"Boleh, saya nggak ngelarang," jawab Ryu. "Tapi pas hari libur, nggak boleh kalau pas hari kerja. Hari kerja, kamu milik saya!" "Hari libur juga saya udah jadi miliknya Mas." "Beda konotasinya, Azura," desah Ryu sabar. "Ayam goreng separuh aja, sama mangut lais-nya mau saya," ujarnya. Senyum Rara terkembang cantik, senang bahwa usahanya membuat sarapan benar-benar mendapat penghargaan dari sang suami. Apalagi saat Ryu memakan masakannya itu tanpa protes, nampak sangat menikmati dan lahap sekali. "Siapin buat bontot sekalian, ayam goreng sama bacem tahu tempenya," pinta Ryu setelah ia tuntaskan isi piringnya. "Iya, pake sayur nggak Mas?" tawar Rara. "Boleh," balas Ryu. "Kamu udah mandi kan? Ayo, siap-siap ngantor, jalan setengah jam lagi!" ajaknya. Rara mengangguk, buru-buru menyelesaikan sarapannya. Ia siapkan dua kotak makan kembar, kado pernikahan dari para karyawan dan kemudia
"Pengantin baru, auranya beda nih," goda Mbak Din, penjaga kantin perusahaan. "Tambah seger ikam, Ra," puji Ira dari divisi purchasing. "Keramas nggak tadi sebelom berangkat?" kekeh Hilda yang duduk di samping Ira. "Nggak nyangka emang beneran ada main kalian ini," desisnya terdengar sumbang. Entah sengaja bercanda atau memang iri pada keberuntungan Rara. "Langsung level GM lho ini yang mau, nggak nyangka kan?" sahut Ira. "Mbak Ira kok gitu ngomongnya," tegur Mbak Din. "Enggak Mbak, aku cuma seneng aja. Kan rumornya Rara sama Pak GM itu dulu jelek, dibilang Rara yang ngegodain Pak GM sampe ada yang ngomongin kalau Rara pake pelet," terang Ira. "Maaf ya Ra," ia toleh Rara yang bungkam. "Isunya Pak GM kan angkuh, galak, dan anti perempuan. Pas sama Rara, dia protektif banget, makanya banyak yang penasaran. Tau-tau, ada rencana nikah nih mereka. Kan heboh Mbak," tandasnya. "Iya, dipikir sama para
"Saya cantik nggak sih Mas?" ulang Rara ngeyel. Ryu menegakkan kepalanya dan sengaja menatap sang istri, "Cantik," katanya. "Menarik nggak?" tanya Rara lagi, mengejar jawaban. "Kamu kenapa sih? Salah makan?" "Mas," sejenak Rara memberi jeda, ia menjernihkan tenggorokannya dengan berdehem. "Kenapa kita nikah?" desisnya. "Apalagi ini?" desis Ryu memejamkan mata gemas. Ia sudah bisa menebak bahwa Rara pasti mendengar suara sumbang dari luaran sana. "Ketemu sama siapa kamu? Dari mana barusan?" tanyanya menginterogasi. "Awalnya saya ngerasa mungkin emang saya nggak cukup menarik di mata Mas, apalagi kita ada di level yang berbeda," desah Rara menengadah. "Tapi, omongan orang-orang barusan menyadarkan saya. Saya nggak boleh berharap apapun pada pernikahan ini, apalagi berharap sama Mas. Saya yang nggak punya memori apapun soal kita di masa lalu. Mas, saya ini bekas ya kan?"
"Kamu gila?" desis Ryu saat melihat Rara justru duduk di kursi penumpang depan mendampingi Jaka yang menyetir. "Mbak Rara masih kagok kayaknya, lupa kalau udah jadi Nyonya GM," kekeh Jaka. "Ah," Rara menelan ludahnya gugup. Cepat-cepat ia berpindah tempat, masuk ke kursi penumpang di belakang bersama Ryu. "Maaf," ujarnya lirih. "Ayo jalan Mas," ujar Ryu pada Jaka. "Siap Pak!" jawab Jaka seraya melajukan mobil keluar dari parkir perusahaan, melintasi tanah laterit khas kebun yang sudah mulai berdebu karena tak ada hujan. Sepanjang perjalanan, Rara yang biasanya cerewet dan senang mengobrol dengan Jaka, kali ini bungkam. Di kepalanya masih terbayang bagaimana tadi ia dan Ryu berciuman. Melirik ke arah Ryu saja ia benar-benar tidak berani, darahnya akan berdesir hebat saat matanya menatap bibir Ryu yang penuh goda. Berkali-kali Rara merutuki dirinya sendiri, ia yang bodoh karena mengira Ryu tidak akan mau menyen
"Maaf kita jadi telat makan siangnya," sesal Ryu tanpa menatap istrinya. "Nggak pa-pa, Pak," balas Rara ikut membuka bekal makanan yang dibawanya. "Kan sama-sama telat," tandasnya. "Jaka saya suruh beli makan di kantin," lapor Ryu otomatis, seperti berbicara pada istri yang sudah lama sekali dinikahinya. "Iya Pak," gumam Rara. "Masih enak kan mangutnya? Nggak bau?" "Masih," jawab Ryu sambil mengunyah. "Kapan-kapan bikin kroket lagi, enak itu," katanya. "Mas suka?" tanpa sadar, senyuman Rara melebar. "Dari semua makanan buatan kamu, kroket itu favorit." "Besok kalau libur kerja, saya bikinin." "Oke," Ryu manggut-manggut. "Mangutnya juga enak," pujinya tulus. Sepanjang tinggal di kebun dan bekerja sebagai GM, ini kali pertama ia makan bekal yang dibawa dari rumah. Biasanya, ia akan mengajak Jaka makan di luar ketika jam makan siang
"Langit Kalimantan nggak pernah mengecewakan," gumam Ryu saat turun dari mobil. Kini, ia dan juga Rara tengah meninjau lahan yang baru selesai dilakukan proses replanting. Ia sengaja pergi menyetir sendiri dengan Rara sementara Jaka menunggu di kantor Mina Utama. "Bagus ya Mas view-nya," ucap Rara menghirup udara dalam-dalam, matanya terpejam. "Pekerjanya udah pada pulang, jam 4 soalnya," desis Ryu celingak-celinguk. "Iya, sepi banget," ucap Rara membenarkan. Suasana kebun di sore hari dengan pemandangan langit biru nan bersih itu memang sangat memanjakan mata. Tanah laterit khas perkebunan kelapa sawit yang berwarna merah nampak kontras dengan warna langit dan hamparan hijau tanaman baru. "Habis ini, di Agrorei yang Blok L juga bakalan ada replanting," ucap Ryu menyalakan rokoknya. "Tapi view-nya nggak akan secantik ini," desisnya. Rara hanya memberi senyuma
Wajah pias Rara yang tadi hampir digenangi air mata, sontak mengukir senyum lega. Ryu memang tidak banyak bicara, jarang memberi Rara afirmasi positif lewat ucapan. Namun, sekali berucap, damage-nya maksimal, meruntuhkan kemelut di hati Rara secara total. Pesona Ryu ini membuat Rara tak sadar bergeser mendekati sang suami, tatapannya tak lepas dari wajah tampan yang tengah menyesap rokoknya itu. Diremasnya lengan Ryu lembut, membuat sang suami reflek menolehnya. "Mas nggak cuma green flag tapi udah level rainforest," puji Rara tulus. Ia berjinjit untuk menyesuaikan tinggi badannya dengan Ryu. Lalu, dikecupnya pipi Ryu lembut, lama, dengan segenap perasaan yang berkecamuk di dadanya. Rokok yang masih menyala separuhnya itu lolos dari jemari Ryu dan jatuh di parit mengalir saat bibir Rara menyentuh pipinya. Otomatis, lengannya berganti melingkar di pinggang indah Rara, mengunci sang istri agar tetap menempel padanya.
"Saya langsung mandi dulu ya Mas, masaknya makan malam habis mandi nggak pa-pa?" tanya Rara saat ia dan Ryu tiba di rumah dinas hampir pukul 8 malam. "Mandi aja dulu, saya nggak terlalu laper," balas Ryu sekenanya. Bukan apa-apa, mereka tengah membangun komunikasi seperti biasanya setelah tadi mereka berciuman lagi dan terlibat suasana canggung tak berkesudahan. Rara hanya membalas pertanyaan Ryu singkat-singkat, pun Ryu yang bingung harus bertanya apa lagi untuk menghidupkan suasana. "Mau saya siapin air hangat untuk mandi?" tawar Rara sebelum masuk ke kamarnya. "Ini Kalimantan, Azura. Nggak lagi hujan juga, tambah gerah saya kalau kamu suruh mandi pake air hangat," kata Ryu seraya menggeleng. "Kalau capek istirahat aja, nggak usah masak, saya bisa pake lauk yang kamu masak tadi pagi," ujarnya manis sekali. "Nggak capek kok Mas, sayang ini dibawain ikan segar kalau nggak digoren
"Mas nggak di rumah nggak di kebun, sama isi kamarnya, minimalis banget," ujar Rara. "Tapi nyaman deh," pujinya. "Udah selesai obrolan lelakinya?""Udah," jawab Ryu. "Ngerokok doang tadi tu," urainya."Opabro galak ya?""Tau aja panggilan Opabro," kekeh Ryu."Raya yang ngasih tau.""Opa seru kok, tenang aja," ujar Ryu."Aku pernah diceritain sama Raya soal Opa J, kisahnya Mama Mika pas hamil Mas.""Emang drama banget kisah cintanya Papa sama Mama. Mereka sama-sama anak orang kaya, jadi emang dramatis banget, nggak klise sama sekali. Asal kamu tau, Azura, aku ini anak di luar nikah. Mama hamil aku sebelom dinikahin sama Papa," cerita Ryu."Jadi, itulah kenapa Mas kasian sama aku?""Mana mungkin alasannya itu. Ya oke, kisahku emang cukup menyentuh. Tapi kenapa aku cuma ngeliat ke kamu, seorang Lembayung Azura Arunika adalah karena peletmu!" gemas Ryu menyentil hidung istrinya iseng."Apaan ih, ak
"Rara!!" sambut Mika bersemangat, ia peluk menantunya itu erat sekali. "Selamat datang di Jakarta ya, Sayang," ucapnya senang."Makasih Ma, seneng banget akhirnya bisa kesampean maen ke Jakarta," balas Rara tak kalah cerianya. Beruntung karena ia menjadi cinta pertama putra mahkota keluarga kaya raya ini."Maaf ya Mama nggak bisa ikut jemput ke bandara, yayasan lagi banyak kerjaan ini," sebut Mika. "Istirahat ya, kamar Ryu di atas, paling pojok," tunjuknya ke deretan kamar di lantai dua."Nanti aja ke kamarnya nunggu Mas Ryu, Ma," kata Rara."Ke mana Ray, si abang?" Mika menoleh anak gadisnya."Ngobrol sama Papabro sama Opabro di samping tuh," jawab Raya. "Mau kuanter ke kamar dulu apa Mbak?" tawarnya. "Mereka bertiga kalau udah ketemu suka lama ngobrolnya," tandasnya."Aku belom pernah ketemu Opa," gumam Rara lirih."Ah," mata Mika membola. "Iya, ya. Nanti kalau makan malem kita kenalin secara resmi. Tenang, Opa nggak galak," kekehnya."Yuk Mbak, kuanter ke kamar dulu," ajak Raya mer
Ryu beranjak ke dapur, mengambilkan permintaan istrinya. Ia kembali sambil membawa kotak obat milik Rara. "Diminum obatnya ya," pinta Ryu. Rara tak menolak, ia teguk air putih yang Ryu bawakan, juga ia telan obat yang Luna resepkan. Rasa sesak masih kuat menghimpit dadanya, marah dan kecewa pada sang ayah masih terus menghantui pikirannya. "Mas, boleh ajak aku ke Jakarta?" celetuk Rara tiba-tiba, menatap suaminya dengan sorot memohon. "Boleh, aku emang ada rencana ajak kamu ke sana." "Dalam waktu dekat, besok atau lusa," tuntut Rara. "Hem?" kedua alis Ryu bertaut. "Kamu kangen sama Mama?" candanya. "Aku pengin melarikan diri dari sini dulu. Liat pohon sawit di sana-sini, dadaku kayak dihimpit excavator, sesak Mas." "Ya oke, nanti kuurus kerjaan di kebun dulu sama yang laen. Kuusahain secepatnya kita ke Jakarta," putus Ryu berjanji.
Ryu menyesap rokoknya dalam-dalam, tatapannya tak beralih dari gelas es kopinya yang tinggal menyisakan jelaga. Di seberangnya, Rara juga memilih untuk diam, tangannya sibuk mengaduk-aduk es teh miliknya dengan sedotan, minuman yang warnanya sudah memutih karena esnya mencair. Sedangkan Pak Darwis diminta Rara pulang lebih dulu, Rara tidak ingin hatinya tambah kalut dan sakit hati. "Hatiku berusaha memahami kalau apa yang Ayah lakuin itu sebenernya karena Ayah nggak mau liat aku menderita karena dihina," sebut Rara setelah berdiam lama. "Tapi aku yakin, Ibuk pasti mempengaruhi Ayah biar berani begitu. Sejauh Ayah menikah sama Bunda, aku tau Ayah nggak pernah gegabah begitu, Mas," ungkapnya. "Kalau kami laporin Bu Endah waktu itu sebagai percobaan pembunuhan, Ayah bakalan keseret juga karena Ayah yang nyediain air itu," desah Ryu menjentik abu rokoknya di asbak. "Dan kalau Ayah kena persoalan hukum, kamu nggak punya pegangan. Keluargaku masih orang asing waktu itu, keluarga Bundamu
"Iyah," ucap Rara mantap. "Kayaknya Ayah udah sampe," bisiknya melihat ada sebuah motor yang terparkir di mana nomor polisinya sangat familiar. Beriringan, Ryu dan Rara masuk ke dalam rumah makan setelah mencari tempat parkir yang teduh lebih dulu. Nampak Pak Darwis berdiri untuk menyambut, ada rindu di mata tuanya yang sendu. Senyum simpul Pak Darwis terkembang, ia datang sendirian. "Rara," ucap Pak Darwis spontan memeluk anak perempuan tercintanya. "Ayah udah pesen minum?" tanya Rara setelah melepas pelukannya. "Udah, kalian udah pesen makanannya juga ya?" tanya Pak Darwis balik. "Sudah Yah, tadi lewat WA," Ryu yang menjawab sembari menyodorkan minuman yang dibawakan seorang pelayan. "Aku udah inget semuanya, Yah," ungkap Rara tanpa basa-basi. "Semuanya, nggak ada yang terlewatkan," sebutnya. Pak Darwis terpana. Ia yang semula siap meneguk teh manisnya, memilih meletakkan kemba
"Alhamdulillah Rara," Luna meremas lembut kedua sisi pundak Rara. "Makasih udah berjuang bareng kita," ucapnya. "Makasih juga Dokter Luna, Dokter yang selalu sabar dampingi saya," jawab Rara mematri senyum cantiknya. "Apa ke depannya ada kemungkinan saya bakalan lupa sama kenangan saya lagi, Dok?" tanyanya. Luna menoleh Ryu dulu sebelum menjawab pertanyaan Rara. Ryu hanya mengangguk dengan senyum simpul yang menghiasi wajah setampan dewanya. Semua pengobatan Rara termasuk penyembuhan kejiwaannya Ryu serahkan sepenuhnya pada Luna. "Semua itu tergantung sama diri kamu sendiri, Rara. Tapi kalau kamu sekuat ini, saya yakin kamu bakalan baik-baik aja. Ada keluhan lain nggak?" tanya Luna sambil kembali duduk lagi di kursinya. "Masih suka sesak dada saya kalau secara nggak sengaja saya keinget kejadian itu. Kepala tiba-tiba pusing, kayak saya jadi menggigil ketakutan, panik gitu, Dok," sebut Rara. "Nggak pa-pa. Kamu penyintas PTSD, wajar masih ada gejala begitu. Tapi perkembangan kamu
Keduanya lantas bangkit, mereka keluar dari kamar beriringan, Ryu merangkul pundak istrinya mesra. Melihat atmosfer itu, Susi terpaku takjub. Ditatapnya Rara dan Ryu bergantian, tak percaya bahwa Rara akan dengan santainya menerima perlakuan manis sang suami. "Mbak Rara, udah enakan?" tanya Susi reflek mengambilkan piring untuk Rara. "Nggak saya suapin di kamar?" tawarnya. "Aku mau disuapin suamiku, Mbak," kata Rara nyengir. "Hah?" Susi terpana. "Bu GM udah inget saya, Mbak," ucap Ryu. "Tolong ambilin obatnya Azura aja ya Mbak, di kamar, saya lupa bawa karena saking senengnya," pintanya. "Ehm, iya Pak, siap," sahut Susi tergagap tapi tetap bergegas beranjak ke kamar Ryu. "Makasih kalian, orang-orang hebat yang dikasih banyak kesabaran buat ngehadapin kegilaanku," desis Rara sambil menatap punggung Susi yang berjalan ke kamarnya. "Ini bukti kalau setelah hujan badai halilintar, T
"Mas," bisik Rara, ia usap punggung Ryu yang masih memeluknya erat. "Mas Ryu," panggilnya lembut. "Inget aku? Inget suamimu?" tanya Ryu masih terlihat gugup, ia lepas pelukannya. Rara nampak membasahi bibirnya, "Aku nggak lupa rasanya," bisiknya seraya meraba bibir. "Maafin aku Mas, maaf aku lupain Mas segitu gampangnya," katanya. "Enggak, nggak pa-pa," balas Ryu menggeleng-geleng. Ia kecup mesra kening istrinya, "makasih Azura," tukasnya. "Semua udah terkumpul Mas, semua kepingan ingatanku yang hilang, puzzle di kepalaku udah tersusun rapi," aku Rara. "Azura," lirih Ryu menundukkan kepala. "Istriku," desahnya penuh rasa syukur. "Mas nangis?" tanya Rara menaikkan pandangan suaminya dengan menangkup rahang Ryu. "Jangan nangis," pintanya. "Aku lega, lega banget." "Maafin aku ya Mas. Maaf karena udah bikin Mas secapek ini. Aku tau seminggu belakangan ini aku ngrepotin banget kan Mas? Aku teriak-teriak histeris, nggak mau dipegang Mas Ryu, maafin aku ya Mas." "Aku masih belom pe
"Aku emang punya mimpi untuk bisa hidup normal sebelum memutuskan untuk memilih mati. Tapi mimpi seindah ini, apa boleh aku minta selamanya aja terjadi? Aku nggak boleh bangun kan?" gumam Rara. Ryu meraih jemari Rara, dibawanya agar bisa menyentuh pipinya. Senyum Ryu melebar, sebelah tangannya yang lain meraba kepala Rara, mengusapnya penuh cinta. "Apa kamu nggak bisa ngerasain kalau ini nyata? Aku nyata, Azura. Suamimu, Ryu Raiden Dhananjaya, orang yang selama 10 tahun belakangan ini cuma ngeliat ke kamu aja, cinta sama kamu," terang Ryu tak lagi memikirkan resiko akibat kalimatnya. Benar kata Luna, Rara masih tetap tenang, tidak histeris atau menolak fakta yang Ryu ungkapkan. Senyum Rara justru terkembang, ia sendiri yang menangkup kedua pipi Ryu tanpa ragu. "Kamu suamiku? Kenapa aku nggak punya ingatan sedikitpun tentang kamu kalau kamu emang nyata? Dari dunia mana kamu berasal? Dunia Rara yang berantakan?" desis Rara bingung, matanya berkaca-kaca. "Dari dunia Lembayung Azura