Nisa berdiri terpaku, matanya melebar penuh ketakutan saat Joko mendekatinya dengan tatapan yang menggambarkan nafsu serakah. "Jangan, Joko," suaranya bergetar, pelan tetapi penuh keputusasaan. Joko, yang sudah kehilangan akal sehat, hanya menggertakkan giginya seraya menggenggam erat lengan Nisa. Air mata mulai mengalir deras di pipi Nisa, dia berusaha mendorong Joko yang lebih besar dan lebih kuat darinya, namun sia-sia. "Tolong... jangan," ratapnya lagi, suaranya tercekat oleh tangisnya yang pecah. Joko, dengan tangan yang kasar, mencoba membuka baju Nisa yang terbuat dari kain tipis. "Kamu mau apa ?" Pekik Nisa saat Joko sudah semakin dekat dengan dirinya . Joko menyeringai melihat nya semakin tidak tahan dengan wajah perempuan yang ada dihadapan nya saat ini . "Aku mau kamu mbak, bersenang-senang lah denganku, mumpung tidak ada orang di rumah" "Gila! Kamu gila ya" pekik Nisa, perempuan itu sudah akan ingin berlari namun Joko langsung menahan tangannya, pria itu me
"Doni!!!" Bude Sira langsung marah mendengar perkataan dari Doni itu. Namun semuanya sudah terlambat, talak sudah jatuh dan hubungan mereka telah berakhir. Mirna langsung tersenyum puas, akhirnya, apa yang di tunggu-tunggu selama ini tercapai. Dirinya yang sangat membenci wanita miskin itu tidak akan lagi melihat wanita itu. "Kamu keterlaluan Don! Dia istri kamu, dan dia baru saja keguguran!" Sentak bude Sira. "Aku enggak peduli bude! Dia sekarang bukan istriku lagi! Dan mulai sekarang dia harus pergi dari sini! Aku juga akan menikah" "Kamu kejam Doni!" "Aku enggak peduli. Mau kalian mengatakan apa tentang diriku, Pokoknya aku sudah menjatuhkan talak dengan Nisa." "Don--" "Hei sudah! Kenapa kau yang repot-repot sih? Doni anakku, dia sudah memberikan keputusan, dia sudah tidak mau lagi dengan Nisa. Jadi kamu Sira jangan ikut campur. " Ucap Mirna dengan sinis, tidak ada embel-embel kakak, padahal dirinya itu bersaudara kandung dengan Sira, dan Sira adalah kakak Mirna. Bude Sira
Malam itu terasa sangat lama bagi Nisa. Rasanya matanya sangat sulit sekali terpejam. Nisa berulangkali mencoba memejamkan kedua bola matanya, namun sayang, bayang-bayang kejadian kemarin terus saja menghantui dirinya. Nisa melirik ke arah sampingnya, tepatnya pada bude Sira yang sedang tertidur lelap, bergelung dengan selimut tebal. Tidur wanita paruh baya itu tampak sangat pulas sekali, mungkin karena wanita itu kelelahan seharian ini. Bude Sira yang mengemasi barang-barang miliknya yang ada di rumah Mirna. Wanita paruh baya itu di bantu oleh Desi anaknya. Nisa tadi ingin ikut, dan biarkan saja dirinya yang mengemasi semua barangnya. Rasanya tidak enak dan sungkan sekali, membiarkan orang lain mengemasi barang-barangnya. Tapi bude Sira dan Desi melarang Nisa. Keduanya menyuruh Nisa untuk tetap berada di rumah bude Sira dan beristirahat saja. Sedangkan Tiar pemuda itu sudah pergi mencari becak keliling yang akan mereka gunakan besok untuk mengantar Nisa pulang ke rumah kedua
Benar saja, sekitar jam lima sore mereka sudah tiba di desa milik ibu dan bapaknya Nisa. Desa yang sangat sejuk, banyak sekali pemandangan sawah yang membentang di sepanjang perjalanan. Sungguh sangat memanjakan mata. Desa yang sudah beberapa bulan tidak Nisa kunjungi, membuat hati Nisa mendadak sedih. Jahat sekali dirinya tidak pernah menengok keadaan bapak dan ibunya selama ini. Padahal merekalah orang yang sangat mengerti dirinya. Sungguh rasa bersalah itu muncul di dalam dirinya. "Nis, bude terakhir kalinya datang kemari waktu nikahan kamu sama Doni. Itu udah lama banget, setelah nya bude enggak pernah kemari lagi." Ucap bude Sira yang duduk tepat di samping Nisa. "Iya bude, Nisa juga udah lama banget enggak ke sini" ucap Nisa sambil menundukkan kepalanya, merasa sedih. Bude Sira menghela nafasnya kasar, dirinya sangat tau, bagaimana mungkin wanita itu datang ke rumah orang tuanya, suaminya saja tidak pernah mau mengajak Nisa ke sana. Kalau Nisa pergi sendiri, bagaimana mun
"Assalamualaikum" "Wa'alaikum salam." "Ya ampun, masuk-masuk bude. Maaf ya saya tidak menyambut kedatangan anda tadi." Ibunya Nisa langsung membuka pintu yang terbuat dari kayu itu lebar-lebar, lalu mempersilahkan bude Sira masuk ke dalam rumah. Bude Sira tersenyum, lalu segera bangkit dan mengambil beberapa bungkusan yang memang tadi di siapkan di rumah untuk kedua orang tua Nisa. "Maaf, saya tidak bawa apa-apa" bude Sira menyerahkannya pada ibunya Nisa, membuat ibunya Nisa terkejut bukan main saat menerima bungkusan yang di bawa oleh wanita itu. "Ini repot sekali ya ampun. Ayo silahkan masuk, dan duduk. Saya akan buatkan minuman, pasti haus ya kan." Bude Sira menganggukkan kepalanya, lalu masuk dan duduk di kursi rotan yang ada di dalam rumah itu. Rumah yang tampak lebih luas bagi bude Sira saat terakhir kalinya dirinya datang ke rumah ini. Di sana juga sudah ada kursi rotan, sebuah televisi, dan lemari, yang sebelumnya tidak ada. Karena waktu itu mereka datang duduk beralas
"Ya Allah" ibunya Nisa sampai memegangi dada yang tiba-tiba sesak saat mendengar cerita dari Nisa. Dirinya tidak menyangka jika Doni sudah menalak anaknya itu. Nisa jelas tentu menceritakan singkatnya saja, tentang Doni yang menalaknya, bukan tentang sikap pria itu dan keluarganya yang semena-mena pada dirinya. Diri nya akan simpan hal itu, dan tidak akan di ceritakan kepada bapak dan ibunya. "Ini salah Nisa buk, karena Nisa tidak becus menjadi istri untuk bang Doni." Ucap Nisa di sela tangisnya. Tubuhnya bergetar hebat, sang ibu langsung memeluknya dengan erat. Sungguh entah terbuat dari apa hati wanita itu, Nisa di sini tidak bersalah sama sekali, karena dirinya lah yang menjadi korban. Doni dan keluarganya yang salah. Namun wanita itu selalu menganggap ini kesalahannya. Kurang apa Nisa? Dirinya selalu mendapatkan perlakuan yang tidak baik dari anggota keluarga Doni, namun wanita itu terus saja sabar dan selalu menuruti keinginan mereka. Tapi tidak ada sedikitpun rasa iba yang
"Cuci itu baju! Jangan sampe ada yang ketinggalan! Kamu itu di sini sudah makan gratis, mau belagu pula sok menjadi ratu! Kamu kira anak saya kerja banting tulang cuman buat kamu habis-habiskan hm? Kamu shopping? Kamu leha-leha di kasur gitu?" cerca seorang wanita paruh baya sambil berkacak pinggang.Nisa tersenyum miris mendengarnya, bahkan uang gaji suaminya juga dirinya tidak pernah mencicipinya sedikit pun. Jika suaminya gajian, juga ibu mertuanya lah yang selalu mengambil uangnya dan mengatur semua keperluannya. Bahkan Nisa tidak di kasih uang sepeser pun.Miris, miris sekali nasib wanita malang itu, jika ingin sesuatu, Nisa harus pergi ke warung bakso di sebelah rumah mertuanya, wanita itu membantu pekerjaan di sana, dan mendapatkan upah. Barulah Nisa bisa membeli sesuatu."Kenapa?! Kamu mau marah ha? Silakan marah? Mau ngadu sama suami mu, ngadu saja sana, saya tidak takut"Ya mana mungkin takut, karena suaminya juga sama, jika Nisa mengaduhkan sikap sewenang-wenang ibunya itu,
Nisa merenggangkan otot-otot tubuhnya saat sudah sampai di rumah. Perutnya terasa kram, akibat berjalan terlalu jauh menuju ke pasar.Mau naik ojek, tapi Nisa tidak punya biayanya. Tadi saja uang belanja yang di berikan oleh ibu mertuanya kurang, terpaksa mau tidak mau Nisa mengambil uangnya yang digunakan untuk pemeriksaan agar bisa membeli barang-barang yang memang sudah ada di catatan itu.Padahal uang itu untuk mengecek kandungannya esok hari, namun karena uangnya sudah habis, terpaksa setelah selesai memasak makanan, Nisa harus bekerja di warung bakso Bude Sira.Terpaksa itu yang harus Nisa lakukan, Nisa harus bekerja demi bisa memeriksakan kandungannya esok hari.Padahal tubuhnya sudah lelah letih ingin sekali Nisa berbaring di atas ranjang, namun semua itu hanya angan-angannya saja. Nisa yakin ketika dirinya beristirahat Ibu mertuanya akan datang dan langsung memarahi dirinya.Sudah biasa, dan hal itu sudah menjadi makanan sehari-hari bagi Nisa.Nisa mengusap peluh keringat yan
"Ya Allah" ibunya Nisa sampai memegangi dada yang tiba-tiba sesak saat mendengar cerita dari Nisa. Dirinya tidak menyangka jika Doni sudah menalak anaknya itu. Nisa jelas tentu menceritakan singkatnya saja, tentang Doni yang menalaknya, bukan tentang sikap pria itu dan keluarganya yang semena-mena pada dirinya. Diri nya akan simpan hal itu, dan tidak akan di ceritakan kepada bapak dan ibunya. "Ini salah Nisa buk, karena Nisa tidak becus menjadi istri untuk bang Doni." Ucap Nisa di sela tangisnya. Tubuhnya bergetar hebat, sang ibu langsung memeluknya dengan erat. Sungguh entah terbuat dari apa hati wanita itu, Nisa di sini tidak bersalah sama sekali, karena dirinya lah yang menjadi korban. Doni dan keluarganya yang salah. Namun wanita itu selalu menganggap ini kesalahannya. Kurang apa Nisa? Dirinya selalu mendapatkan perlakuan yang tidak baik dari anggota keluarga Doni, namun wanita itu terus saja sabar dan selalu menuruti keinginan mereka. Tapi tidak ada sedikitpun rasa iba yang
"Assalamualaikum" "Wa'alaikum salam." "Ya ampun, masuk-masuk bude. Maaf ya saya tidak menyambut kedatangan anda tadi." Ibunya Nisa langsung membuka pintu yang terbuat dari kayu itu lebar-lebar, lalu mempersilahkan bude Sira masuk ke dalam rumah. Bude Sira tersenyum, lalu segera bangkit dan mengambil beberapa bungkusan yang memang tadi di siapkan di rumah untuk kedua orang tua Nisa. "Maaf, saya tidak bawa apa-apa" bude Sira menyerahkannya pada ibunya Nisa, membuat ibunya Nisa terkejut bukan main saat menerima bungkusan yang di bawa oleh wanita itu. "Ini repot sekali ya ampun. Ayo silahkan masuk, dan duduk. Saya akan buatkan minuman, pasti haus ya kan." Bude Sira menganggukkan kepalanya, lalu masuk dan duduk di kursi rotan yang ada di dalam rumah itu. Rumah yang tampak lebih luas bagi bude Sira saat terakhir kalinya dirinya datang ke rumah ini. Di sana juga sudah ada kursi rotan, sebuah televisi, dan lemari, yang sebelumnya tidak ada. Karena waktu itu mereka datang duduk beralas
Benar saja, sekitar jam lima sore mereka sudah tiba di desa milik ibu dan bapaknya Nisa. Desa yang sangat sejuk, banyak sekali pemandangan sawah yang membentang di sepanjang perjalanan. Sungguh sangat memanjakan mata. Desa yang sudah beberapa bulan tidak Nisa kunjungi, membuat hati Nisa mendadak sedih. Jahat sekali dirinya tidak pernah menengok keadaan bapak dan ibunya selama ini. Padahal merekalah orang yang sangat mengerti dirinya. Sungguh rasa bersalah itu muncul di dalam dirinya. "Nis, bude terakhir kalinya datang kemari waktu nikahan kamu sama Doni. Itu udah lama banget, setelah nya bude enggak pernah kemari lagi." Ucap bude Sira yang duduk tepat di samping Nisa. "Iya bude, Nisa juga udah lama banget enggak ke sini" ucap Nisa sambil menundukkan kepalanya, merasa sedih. Bude Sira menghela nafasnya kasar, dirinya sangat tau, bagaimana mungkin wanita itu datang ke rumah orang tuanya, suaminya saja tidak pernah mau mengajak Nisa ke sana. Kalau Nisa pergi sendiri, bagaimana mun
Malam itu terasa sangat lama bagi Nisa. Rasanya matanya sangat sulit sekali terpejam. Nisa berulangkali mencoba memejamkan kedua bola matanya, namun sayang, bayang-bayang kejadian kemarin terus saja menghantui dirinya. Nisa melirik ke arah sampingnya, tepatnya pada bude Sira yang sedang tertidur lelap, bergelung dengan selimut tebal. Tidur wanita paruh baya itu tampak sangat pulas sekali, mungkin karena wanita itu kelelahan seharian ini. Bude Sira yang mengemasi barang-barang miliknya yang ada di rumah Mirna. Wanita paruh baya itu di bantu oleh Desi anaknya. Nisa tadi ingin ikut, dan biarkan saja dirinya yang mengemasi semua barangnya. Rasanya tidak enak dan sungkan sekali, membiarkan orang lain mengemasi barang-barangnya. Tapi bude Sira dan Desi melarang Nisa. Keduanya menyuruh Nisa untuk tetap berada di rumah bude Sira dan beristirahat saja. Sedangkan Tiar pemuda itu sudah pergi mencari becak keliling yang akan mereka gunakan besok untuk mengantar Nisa pulang ke rumah kedua
"Doni!!!" Bude Sira langsung marah mendengar perkataan dari Doni itu. Namun semuanya sudah terlambat, talak sudah jatuh dan hubungan mereka telah berakhir. Mirna langsung tersenyum puas, akhirnya, apa yang di tunggu-tunggu selama ini tercapai. Dirinya yang sangat membenci wanita miskin itu tidak akan lagi melihat wanita itu. "Kamu keterlaluan Don! Dia istri kamu, dan dia baru saja keguguran!" Sentak bude Sira. "Aku enggak peduli bude! Dia sekarang bukan istriku lagi! Dan mulai sekarang dia harus pergi dari sini! Aku juga akan menikah" "Kamu kejam Doni!" "Aku enggak peduli. Mau kalian mengatakan apa tentang diriku, Pokoknya aku sudah menjatuhkan talak dengan Nisa." "Don--" "Hei sudah! Kenapa kau yang repot-repot sih? Doni anakku, dia sudah memberikan keputusan, dia sudah tidak mau lagi dengan Nisa. Jadi kamu Sira jangan ikut campur. " Ucap Mirna dengan sinis, tidak ada embel-embel kakak, padahal dirinya itu bersaudara kandung dengan Sira, dan Sira adalah kakak Mirna. Bude Sira
Nisa berdiri terpaku, matanya melebar penuh ketakutan saat Joko mendekatinya dengan tatapan yang menggambarkan nafsu serakah. "Jangan, Joko," suaranya bergetar, pelan tetapi penuh keputusasaan. Joko, yang sudah kehilangan akal sehat, hanya menggertakkan giginya seraya menggenggam erat lengan Nisa. Air mata mulai mengalir deras di pipi Nisa, dia berusaha mendorong Joko yang lebih besar dan lebih kuat darinya, namun sia-sia. "Tolong... jangan," ratapnya lagi, suaranya tercekat oleh tangisnya yang pecah. Joko, dengan tangan yang kasar, mencoba membuka baju Nisa yang terbuat dari kain tipis. "Kamu mau apa ?" Pekik Nisa saat Joko sudah semakin dekat dengan dirinya . Joko menyeringai melihat nya semakin tidak tahan dengan wajah perempuan yang ada dihadapan nya saat ini . "Aku mau kamu mbak, bersenang-senang lah denganku, mumpung tidak ada orang di rumah" "Gila! Kamu gila ya" pekik Nisa, perempuan itu sudah akan ingin berlari namun Joko langsung menahan tangannya, pria itu me
"Aku nggak mau tau bang. Pokoknya kamu harus menceraikan istri kamu itu. Aku nggak mau ya jadi istri kedua. Aku mau jadi istri satu-satunya kamu" ucap Sari pada Doni.Doni tersenyum lebar, mendekatkan dirinya pada Sari, lalu mencium pipi wanita itu.Cup"Kamu tenang saja sayang, Abang memang berencana akan menceraikan dia."Sari mendorong sebal wajah Doni. "Kapan? Abang selalu berkata seperti itu. Katanya Abang akan ceraikan dia setelah dia pulang dari rumah sakit. Tapi, ini udah dua hari dia pulang dari rumah sakit, tapi Abang sama sekali belum menjatuhkan talak sama dia." Sari jadi kesal sendiri karena Doni nyatanya tidak menepati janjinya sama sekali. Padahal pria itu sendiri di yang berjanji padanya akan menceraikan Nisa secepatnya."Abang jangan bohong. Kalau Abang bohong, pekerjaan Abang taruhannya." Ancam Sari. Dan Sari ini adalah sepupu pemilik kebun karet yang saat ini Doni kerja. Sari yang sering datang ke kebun karet itu jatuh cinta pada sosok Doni yang wajahnya tampan. Dan
Tiar adalah anak bude Sira. Anak bude Sira yang merantau di Kalimantan dua tahun lalu dan baru kembali pulang hari ini. Entah suatu kebetulan atau apa, tapi Tiar ini adalah mantan kekasih Nisa dulu. Dan Tiar juga sama sekali tidak tau menahu jika Nisa menikah dengan sepupunya Doni. Berita sepupunya menikah memang terdengar di telinganya, namun Tiar sama sekali tidak tau jika yang menjadi istri dari sepupunya itu adalah mantan kekasihnya. mantan kekasih yang masih sangat di cintainya. Dan salah satu alasan Tiar merantau ke pulau lain adalah ingin mencari uang dan segera melamar Nisa. namun, siapa sangka jika Nisa telah menikah. Kecewa, jelas. Hubungan mereka berakhir juga tanpa kepastian yang jelas. Karena Nisa yang tiba-tiba dulu mengakhiri sepihak, padahal Tiar tidak mau hubungan mereka berakhir. Tiar sangat mencintai Nisa.Nisa meremas kedua tangannya dengan kencang, rasa canggung itu jelas terlihat di raut wajahnya, bagaimana pun, dirinya di sini yang bersalah pada pria itu. Diri
"Ya ampun Sari sayang, kamu bawa apa itu? Banyak sekali makanan yang kamu bawa?" Mirna menyambut calon menantunya itu dengan rasa penuh gembira. Sari tersenyum lebar. Menyerahkan beberapa bingkisan pada Mirna. "Cuman makanan biasa kok Bu. Semoga ibu dan Kemuning suka ya." Kata Sari sambil tersenyum lebar. Tangannya memamerkan emas yang menggantung di bagian tubuhnya itu. Mirna meneguk ludahnya susah payah. Rasanya pengen banget memiliki emas banyak seperti itu. Dan jika saja, anaknya Doni berhasil menikah dengan Sari, dirinya akan mendapatkan keuntungan yang luar biasa, termasuk emas yang berjejer di tubuh wanita itu. "Ayo kita makan bersama-sama" Mirna menggamit lengan Sari, namun Sari malah mengibaskan tangan Mirna. Sari juga mengambil tisu yang ada di dalam tasnya. Lalu membersihkan bekas tangan Mirna yang ada di lengannya itu. "Biar nggak ada kumannya buk. Ibuk juga pasti nggak bersih kan? Lihat, bajunya juga lusuh sekali." Ucap Sari menatapi Mirna dengan pandangan jij