Rara menggeleng lemah, "Awalnya saya peduli. Sekarang enggak lagi. Saya bakalan bikin Mas menumbuhkan perasaan itu ke saya seiring waktu berjalan."
"Saya suka kamu yang begini. Kamu nggak gampang tumbang, nggak gampang rendah diri dan masa bodoh sama masa lalu yang nggak kamu inget." Rara tersenyum, 'aku cuma nggak mau dikasihani, apalagi sama kamu'. "Makasih sudah memperlakukan saya selayaknya perempuan yang ingin dicintai Mas. Saya dikasih cincin sebagai bentuk ikatan, diterima semua anggota keluarga Mas Ryu, beruntung banget saya ini," kata Rara melow. "Mbak," Reiga tiba-tiba muncul dari dalam rumah. Ia duduk di sebelah Rara, mengagetkan. "Jalan yok ke Citymall," ajaknya random. "Hah?" Rara melirik Ryu sebentar, sang GM tampan menggeleng keras. "Bikin agenda sendiri lo!" dumal Ryu. "Dalam rangka mempererat ikatan ipar, Bang," balas Reiga beralasan. "Ayok Mbak, nonton ke biosk"Deg-degan ya Mbak? Cantik banget sih kakak ipar," puji Raya gemas. Ia berjongkok di depan tempat Rara tengah dirias, setengah jam lagi akad nikah akan dimulai. "Mbak Raya, beneran gemetaran ini aku," kata Rara dengan mata berkaca-kaca. "Panggil Raya dong, masa adek ipar dipanggil Mbak!" protes qRaya. "Semangat dan tenang ya Bestie, kamu cantik, tercantik hari ini. Percaya sama aku, Abang bakalan pangling, serius cantik maksimal," ujarnya tak henti berbinar kagum. Rara beberapa kali mengambil napas dan mengembuskannya perlahan. Ia tatap pantulan wajahnya di cermin. Sanggul rapi berhias bunga melati sederhana dengan dandanan flawless nampak sangat cocok di wajah polos ayunya. Kebaya pesanan yang dibuat sesuai lekuk tubuhnya itu membuat pesonanya terpancar ke mana-mana, Rara bak mutiara yang bersinar memantulkan cahaya. "Rara," tiba-tiba, Pak Darwis muncul di pintu, ia sudah siap mengenakan jas hitam kerennya. "Silahkan Pak," ujar Raya memberi ruang pada Pak Darwis untuk men
Pak Darwis berdiri, ia usap pundak Rara sekali sebelum beranjak pergi. Berganti dengan Raya dan tim MUA yang langsung bergerak memperbaiki riasan di wajah Rara yang sedikit terkena air mata. "Aku jadi terharu liat Mbak Rara sama ayahnya. Jadi kebayang besok kalau aku begitu sama Papa. Ah, Papa sih gengsinya gede, sama kayak Abang," desah Raya setengah curhat. "Tapi mereka berdua sayang banget sama kamu, Ray," ucap Rara mencoba untuk memanggil Raya dengan lebih santai. "Iya, bentar lagi Abang jadi punya kamu, Mbak, buat gengsinya luntur dan ubah dia jadi bucin ya," kekeh Raya. "Udah siap ini Kak?" tanyanya pada sang MUA. "Sudah Kak, bisa bersiap untuk akad," jawab sang MUA. Pelan-pelan, Raya memegangi lengan calon kakak iparnya. Setelah menarik napas panjang untuk mengusir gugup, Rara melangkahkan kaki. Hari ini, ia akan resmi menyandang status baru, semua masa lalu yang tidak diingatnya pun kejadian menyakitkan yang membuatnya lupa, akan ia tinggalkan. Melangkah masuk ke d
"Wah," mulut Rara ternganga saat melihat ranjang di depannya sudah dihias sedemikian rupa layaknya ranjang bulan madu. Berbeda dengan istrinya, Ryu justru bersikap masa bodoh. Ia lempar jasnya ke arah sofa lalu menuju kamar mandi, ia masuk ke dalamnya dan membuat suara berisik dengan air di sana. "Kayaknya aku harus melarikan diri ketimbang kikuk kalau nanti dia keluar dari kamar mandi," gumam Rara cepat-cepat meletakkan tasnya di atas nakas dan bergegas keluar ke balkon. Setelah pelaksanaan akad dan resepsi di hari serta tempat yang sama, Mika sengaja mengatur satu kamar khusus di hotel untuk malam pertama anaknya. Pihak hotel menghias dan merancang kamar dengan konsep honeymoon di mana ranjangnya dihias dengan kelopak bunga mawar dan handuk berbentuk angsa yang sangat ikonik. Melihatnya saja membuat Rara tidak tega untuk merusak mahakarya itu. Belum lagi, bagaimana mungkin ia akan bercinta dengan Ryu yang menurut sepengetahuannya, menik
Di balkon, Ryu tak henti menyungging senyum mahalnya. Tak pernah disangka, ia akan secepat ini menikahi sang cinta pertama. Meski ia tahu bahwa malam ini ia tidak akan bisa langsung menyentuh Rara, Ryu tidak bisa menyembunyikan rasa bahagia. Jika saja Rara tak mengingatnya di masa lalunya, ia tidak takut untuk berjuang lagi membuat Rara jatuh cinta ke depannya. "Mas!" panggil Rara lirih, malu-malu melongok di pintu balkon. "Minta bantuan bentar, rada urgent ini," tandasnya menggigit bibir bawahnya lucu. Ryu bergerak, ia letakkan rokoknya lebih dulu di asbak. Baru ia melangkah masuk melewati pintu balkon, ia tertegun. Matanya disambut dengan suguhan punggung telanjang Rara yang mulus dan putih bersih. Pemiliknya tersenyum canggung, merasa malu tapi Rara tak punya pilihan. "Kait kancingnya nyangkut ke rambut Mas, udah coba saya lepas sendiri malah makin kusut rambutnya. Maaf, bisa tolong bantuin lepas?" desis Rara menahan malu de
The Past-Ryu tak melepas genggaman tangannya dari jemari Rara, wajahnya kusut tapi ia tampak tegar. Di sebelahnya, Mika duduk tak bersuara, mengusap rambut halus di kepala Rara yang bagai masih bernyawa tapi kehilangan jiwanya. "Abang harus pergi sekarang, nanti ketinggalan pesawat," ucap Mika setelah melirik jam di dinding kamar. Ryu mengangguk, "Lima menit lagi Ma, sebentar lagi," ucapnya. "Mama bakalan pastiin Rara baik-baik aja, kemajuan sekecil apapun bakalan Mama bilang ke kamu, Bang." "Ini bagus atau malah buruk sih Ma?" Ryu mendesah, napasnya nampak berat. "Di satu sisi, dia udah nggak punya keinginan buat nyakitin dirinya sendiri, di sisi lain, dia kehilangan banyak memorinya." "Bagus kalau menurut Mama," jawab Mika. "Kita bisa bangun lagi kenangan yang baik-baik aja sama Rara, jadi dia ingetnya juga yang ngebuat dia bahagia aja. Kamu takut dia menghapus semua memori kalian?" tanyanya sanga
"Lari pagi," jawab Ryu, tatapannya heran ke arah Rara. "Kenapa?" tanyanya. Rara menggeleng cepat, "Takut ditinggal pulang ke kebun," katanya jujur. Ryu tersenyum, "Mana mungkin. Tadi mampir ke pasar pagi, ada jajanan nih," ujarnya mengangkat bungkusan di tangannya. "Mas nggak tidur di kamar ini semalem?" tembak Rara kemudian berbalik, menguncir rambutnya agar tak terlihat berantakan di depan Ryu. "Saya tidur di sofa, kamu menuhin ranjang soalnya," jawab Ryu seraya melepas jaketnya. Ia lalu duduk di sofa, membuka air mineral kemasan lalu meneguknya bernafsu. "Ngorok lagi ya saya Mas?" tanya Rara malu-malu. "Hem," gumam Ryu mengangguk. "Masa?" mata Rara membulat. "Saya yang denger, kamunya kan udah nggak sadarkan diri." Rara nyengir cantik, "Iya juga sih. Kecapean saya, jadinya wajar dong ngorok," katanya beralibi. Ryu memilih
"Seisi rumah ini bisa kamu akses kapanpun. Termasuk kamar yang saya pake," ucap Ryu setelah menunjukkan kamar paling depan untuk tempat tidur Rara. Ia tidak mau memaksa Rara harus sekamar dengannya karena mereka memang akan lebih sering terlibat kecanggungan saat bersama."Boleh tidur di sana juga?" goda Rara tersenyum nakal."Silahkan kalau kamu nggak keberatan. Tapi jangan salahkan saya kalau kamu hamilnya kecepetan," jawab Ryu sembarangan."Kok horor," desah Rara. "Takut di KDRT saya sih," kekehnya."Mbak Susi libur sebulan ini, apa nggak pa-pa?" gumam Ryu setelah menyeringai tajam menanggapi kekehan Rara."Nggak pa-pa Mas. Nanti saya yang urus kerjaan rumah tangga. Ya asal di kantor saya nggak dikasih kerjaan berat aja," cengir Rara masih bercanda."Kamu boleh resign kalau keberatan.""Mas mau cari PA baru yang lebih cantik, gesit, pinter dan lincah daripada saya? Nggak puas sama yang begini sintal, seksi menggo
"Rara!" seru sebuah suara, membuat Rara yang tengah mengantre untuk membayar menoleh, termasuk beberapa ibu-ibu lainnya, mereka turut menoleh Rara. "Azura, ketua OSIS SMP Harapan Kita!" ulang pemilik suara, perempuan sebaya Rara. "Niken," desah Rara langsung mengenali pemanggilnya. Memorinya bisa mengingat sosok perempuan bergigi gingsul ini tanpa kesulitan. Namun, bukan masalah memori yang menjadi kebingungan Rara sekarang. Ibu-ibu yang tadinya mengantre bersamanya untuk membayar justru menatapnya dengan sorot penuh selidik. Beberapa di antara mereka tampak saling berbisik, menggunjing secara terang-terangan. "Yang pernah viral itu kan?" bisik si baju merah bergincu tebal. "Ho.oh, yang kena gilir di kebun sebelum GMO kan? Ini orangnya," sahut si baju kuning berwajah judes. "Yang mana sih? Viralnya kapan?" sambar satu lagi yang lain, si baju abu-abu berkerudung bahan jersey warna pink. "Udah lama, tapi emang heboh banget," terang si baju merah. "Katanya sempet mau bunuh diri ber
"Sengaja ya kamu, Azura!" desah Ryu gemas. "Enggak, serius lupa. Habis, ngapain deket-deket orang goreng cabe," kekeh Rara. "Sial," gumam Ryu lantas menjauh. Bagaimanapun, Ryu harus menciptakan suasana santai dengan Rara agar kecanggungan antara mereka lebur selamanya. Kehidupan rumah tangga yang berumur belum genap satu minggu itu harus dirawat dan dijaga dengan baik, bukan? "Sambel rimbang ini Mas, dibawain Arum lewat Mas Jaka tadi pagi," ucap Rara membawa sambal yang dibuatnya ke meja makan. "Rimbang?" Ryu mengamati cobek yang baru saja diletakkan istrinya. "Sejenis terong tapi asem, cobain deh, enak," terang Rara. Ryu menuruti ucapan Rara. Diterimanya sodoran sambal dan juga piring yang sudah Rara isi dengan nasi dan ikan goreng beraroma menggugah selera. Ia ambil satu sendok sambal buatan sang istri, sungguh momen ya
"Saya langsung mandi dulu ya Mas, masaknya makan malam habis mandi nggak pa-pa?" tanya Rara saat ia dan Ryu tiba di rumah dinas hampir pukul 8 malam. "Mandi aja dulu, saya nggak terlalu laper," balas Ryu sekenanya. Bukan apa-apa, mereka tengah membangun komunikasi seperti biasanya setelah tadi mereka berciuman lagi dan terlibat suasana canggung tak berkesudahan. Rara hanya membalas pertanyaan Ryu singkat-singkat, pun Ryu yang bingung harus bertanya apa lagi untuk menghidupkan suasana. "Mau saya siapin air hangat untuk mandi?" tawar Rara sebelum masuk ke kamarnya. "Ini Kalimantan, Azura. Nggak lagi hujan juga, tambah gerah saya kalau kamu suruh mandi pake air hangat," kata Ryu seraya menggeleng. "Kalau capek istirahat aja, nggak usah masak, saya bisa pake lauk yang kamu masak tadi pagi," ujarnya manis sekali. "Nggak capek kok Mas, sayang ini dibawain ikan segar kalau nggak digoren
Wajah pias Rara yang tadi hampir digenangi air mata, sontak mengukir senyum lega. Ryu memang tidak banyak bicara, jarang memberi Rara afirmasi positif lewat ucapan. Namun, sekali berucap, damage-nya maksimal, meruntuhkan kemelut di hati Rara secara total. Pesona Ryu ini membuat Rara tak sadar bergeser mendekati sang suami, tatapannya tak lepas dari wajah tampan yang tengah menyesap rokoknya itu. Diremasnya lengan Ryu lembut, membuat sang suami reflek menolehnya. "Mas nggak cuma green flag tapi udah level rainforest," puji Rara tulus. Ia berjinjit untuk menyesuaikan tinggi badannya dengan Ryu. Lalu, dikecupnya pipi Ryu lembut, lama, dengan segenap perasaan yang berkecamuk di dadanya. Rokok yang masih menyala separuhnya itu lolos dari jemari Ryu dan jatuh di parit mengalir saat bibir Rara menyentuh pipinya. Otomatis, lengannya berganti melingkar di pinggang indah Rara, mengunci sang istri agar tetap menempel padanya.
"Langit Kalimantan nggak pernah mengecewakan," gumam Ryu saat turun dari mobil. Kini, ia dan juga Rara tengah meninjau lahan yang baru selesai dilakukan proses replanting. Ia sengaja pergi menyetir sendiri dengan Rara sementara Jaka menunggu di kantor Mina Utama. "Bagus ya Mas view-nya," ucap Rara menghirup udara dalam-dalam, matanya terpejam. "Pekerjanya udah pada pulang, jam 4 soalnya," desis Ryu celingak-celinguk. "Iya, sepi banget," ucap Rara membenarkan. Suasana kebun di sore hari dengan pemandangan langit biru nan bersih itu memang sangat memanjakan mata. Tanah laterit khas perkebunan kelapa sawit yang berwarna merah nampak kontras dengan warna langit dan hamparan hijau tanaman baru. "Habis ini, di Agrorei yang Blok L juga bakalan ada replanting," ucap Ryu menyalakan rokoknya. "Tapi view-nya nggak akan secantik ini," desisnya. Rara hanya memberi senyuma
"Maaf kita jadi telat makan siangnya," sesal Ryu tanpa menatap istrinya. "Nggak pa-pa, Pak," balas Rara ikut membuka bekal makanan yang dibawanya. "Kan sama-sama telat," tandasnya. "Jaka saya suruh beli makan di kantin," lapor Ryu otomatis, seperti berbicara pada istri yang sudah lama sekali dinikahinya. "Iya Pak," gumam Rara. "Masih enak kan mangutnya? Nggak bau?" "Masih," jawab Ryu sambil mengunyah. "Kapan-kapan bikin kroket lagi, enak itu," katanya. "Mas suka?" tanpa sadar, senyuman Rara melebar. "Dari semua makanan buatan kamu, kroket itu favorit." "Besok kalau libur kerja, saya bikinin." "Oke," Ryu manggut-manggut. "Mangutnya juga enak," pujinya tulus. Sepanjang tinggal di kebun dan bekerja sebagai GM, ini kali pertama ia makan bekal yang dibawa dari rumah. Biasanya, ia akan mengajak Jaka makan di luar ketika jam makan siang
"Kamu gila?" desis Ryu saat melihat Rara justru duduk di kursi penumpang depan mendampingi Jaka yang menyetir. "Mbak Rara masih kagok kayaknya, lupa kalau udah jadi Nyonya GM," kekeh Jaka. "Ah," Rara menelan ludahnya gugup. Cepat-cepat ia berpindah tempat, masuk ke kursi penumpang di belakang bersama Ryu. "Maaf," ujarnya lirih. "Ayo jalan Mas," ujar Ryu pada Jaka. "Siap Pak!" jawab Jaka seraya melajukan mobil keluar dari parkir perusahaan, melintasi tanah laterit khas kebun yang sudah mulai berdebu karena tak ada hujan. Sepanjang perjalanan, Rara yang biasanya cerewet dan senang mengobrol dengan Jaka, kali ini bungkam. Di kepalanya masih terbayang bagaimana tadi ia dan Ryu berciuman. Melirik ke arah Ryu saja ia benar-benar tidak berani, darahnya akan berdesir hebat saat matanya menatap bibir Ryu yang penuh goda. Berkali-kali Rara merutuki dirinya sendiri, ia yang bodoh karena mengira Ryu tidak akan mau menyen
"Saya cantik nggak sih Mas?" ulang Rara ngeyel. Ryu menegakkan kepalanya dan sengaja menatap sang istri, "Cantik," katanya. "Menarik nggak?" tanya Rara lagi, mengejar jawaban. "Kamu kenapa sih? Salah makan?" "Mas," sejenak Rara memberi jeda, ia menjernihkan tenggorokannya dengan berdehem. "Kenapa kita nikah?" desisnya. "Apalagi ini?" desis Ryu memejamkan mata gemas. Ia sudah bisa menebak bahwa Rara pasti mendengar suara sumbang dari luaran sana. "Ketemu sama siapa kamu? Dari mana barusan?" tanyanya menginterogasi. "Awalnya saya ngerasa mungkin emang saya nggak cukup menarik di mata Mas, apalagi kita ada di level yang berbeda," desah Rara menengadah. "Tapi, omongan orang-orang barusan menyadarkan saya. Saya nggak boleh berharap apapun pada pernikahan ini, apalagi berharap sama Mas. Saya yang nggak punya memori apapun soal kita di masa lalu. Mas, saya ini bekas ya kan?"
"Pengantin baru, auranya beda nih," goda Mbak Din, penjaga kantin perusahaan. "Tambah seger ikam, Ra," puji Ira dari divisi purchasing. "Keramas nggak tadi sebelom berangkat?" kekeh Hilda yang duduk di samping Ira. "Nggak nyangka emang beneran ada main kalian ini," desisnya terdengar sumbang. Entah sengaja bercanda atau memang iri pada keberuntungan Rara. "Langsung level GM lho ini yang mau, nggak nyangka kan?" sahut Ira. "Mbak Ira kok gitu ngomongnya," tegur Mbak Din. "Enggak Mbak, aku cuma seneng aja. Kan rumornya Rara sama Pak GM itu dulu jelek, dibilang Rara yang ngegodain Pak GM sampe ada yang ngomongin kalau Rara pake pelet," terang Ira. "Maaf ya Ra," ia toleh Rara yang bungkam. "Isunya Pak GM kan angkuh, galak, dan anti perempuan. Pas sama Rara, dia protektif banget, makanya banyak yang penasaran. Tau-tau, ada rencana nikah nih mereka. Kan heboh Mbak," tandasnya. "Iya, dipikir sama para
"Boleh, saya nggak ngelarang," jawab Ryu. "Tapi pas hari libur, nggak boleh kalau pas hari kerja. Hari kerja, kamu milik saya!" "Hari libur juga saya udah jadi miliknya Mas." "Beda konotasinya, Azura," desah Ryu sabar. "Ayam goreng separuh aja, sama mangut lais-nya mau saya," ujarnya. Senyum Rara terkembang cantik, senang bahwa usahanya membuat sarapan benar-benar mendapat penghargaan dari sang suami. Apalagi saat Ryu memakan masakannya itu tanpa protes, nampak sangat menikmati dan lahap sekali. "Siapin buat bontot sekalian, ayam goreng sama bacem tahu tempenya," pinta Ryu setelah ia tuntaskan isi piringnya. "Iya, pake sayur nggak Mas?" tawar Rara. "Boleh," balas Ryu. "Kamu udah mandi kan? Ayo, siap-siap ngantor, jalan setengah jam lagi!" ajaknya. Rara mengangguk, buru-buru menyelesaikan sarapannya. Ia siapkan dua kotak makan kembar, kado pernikahan dari para karyawan dan kemudia