduk di barisan paing depan. Dia tersenyum lebar dan berjalan pelan ke atas podium dengan perutnya yang sudah mulai membuncit. "Pertama-tama saya ingin mengucapkan terima kasih pada Tuhan Yang Maha Esa." Star memulai pidatonya dengan ucapan terima kasih pada berbagai pihak. "Terakhir terima kasih untuk keluargaku. Papa, Mama, adik-adik, Mertua, serta suami dan anak-anakku." Star tersenyum penuh haru ke arah keluarganya duduk. Hanya ada Harvie dan kedua orang tua Star di sana, tapi itu saja sudah lebih dari cukup. Lagi pula akan sangat merepotkan kalau anak-anak juga ikut ke acara wisudanya, jadi Helena dan Peter yang mendapat jatah menjaga anak-anak. "Mungkin banyak yang bingung bagaimana saya membagi waktu jadi ibu rumah tangga dan kuliah, tapi ... Saya bisa jadi seperti ini karena keluarga saya. Karena punya suami yang mendukung ser
"Star ada diatas main sama anak-anak." Hera memberitahu ketika melihat Harvie. "Thank you, Ma." Harvie segera berlari ke lantai atas, tempat anak-anak biasa bermain. Ini sudah hari ketiga sejak Star menginap di rumah orang tuanya dan dia sudah amat sangat rindu dengan keluarga kecilnya. "Star?" Harvie membuka pintu ruang bermain dengan pelan dan menemukan kalau semua penghuninya tengah tertidur di atas karpet tebal. Star tertidur dengan laptop yang terbuka, dikelilingi oleh Yvonne, Marvel, Amora dan Benedict. Pemandangan yang sangat manis dan Harvie sungguh berharap bisa punya keluarga besar seperti ini. Tidak ingin mengganggu istirahat mereka, Harvie mengendap-ngendap untuk mematikan laptop Star. Dan dia mulai memindahkan satu persatu manusia itu ke kamar masing-masing. *** "Sudah bangun?" Star mengerjap perlahan mendengar suara Harvie yang sudah dia rindukan. Star pikir dia masih bermimpi dan mengeratkan pelukannnya pada Harvie. "Masih ngantuk ya?" Harvie bertanya de
Star mengetukkan kaki ke teras rumah dengan wajah amat kesal. Irina yang berdiri di sebelahnya dengan memegang setumpuk kertas, tidak berani menatap bosnya itu. "Daddy ke mana sih?" tanya Star dengan ketus. "Biar saya teleponkan." Irina segera bergerak cepat mengambil ponselnya dan menyerahkannya pada Star untuk bicara. "Daddy tahu sudah berapa lama aku nungguin?" tanya Star dengan luar biasa ketusnya. "Maaf, Sayang. Rapatnya selesai lebih lama dar ..." "I don't care. Kan aku sudah bilang berhenti kerja dan suruh Brian yang urus semuanya. Susah banget ya gak kerja selama beberapa bulan?" "Gak bisa gitu, Sayang. Soalnya ini proyek be ...." "Lebih penting proyek atau anakmu? Datang dalam lima menit atau aku pulang ke rumah Mama." Star mematikan sambungan secara sepihak. Setelah penolakan yang dilakukan Star tempo hari, dia akhirnya melakukan test kehamilan karena merasa khawatir. Tentu saja hasilnya positif, dan membuat Star mengamuk. Sekali lagi, Star bukannya tidak mau punya
"Mami. Mami." Marvel berlari-lari untuk menghampiri ibunya yang sedang mengerjakan tugas akhir kuliahnya. Star yang sedang sakit kepala pun refleks tersenyum melihat bocah empat tahun itu. "Kenapa sayang?" Star mengangkat Marvel dan mendudukkan anak yang kini sudah membulat itu di pangkuannya. "Vel mo ade." Usia Marvel sudah empat tahun lebih, tapi belum bisa bicara lancar seperti Yvonne dulu. Dia memang terlambat mulai bicara, jadi kosakatanya masih minim. "Marvel mau adek?" tanya Star dengan ekspresi sedikit horor. "Maksudnya mau punya adek?" Ekspresi Star terlihat makin horor saja ketika anak bungsunya ini mengangguk. Kenapa juga si Marvel bisa tiba-tiba minta adek? "Kenapa Marvel mau minta adek?" tanya Star penasaran. "Lion punya ade," jawab Marvel dengan senyum mengembang. Sepertinya pria kecil Star itu mulai memikirkan indahnya punya adik lagi. “Rion?” Star mengumpat dalam hati. Lain kali Star tidak akan membiarkan Marvel main dengan Rion. “Kakak Von uga.” "Ka
“DONI.” Doni menggeram kesal mendengar suara ayahnya yang menggelegar. Dengan sangat terpaksa, dia meninggalkan permainan game onlinenya dan menghampiri sang ayah. “Kamu ini sebenranya ngapain sih?” tanya sang ayah dengan wajah terlihat sedikit kesal. “Maksud Ayah apaan sih?” tanya Doni bingung. Tapi tiba-tiba saja ayahnya tersenyum. “Kita sekeluarga diundang untuk grand opening mal. Kerjasama Olympus Grup dan Constate Enterprise.” Ayah Doni berteriak riang sambil memeluk anaknya. Bagi para pengusaha, diundang oleh perusahaan kondang saja merupakan suatu kebanggaan. Apalagi yang mengundang ini merupakan perusahaan kelas dunia. “Lalu? Hubungannya denganku apa?” tanya Doni makin bingung. “Katanya pimpinan Constate dan anak tertua dari Olympus Grup mengenalmu secara pribadi, makanya mereka mau mengundang. Ini kesempatan yang sangat baik Doni.” “Apanya?” tanya Doni makin bingung. “Kamu ini gimana sih? Kuliah bisnis, tapi tidak tahu apa-apa soal bisnis. Katanya pemimpin Olympus,
Waktu bergulir dengan cepat. Tidak terasa ujian semester pertama sudah dekat dan Star mah didera banyak masalah yang membuatnya tidak fokus. Marvel terserang flu berat dan menulari Yvonne. Karena Marvel punya masalah pada jantungnya, dia terpaksa harus diinapkan di rumah sakit. Lalu karena Yvonne juga merengek ingin menginap di rumah sakit, dia juga terpaksa dirawat. Kata dokter sih tidak ada masalah karena Star dan Harvie membawa mereka ke rumah sakit tepat waktu, tapi tetap saja Star khawatir dan mempengaruhi fokusnya untuk kuliah. Belum lagi gosip-gosip yang mulai bermunculan. Sama seperti dulu, banyak yang menggosipkannya sebagai wanita panggilan, hamil diluar nikah, peliharaan om-om dan lain sebagainya. Kehadiran Yvonne dan Marvel yang selalu datang menjemput jadi pemicunya. Bukan berarti Star menyalahkan anak-anak. Dia dulu juga sudah digosipkan seperti itu dan kebetulan saja kemunculan anak-anak seolah jadi pembenar gosip itu. Selain itu, Doni yang sudah lama tidak me
"Kok sedari tadi kamu cemberut sih?" Harvie yang baru pulang langsung mengecup puncak kepala Star yang masih menemani anak-anak main. Dua anak kecil itu juga ikut-ikutan minta dikecup oleh ayah mereka. Hanya dikecup, tidak di peluk apalagi digendong karena Harvie belum mandi. "Tante Nadine udah mau balik ke Inggris." Star menjawab dengan jujur. "Terus?" "Terus aku jadi gak punya teman ngobrol seasik dia lagi. Jadinya kalau lagi pusing urusin anak-anak, gak ada teman curhat." Bibir Star maju sedikit, membuat wajahnya makin cemberut saja. "Kalau cuma curhat kan ada banyak orang yang bisa ditemani curhat. Lagi pula kan masih bisa saling telepon atau chat. Beda waktu Indonesia - Inggris kan tidak terlalu jauh." "Oh, iya juga ya. Baru sadar." Cengiran Star membuat Harvie menggeleng pelan. "Tapi kalau kamu memang butuh pengalihan ketika merasa lelah dengan anak-anak, Daddy punya ide yang bagus untuk itu." Harvie tersenyum melihat wajah bingung Star yang selalu membuatnya gemas