Ryu memilih bungkam, ia biarkan Rara tetap dalam rasa penasarannya tanpa jawaban. Sampai mereka naik ke kebun malam harinya pun Ryu hanya bicara seperlunya, tak menanggapi pertanyaan Rara yang terus mendesaknya. Dua hari setelahnya ketika bertemu untuk bekerja, Rara masih dengan pertanyaan yang sama. "Gelang jelek yang kamu hina itu, gelang itu juga buatan kamu," jawab Ryu setelah terdesak. "Kenapa saya buatin gelang itu buat Bapak? Bapak pesen ke saya gitu?" tanya Rara tak puas hanya dengan jawaban singkat. "Azura," Ryu mendesah lirih. "Seminggu lagi kita nikah, sampe kapan kamu mau ngeributin masalah ini?" Rara terdiam, ia basahi bibirnya tanpa berani menatap wajah Ryu. Kekosongan pikirannya membuat ia lebih agresif menuntut penjelasan. Terlalu banyak yang tidak Rara ketahui dan lupakan. Ia kesulitan mencari tahu jawaban potongan ingatan yang terus berputar di kepalanya. Sosok Ryu yang tak henti muncul dan terus-menerus ada di dalam potongan ingatannya membuat Rara semak
Sorot mata Ryu yang tadinya memilih untuk mencari fokus pada storage tank di kejauhan sana beralih menatap Rara. Betapa rasa sakit yang Rara tanggung tercermin dalam mata indah Ryu yang berkaca. "Saya cuma menyesalkan kenapa Pak Ryu nggak bilang ke saya soal pertemuan dengan Ibuk," ujar Rara masih tersenyum simpul. "Karena sejauh ini saya taunya Pak Ryu selalu membela saya, ada di pihak saya." "Kamu pikir saya bakalan ngejebak kamu bareng ibu tiri kamu?" tebak Ryu. "Saya hampir gila karena lupa sama kenangan lama saya. Di saat saya berusaha buat ngingat itu semua, fisik saya menolaknya. Saya takut Pak," gumam Rara gelisah. "Saya minta maaf," lirihnya lalu meraih jemari Ryu dengan berani. "Maaf udah sempat meragukan kebaikan Pak Ryu dan keluarga," tambahnya. Ryu membasahi bibirnya beberapa kali, ia tatap Rara sebelum akhirnya mengangguk lemah. Tangannya yang tadi diraih Rara terangkat
"Pak, maaf lahir dan batin ya," kata Rara begitu masuk ke dalam mobil Ryu. "Hem," balas Ryu. "Saya juga minta maaf," ujarnya. "Kamu turun sama siapa kemarin?" Persis setelah hari raya, Ryu dan Rara baru bertemu hari ini, lebaran hari ketiga. Rencananya, setelah menghadiri resepsi pernikahan David sang adik tiri, Rara akan bertemu keluarga Ryu di Sampit, merayakan lebaran bersama mereka sekalian fitting baju pengantin untuk terakhir kalinya. "Bareng Arum Pak, kami motoran, terus daripada saya naik lagi kan, ya udah saya nginep di perumahannya dia sekalian," ujar Rara. "Kenapa nggak bilang kalau udah di Sampit dari kemarin?" "Kan masih libur kerja Pak, iya kan?" gumam Rara polos. "Ssh," Ryu meringis gemas. "Iya, masih libur," desahnya mengalah. "Maksud saya, kalau masih libur kan Bapak nggak terlalu butuh saya sebagai asisten, jadi saya pikir nggak perlu ngabarin Bapak," terang Rara. "Kita nikah seminggu lagi kan ya, Azura?" "Iya Pak. Ambil hari Sabtu ya Pak ya?" jawab Rara pol
"Biar aja saya dibilang buta hejo, kamu timun emasnya," desis Ryu. 'Aku begitu karena nggak mau ada satu pun manusia yang berani menyakitimu, Azura. Kubuat benteng tinggi di sekitarmu dengan sengaja.' "Bukannya dimakan saya malah dijadiin istri ya Pak?" Rara tertawa. "Iya," Ryu ikut tertawa. "Ayo, kayaknya akadnya udah selesai," ajaknya sebelum turun dari dalam mobil, mengenakan kacamata hitamnya. Beberapa tamu undangan tampaknya juga ada yang baru hadir, mereka mengisi buku tamu. Sedangkan Ryu dan Rara ikut mengantre bersama mereka, benar-benar tak menunjukkan bahwa mereka adalah anggota keluarga salah satu mempelai. "Biasanya, acara bakalan sampe malem Pak," bisik Rara setelah Ryu tanpa ijin menggenggam tangannya. "Nggak capek apa pengantennya?" tanya Ryu kaget. "Capek. Tapi nanti ada istirahatnya, kayak pas jam-jam salat, sambil ganti kostum," terang Rara balas menggenggam erat jemari Ryu k
Rara menatap nanar ke kebun di depan rumah pribadi keluarga Dhanapati itu. Di genggaman tangannya, segelas teh hangat sudah ia teguk setengahnya. Sementara, riuh canda tawa Raya dan Reiga masih bisa terdengar meski mereka ada di dalam ruang tamu sana. Duduk di sebelah Rara, Ryu asik membaca buku sambil sesekali menyesap rokoknya. "Pak Ryu punya rumah di Sampit tapi kalau turun ke sini sukanya nginep di hotel," ujar Rara buka suara. "Menurut kamu, kalau saya turun ke Sampit bareng kamu, kamu mau nginep di sini juga? Satu rumah sama saya?" gumam Ryu tanpa melepas pandangannya dari buku yang ia baca. "Weh, horor nih," Rara nyeletuk. "Tapi rumah ini cukup nyaman, selama kerja sama Pak Rain, saya nggak tau kalau Pak Rain sudah punya rumah pribadi di Sampit," katanya. "Nanti kalau kita udah nikah, Mama mau kita yang nempatin rumah ini," ujar Ryu. Ia tutup lembar bukunya dan ditatapnya Rara lekat. "Meski waktu kita pasti bakalan l
Rara menggeleng lemah, "Awalnya saya peduli. Sekarang enggak lagi. Saya bakalan bikin Mas menumbuhkan perasaan itu ke saya seiring waktu berjalan." "Saya suka kamu yang begini. Kamu nggak gampang tumbang, nggak gampang rendah diri dan masa bodoh sama masa lalu yang nggak kamu inget." Rara tersenyum, 'aku cuma nggak mau dikasihani, apalagi sama kamu'. "Makasih sudah memperlakukan saya selayaknya perempuan yang ingin dicintai Mas. Saya dikasih cincin sebagai bentuk ikatan, diterima semua anggota keluarga Mas Ryu, beruntung banget saya ini," kata Rara melow. "Mbak," Reiga tiba-tiba muncul dari dalam rumah. Ia duduk di sebelah Rara, mengagetkan. "Jalan yok ke Citymall," ajaknya random. "Hah?" Rara melirik Ryu sebentar, sang GM tampan menggeleng keras. "Bikin agenda sendiri lo!" dumal Ryu. "Dalam rangka mempererat ikatan ipar, Bang," balas Reiga beralasan. "Ayok Mbak, nonton ke biosk
"Deg-degan ya Mbak? Cantik banget sih kakak ipar," puji Raya gemas. Ia berjongkok di depan tempat Rara tengah dirias, setengah jam lagi akad nikah akan dimulai. "Mbak Raya, beneran gemetaran ini aku," kata Rara dengan mata berkaca-kaca. "Panggil Raya dong, masa adek ipar dipanggil Mbak!" protes qRaya. "Semangat dan tenang ya Bestie, kamu cantik, tercantik hari ini. Percaya sama aku, Abang bakalan pangling, serius cantik maksimal," ujarnya tak henti berbinar kagum. Rara beberapa kali mengambil napas dan mengembuskannya perlahan. Ia tatap pantulan wajahnya di cermin. Sanggul rapi berhias bunga melati sederhana dengan dandanan flawless nampak sangat cocok di wajah polos ayunya. Kebaya pesanan yang dibuat sesuai lekuk tubuhnya itu membuat pesonanya terpancar ke mana-mana, Rara bak mutiara yang bersinar memantulkan cahaya. "Rara," tiba-tiba, Pak Darwis muncul di pintu, ia sudah siap mengenakan jas hitam kerennya. "Silahkan Pak," ujar Raya memberi ruang pada Pak Darwis untuk men
Pak Darwis berdiri, ia usap pundak Rara sekali sebelum beranjak pergi. Berganti dengan Raya dan tim MUA yang langsung bergerak memperbaiki riasan di wajah Rara yang sedikit terkena air mata. "Aku jadi terharu liat Mbak Rara sama ayahnya. Jadi kebayang besok kalau aku begitu sama Papa. Ah, Papa sih gengsinya gede, sama kayak Abang," desah Raya setengah curhat. "Tapi mereka berdua sayang banget sama kamu, Ray," ucap Rara mencoba untuk memanggil Raya dengan lebih santai. "Iya, bentar lagi Abang jadi punya kamu, Mbak, buat gengsinya luntur dan ubah dia jadi bucin ya," kekeh Raya. "Udah siap ini Kak?" tanyanya pada sang MUA. "Sudah Kak, bisa bersiap untuk akad," jawab sang MUA. Pelan-pelan, Raya memegangi lengan calon kakak iparnya. Setelah menarik napas panjang untuk mengusir gugup, Rara melangkahkan kaki. Hari ini, ia akan resmi menyandang status baru, semua masa lalu yang tidak diingatnya pun kejadian menyakitkan yang membuatnya lupa, akan ia tinggalkan. Melangkah masuk ke d
"Mas nggak di rumah nggak di kebun, sama isi kamarnya, minimalis banget," ujar Rara. "Tapi nyaman deh," pujinya. "Udah selesai obrolan lelakinya?""Udah," jawab Ryu. "Ngerokok doang tadi tu," urainya."Opabro galak ya?""Tau aja panggilan Opabro," kekeh Ryu."Raya yang ngasih tau.""Opa seru kok, tenang aja," ujar Ryu."Aku pernah diceritain sama Raya soal Opa J, kisahnya Mama Mika pas hamil Mas.""Emang drama banget kisah cintanya Papa sama Mama. Mereka sama-sama anak orang kaya, jadi emang dramatis banget, nggak klise sama sekali. Asal kamu tau, Azura, aku ini anak di luar nikah. Mama hamil aku sebelom dinikahin sama Papa," cerita Ryu."Jadi, itulah kenapa Mas kasian sama aku?""Mana mungkin alasannya itu. Ya oke, kisahku emang cukup menyentuh. Tapi kenapa aku cuma ngeliat ke kamu, seorang Lembayung Azura Arunika adalah karena peletmu!" gemas Ryu menyentil hidung istrinya iseng."Apaan ih, ak
"Rara!!" sambut Mika bersemangat, ia peluk menantunya itu erat sekali. "Selamat datang di Jakarta ya, Sayang," ucapnya senang."Makasih Ma, seneng banget akhirnya bisa kesampean maen ke Jakarta," balas Rara tak kalah cerianya. Beruntung karena ia menjadi cinta pertama putra mahkota keluarga kaya raya ini."Maaf ya Mama nggak bisa ikut jemput ke bandara, yayasan lagi banyak kerjaan ini," sebut Mika. "Istirahat ya, kamar Ryu di atas, paling pojok," tunjuknya ke deretan kamar di lantai dua."Nanti aja ke kamarnya nunggu Mas Ryu, Ma," kata Rara."Ke mana Ray, si abang?" Mika menoleh anak gadisnya."Ngobrol sama Papabro sama Opabro di samping tuh," jawab Raya. "Mau kuanter ke kamar dulu apa Mbak?" tawarnya. "Mereka bertiga kalau udah ketemu suka lama ngobrolnya," tandasnya."Aku belom pernah ketemu Opa," gumam Rara lirih."Ah," mata Mika membola. "Iya, ya. Nanti kalau makan malem kita kenalin secara resmi. Tenang, Opa nggak galak," kekehnya."Yuk Mbak, kuanter ke kamar dulu," ajak Raya mer
Ryu beranjak ke dapur, mengambilkan permintaan istrinya. Ia kembali sambil membawa kotak obat milik Rara. "Diminum obatnya ya," pinta Ryu. Rara tak menolak, ia teguk air putih yang Ryu bawakan, juga ia telan obat yang Luna resepkan. Rasa sesak masih kuat menghimpit dadanya, marah dan kecewa pada sang ayah masih terus menghantui pikirannya. "Mas, boleh ajak aku ke Jakarta?" celetuk Rara tiba-tiba, menatap suaminya dengan sorot memohon. "Boleh, aku emang ada rencana ajak kamu ke sana." "Dalam waktu dekat, besok atau lusa," tuntut Rara. "Hem?" kedua alis Ryu bertaut. "Kamu kangen sama Mama?" candanya. "Aku pengin melarikan diri dari sini dulu. Liat pohon sawit di sana-sini, dadaku kayak dihimpit excavator, sesak Mas." "Ya oke, nanti kuurus kerjaan di kebun dulu sama yang laen. Kuusahain secepatnya kita ke Jakarta," putus Ryu berjanji.
Ryu menyesap rokoknya dalam-dalam, tatapannya tak beralih dari gelas es kopinya yang tinggal menyisakan jelaga. Di seberangnya, Rara juga memilih untuk diam, tangannya sibuk mengaduk-aduk es teh miliknya dengan sedotan, minuman yang warnanya sudah memutih karena esnya mencair. Sedangkan Pak Darwis diminta Rara pulang lebih dulu, Rara tidak ingin hatinya tambah kalut dan sakit hati. "Hatiku berusaha memahami kalau apa yang Ayah lakuin itu sebenernya karena Ayah nggak mau liat aku menderita karena dihina," sebut Rara setelah berdiam lama. "Tapi aku yakin, Ibuk pasti mempengaruhi Ayah biar berani begitu. Sejauh Ayah menikah sama Bunda, aku tau Ayah nggak pernah gegabah begitu, Mas," ungkapnya. "Kalau kami laporin Bu Endah waktu itu sebagai percobaan pembunuhan, Ayah bakalan keseret juga karena Ayah yang nyediain air itu," desah Ryu menjentik abu rokoknya di asbak. "Dan kalau Ayah kena persoalan hukum, kamu nggak punya pegangan. Keluargaku masih orang asing waktu itu, keluarga Bundamu
"Iyah," ucap Rara mantap. "Kayaknya Ayah udah sampe," bisiknya melihat ada sebuah motor yang terparkir di mana nomor polisinya sangat familiar. Beriringan, Ryu dan Rara masuk ke dalam rumah makan setelah mencari tempat parkir yang teduh lebih dulu. Nampak Pak Darwis berdiri untuk menyambut, ada rindu di mata tuanya yang sendu. Senyum simpul Pak Darwis terkembang, ia datang sendirian. "Rara," ucap Pak Darwis spontan memeluk anak perempuan tercintanya. "Ayah udah pesen minum?" tanya Rara setelah melepas pelukannya. "Udah, kalian udah pesen makanannya juga ya?" tanya Pak Darwis balik. "Sudah Yah, tadi lewat WA," Ryu yang menjawab sembari menyodorkan minuman yang dibawakan seorang pelayan. "Aku udah inget semuanya, Yah," ungkap Rara tanpa basa-basi. "Semuanya, nggak ada yang terlewatkan," sebutnya. Pak Darwis terpana. Ia yang semula siap meneguk teh manisnya, memilih meletakkan kemba
"Alhamdulillah Rara," Luna meremas lembut kedua sisi pundak Rara. "Makasih udah berjuang bareng kita," ucapnya. "Makasih juga Dokter Luna, Dokter yang selalu sabar dampingi saya," jawab Rara mematri senyum cantiknya. "Apa ke depannya ada kemungkinan saya bakalan lupa sama kenangan saya lagi, Dok?" tanyanya. Luna menoleh Ryu dulu sebelum menjawab pertanyaan Rara. Ryu hanya mengangguk dengan senyum simpul yang menghiasi wajah setampan dewanya. Semua pengobatan Rara termasuk penyembuhan kejiwaannya Ryu serahkan sepenuhnya pada Luna. "Semua itu tergantung sama diri kamu sendiri, Rara. Tapi kalau kamu sekuat ini, saya yakin kamu bakalan baik-baik aja. Ada keluhan lain nggak?" tanya Luna sambil kembali duduk lagi di kursinya. "Masih suka sesak dada saya kalau secara nggak sengaja saya keinget kejadian itu. Kepala tiba-tiba pusing, kayak saya jadi menggigil ketakutan, panik gitu, Dok," sebut Rara. "Nggak pa-pa. Kamu penyintas PTSD, wajar masih ada gejala begitu. Tapi perkembangan kamu
Keduanya lantas bangkit, mereka keluar dari kamar beriringan, Ryu merangkul pundak istrinya mesra. Melihat atmosfer itu, Susi terpaku takjub. Ditatapnya Rara dan Ryu bergantian, tak percaya bahwa Rara akan dengan santainya menerima perlakuan manis sang suami. "Mbak Rara, udah enakan?" tanya Susi reflek mengambilkan piring untuk Rara. "Nggak saya suapin di kamar?" tawarnya. "Aku mau disuapin suamiku, Mbak," kata Rara nyengir. "Hah?" Susi terpana. "Bu GM udah inget saya, Mbak," ucap Ryu. "Tolong ambilin obatnya Azura aja ya Mbak, di kamar, saya lupa bawa karena saking senengnya," pintanya. "Ehm, iya Pak, siap," sahut Susi tergagap tapi tetap bergegas beranjak ke kamar Ryu. "Makasih kalian, orang-orang hebat yang dikasih banyak kesabaran buat ngehadapin kegilaanku," desis Rara sambil menatap punggung Susi yang berjalan ke kamarnya. "Ini bukti kalau setelah hujan badai halilintar, T
"Mas," bisik Rara, ia usap punggung Ryu yang masih memeluknya erat. "Mas Ryu," panggilnya lembut. "Inget aku? Inget suamimu?" tanya Ryu masih terlihat gugup, ia lepas pelukannya. Rara nampak membasahi bibirnya, "Aku nggak lupa rasanya," bisiknya seraya meraba bibir. "Maafin aku Mas, maaf aku lupain Mas segitu gampangnya," katanya. "Enggak, nggak pa-pa," balas Ryu menggeleng-geleng. Ia kecup mesra kening istrinya, "makasih Azura," tukasnya. "Semua udah terkumpul Mas, semua kepingan ingatanku yang hilang, puzzle di kepalaku udah tersusun rapi," aku Rara. "Azura," lirih Ryu menundukkan kepala. "Istriku," desahnya penuh rasa syukur. "Mas nangis?" tanya Rara menaikkan pandangan suaminya dengan menangkup rahang Ryu. "Jangan nangis," pintanya. "Aku lega, lega banget." "Maafin aku ya Mas. Maaf karena udah bikin Mas secapek ini. Aku tau seminggu belakangan ini aku ngrepotin banget kan Mas? Aku teriak-teriak histeris, nggak mau dipegang Mas Ryu, maafin aku ya Mas." "Aku masih belom pe
"Aku emang punya mimpi untuk bisa hidup normal sebelum memutuskan untuk memilih mati. Tapi mimpi seindah ini, apa boleh aku minta selamanya aja terjadi? Aku nggak boleh bangun kan?" gumam Rara. Ryu meraih jemari Rara, dibawanya agar bisa menyentuh pipinya. Senyum Ryu melebar, sebelah tangannya yang lain meraba kepala Rara, mengusapnya penuh cinta. "Apa kamu nggak bisa ngerasain kalau ini nyata? Aku nyata, Azura. Suamimu, Ryu Raiden Dhananjaya, orang yang selama 10 tahun belakangan ini cuma ngeliat ke kamu aja, cinta sama kamu," terang Ryu tak lagi memikirkan resiko akibat kalimatnya. Benar kata Luna, Rara masih tetap tenang, tidak histeris atau menolak fakta yang Ryu ungkapkan. Senyum Rara justru terkembang, ia sendiri yang menangkup kedua pipi Ryu tanpa ragu. "Kamu suamiku? Kenapa aku nggak punya ingatan sedikitpun tentang kamu kalau kamu emang nyata? Dari dunia mana kamu berasal? Dunia Rara yang berantakan?" desis Rara bingung, matanya berkaca-kaca. "Dari dunia Lembayung Azura