Karena kesal dengan Kakaknya, Zivana sampai tidak bisa memejamkan matanya. Bayangan bahwa sebentar lagi akan ada pria asing yang datang dalam hidupnya membuat dia tidak tenang. Hampir seharian dia mengurung diri di kamar, demi menunjukkan protesnya kepada Ibu dan Kakaknya.
Pria yang akan membuat hidupnya yang sudah aman dan tentram sekarang ini menjadi berubah. Zivana bergidik, memikirkan bagaimana saat dia tidur tiba-tiba ada seseorang yang tidur di sebelahnya. Zivana tahu bahwa saat itu akan tiba, tetapi tidak sekarang, di saat dia sedang ingin menata hidupnya setelah kuliahnya selesai. Dia masih ingin bekerja, berlibur dan melakukan apapun yang menjadi kesukaannya. Rencananya untuk bisa hidup sendiri setelah kuliah, akan gagal jika dia menikah.
"Menyebalkan," pekik Zivana, kesal.
Hari berganti, dari siang menjadi malam.
Zivana memutuskan turun dari kamarnya saat merasakan lapar yang teramat karena seharian memikirkan tentang perjodohan itu. Dia pun turun dari kamarnya dan melihat sang Ibu sedang menata makanan di atas meja. Tetapi dia tidak melihat kakaknya di sana. Ibunya menoleh ke arahnya begitu kaki Zivana sampai di lantai dasar. Tatapan mata Ibunya menyiratkan rasa tidak suka. Membuat hati Zivana spontan tidak enak. Mungkin dia masih merasa kesal, karena penolakan yang dilakukannya.
"Ayo sini sayang, kita makan dulu."
Ahmad melambaikan tangan kepada Zivana. Memintanya untuk duduk di kursi sampingnya. Ucapan ayahnya itu, sedikit menenangkan hati Zivana yang sedang dilanda kegamangan. Zivana pun berjalan menghampiri meja makan dan duduk disamping ayahnya dengan tenang tanpa berkata sedikitpun.
Dia langsung mengambil makanan yang tersaji di depannya, dan mulai menyantapnya saat ayahnya mulai mengobrol dengan ibunya. Zivana hanya diam mendengarkan. Meskipun pikirannya kini sedang bingung.
"Kenapa Sherafina pulang terburu-buru?" tanya Ahmad.
"Katanya besok pagi-pagi ada meeting penting di perusahaan yang tidak bisa dia tinggal. Dia sungguh mengorbankan dirinya demi keluarga kita. Sampai tidak sempat makan malam. Dia pergi, saat ada seseorang yang menelponnya tadi," kata Ibunya.
Kalimat demi kalimat yang keluar dari bibir sang Ibu, seolah merupakan sindiran untuk Zivana. Namun gadis itu memilih diam dan hanya menikmati makan malam itu meskipun jauh di dalam hatinya, dia merasa perih karena semua pengorbanannya selama ini tidak terlihat di mata sang Ibu.
"Haruskah aku menerima perjodohan ini agar Ibu bisa melihat bahwa aku juga berkorban demi keluarga ini?" batin Zivana, menjerit.
Perlakuan tidak adil yang dilakukan sang Ibu kepadanya, menyisakan luka tidak berdarah di hati Zivana. Hal itulah yang selama ini membuat dirinya selalu merasa berkompetisi melawan sang Kakak.
"Kenapa kamu tidak bisa, padahal Kakakmu bisa."
Kalimat itu seolah menjadi mantra sihir yang selalu berhasil membuat hati Zivana remuk dan melakukan apapun yang diinginkan orang tuanya, khususnya sang Ibu. Tetapi tidak untuk saat ini. Ini hidupnya!
Dia akan memilih dengan siapa dia akan menghabiskan sisa hidupnya. Dia hanya ingin mencintai dan dicintai oleh suaminya kelak. Bukan dengan perjodohan semacam ini. Menikah dengan pria yang tidak dia kenal, tidak pernah terbersit dalam hidupnya. Apakah dia harus menerima?
Ahmad melihat putrinya yang menunduk sambil mengaduk-aduk makanan yang ada di piringnya merasa bahwa Zivana sekarang pasti sedang kepikiran dengan perkataan ibunya. Dia pun menepuk bahu Zivana lembut.
Namun saat Zivana menoleh, seorang pelayan datang dan mengatakan bahwa di depan ada tamu untuk ayahnya. Ahmad pun langsung berdiri dari tempatnya, lalu pergi ke ruang tamu untuk melihat siapa yang mencarinya itu.
Deg!
Jantung Zivana seketika berdegup kencang. Dia teringat dengan ucapan Sherafina yang mengatakan bahwa pria itu akan datang malam ini. Apakah tamu itu orangnya? Bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan? Zivana dilanda kepanikan. Namun dia tetap harus berpikir jernih, dia berdiri dari tempatnya. Sehingga Ibunya melihat ke arahnya.
"Mau kemana kamu, Zi?" tanya Rika.
"Aku sudah kenyang, Bu."
Zivana menjawab dengan singkat, tanpa mau berdebat.
Rika melihat piring Zivana yang masih penuh. Tidak sedikitpun yang berkurang. Dia mengernyitkan keningnya sesaat, namun kemudian menghela napas dalam.
"Yasudah, pergilah!" kata Rika, pelan.
Tanpa mau menunggu lebih lama lagi, Zivana pun beranjak dari duduknya. Namun dalam hatinya ada sedikit rasa penasaran ingin melihat seperti apa pria itu. Sehingga dia diam di tempatnya beberapa saat. Menunggu.
Ibunya yang masih menikmati makanannya, melihat ke arahnya lagi.
"Kenapa lagi, Zi?"
Zivana menatap Ibunya. Lalu menggeleng, dan pergi dari sana. Dia berjalan perlahan menuju tangga yang menghubungkan tempatnya saat ini ke kamarnya. Samar-samar dia mendengar ayahnya sedang berbicara dengan pria itu. Namun tidak terdengar terlalu jelas di posisinya sekarang ini.
Saat kaki Zivana menaiki dua anak tangga di depannya. Papanya datang ke tempat makan. kembali.
"Pria ini dari Jakarta, namanya Damar."
Sang Ibu langsung meletakkan peralatan makan yang dia pegang dan berdiri.
"Itu orangnya Yah, dia datang!" pekik Rika, bersemangat.
"Siapa?" tanya Ahmad.
"Pria yang akan menjadi jodoh Zivana."
Ahmad terkejut, begitu pun dengan Zivana yang sekarang ini diam mematung di tempatnya berdiri.
“Tunggu apalagi Yah, ayo temui dia!” kata Rika, panik. Ahmad menoleh ke arah Zivana. Tatapannya sendu karena mengasihi sang putri. Dia tidak menyangka bahwa istrinya telah mengatur semuanya dengan cepat. Sehingga pria yang dijodohkan dengan putrinya itu telah datang. Ini pasti menjadi hal yang paling sulit untuk Zivana. Ahmad mendekati putrinya yang terlihat diam saja sedari tadi, “Kamu tidak apa-apa, sayang?” tanya Ahmad, lembut. Zivana menoleh ke ayahnya, lalu mengangangguk. Dia memaksakan bibirnya tersenyum agar ayahnya tidak mencemaskan dirinya. Padahal hatinya kini sudah tidak karuan. Terlebih saat mendengar bahwa pria itu sudah ada di sini, di rumahnya. “Jika kamu belum siap bertemu dengannya, kamu masuk ke dalam saja. Biar ayah sama ibu yang menemui dia.” Zivana mengangguk. Lalu dia meninggalkan ayahnya dan pergi ke kamar. Berjalan menuju kamarnya, Zivana bisa melihat pria yang sedang menunggu di ruang tamu itu dari atas. Sejenak Zivana berhenti melangkah dan melihat ke
“Kenapa disini!” pekik Zivana, terkejut. Melihat Damar yang tiba-tiba saja di depannya membuat hati Zivana mencelos. Gadis itu sibuk menetralkan degup jantungnya bukan hanya karena kaget saja tetapi juga karena baru kali ini dia berdekatan dengan pria selain ayahnya. “Maaf, aku mengejutkanmu ya?” kata pria bernama Damar itu. Matanya tak pernah lepas dari Zivana, sekecil apapun gerakan Zivana, seolah menjadi hal yang menarik bagi pria itu. Misalnya sekarang ini, saat Zivana sedang sibuk mengatur degup jantungnya. Dia mengelus dadanya agar degup jantungnya kembali normal. Damar menatap Zivana dengan senyum yang tak pernah pudar sedikitpun. Seolah itu adalah pemandangan langkah yang harusnya tidak dia lewatkan. Tanpa sadar Damar terkekeh. Zivana menatap pria itu aneh, semakin takut karena pria itu tanpa sebab tertawa sendiri. Namun dia penasaran sebenarnya apa yang membuat pria itu tertawa. Padahal sekarang ini tidak ada hal yang menurutnya lucu dan bisa ditertawakan. Tetapi dia eng
Damar tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi Zivana yang menurutnya sangat lucu. Zivana merasa sedang dikerjai. Sehingga dia merasa sangat kesal sekali. Dia pun meninggalkan Damar yang masih menertawakannya. “Pria aneh!” umpat Zivana, kesal. Zivana berjalan menuju kamarnya, karena merasa sudah tidak ada gunanya lagi berada di sana. Dia merasa harus memikirkan kembali apa yang sudah dia putuskan tadi. Tentang membuka hatinya kembali. Mungkin dia akan membuka hatinya itu untuk seseorang, tetapi bukan pria aneh bernama Damar itu. Zivana mendengus kesal. Tak habis pikir bagaimana bisa ada orang seperti pria itu. “Seharusnya pria itu memperlakukanku dengan baik, mengingat aku adalah calon jodohnya. Tetapi ini tidak, dia malah membuatku kesal terus-terusan. Cakep sih cakep tapi kelakuan minus.” Zivana sebal bukan main. Malam ini dia terus-terusan mengatakan pria itu menyebalkan. Hingga dia terlelap dalam tidurnya, dia masih saja mengumpat Damar. Gadis itu tidak tahu bahwa itu adalah aw
Beberapa detik Zivana berpikir, bahwa Damar marah karena ucapannya barusan. Dia merasa tidak enak jika ucapannya tadi benar-benar menyinggung pria itu. Namun, dia tak mau pria itu salah paham. Dan kemudian menjelaskan kenapa dirinya sampai mengatakan hal tersebut. “Sekarang kamu pikir deh, dari pertama kamu datang dan kita bertemu, aku melihatmu selalu tersenyum sendiri. Tidak jelas. Dan tadi kamu memintaku untuk tidak berhenti tertawa. Apa namanya kalau kamu tidak gila?” Damar memejamkan matanya, entah kenapa dia terlihat begitu sakit saat mendengar kata-kata gila yang disebutkan oleh Zivana untuknya. Sebenarnya Zivana melihat hal itu, tetapi rasa penasaran untuk mengetahui apa yang membuat Damar tertawa sendiri dari kemarin. Jujur itu membuat Zivana tidak nyaman, takut jika dia menertawakan dirinya. Karena tidak mudah bagi Zivana bertemu dengan orang baru, dia merasa sangat tidak percaya diri apalagi melihat Damar yang selalu tertawa didepannya. “Oh itu, kamu mau tahu kenapa ak
Zivana kesal sekali dengan Damar. Sampai kemudian dia berjanji tidak mau lagi diantar oleh pria itu. Bahkan dia sengaja pulang sendiri tanpa memberitahukan Damar. Padahal pria itu sudah datang menjemputnya. Dia sengaja pulang sembunyi-sembunyi, agar dia tidak bertemu dengan Damar lagi. Sampai di rumah ternyata Ayah dan Ibunya sedang di ruang tamu. Gadis itu langsung menyalami kedua orang tuanya, dan ikut duduk sebentar. “Kamu pulang sendiri? Lalu di mana Damar?” tanya Rika. “Lho? Bukannya dia sudah pulang?" tanya Zivana balik. Zivana sengaja berpura-pura tidak tahu, karena tak ingin orang tuanya tahu bahwa dia telah meninggalkan Damar di kampusnya. Karena Ibunya pasti akan marah dan mengomelinya seharian jika tahu. "Mungkin dia sedang ada urusan di luar, Bu. Aku ke kamar dulu ya,"kata Zivana. Dia pun segera naik ke dalam kamar karena tak mau sampai Damar datang dan kebohongannya terbongkar. Namun, kini ada rasa tidak tega di hati kecilnya. Setelah meninggalkan Damar yang sed
Zivana dan Damar segera melepaskan diri dan saling menjauh setelah melihat bahwa ayahnya telah berdiri di belakang mereka, menatap keduanya tajam. “Tidak Yah, tidak apa-apa. Aku hanya akan jatuh dan Damar menolongku.” Zivana mencoba menjelaskan kejadian yang sebenarnya kepada ayahnya itu. Agar ayahnya tidak salah faham dengannya. Sedangkan Damar hanya meringis, kikuk. Karena terciduk sedang mengagumi Zivana dari dekat. “Ayah sedang apa?” tanya Zivana balik. “Ayah mau ambil minum, sudah malam Zi, tidurlah!” Zivana pun mengangguk dan kemudian pergi ke kamarnya. Karena memang dia sudah selesai di dapur. Zivana melirik ke Damar sebentar lalu kemudian melangkahkan kakinya menapaki anak tangga menuju kamarnya. Jangan tanya bagaimana hatinya saat ini, jantungnya seakan mau meloncat dari tempatnya. Namun ada sesuatu di dalam sana, yang membuat hatinya berbunga-bunga. *** Keesokan paginya, Kebetulan hari ini hari minggu, Zivana berjanji kepada ayahnya akan membantu di supermarket m
Perhatian Zivana membuat Damar berbunga-bunga hatinya. Begitu juga dengan ZIvana. Rasa kesal dengan Damar seakan sirna begitu saja karena Damar yang datang menyelamatkannya saat Adam berusaha menculiknya. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi dengannya jika Damar tidak datang untuk menolongnya. “Terima kasih,” kata Zivana sambil menempelkan plester ke luka di sudut bibir Damar. Damar memegang tangan Zivana dan mata mereka saling beradu. Keduanya sesaat hanyut dalam perasaan masing-masing. Zivana sendiri merasa degup jantungnya kembali berdegup kencang saat Damar kambali menatapnya dengan dekat. Hingga tanpa disadarinya Zivana memegang dadanya takut jika Damar mendengar suara degup jantungnya. “Ada apa?” tanya Damar, takut. “Tidak apa-apa. Hanya…” Zivana tidak melanjutkan ucapannya. “Aku akan bereskan ini dulu,” kata Zivana mengalihkan pembicaraan. Damar menggenggam tangan Zivana. Agar gadis itu menghentikan apa yang dilakukannya dan fokus dengan apa yang ingin dibicarakannya
"Ternyata pemuda itu menipu kita, Pak. Dia bukan pimpinan perusahaan yang dimaksud Sherafina. Dia hanya penipu yang memiliki nama yang sama." "Lalu, apa yang harus kita lakukan?" "Apa lagi? usir pemuda itu!" Ibu Zivana terlihat sangat marah sekali, setelah mengatakan hal itu dia pergi mencari keberadaan Zivana di kamarnya. Namun, Ayah ZIvana masih tertegun tak percaya, bagaimana hidup seperti sedang mempermainkannya. Yang menjadi pikirannya adalah, putri kecilnya Zivana. Bagaimana perasaannya saat ini? Padahal beberapa hari yang lalu dia dan Ibunya selalu mendorong putri kecilnya itu agar dekat dengan pemuda itu. "Pak, dimana Zivana? Di kamarnya tidak ada." "Mungkin dia..." "Hai Pak, Bu, ada apa mencariku?" Zivana tiba-tiba masuk saat Ayahnya baru akan menjawab pertanyaan Ibunya itu. Namun Ayah dan Ibunya tidak ada yang menjawab pertanyaan Zivana, sehingga membuat gadis itu terlihat bingung. Rasa senang, yang dirasakan Zivana karena perasaannya bersambut dan sekaligus itu artin
"Ternyata pemuda itu menipu kita, Pak. Dia bukan pimpinan perusahaan yang dimaksud Sherafina. Dia hanya penipu yang memiliki nama yang sama." "Lalu, apa yang harus kita lakukan?" "Apa lagi? usir pemuda itu!" Ibu Zivana terlihat sangat marah sekali, setelah mengatakan hal itu dia pergi mencari keberadaan Zivana di kamarnya. Namun, Ayah ZIvana masih tertegun tak percaya, bagaimana hidup seperti sedang mempermainkannya. Yang menjadi pikirannya adalah, putri kecilnya Zivana. Bagaimana perasaannya saat ini? Padahal beberapa hari yang lalu dia dan Ibunya selalu mendorong putri kecilnya itu agar dekat dengan pemuda itu. "Pak, dimana Zivana? Di kamarnya tidak ada." "Mungkin dia..." "Hai Pak, Bu, ada apa mencariku?" Zivana tiba-tiba masuk saat Ayahnya baru akan menjawab pertanyaan Ibunya itu. Namun Ayah dan Ibunya tidak ada yang menjawab pertanyaan Zivana, sehingga membuat gadis itu terlihat bingung. Rasa senang, yang dirasakan Zivana karena perasaannya bersambut dan sekaligus itu artin
Perhatian Zivana membuat Damar berbunga-bunga hatinya. Begitu juga dengan ZIvana. Rasa kesal dengan Damar seakan sirna begitu saja karena Damar yang datang menyelamatkannya saat Adam berusaha menculiknya. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi dengannya jika Damar tidak datang untuk menolongnya. “Terima kasih,” kata Zivana sambil menempelkan plester ke luka di sudut bibir Damar. Damar memegang tangan Zivana dan mata mereka saling beradu. Keduanya sesaat hanyut dalam perasaan masing-masing. Zivana sendiri merasa degup jantungnya kembali berdegup kencang saat Damar kambali menatapnya dengan dekat. Hingga tanpa disadarinya Zivana memegang dadanya takut jika Damar mendengar suara degup jantungnya. “Ada apa?” tanya Damar, takut. “Tidak apa-apa. Hanya…” Zivana tidak melanjutkan ucapannya. “Aku akan bereskan ini dulu,” kata Zivana mengalihkan pembicaraan. Damar menggenggam tangan Zivana. Agar gadis itu menghentikan apa yang dilakukannya dan fokus dengan apa yang ingin dibicarakannya
Zivana dan Damar segera melepaskan diri dan saling menjauh setelah melihat bahwa ayahnya telah berdiri di belakang mereka, menatap keduanya tajam. “Tidak Yah, tidak apa-apa. Aku hanya akan jatuh dan Damar menolongku.” Zivana mencoba menjelaskan kejadian yang sebenarnya kepada ayahnya itu. Agar ayahnya tidak salah faham dengannya. Sedangkan Damar hanya meringis, kikuk. Karena terciduk sedang mengagumi Zivana dari dekat. “Ayah sedang apa?” tanya Zivana balik. “Ayah mau ambil minum, sudah malam Zi, tidurlah!” Zivana pun mengangguk dan kemudian pergi ke kamarnya. Karena memang dia sudah selesai di dapur. Zivana melirik ke Damar sebentar lalu kemudian melangkahkan kakinya menapaki anak tangga menuju kamarnya. Jangan tanya bagaimana hatinya saat ini, jantungnya seakan mau meloncat dari tempatnya. Namun ada sesuatu di dalam sana, yang membuat hatinya berbunga-bunga. *** Keesokan paginya, Kebetulan hari ini hari minggu, Zivana berjanji kepada ayahnya akan membantu di supermarket m
Zivana kesal sekali dengan Damar. Sampai kemudian dia berjanji tidak mau lagi diantar oleh pria itu. Bahkan dia sengaja pulang sendiri tanpa memberitahukan Damar. Padahal pria itu sudah datang menjemputnya. Dia sengaja pulang sembunyi-sembunyi, agar dia tidak bertemu dengan Damar lagi. Sampai di rumah ternyata Ayah dan Ibunya sedang di ruang tamu. Gadis itu langsung menyalami kedua orang tuanya, dan ikut duduk sebentar. “Kamu pulang sendiri? Lalu di mana Damar?” tanya Rika. “Lho? Bukannya dia sudah pulang?" tanya Zivana balik. Zivana sengaja berpura-pura tidak tahu, karena tak ingin orang tuanya tahu bahwa dia telah meninggalkan Damar di kampusnya. Karena Ibunya pasti akan marah dan mengomelinya seharian jika tahu. "Mungkin dia sedang ada urusan di luar, Bu. Aku ke kamar dulu ya,"kata Zivana. Dia pun segera naik ke dalam kamar karena tak mau sampai Damar datang dan kebohongannya terbongkar. Namun, kini ada rasa tidak tega di hati kecilnya. Setelah meninggalkan Damar yang sed
Beberapa detik Zivana berpikir, bahwa Damar marah karena ucapannya barusan. Dia merasa tidak enak jika ucapannya tadi benar-benar menyinggung pria itu. Namun, dia tak mau pria itu salah paham. Dan kemudian menjelaskan kenapa dirinya sampai mengatakan hal tersebut. “Sekarang kamu pikir deh, dari pertama kamu datang dan kita bertemu, aku melihatmu selalu tersenyum sendiri. Tidak jelas. Dan tadi kamu memintaku untuk tidak berhenti tertawa. Apa namanya kalau kamu tidak gila?” Damar memejamkan matanya, entah kenapa dia terlihat begitu sakit saat mendengar kata-kata gila yang disebutkan oleh Zivana untuknya. Sebenarnya Zivana melihat hal itu, tetapi rasa penasaran untuk mengetahui apa yang membuat Damar tertawa sendiri dari kemarin. Jujur itu membuat Zivana tidak nyaman, takut jika dia menertawakan dirinya. Karena tidak mudah bagi Zivana bertemu dengan orang baru, dia merasa sangat tidak percaya diri apalagi melihat Damar yang selalu tertawa didepannya. “Oh itu, kamu mau tahu kenapa ak
Damar tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi Zivana yang menurutnya sangat lucu. Zivana merasa sedang dikerjai. Sehingga dia merasa sangat kesal sekali. Dia pun meninggalkan Damar yang masih menertawakannya. “Pria aneh!” umpat Zivana, kesal. Zivana berjalan menuju kamarnya, karena merasa sudah tidak ada gunanya lagi berada di sana. Dia merasa harus memikirkan kembali apa yang sudah dia putuskan tadi. Tentang membuka hatinya kembali. Mungkin dia akan membuka hatinya itu untuk seseorang, tetapi bukan pria aneh bernama Damar itu. Zivana mendengus kesal. Tak habis pikir bagaimana bisa ada orang seperti pria itu. “Seharusnya pria itu memperlakukanku dengan baik, mengingat aku adalah calon jodohnya. Tetapi ini tidak, dia malah membuatku kesal terus-terusan. Cakep sih cakep tapi kelakuan minus.” Zivana sebal bukan main. Malam ini dia terus-terusan mengatakan pria itu menyebalkan. Hingga dia terlelap dalam tidurnya, dia masih saja mengumpat Damar. Gadis itu tidak tahu bahwa itu adalah aw
“Kenapa disini!” pekik Zivana, terkejut. Melihat Damar yang tiba-tiba saja di depannya membuat hati Zivana mencelos. Gadis itu sibuk menetralkan degup jantungnya bukan hanya karena kaget saja tetapi juga karena baru kali ini dia berdekatan dengan pria selain ayahnya. “Maaf, aku mengejutkanmu ya?” kata pria bernama Damar itu. Matanya tak pernah lepas dari Zivana, sekecil apapun gerakan Zivana, seolah menjadi hal yang menarik bagi pria itu. Misalnya sekarang ini, saat Zivana sedang sibuk mengatur degup jantungnya. Dia mengelus dadanya agar degup jantungnya kembali normal. Damar menatap Zivana dengan senyum yang tak pernah pudar sedikitpun. Seolah itu adalah pemandangan langkah yang harusnya tidak dia lewatkan. Tanpa sadar Damar terkekeh. Zivana menatap pria itu aneh, semakin takut karena pria itu tanpa sebab tertawa sendiri. Namun dia penasaran sebenarnya apa yang membuat pria itu tertawa. Padahal sekarang ini tidak ada hal yang menurutnya lucu dan bisa ditertawakan. Tetapi dia eng
“Tunggu apalagi Yah, ayo temui dia!” kata Rika, panik. Ahmad menoleh ke arah Zivana. Tatapannya sendu karena mengasihi sang putri. Dia tidak menyangka bahwa istrinya telah mengatur semuanya dengan cepat. Sehingga pria yang dijodohkan dengan putrinya itu telah datang. Ini pasti menjadi hal yang paling sulit untuk Zivana. Ahmad mendekati putrinya yang terlihat diam saja sedari tadi, “Kamu tidak apa-apa, sayang?” tanya Ahmad, lembut. Zivana menoleh ke ayahnya, lalu mengangangguk. Dia memaksakan bibirnya tersenyum agar ayahnya tidak mencemaskan dirinya. Padahal hatinya kini sudah tidak karuan. Terlebih saat mendengar bahwa pria itu sudah ada di sini, di rumahnya. “Jika kamu belum siap bertemu dengannya, kamu masuk ke dalam saja. Biar ayah sama ibu yang menemui dia.” Zivana mengangguk. Lalu dia meninggalkan ayahnya dan pergi ke kamar. Berjalan menuju kamarnya, Zivana bisa melihat pria yang sedang menunggu di ruang tamu itu dari atas. Sejenak Zivana berhenti melangkah dan melihat ke
Karena kesal dengan Kakaknya, Zivana sampai tidak bisa memejamkan matanya. Bayangan bahwa sebentar lagi akan ada pria asing yang datang dalam hidupnya membuat dia tidak tenang. Hampir seharian dia mengurung diri di kamar, demi menunjukkan protesnya kepada Ibu dan Kakaknya. Pria yang akan membuat hidupnya yang sudah aman dan tentram sekarang ini menjadi berubah. Zivana bergidik, memikirkan bagaimana saat dia tidur tiba-tiba ada seseorang yang tidur di sebelahnya. Zivana tahu bahwa saat itu akan tiba, tetapi tidak sekarang, di saat dia sedang ingin menata hidupnya setelah kuliahnya selesai. Dia masih ingin bekerja, berlibur dan melakukan apapun yang menjadi kesukaannya. Rencananya untuk bisa hidup sendiri setelah kuliah, akan gagal jika dia menikah. "Menyebalkan," pekik Zivana, kesal.Hari berganti, dari siang menjadi malam.Zivana memutuskan turun dari kamarnya saat merasakan lapar yang teramat karena seharian memikirkan tentang perjodohan itu. Dia pun turun dari kamarnya dan meliha