Beberapa bulan sejak kejadian itu Sarah dan Fajar sudah melupakan semuanya, mereka pun sudah resmi menikah, dan kehidupan mereka terasa seperti halaman novel romansa yang indah. Setiap momen terasa istimewa, meski dengan kesederhanaan yang mereka jalani.Pagi itu, Fajar menyentuh rambut Sarah yang masih kusut karena baru bangun tidur. Ia duduk di tepi ranjang, menatap istrinya yang meringkuk manja di balik selimut."Bangun, Bu Dokter. Nanti kita kesiangan lagi kalau mau sarapan di luar," ujar Fajar sambil menepuk pelan pipi Sarah.Sarah hanya meringis, lalu menarik selimut lebih tinggi hingga menutupi wajahnya. "Lima menit lagi, Mas. Aku masih ngantuk…"Fajar tertawa kecil, lalu menarik selimutnya dengan lembut. "Sudah jam tujuh, Sayang. Kita mau ke pasar pagi atau mau bikin aku sarapan mie instan lagi?" godanya.Sarah langsung membuka matanya lebar-lebar, wajahnya merona malu. "Itu kan waktu aku kehabisan ide masak, Mas! Lagian, siapa yang makan mie instan cuma pake bawang goreng? A
Sarah menatap layar ponselnya sejenak, lalu menghela napas panjang. Ia tahu, jika ia terus memikirkan pesan itu, malam indah ini akan sia-sia. Dengan senyum yang dipaksakan, ia menekan tombol hapus pesan tersebut tanpa membacanya lagi."Aku nggak mau hal-hal kayak gini merusak malamku," gumamnya dalam hati.Ia meletakkan ponsel di meja, berbalik ke arah Fajar, dan mendapati suaminya sedang memperhatikannya."Beneran nggak apa-apa?" tanya Fajar dengan nada khawatir.Sarah mendekat, duduk di samping Fajar sambil menggenggam tangannya. "Nggak apa-apa, Mas. Malam ini aku cuma mau fokus sama kita berdua."Fajar tersenyum lega, lalu mengusap kepala istrinya penuh kasih. "Kamu ini memang luar biasa. Selalu tahu cara bikin aku merasa lebih tenang."Setelah selesai makan, Sarah mengajak Fajar keluar ke balkon. Angin malam yang sejuk menyelimuti mereka, dan bintang-bintang bersinar terang di langit. Sarah sudah menyiapkan dua cangkir teh hangat, yang ia letakkan di meja kecil di balkon."Malam
Hari itu, mereka memutuskan untuk menghabiskan waktu hanya berdua. Tanpa gangguan pekerjaan, tanpa interupsi dari dunia luar, hanya Sarah dan Fajar, menikmati setiap momen kebersamaan.Setelah sarapan selesai, Fajar menarik tangan Sarah, membawanya ke ruang tamu. Ia melempar dirinya ke sofa dan menarik Sarah untuk duduk di sampingnya."Sekarang giliran aku yang nanya," ucap Fajar sambil memutar tubuh Sarah hingga menghadap ke arahnya."Nanya apa?" Sarah mengangkat alis, mencoba menebak apa yang akan dikatakan suaminya."Kenapa kamu cantik banget hari ini? Apa aku terlalu jatuh cinta sampai ngelihat kamu kayak bidadari setiap hari?" Fajar mengedipkan mata nakal.Sarah menutup wajah dengan kedua tangannya, malu dengan gombalan itu. "Mas, kamu ini nggak bosen, ya, ngegombalin aku terus?"Fajar menarik kedua tangan Sarah dari wajahnya, menatap istrinya dengan serius namun lembut. "Kalau tiap hari aku bilang cinta, apa itu juga bikin kamu bosan?"Sarah terdiam, wajahnya memerah. Ia menundu
Di rumah sakit, Fajar melangkah cepat menuju ruang ICU. Suasana di sana dipenuhi ketegangan. Beberapa perawat bergegas keluar-masuk ruangan dengan wajah serius."Dokter Fajar, terima kasih sudah datang," kata seorang dokter senior, sambil menyerahkan laporan kondisi pasien.Fajar membaca sekilas, alisnya mengernyit. "Kondisi jantungnya melemah drastis. Ada komplikasi paru-paru juga? Apa sudah dilakukan intubasi?""Sudah, Dok, tapi responsnya minim," jawab seorang perawat.Fajar segera mengganti pakaian dengan scrub steril dan masuk ke ruang ICU. Seorang pasien paruh baya tampak terbaring lemah, alat-alat medis memenuhi sekeliling tubuhnya. Dengan fokus penuh, Fajar memimpin tim untuk mencoba menstabilkan kondisi pasien.Malam itu terasa panjang. Jam demi jam berlalu dengan berbagai upaya yang tak henti dilakukan. Hingga akhirnya, saat mendekati subuh, pasien menunjukkan sedikit tanda stabilitas."Pasien sekarang berada di zona aman, tapi kita tetap harus waspada," ujar Fajar kepada ti
Fajar menatap pesan di ponselnya dengan ekspresi tenang, meski pikirannya bekerja keras mencari cara untuk meredakan situasi. Ia menoleh ke arah Sarah yang tampak gelisah, menggenggam ponselnya dengan erat seolah itu adalah perisai yang melindunginya.Fajar menghela napas panjang, mendekati Sarah dan berlutut di depannya. "Sayang, aku tahu ini nggak mudah buat kamu. Tapi aku mohon, jangan terlalu memikirkan pesan-pesan ini."Sarah menatap Fajar, matanya berkaca-kaca. "Mas, kalau orang ini benar-benar tahu banyak tentang kamu... tentang kita, aku takut. Apa dia bisa menyakiti kita?"Fajar menggenggam tangan Sarah dengan lembut. "Nggak ada yang bisa menyakiti kita selama kita saling percaya. Pesan-pesan ini cuma cara orang pengecut untuk membuat kita ketakutan. Aku nggak akan biarkan itu terjadi."Sarah mengangguk kecil, meski hatinya masih penuh dengan kecemasan. "Tapi kalau dia terus-terusan ganggu kita, Mas? Aku nggak mau hidup kita jadi nggak tenang."Fajar tersenyum tipis, mencoba
Bab 34: Bayang-Bayang Masa LaluFajar menatap layar ponselnya yang terus bergetar. Nama pengirim tak teridentifikasi, tapi ia bisa merasakan aura ancaman yang kian mendekat. Sarah yang melihat raut wajah suaminya langsung bangkit, bergegas mendekatinya."Mas, siapa itu?" tanya Sarah, mencoba membaca situasi.Fajar mengangkat tangannya, meminta Sarah untuk tenang. Dengan napas yang tertahan, ia menggeser tombol hijau dan menerima panggilan video itu.Wajah di layar ponsel langsung membuat Fajar menggertakkan giginya. Seorang wanita dengan senyum penuh kepalsuan dan sorot mata yang dingin muncul di layar. Mira."Lama tak jumpa, Dokter Fajar," kata Mira dengan nada sarkastik. Ia mengenakan pakaian rapi, namun senyumannya menyiratkan niat buruk yang tak tertutupi.Fajar menarik napas panjang, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang. "Apa yang kamu inginkan, Mira?"Mira menghela napas dramatis. "Oh, tenang saja. Aku hanya ingin memastikan kamu tahu bahwa aku selalu ada, memperhatikan da
Pagi itu, sinar matahari menerobos tirai kamar mereka, membawa kehangatan yang biasanya membuat Sarah tersenyum. Namun, hari ini berbeda. Sarah bangkit dari tempat tidur dengan langkah tergesa, langsung menuju kamar mandi. Suara muntah terdengar jelas, membuat Fajar yang tengah bersiap untuk ke rumah sakit segera berlari menghampirinya."Sayang, kamu kenapa?" Fajar mengetuk pintu kamar mandi, suaranya dipenuhi kekhawatiran."Kayaknya masuk angin, Mas," jawab Sarah lemah dari dalam.Fajar menghela napas, mencoba tetap tenang. Namun, saat Sarah keluar dengan wajah pucat, nalurinya sebagai dokter langsung mengambil alih. "Masih mual?"Sarah hanya mengangguk, mencoba berjalan ke tempat tidur. Tapi sebelum ia bisa duduk, tubuhnya oleng dan jatuh ke pelukan Fajar."Sarah!" Fajar memeluknya erat, panik melihat wajah istrinya yang mulai kehilangan warna.Dengan sigap, Fajar mengangkat tubuh Sarah dan membaringkannya di sofa. Ia memeriksa denyut nadinya yang lemah, lalu menggenggam tangan istr
Setelah beberapa hari di rumah sakit, akhirnya Sarah diperbolehkan pulang. Seiring berjalannya waktu Fajar yang sangat perhatian tak pernah lepas dari sisinya, memastikan segala kebutuhan Sarah terpenuhi. Suasana yang tadinya tenang berubah menjadi lebih hangat dengan perhatian Fajar yang selalu berada di dekatnya.Pagi itu, Fajar menyiapkan sarapan ringan untuk Sarah. Ia memasak bubur hangat dan mengatur semuanya dengan penuh perhatian. Sarah yang duduk di meja makan memandang suaminya dengan penuh rasa terima kasih."Mas, kamu benar-benar nggak perlu terlalu khawatir. Aku baik-baik saja," kata Sarah, meski matanya sedikit lelah.Fajar menatapnya dengan lembut. "Sayang, kamu harus berhati-hati. Kamu harus menjaga kesehatanmu, terutama sekarang. Ada dua nyawa yang harus kita jaga."Sarah tersenyum, menyentuh perutnya yang mulai sedikit membuncit. "Aku tahu, Mas. Aku akan hati-hati."Namun, Fajar masih belum merasa tenang. Ia duduk di depan Sarah dan dengan serius memandang matanya. "S
Pagi itu, sinar matahari menembus jendela kamar, membiaskan cahaya hangat ke seluruh ruangan. Sarah terbangun lebih dulu dan tersenyum melihat Fajar yang tidur nyenyak di sampingnya. Di antara mereka, dua bayi mungil dengan pipi kemerahan tampak tenang dalam tidurnya.Sarah mengulurkan tangan, membelai pipi Fajar dengan lembut. "Mas… bangun, ayo kita lihat si kembar," bisiknya.Fajar membuka matanya perlahan, kemudian tersenyum melihat wajah istrinya yang begitu tenang. "Selamat pagi, Sayang."Sarah tertawa kecil. "Lihat mereka, Mas. Lucu sekali. Aku masih nggak percaya mereka benar-benar ada di sini."Fajar mendekat ke salah satu bayi dan mengecup keningnya. "Mereka adalah anugerah terbesar dalam hidup kita, Sayang. Kamu luar biasa."Hari itu dipenuhi dengan tawa kecil bayi, obrolan ringan, dan kebersamaan yang penuh cinta. Fajar mengambil cuti untuk memastikan dirinya ada di rumah, menemani Sarah dan bayi mereka.Di ruang tengah, Fajar menggendong bayi laki-lakinya sambil berbicara
Bab 48Suasana pagi di rumah Fajar dan Sarah terasa hangat. Cahaya matahari menembus tirai jendela, memantulkan bayangan lembut di wajah Sarah yang tengah menyusui salah satu bayi kembarnya. Sementara itu, Fajar bersiap untuk pergi menemui Jo, sahabat lamanya yang kini menjadi dosen di kampus."Aku harus pergi sebentar, Sayang. Jo bilang dia punya informasi penting," ujar Fajar sambil membetulkan kerah bajunya.Sarah menatap suaminya dengan penuh khawatir. "Hati-hati ya, Mas. Jangan terlalu memaksakan diri."Fajar mendekati Sarah, mengecup keningnya dengan lembut. "Aku janji akan berhati-hati. Fokus saja pada bayi kita, jangan pikirkan yang aneh-aneh."Setelah berpamitan, Fajar melesat pergi. Jo sudah menunggu di sebuah kafe kecil dekat kampus. Pria bertubuh atletis dengan rambut cepak itu menyambut Fajar dengan senyuman tipis."Sudah lama ya, kita nggak duduk bareng begini," ujar Jo sambil menyeruput kopinya.Fajar tersenyum lelah. "Iya, Jo. Tapi kali ini bukan untuk sekadar nostalgi
Beberapa bulan telah berlalu sejak pesan misterius terakhir yang diterima Fajar. Kehidupan mereka berjalan penuh kebahagiaan dan persiapan menyambut kelahiran anak kembar mereka. Sarah semakin bersinar dengan perutnya yang membesar, dan Fajar selalu berusaha untuk ada di setiap momen penting istrinya.Pagi itu, mentari baru saja muncul di balik jendela kamar mereka. Sarah, yang masih terbaring di ranjang, tiba-tiba merasakan nyeri hebat di perutnya. Wajahnya pucat, dan keringat dingin membasahi dahinya."Mas Fajar… Aaah… Sakit, sakit sekali…" ucap Sarah dengan suara bergetar, tangannya mencengkeram selimut.Fajar yang sedang merapikan peralatan kerjanya langsung berbalik. Wajahnya seketika tegang melihat kondisi Sarah. Tanpa berpikir panjang, ia menghampiri istrinya dan memegang perut Sarah dengan lembut."Sayang, tarik napas pelan-pelan, ya. Aku akan periksa sekarang." Fajar berusaha tetap tenang meskipun hatinya dipenuhi kecemasan.Setelah memeriksa Sarah dengan cepat, Fajar menatap
Pagi itu, Fajar terbangun lebih dulu. Ia memandang Sarah yang masih terlelap dengan wajah damai. Tangannya perlahan membelai rambut istrinya, lalu berhenti di perut Sarah yang mulai terlihat membuncit. Ia tersenyum kecil, merasa tak pernah cukup bersyukur atas anugerah yang Allah berikan dalam hidupnya.Sarah menggeliat pelan, membuka matanya dengan malas. Melihat Fajar yang menatapnya penuh kasih, ia tersenyum tipis. "Mas, udah bangun? Kok nggak bangunin aku?""Aku nggak tega, Sayang. Kamu tidur nyenyak banget, pasti capek," jawab Fajar lembut, lalu mengecup keningnya. "Gimana perutnya? Ada yang nendang pagi ini?"Sarah mengusap perutnya sambil terkikik kecil. "Kayaknya mereka masih tidur, deh. Anak-anak kamu emang sopan banget, Mas."Fajar tertawa kecil. "Tentu dong, anak siapa dulu? Pasti nurun bapaknya."Sarah memutar mata sambil tertawa. "Narsis banget."Hari itu, Fajar memutuskan untuk bekerja dari rumah agar bisa menemani Sarah. Ia tidak mau istrinya kelelahan dan lebih memilih
Pagi itu, sinar matahari menyelinap masuk melalui jendela kamar, menyinari wajah Sarah yang sedang tertidur pulas. Fajar duduk di tepi ranjang, menatap istrinya dengan penuh kasih. Sudah beberapa minggu berlalu sejak kepergian Mira, dan meskipun badai telah berlalu, bayangannya masih menyisakan luka di hati Fajar. Namun, kehadiran Sarah dan calon buah hati mereka menjadi alasan baginya untuk tetap tegar dan melangkah maju.Sarah menggeliat perlahan, matanya terbuka dan langsung bertemu dengan senyuman hangat Fajar. "Kamu dari tadi lihat-lihatin aku, ya?" godanya dengan suara serak karena baru bangun.Fajar terkekeh kecil dan membelai rambut istrinya. "Iya, soalnya ada bidadari cantik di sebelahku, sayang."Sarah tersenyum malu-malu, lalu duduk sambil memegang perutnya yang mulai membesar. "Mas Fajar..." ucapnya lembut."Hm?" Fajar menatapnya serius, tahu istrinya ingin mengatakan sesuatu yang penting."Menurut kamu... kita beneran bisa bahagia sekarang? Setelah semua yang kita lewati?
Suasana di rumah sakit terasa begitu mencekam. Lampu ruang ICU yang selalu terang benderang seolah tak mampu mengusir gelapnya duka yang melingkupi tempat itu. Beberapa dokter keluar-masuk ruangan dengan raut serius, sementara perawat bergegas dengan langkah berat.Fajar berdiri di dekat mesin monitor, memperhatikan grafik vital Mira yang semakin melemah. Ia tahu, waktu Mira tidak banyak lagi. Meskipun sudah diberikan perawatan terbaik, tubuh Mira tidak merespons pengobatan seperti yang diharapkan.Pak Hendra berdiri di sudut ruangan, kedua tangannya menggenggam tasbih kecil. Bibirnya komat-kamit melantunkan doa-doa, sementara air mata terus mengalir tanpa henti."Fajar... bagaimana keadaan Mira?" tanyanya dengan suara parau.Fajar menatap pria itu dengan penuh empati, namun sulit baginya untuk mengucapkan kebenaran. "Kami sudah melakukan yang terbaik, Pak. Tapi... Mira sangat lemah."Pak Hendra menatap putrinya yang terbaring dengan berbagai alat medis menempel di tubuhnya. "Dia kuat
Bab 40: Kabar yang MenggetarkanPagi itu, Fajar baru saja selesai memeriksa salah satu pasien di rumah sakit ketika seorang perawat mendekatinya dengan wajah serius."Dokter Fajar, ada kabar penting," ujar perawat tersebut dengan nada ragu.Fajar mengerutkan kening. "Apa itu? Ada yang terjadi di ruang IGD?"Perawat itu menggeleng. "Bukan, Dok. Ini tentang... Pasien yang baru saja tiba!"Hati Fajar langsung berdegup kencang. "Siapa? Apa ada yang serius?""Seorang wanita mengalami kecelakaan tadi pagi, Dok. Mobilnya menabrak pembatas jalan di kawasan tol. Dia dibawa ke sini dan sekarang sedang dirawat di ICU. Keadaannya kritis."Fajar terdiam, merasakan gelombang emosi bercampur aduk di dadanya. "Apa yang sebenarnya terjadi?"Perawat itu melanjutkan dengan hati-hati. "Menurut saksi, perempuan itu mengemudi dengan kecepatan tinggi dan tampak tidak fokus. Polisi menemukan beberapa botol minuman di mobilnya, tapi kami belum tahu apakah itu ada hubungannya dengan kecelakaan."Tanpa berpikir
Sarah berjalan mendekati pintu dengan ragu. Fajar yang berdiri kaku di ambang pintu tampak sedikit tegang, sesuatu yang jarang sekali terlihat darinya."Mas Fajar?" panggil Sarah lagi, suaranya pelan tapi penuh dengan rasa ingin tahu.Saat ia mendekat, sosok di depan pintu akhirnya terlihat jelas. Seorang pria paruh baya dengan rambut mulai memutih berdiri di sana, mengenakan setelan jas sederhana dan rapi. Wajahnya menunjukkan campuran antara keraguan dan tekad."Siapa ini?" tanya Sarah lembut, berdiri di samping suaminya.Pria itu tersenyum tipis, lalu berkata, "Perkenalkan, saya Pak Hendra... ayah Mira."Mendengar nama itu, Sarah tertegun. Fajar segera melangkah maju, sedikit menutupi istrinya dengan tubuhnya."Pak Hendra, ada yang bisa saya bantu?" tanya Fajar dengan nada datar, tapi jelas berusaha tetap sopan.Pak Hendra menarik napas panjang sebelum menjawab. "Saya ke sini untuk meminta maaf, Dokter Fajar, kepada Anda dan istri Anda. Saya tahu anak saya telah menyebabkan banyak
Fajar membuka pintu dengan hati-hati. Di depannya berdiri seorang pria paruh baya dengan raut wajah serius dan terlihat gugup. Sarah berdiri di belakang Fajar, mengintip dari balik bahunya."Dokter Fajar?" tanya pria itu dengan suara yang sedikit bergetar."Iya, saya. Anda siapa?" balas Fajar sambil memperhatikan pria itu dengan waspada."Saya Andri, seorang detektif swasta. Ada sesuatu yang harus saya bicarakan dengan Anda dan istri Anda, ini sangat penting," ujar pria itu sambil melirik ke arah Sarah.Fajar ragu sejenak, lalu memberi isyarat pada pria itu untuk masuk. Setelah mereka duduk di ruang tamu, Andri membuka tasnya dan mengeluarkan beberapa dokumen serta foto."Saya sudah lama mengikuti kasus yang menyangkut keluarga Anda, terutama almarhumah Nisa," kata Andri langsung ke pokok permasalahan.Sarah merasa jantungnya berdebar kencang, sementara Fajar memperhatikan dokumen-dokumen itu dengan tatapan penuh tanya."Dulu, saya disewa oleh seseorang untuk menyelidiki latar belakan