"Wah," mulut Rara ternganga saat melihat ranjang di depannya sudah dihias sedemikian rupa layaknya ranjang bulan madu.
Berbeda dengan istrinya, Ryu justru bersikap masa bodoh. Ia lempar jasnya ke arah sofa lalu menuju kamar mandi, ia masuk ke dalamnya dan membuat suara berisik dengan air di sana. "Kayaknya aku harus melarikan diri ketimbang kikuk kalau nanti dia keluar dari kamar mandi," gumam Rara cepat-cepat meletakkan tasnya di atas nakas dan bergegas keluar ke balkon. Setelah pelaksanaan akad dan resepsi di hari serta tempat yang sama, Mika sengaja mengatur satu kamar khusus di hotel untuk malam pertama anaknya. Pihak hotel menghias dan merancang kamar dengan konsep honeymoon di mana ranjangnya dihias dengan kelopak bunga mawar dan handuk berbentuk angsa yang sangat ikonik. Melihatnya saja membuat Rara tidak tega untuk merusak mahakarya itu. Belum lagi, bagaimana mungkin ia akan bercinta dengan Ryu yang menurut sepengetahuannya, menikDi balkon, Ryu tak henti menyungging senyum mahalnya. Tak pernah disangka, ia akan secepat ini menikahi sang cinta pertama. Meski ia tahu bahwa malam ini ia tidak akan bisa langsung menyentuh Rara, Ryu tidak bisa menyembunyikan rasa bahagia. Jika saja Rara tak mengingatnya di masa lalunya, ia tidak takut untuk berjuang lagi membuat Rara jatuh cinta ke depannya. "Mas!" panggil Rara lirih, malu-malu melongok di pintu balkon. "Minta bantuan bentar, rada urgent ini," tandasnya menggigit bibir bawahnya lucu. Ryu bergerak, ia letakkan rokoknya lebih dulu di asbak. Baru ia melangkah masuk melewati pintu balkon, ia tertegun. Matanya disambut dengan suguhan punggung telanjang Rara yang mulus dan putih bersih. Pemiliknya tersenyum canggung, merasa malu tapi Rara tak punya pilihan. "Kait kancingnya nyangkut ke rambut Mas, udah coba saya lepas sendiri malah makin kusut rambutnya. Maaf, bisa tolong bantuin lepas?" desis Rara menahan malu de
The Past-Ryu tak melepas genggaman tangannya dari jemari Rara, wajahnya kusut tapi ia tampak tegar. Di sebelahnya, Mika duduk tak bersuara, mengusap rambut halus di kepala Rara yang bagai masih bernyawa tapi kehilangan jiwanya. "Abang harus pergi sekarang, nanti ketinggalan pesawat," ucap Mika setelah melirik jam di dinding kamar. Ryu mengangguk, "Lima menit lagi Ma, sebentar lagi," ucapnya. "Mama bakalan pastiin Rara baik-baik aja, kemajuan sekecil apapun bakalan Mama bilang ke kamu, Bang." "Ini bagus atau malah buruk sih Ma?" Ryu mendesah, napasnya nampak berat. "Di satu sisi, dia udah nggak punya keinginan buat nyakitin dirinya sendiri, di sisi lain, dia kehilangan banyak memorinya." "Bagus kalau menurut Mama," jawab Mika. "Kita bisa bangun lagi kenangan yang baik-baik aja sama Rara, jadi dia ingetnya juga yang ngebuat dia bahagia aja. Kamu takut dia menghapus semua memori kalian?" tanyanya sanga
"Lari pagi," jawab Ryu, tatapannya heran ke arah Rara. "Kenapa?" tanyanya. Rara menggeleng cepat, "Takut ditinggal pulang ke kebun," katanya jujur. Ryu tersenyum, "Mana mungkin. Tadi mampir ke pasar pagi, ada jajanan nih," ujarnya mengangkat bungkusan di tangannya. "Mas nggak tidur di kamar ini semalem?" tembak Rara kemudian berbalik, menguncir rambutnya agar tak terlihat berantakan di depan Ryu. "Saya tidur di sofa, kamu menuhin ranjang soalnya," jawab Ryu seraya melepas jaketnya. Ia lalu duduk di sofa, membuka air mineral kemasan lalu meneguknya bernafsu. "Ngorok lagi ya saya Mas?" tanya Rara malu-malu. "Hem," gumam Ryu mengangguk. "Masa?" mata Rara membulat. "Saya yang denger, kamunya kan udah nggak sadarkan diri." Rara nyengir cantik, "Iya juga sih. Kecapean saya, jadinya wajar dong ngorok," katanya beralibi. Ryu memilih
"Seisi rumah ini bisa kamu akses kapanpun. Termasuk kamar yang saya pake," ucap Ryu setelah menunjukkan kamar paling depan untuk tempat tidur Rara. Ia tidak mau memaksa Rara harus sekamar dengannya karena mereka memang akan lebih sering terlibat kecanggungan saat bersama."Boleh tidur di sana juga?" goda Rara tersenyum nakal."Silahkan kalau kamu nggak keberatan. Tapi jangan salahkan saya kalau kamu hamilnya kecepetan," jawab Ryu sembarangan."Kok horor," desah Rara. "Takut di KDRT saya sih," kekehnya."Mbak Susi libur sebulan ini, apa nggak pa-pa?" gumam Ryu setelah menyeringai tajam menanggapi kekehan Rara."Nggak pa-pa Mas. Nanti saya yang urus kerjaan rumah tangga. Ya asal di kantor saya nggak dikasih kerjaan berat aja," cengir Rara masih bercanda."Kamu boleh resign kalau keberatan.""Mas mau cari PA baru yang lebih cantik, gesit, pinter dan lincah daripada saya? Nggak puas sama yang begini sintal, seksi menggo
"Rara!" seru sebuah suara, membuat Rara yang tengah mengantre untuk membayar menoleh, termasuk beberapa ibu-ibu lainnya, mereka turut menoleh Rara. "Azura, ketua OSIS SMP Harapan Kita!" ulang pemilik suara, perempuan sebaya Rara. "Niken," desah Rara langsung mengenali pemanggilnya. Memorinya bisa mengingat sosok perempuan bergigi gingsul ini tanpa kesulitan. Namun, bukan masalah memori yang menjadi kebingungan Rara sekarang. Ibu-ibu yang tadinya mengantre bersamanya untuk membayar justru menatapnya dengan sorot penuh selidik. Beberapa di antara mereka tampak saling berbisik, menggunjing secara terang-terangan. "Yang pernah viral itu kan?" bisik si baju merah bergincu tebal. "Ho.oh, yang kena gilir di kebun sebelum GMO kan? Ini orangnya," sahut si baju kuning berwajah judes. "Yang mana sih? Viralnya kapan?" sambar satu lagi yang lain, si baju abu-abu berkerudung bahan jersey warna pink. "Udah lama, tapi emang heboh banget," terang si baju merah. "Katanya sempet mau bunuh diri ber
Pagi hari pertama Rara di rumah Ryu, ia bangun sebelum adzan subuh. Penuh semangat, ia memasak perdana di dapur sang suami sebagai nyonya rumah, bukan seorang PA yang membawakan masakan untuk atasannya. Sengaja memasak beberapa menu lauk yang kemarin dibelinya di Kampung, Rara takut Ryu tidak suka dengan masakannya. "Lagi mandi ternyata," desis Rara saat ia selesai memasak dan berniat membangunkan suaminya. Ryu sudah lebih dulu masuk ke kamar mandi saat Rara masuk ke dalam kamar sang suami. Ini kali pertama Rara masuk ke ruang privat Ryu, meneliti isi di dalam kamar yang sangat rapi dan minim perabotan itu. Ryu bahkan sudah merapikan ranjang dan melipat selimutnya. Jadi, Rara seperti tidak memiliki celah untuk melibatkan diri dalam ruang pribadi Ryu. "Ah, dia belom nyiapin baju," desis Rara tersadar. Lantas, Rara membuka satu-satunya lemari yang ada di dalam kamar itu. Baju-baju Ryu tergantung wangi dan rapi di dalamnya. Sekat pertama untuk baju kerja dan sekat kedua adalah baju
"Boleh, saya nggak ngelarang," jawab Ryu. "Tapi pas hari libur, nggak boleh kalau pas hari kerja. Hari kerja, kamu milik saya!" "Hari libur juga saya udah jadi miliknya Mas." "Beda konotasinya, Azura," desah Ryu sabar. "Ayam goreng separuh aja, sama mangut lais-nya mau saya," ujarnya. Senyum Rara terkembang cantik, senang bahwa usahanya membuat sarapan benar-benar mendapat penghargaan dari sang suami. Apalagi saat Ryu memakan masakannya itu tanpa protes, nampak sangat menikmati dan lahap sekali. "Siapin buat bontot sekalian, ayam goreng sama bacem tahu tempenya," pinta Ryu setelah ia tuntaskan isi piringnya. "Iya, pake sayur nggak Mas?" tawar Rara. "Boleh," balas Ryu. "Kamu udah mandi kan? Ayo, siap-siap ngantor, jalan setengah jam lagi!" ajaknya. Rara mengangguk, buru-buru menyelesaikan sarapannya. Ia siapkan dua kotak makan kembar, kado pernikahan dari para karyawan dan kemudia
"Pengantin baru, auranya beda nih," goda Mbak Din, penjaga kantin perusahaan. "Tambah seger ikam, Ra," puji Ira dari divisi purchasing. "Keramas nggak tadi sebelom berangkat?" kekeh Hilda yang duduk di samping Ira. "Nggak nyangka emang beneran ada main kalian ini," desisnya terdengar sumbang. Entah sengaja bercanda atau memang iri pada keberuntungan Rara. "Langsung level GM lho ini yang mau, nggak nyangka kan?" sahut Ira. "Mbak Ira kok gitu ngomongnya," tegur Mbak Din. "Enggak Mbak, aku cuma seneng aja. Kan rumornya Rara sama Pak GM itu dulu jelek, dibilang Rara yang ngegodain Pak GM sampe ada yang ngomongin kalau Rara pake pelet," terang Ira. "Maaf ya Ra," ia toleh Rara yang bungkam. "Isunya Pak GM kan angkuh, galak, dan anti perempuan. Pas sama Rara, dia protektif banget, makanya banyak yang penasaran. Tau-tau, ada rencana nikah nih mereka. Kan heboh Mbak," tandasnya. "Iya, dipikir sama para
"Mas nggak di rumah nggak di kebun, sama isi kamarnya, minimalis banget," ujar Rara. "Tapi nyaman deh," pujinya. "Udah selesai obrolan lelakinya?""Udah," jawab Ryu. "Ngerokok doang tadi tu," urainya."Opabro galak ya?""Tau aja panggilan Opabro," kekeh Ryu."Raya yang ngasih tau.""Opa seru kok, tenang aja," ujar Ryu."Aku pernah diceritain sama Raya soal Opa J, kisahnya Mama Mika pas hamil Mas.""Emang drama banget kisah cintanya Papa sama Mama. Mereka sama-sama anak orang kaya, jadi emang dramatis banget, nggak klise sama sekali. Asal kamu tau, Azura, aku ini anak di luar nikah. Mama hamil aku sebelom dinikahin sama Papa," cerita Ryu."Jadi, itulah kenapa Mas kasian sama aku?""Mana mungkin alasannya itu. Ya oke, kisahku emang cukup menyentuh. Tapi kenapa aku cuma ngeliat ke kamu, seorang Lembayung Azura Arunika adalah karena peletmu!" gemas Ryu menyentil hidung istrinya iseng."Apaan ih, ak
"Rara!!" sambut Mika bersemangat, ia peluk menantunya itu erat sekali. "Selamat datang di Jakarta ya, Sayang," ucapnya senang."Makasih Ma, seneng banget akhirnya bisa kesampean maen ke Jakarta," balas Rara tak kalah cerianya. Beruntung karena ia menjadi cinta pertama putra mahkota keluarga kaya raya ini."Maaf ya Mama nggak bisa ikut jemput ke bandara, yayasan lagi banyak kerjaan ini," sebut Mika. "Istirahat ya, kamar Ryu di atas, paling pojok," tunjuknya ke deretan kamar di lantai dua."Nanti aja ke kamarnya nunggu Mas Ryu, Ma," kata Rara."Ke mana Ray, si abang?" Mika menoleh anak gadisnya."Ngobrol sama Papabro sama Opabro di samping tuh," jawab Raya. "Mau kuanter ke kamar dulu apa Mbak?" tawarnya. "Mereka bertiga kalau udah ketemu suka lama ngobrolnya," tandasnya."Aku belom pernah ketemu Opa," gumam Rara lirih."Ah," mata Mika membola. "Iya, ya. Nanti kalau makan malem kita kenalin secara resmi. Tenang, Opa nggak galak," kekehnya."Yuk Mbak, kuanter ke kamar dulu," ajak Raya mer
Ryu beranjak ke dapur, mengambilkan permintaan istrinya. Ia kembali sambil membawa kotak obat milik Rara. "Diminum obatnya ya," pinta Ryu. Rara tak menolak, ia teguk air putih yang Ryu bawakan, juga ia telan obat yang Luna resepkan. Rasa sesak masih kuat menghimpit dadanya, marah dan kecewa pada sang ayah masih terus menghantui pikirannya. "Mas, boleh ajak aku ke Jakarta?" celetuk Rara tiba-tiba, menatap suaminya dengan sorot memohon. "Boleh, aku emang ada rencana ajak kamu ke sana." "Dalam waktu dekat, besok atau lusa," tuntut Rara. "Hem?" kedua alis Ryu bertaut. "Kamu kangen sama Mama?" candanya. "Aku pengin melarikan diri dari sini dulu. Liat pohon sawit di sana-sini, dadaku kayak dihimpit excavator, sesak Mas." "Ya oke, nanti kuurus kerjaan di kebun dulu sama yang laen. Kuusahain secepatnya kita ke Jakarta," putus Ryu berjanji.
Ryu menyesap rokoknya dalam-dalam, tatapannya tak beralih dari gelas es kopinya yang tinggal menyisakan jelaga. Di seberangnya, Rara juga memilih untuk diam, tangannya sibuk mengaduk-aduk es teh miliknya dengan sedotan, minuman yang warnanya sudah memutih karena esnya mencair. Sedangkan Pak Darwis diminta Rara pulang lebih dulu, Rara tidak ingin hatinya tambah kalut dan sakit hati. "Hatiku berusaha memahami kalau apa yang Ayah lakuin itu sebenernya karena Ayah nggak mau liat aku menderita karena dihina," sebut Rara setelah berdiam lama. "Tapi aku yakin, Ibuk pasti mempengaruhi Ayah biar berani begitu. Sejauh Ayah menikah sama Bunda, aku tau Ayah nggak pernah gegabah begitu, Mas," ungkapnya. "Kalau kami laporin Bu Endah waktu itu sebagai percobaan pembunuhan, Ayah bakalan keseret juga karena Ayah yang nyediain air itu," desah Ryu menjentik abu rokoknya di asbak. "Dan kalau Ayah kena persoalan hukum, kamu nggak punya pegangan. Keluargaku masih orang asing waktu itu, keluarga Bundamu
"Iyah," ucap Rara mantap. "Kayaknya Ayah udah sampe," bisiknya melihat ada sebuah motor yang terparkir di mana nomor polisinya sangat familiar. Beriringan, Ryu dan Rara masuk ke dalam rumah makan setelah mencari tempat parkir yang teduh lebih dulu. Nampak Pak Darwis berdiri untuk menyambut, ada rindu di mata tuanya yang sendu. Senyum simpul Pak Darwis terkembang, ia datang sendirian. "Rara," ucap Pak Darwis spontan memeluk anak perempuan tercintanya. "Ayah udah pesen minum?" tanya Rara setelah melepas pelukannya. "Udah, kalian udah pesen makanannya juga ya?" tanya Pak Darwis balik. "Sudah Yah, tadi lewat WA," Ryu yang menjawab sembari menyodorkan minuman yang dibawakan seorang pelayan. "Aku udah inget semuanya, Yah," ungkap Rara tanpa basa-basi. "Semuanya, nggak ada yang terlewatkan," sebutnya. Pak Darwis terpana. Ia yang semula siap meneguk teh manisnya, memilih meletakkan kemba
"Alhamdulillah Rara," Luna meremas lembut kedua sisi pundak Rara. "Makasih udah berjuang bareng kita," ucapnya. "Makasih juga Dokter Luna, Dokter yang selalu sabar dampingi saya," jawab Rara mematri senyum cantiknya. "Apa ke depannya ada kemungkinan saya bakalan lupa sama kenangan saya lagi, Dok?" tanyanya. Luna menoleh Ryu dulu sebelum menjawab pertanyaan Rara. Ryu hanya mengangguk dengan senyum simpul yang menghiasi wajah setampan dewanya. Semua pengobatan Rara termasuk penyembuhan kejiwaannya Ryu serahkan sepenuhnya pada Luna. "Semua itu tergantung sama diri kamu sendiri, Rara. Tapi kalau kamu sekuat ini, saya yakin kamu bakalan baik-baik aja. Ada keluhan lain nggak?" tanya Luna sambil kembali duduk lagi di kursinya. "Masih suka sesak dada saya kalau secara nggak sengaja saya keinget kejadian itu. Kepala tiba-tiba pusing, kayak saya jadi menggigil ketakutan, panik gitu, Dok," sebut Rara. "Nggak pa-pa. Kamu penyintas PTSD, wajar masih ada gejala begitu. Tapi perkembangan kamu
Keduanya lantas bangkit, mereka keluar dari kamar beriringan, Ryu merangkul pundak istrinya mesra. Melihat atmosfer itu, Susi terpaku takjub. Ditatapnya Rara dan Ryu bergantian, tak percaya bahwa Rara akan dengan santainya menerima perlakuan manis sang suami. "Mbak Rara, udah enakan?" tanya Susi reflek mengambilkan piring untuk Rara. "Nggak saya suapin di kamar?" tawarnya. "Aku mau disuapin suamiku, Mbak," kata Rara nyengir. "Hah?" Susi terpana. "Bu GM udah inget saya, Mbak," ucap Ryu. "Tolong ambilin obatnya Azura aja ya Mbak, di kamar, saya lupa bawa karena saking senengnya," pintanya. "Ehm, iya Pak, siap," sahut Susi tergagap tapi tetap bergegas beranjak ke kamar Ryu. "Makasih kalian, orang-orang hebat yang dikasih banyak kesabaran buat ngehadapin kegilaanku," desis Rara sambil menatap punggung Susi yang berjalan ke kamarnya. "Ini bukti kalau setelah hujan badai halilintar, T
"Mas," bisik Rara, ia usap punggung Ryu yang masih memeluknya erat. "Mas Ryu," panggilnya lembut. "Inget aku? Inget suamimu?" tanya Ryu masih terlihat gugup, ia lepas pelukannya. Rara nampak membasahi bibirnya, "Aku nggak lupa rasanya," bisiknya seraya meraba bibir. "Maafin aku Mas, maaf aku lupain Mas segitu gampangnya," katanya. "Enggak, nggak pa-pa," balas Ryu menggeleng-geleng. Ia kecup mesra kening istrinya, "makasih Azura," tukasnya. "Semua udah terkumpul Mas, semua kepingan ingatanku yang hilang, puzzle di kepalaku udah tersusun rapi," aku Rara. "Azura," lirih Ryu menundukkan kepala. "Istriku," desahnya penuh rasa syukur. "Mas nangis?" tanya Rara menaikkan pandangan suaminya dengan menangkup rahang Ryu. "Jangan nangis," pintanya. "Aku lega, lega banget." "Maafin aku ya Mas. Maaf karena udah bikin Mas secapek ini. Aku tau seminggu belakangan ini aku ngrepotin banget kan Mas? Aku teriak-teriak histeris, nggak mau dipegang Mas Ryu, maafin aku ya Mas." "Aku masih belom pe
"Aku emang punya mimpi untuk bisa hidup normal sebelum memutuskan untuk memilih mati. Tapi mimpi seindah ini, apa boleh aku minta selamanya aja terjadi? Aku nggak boleh bangun kan?" gumam Rara. Ryu meraih jemari Rara, dibawanya agar bisa menyentuh pipinya. Senyum Ryu melebar, sebelah tangannya yang lain meraba kepala Rara, mengusapnya penuh cinta. "Apa kamu nggak bisa ngerasain kalau ini nyata? Aku nyata, Azura. Suamimu, Ryu Raiden Dhananjaya, orang yang selama 10 tahun belakangan ini cuma ngeliat ke kamu aja, cinta sama kamu," terang Ryu tak lagi memikirkan resiko akibat kalimatnya. Benar kata Luna, Rara masih tetap tenang, tidak histeris atau menolak fakta yang Ryu ungkapkan. Senyum Rara justru terkembang, ia sendiri yang menangkup kedua pipi Ryu tanpa ragu. "Kamu suamiku? Kenapa aku nggak punya ingatan sedikitpun tentang kamu kalau kamu emang nyata? Dari dunia mana kamu berasal? Dunia Rara yang berantakan?" desis Rara bingung, matanya berkaca-kaca. "Dari dunia Lembayung Azura