“Terima kasih, Tuan! Urusan saya di sini sudah selesai. Sekarang saya ingin pulang.” Natasya berjalan kembali menuju pintu keluar dari gedung yang menjadi kantor untuk pabrik garmen.Natasya bisa bernapas lega karena dirinya bisa keluar dari ruangan tersebut. Sesampainya di luar ia disambut oleh pria yang pernah menjemputnya di rumah sakit.“Apakah Anda sudah selesai, Nyonya? Saya akan mengantarkan Anda pulang,” ucap pria itu.“Terima kasih, tetapi saya ingin berjalan-jalan dahulu. Nanti saya akan pulang naik angkot saja,” sahut Natasya.“Hmm, mau kemana kamu siang-siang di tengah panas matahari seperti ini? Apa kamu hendak bertemu dengan lelaki itu?” Bisik Sandoro tiba-tiba.Sontak saja Natasya menjadi terkejut, ia sama sekali tidak menyadari kedatangan Sandoro di belakangnya. “Kau mengejutkanku! Apa yang kulakukan bukanlah urusanmu, Nak! Aku hanya memiliki kewajiban bercerita kepada suamiku tidak kepadamu.”Sandoro memberikan lambaian tangan kepada sopir itu untuk menjauh. Satu tang
Pratama batuk kecil mendengar pertanyaan yang diajukan Natasya. “Kenapa kau bertanya seperti itu? Aku juga tidak mengerti mengapa ia bisa menjadi bosmu. Mungkin saja dirinya berteman dengan pemilik pabrik itu hingga ia bisa dengan mudah memperoleh jabatan tinggi.”Natasya mengerutkan kening mengamati wajah Pratama seksama. Entah mengapa ia merasa kalau suaminya itu berbohong. Jelas ada sesuatu yang dirahasiakan, tetapi tidak mengetahui alasannya.Hari demi hari berlalu berganti bulan. Hubungan antara Natasya dan Pratama berjalan platonic. Pria itu tidak pernah menyentuh Natasya layaknya seorang suami kepada istri.Sementara hubungan antara Natasya dan Sandoro diwarnai dengan pertengkaran yang kerap terjadi. Terkadang Natasya merasa risih dan takut dengan tatapan yang dilayangkan pria itu kepadanya.‘Kenapa Sandoro akhir-akhir ini sering sekali mencuri pandang kepadaku dengan tatapan yang sulit dimengerti?’ batin Natasya.***Usia kehamilan Marsya sudah menginjak sembilan bulan dan hub
“Tolong selamatkan nyawa keduanya.” ucap Raffael.Ia pun hanya bisa memandangi saja brankar Marsya didorong masuk ruang gawat darurat. Pandangannya tertuju pada pintu yang tertutup rapat. Ia berdiri menyender pada dinding dengan hati tidak tenang.Waktu terasa lama bagi Raffael sesekali ia melihat jam tangan mahal yang melingkar di pergelangan tangannya. ‘Mengapa lama sekali tidak ada yang keluar dari ruangan tersebut?’ gumam Raffael.Didengarnya suara langkah kaki mendekat Raffael membalikan badan. Dilihatnya kalau kedua orang tuanyalah yang datang.“Raffa, bagaimana keadaan Natasya dan calon anak kalian?” Tanya ibu Raffaelyang dengan raut wajah cemas.“Entahlah, Bu! Saya juga tidak mengetahuinya,” Sahut Raffael.Iya kembali membalikan badan melihat ke arah pintu yang masih tertutup rapat. Rasa cemas semakin menjadi menghinggapi hati Raffael begitu ia menyadari sudah satu jam Marsya berada dalam ruangan tersebut.Raffael menegakan badan lalu berjalan mendekati pintu yang baru saja d
Sandoro menyipitkan mata ia berjalan mendekat ke arah Natasya. Dicekaunya dagu wanita itu dengan kasar. “Ayahku beberapa hari ini terlihat tidak sehat dan kau memperlihatkan perhiasan yang sebelumnya tidak pernah kau pakai. Bagaimana diriku tidak menjadi curiga kalau kau sedang merencanakan sesuatu kepadanya?”Natasya menghembuskan napas dengan kasar ia menarik lepas tangan Sandoro. Matanya menyala-nyala karena amarah. “Mengapa kau begitu bersikeras kalau ayahmu adalah orang kaya sementara kami hanya menempati rumah sederhana? Kehidupan kami pun tidak bermewah-mewahan!”Dengusan terlontar dari bibir Sandoro, ia bertepuk tangan memberikan senyum mengejek kepada Natasya. Dengan suara dingin ia mengatakan bahwa Natasya berpura-pura tidak mengetahui kekayaan ayahnya. Ia juga menuduh istri ayahnya itu sedang membujuk dan bersandira agar dapat memperoleh warisan.Tangan Natasya terulur hendak melayangkan tamparan ke wajah angkuh Sandoro. Akan tetapi, tangannya ditangkap oleh Sandoro hingga
‘Siap, Tuan! Begitu Anda dan Nyonya Natasya pulang kamar kalian sudah siap. Apakah saya harus memberitahukan kepada tuan Sandoro hal ini?’ Tanya orang kepercayaan Pratama di ujung sambungan telepon.‘Katakan saja kepadanya, tetapi apa pun yang terjadi kamu harus melanjutkan perintah yanng kuberikan!’ tegas Pratama melalui sambungan telepon.Selesai memberikan perintah melalui sambungan telepon Pratama memasukan ponsel ke saku jaket yang dipakai. Ia berjalan memasuki kamar rawat papi Natasya. Dilihatnya kalau mertua dan istrinya duduk saling berpegangan tangan.Mata Natasya terlihat sembab ketahuan sekali ia habis menangis dan Pratama tidak tega melihat. Dihampirinya lalu meletakan tangan di atas pundak Natasya meremas dengan lembut. “Tenanglah! Papi akan mendapat pengobatan terbaik. Kalau kau terrlihat sedih begini bagaimana bisa menguatkan papimu?”Natasya mengusap air matanya dengan cepat, ia mendongak menatap tepat netra hitam Pratama. Bibirnya terlihat bergetar hebat menahan isak
Natasya mengerjapkan mata sambil menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskan dengan kasar. “Urus saja urusanmu! Kau harus menghormatiku sebagai wanita yang menikah dengan ayahmu!”Ia menutup jendela mobil secara otomatis kemudian ia melajukan mobil dengan kencang. Diindahkannya panggilan dari Sandoro yang meminta ia untuk berhenti.Dalam waktu beberapa jam ia sudah sampai di rumah yang selama ini ditempatinya bersama dengan Pratama. ‘Kenapa sepi sekali? Di mana Pratama? Bukankah katanya tadi kalau ia pulang ke rumah?’ batin Natasya,Dicarinya Pratama sampai ke sudut rumah bukan karena ia merindukan pria itu. Hanya saja ia merasa penasaran tidak melihat keberadaan suaminya itu.“Pratama, di mana kamu?” seru Natasya setelah selama beberapa menit ia tidak juga berhasi menemukan keberadaan suaminya itu.Dikeluarkannya ponsel dari tas lalu ia tekan kontak Pratama. Panggilan itu dalam sekejap langsung diangkat oleh Pratama.‘Halo! Di mana, kamu? Saya sudah berada di rumah, tetapi tidak mel
Amarah Natasya naik ke ubun-ubun. Ia baru saja mendapatkan kejutan dari Pratama dan sekarang dirinya kembali menerima ejakan dari Sandoro. “Apa salahnya kalau aku menjadi nyonya besar di rumah ini? Aku istri dari pemilik rumah wajar bagiku untuk menyandang status itu! Mengapa kau tidak pergi saja kalau tidak menyukai kehadiranku di rumah ini?”Tangan Sandoro mencekau dagu Natasya dengan kasar. Tatapan matanya menyala dipenuhi amarah. Dengan suara mendesis ia berkata, “Kau menunjukan sifatmu yang sebenarnya. Kesialan bagimu karena aku tidak akan pernah pergi dari tempat ini. Takkan kubiarkan kau bebas menguasai seluruh harta yang tidak pantas untuk wanita sepertimu.”Natasya menggigit tangan Sandoro hingga pria itu melepaskan cekauan pada dagunya. Tidak hanya itu saja menggunakan kaki ia menendang paha bagian dalam Sandoro hingga pria itu bergerak menjauh dari Natasya.Hal itu tidak disia-siakan oleh Nataya untuk bergerak menjauh dari Sandoro. Ia akan keluar dari rumah tersebut karena
Natasya membelalakan mata mendengarnya. Ia tahu jawaban yang akan diberikan kepada Sandoro. “TIDAK! Lebih baik aku keluar biar saja ayahmu menilai diriku bagaimana. Ia pasti akan mendengar penjelasan dariku!”DItendangnya lutut Sandoro menggunakan kaki, hingga pria itu bergerak menjauh darinya. Ia tidak membuang waktu langsung saja membuka pintu. Dan tentu saja harus berhadapan dengan Pratama yang berdiri tepat di depan pintu kamar tersebut.“Natasya! Apa yang kamu lakukan di kamar putraku? Dan kenapa penampilanmu terlihat berantakan begitu? Kalian tidak melakukan hal yang tidka benar bukan?” tanya Pratama.Natasya menelan ludah dengan sukar tenggorokannya mendadak menjadi kering. Ia bingung untuk memberikan penjelasan kepada Pratama. Rasa percaya diri kalau suaminya akan mendengar apa yang ia katakan. Seperti tadi diucapkannya kepada Sandoro. Natasya menundukan kepala tidak sanggup menatap mata Pratama yang pastinya kecewa.Tangan Pratama terulur mengangkat dagu Natasya agar mendonga
“Sialan, kamu! Kau sudah menipu dan membohongiku! Kau bukan istri ayahku karena pernikahan kalian tidak sah,” bentak Sandoro.Tubuh Natasya menjadi kaku, ia tidak menduga kalau Sandoro mendengar apa yang tadi dikatakan oleh papinya. Namun, kenapa pria itu justru marah. Bukankah seharusnya ia merasa senang?Natasya bergerak mundur, ia ingin memberikan jarak antara dirinya dengan Sandoro. Ia merasa terganggu dengan kedekatan mereka.“Lantas kalau kau mengetahuinya apa yang menjadi masalah? Aku tidak menginginkan apa pun dari ayahmu!” teriak Natasya.Ia berlari masuk kembali ke rumah duka tersebut dan Sandoro tidak mencegahnya. Begitu berada di depan pintu ia berhenti berlari dan diam sebentar untuk meredakan debaran jantungnya. Setelah dapat menguasai dirinya Natasya masuk berjalan menuju tempat papinya duduk. “Maaf, tadi ada yang harus kubicarakan dengan Sandoro.”“Papi mengerti kamu memang harus berdiskusi dengannya.” Papi Natasya menatap ke arah peti mati.Natasya menoleh ke arah pi
Wajah Sandoro berubah menjadi dingin dengan kedua tangan yang terkepal di sanping badan, Membuat Natasya dapat merasakan aura ketegangan yang menguar dari pria itu. Ia berjalan menjauh menuju papinya daripada mendengar amarah Sandoro. Pria itu seperti siap meledak mendengar apa yang dikatakan “Kau baik-baik saja, bukan?” tanya papi Natasya begitu ia sudah berada di sampingnya.“Entahlah, Pi! Aku tidak mungkin berbohong kalau diriku sepenuhnya baik-baik saja. Kematian Pratama sangat mengejutkan dan aku jujur tidak siap.” Natasya meletakan pundak di bahu papinya.Dengan air mata yang mengalir deras membasahi wajah Natasya berkata, “Apa yang akan terjadi denganku selanjutnya aku tidak tahu. Pratama sudah begitu baik dan ia tidak pernah menuntut lebih kepadaku.”Papi Natasya mengusap punggung rambut putrinya itu dengan lembut. Ia berkata, “Kamu pasti bisa menjalani hidup tanpa Pratama. Bukankah selama ini kamu sudah tidak bergantung kepadanya lagi? Sebenarnya ada hal yang papi dan Prata
“A-apa maksudmu berkata seperti itu? Kau yang bermaksud menggodaku, padahal kau mengetahui aku adalah ibu tirimu!” sahut Natasya dengan nada suara kesal.Sandoro semakin merendahkan badan hingga bibirnya sangat dekat telinga Natasya. “Jangan berpura-pura tidak tahu apa yang kumaksud!” bisik Sandoro.Tenggorokan Natasya terasa kering, bulu kuduknya bahkan meremang. Ia bergerak menjauh dari Sandoro, tetapi lengannya ditahan dengan lembut oleh Sandoro hingga tidak bisa bergerak.“Lepaskan aku!” lirih Natasya.“Kenapa kau ….” ucapan Sandoro terpotong ketika ia mendengar suara langkah kaki mendekat. Dengan malas-malasan ia berjalan menjauh dari Natasya kembali ke tempatnya duduk. Sementara Natasya wajahnya memerah. Karena merasa malu kepergok dalam keadaan yang bisa saja disalah artikan oleh pelayan itu.Beruntung cahaya yang temaram membuat ia aman dari tatapan menyelidik Sandoro dari tempatnya duduk. Lutut dan jemari Natasya terasa bergetar, ia merasakan ada getaran hangat saat Sandoro
Natasya bangkit dari duduk ia benci mendengar nada suara Sandoro yang kembali menuduhnya. Ia yang bodoh dengan percaya kalau pria itu bisa sebentar saja berhenti membenci.“Duduklah kembali, Natasya! Aku minta maaf kalau ucapanku salah,” ucap Sandoro dengan nada suara tegas.Langkah Natasya terhenti, ia membalikan badan melihat ke arah Sandoro dengan kening berkerut. “Apakah aku tidak salah mendengar kalau kau meminta maaf?”“Aku tidak akan mengatakannya dua kali!” sahut Sandoro dingin.Natasya kembali duduk di tempatnya semula dalam diam. Ia tahu kembali ke kamar pun dirinya tidak akan bisa tidur. Setidaknya duduk di sini sekalipun nantinya hanya akan berdebat dengan Sandoro. Hal itu bisa mengalihkan ia dari rasa sedih kehilangan suami.Suara lonceng yang dibunyikan Sandoro membuat Natasya melirik pria itu. Ia menunggu siapa yang dipanggil oleh pria itu.Tak berapa lama muncullah seorang wanita dengan pakaian pelayan. Ia berjalan menghampiri tempat Sandoro duduk.“Selamat malam, Tua
Natasya mengangkat kepala ditatapnya Sandoro dengan nanar. Ia bangkit perlahan dari duduk berjalan mendekat ke arah Sandoro. Dan berhenti hanya berjarak beberapa senti saja dari pria itu. Plak! Sebuah tamparan keras Natasya layangkan ke pipi Sandoro. Ia menatap pria itu di balik kabut air mata sambil mengangkat wajah menantang.“Kau selalu saja menuntut jawaban dariku atas semua tuduhanmu! Terserah apa yang kau pikirkan tentangku, aku sama sekali tidak peduli! seru Natasya.Natasya berjalan melewati Sandoro keluar kamar mandi tersebut. Ia tidak ingin berada lebih lama lagi dengan pria tak punya hati itu.Lengan Natasya dicekal dengan kasar oleh Sandoro hingga langkahnya terhenti. Pria itu kemudian menyentak dengan kasar hingga badan Natasya membentur dada bidang pria itu.“Kau mau pergi begitu saja setelah menamparku?” tegas Sandoro.Natasya mengangkat wajah menantang Sandoro untuk balas menampar dirinya, sambil memejamkan mata. Selang beberapa saat menunggu ia tidak juga merasakan
Natasya melirik Sandoro sekilas sebelum ia kembali melihat tubuh suaminya yang sudah terbujur kaku. “Tidakkah kau bersedia menghormati kematian ayahmu dengan menyimpan kebencianmu kepadaku.”Terdengar helaan napas yang keras dari bibir Sandoro. “Hmm! Aku akan menahan diriku demi menghormati almarhum ayahku.”Usai mengucapkan hal itu Sandoro berjalan keluar dari ruangan tersebut. Membuat Natasya bisa bernapas lega. Dengan adanya jarak yang diberikan oleh Sandoro baginya, hingga ia dapat mengucapkan perpisahan kepada Pratama.“Saya akan keluar!” ucap pengacara Pratama.Natasya yang lupa akan kehadiran pengacara itu langsung menoleh dan hanya anggukan kepala yang ia berikan.Begitu dirinya sudah sendirian saja Natasya mendekatkan diri pada ranjang tempat Pratama berbaring. Ia membuka penutup kain yang menutupi wajah Pratama.Tangan Natasya terulur untuk mengusap lembut wajah Pratama. “Selamat tinggal dan terima kasih untuk semua yang sudah kau lakukan.” Dibungkukkan badan untuk memberik
Pengacara itu terlihat gugup, tetapi ia dengan cepat dapat menguasai dirinya kembali. “Ayolah, Sandoro! Kau harus bisa menerima kalau Natasya adalah ibu tirimu. Dan ia berhak mengetahui ayahmu yang sedang dirawat.”Sandoro melayangkan tatapan galak kepada pengacara itu. Dengan kasar ia berkata, “Berapa kau mendapatkan komisi dari wanita itu?”Pengacara itu terdiam, ia menatap Sandoro dengan kecewa. Digelengkannya kepala sambil mengulas senyum tipis. “Kau tidak akan pernah mau mengerti! Kuharap demi menghargai ayahmu yang sedang terbaring sakit, kau harus bisa menahan diri saat Natasya datang ke sini.”Suara dengusan nyaring terlontar dari bibir Sandoro, tetapi ia tidak menyahut lagi. Ia berjalan menjauh menuju kursi besi yang terletak tidak jauh dari pintu ruang gawat darurat lalu duduk di sana.Pandangannya tidak lepas dari pintu ruang gawat darurat itu. Ia menjadi semakin khawatir akan kesehatan ayahnya. Ia mendengar suara tapak sepatu mendekat. Ia menolehkan kepala untuk melihat s
Raffael berhenti berjalan ia melihat kepada kedua orang tuanya secara bergantian. “Kalian tidak perlu khawatir diriku tidak sakit. Aku hanya mengambil ini ….” Dikeluarkannya kertas berisi hasil tes DNA lalu ia menyodorkan kepada ayahnya. “Aku akan pergi dan tentang pengurusan bayi itu sekretarisku yang akan mencarikan pengasuh untuknya.”“K-kau pergi! Kenapa dan kemana?” tanya ibu Raffael.Raffael mengangkat pundak kemudian berjalan menuju pintu keluar. Ia tidak merasa perlu untuk menjawab pertanyaan dari ibunya. Karena dirinya sedang menahan emosi yang terpendam. Satu sisi dirinya merasa jahat meninggalkan bayi yang baru saja ditinggal pergi ibunya.Hanya saja fakta kalau bayi itu bukan darah dagingnya membuat ia mengeraskan hati. Ia bahkan tidak merasa perlu mengucapkan kata perpisahan kepada bayi itu.***Natasya dengan terpaksa tinggal di rumah besar milik Pratama. Walaupun ia harus siap menerima sikap kasar dan membingungkan Sandoro. Yang terkadang juga bersikap lembut, serta te
Raffael menundukan kepala memandangi wajah putri kecilnya yang sedang tidur. Ia mengamati dalam diam wajah putih cantik dengan rambut berwarna pirang. “Ibu, di keluarga kita memang ada yang memiliki rambut pirang. Kurasa tidak perlu melakukan tes DNA karena ibu dari anakku juga sudah tiada.”“Kau bisa mengabaikan fakta yang ada di depan matamu, tetapi Ibu tidak akan memaksamu karena kaulah ayah dari anak itu,” ucap ibu Raffael dengan nada suara kecewa.Raffael mengangguk, ia mengangkat bayi mungil yang sudah membuka mata. Mungkin ia terbangun karena mendengar suara perdebatan dengan ibunya.“Halo, Sayang! Apakah kamu terbangun karena mendengar suara ayah?” tanya Raffael.Ia mencium wajah putrinya hinngga membuat bayi itu tertawa geli. Senyum terbit di wajah Raffael setelah lelah bekerja melihatwajah putrinya membuat rasa itu hilang.Digendongnya bayi itu menuju teras rumah kemudian duduk di kursi yang ada di sana. Dipandanginya dengan lekat bayi yang balik menatap dengan senyum dan ce