"Azura tau kalau dia pernah ngalamin itu Ma," desis Ryu mengadu pada Mika, keduanya tengah duduk berdua di taman rumah makan, sementara yang lain sudah menunggu hidangan buka puasa di meja yang direservasi.
"Terus? Dia nggak syok kan? Nggak berusaha buat nyiksa dirinya lagi kan?" mata Mika membola panik. Ryu menggeleng, "Dia belom inget, cuma denger soal itu dari ibu tirinya." "Mak Lampir satu itu ya! Kurang ajar banget mulutnya!" umpat Mika seketika kesal. "Azura dateng ke rumah di TC pas aku sama adek-adek sampe di kebun. Awalnya nggak mau ngaku, tapi terus nangis pas udah kudesak. Jujur Ma, aku bingung waktu itu, dia nanya itu bener atau enggak dan aku ada di posisi yang serba salah. Untungnya dia baik-baik aja, ingatannya aman," terang Ryu. "Kamu harus jaga dia dari ingatan traumatis itu dengan resiko dia nggak inget kamu." "Aku udah bilang kan Ma, selama dia baik-baik aja, aku nggak pa-pa"Buat pernikahan adik tiri saya, saya pengin ditemenin Pak Ryu ke sana," ujar Rara penuh harap. "Dua hari setelah lebaran kan? Saya temenin," balas Ryu. "Beneran? Pak Ryu nggak nolak?" Ryu mengangguk, "Saya senggang, kita ke sana dan buat Bu Endah nggak berkutik," jawabnya yakin hingga mencipta senyum lebar di wajah cantik Rara. *** Rumah Sakit Umum Daerah, Sampit, 7 tahun lalu .... "Di mana?" Ryu mendatangi Mika tergesa, ia sampai tidak menyapa Rain sang papa yang duduk di sebelah ibundanya. "Tenang dulu, duduk dulu," kata Rain menahan lengan Ryu. "Ma, dia nggak kenapa-napa kan?" tanya Ryu dengan mata berkaca. "Bang," Mika mengusap punggung Ryu lembut. "Tenang ya," katanya tak bisa berkata-kata. Mendengar kabar dari Mika mengenai kejadian yang menimpa Rara, Ryu memaksa untuk pulang. Ia terbang langsung ke Indonesia dan
Selama perjalanan pulang dari berbuka puasa bersama, Ryu tak mengajak bicara Rara sepatah kata pun. Mereka hanya naik mobil berdua, Reiga dan Raya ikut mobil jemputan untuk Rain dan Mika. Karena harus bekerja besok pagi, Ryu dan Rara kembali ke kebun lebih dulu, sementara Rain dan Mika serta dua anaknya yang lain memilih tinggal di rumah Sampit sampai nanti lebaran tiba. "Jadi mampir ke hypermart?" tawar Ryu buka suara. "Pak Ryu mau belanja sekalian? Kalau Bapak mau belanja sekalian, boleh Pak, mampir," jawab Rara bersemangat. "Saya mau cari rokok," gumam Ryu lantas membelokkan arah mobilnya ke Borneo City Mall. "Rokok bukannya bisa di warung kelontong ya Pak?" celetuk Rara sepolos kain penyaring ampas kedelai. "Di hypermart emang ada?" tambahnya setengah mengobrol dengan dirinya sendiri. "Jadi nggak nih? Kalau nggak jadi saya kel
"Turun ke Sampit cuma dititipin suruh beli pembalut? Situ sehat?" "Sekarang sehat kok Pak. Emang ngumpul sama keluarga Pak Ryu itu positive vibes banget. Mana Reiga seru banget anaknya," puji Rara tulus. "Seru sampe saya pengin nyemplungin dia ke Sungai Mentaya," dengus Ryu. "Hihi, hobi ya dia buka aib sodaranya," Rara terkikik geli. Ryu tak lagi menanggapi, ia memilih untuk mengambil merk pembalut yang tadi ditunjuk oleh Rara. Melihat sikap sang GM, Rara langsung menahan jemarinya. "Bapak ngapain beli pembalut?" tanya Rara bingung. "Buat stok kamu di rumah. Biar nggak ngrepotin saya," tandas Ryu. "Saya masih punya banyak Pak, lagian saya dapet juga sebulan sekali, bukan seminggu sekali, ih. Takut amat saya titip beli kalau pas Bapak turun sendiri," desis Rara geleng-geleng kepala
"Kamu minta uang ke Rara, Ndah?" Pak Darwis menoleh istrinya. "Aku pinjam, tapi nggak dikasih sama dia, lagian udah lama juga," jawab Bu Endah. "Ibuk bilang, aku bikin malu keluarga dan bikin Ayah dipandang hina sama satu kampung karena aku diperkosa banyak orang. Katanya, karena aku nggak bisa jaga diri, dia jadi ikut kena imbasnya," ungkap Rara sangat berani, bahunya sedikit naik-turun, menahan luapan emosi di dadanya. Mendengar ucapan Rara, Ryu terhenyak. Ketegangan di ruang tamu yang dipenuhi keluarga besar itu kian merebak. Pak Darwis bungkam, tapi matanya jelas menyiratkan kemarahan yang begitu besar. Sejenak keheningan hinggap, beberapa anggota keluarga dari Bu Endah yang tadinya asik mengobrol berubah bisu seketika, pandangan mereka lurus ke arah Rara. "Ayah sekarang udah punya keluarga baru, jadi, biarin aku hidup sendiri, aku ngg
Dini hari, mobil Ryu menepi di dingin dan sepinya Pantai Seibakau. Rara yang duduk di kursi penumpang depan nampak lelap tertidur, kelelahan. Ryu menghela napas panjang, diraihnya rokok di atas dashboard, ia memilih turun lebih dulu. Tampak di sebelah kiri pantai, beberapa tenda kecil didirikan, beberapa muda-mudi memang sering bercamping di sana. Setenang dan se-syahdu itu Pantai Seibakau, itulah kenapa Ryu memilihnya untuk membawa Rara ke sana. Meski harus menempuh jauh perjalanan sekitar 3-4 jam, semuanya sepadan. Bunyi debur ombak yang mencium pantai menjadi satu musik indah yang menenangkan. "Mas Ryu!" sapa sebuah suara. "Amang," Ryu melambai begitu tahu siapa yang datang. "Maaf ngrepotin tengah malam gini," sesalnya bersalah. Amang Rimang adalah penduduk lokal, orang yang sering Rain mintai bantuan ketika ia berlibur bersama keluarganya mengunjungi Pantai Seibakau. Semua kebutuhan liburan keluarga
Rara menarik napasnya beberapa kali, mengembuskannya kuat-kuat. Jika tadi adalah mimpi, kenapa rasanya nyata sekali? Apalagi saat melihat ke arah lelaki ini, hati Rara menghangat. Hanya dengan memandang Ryu seperti ini saja ia merasa tenang. Ryu memang tidak pandai bicara, ia bukan seseorang yang pintar menghibur dengan kata-kata. Namun soal act of service, Ryu juaranya, bahkan melebihi kebucinan Rain pada Mika, orang tuanya. Rasa-rasanya, semua beban yang Rara tanggung di dalam hatinya sedikit terangkat ketika ia bersama Ryu. "Bapak nggak bangunin saya?" tegur Rara yang sudah turun dari mobil, mengagetkan Ryu. "Mana mungkin, kamu ngorok gitu tidurnya," ucap Ryu menahan senyum. Spontan Rara menutup mulutnya, malu, "Apa iya Pak? Ih, saya jarang ngorok padahal," desisnya. "Nyatanya emang begitu, mana tega saya bangunin," ucap Ryu. "Kita nanti makan sahur di sini, baru balik lagi ke kebun," ujarnya. "Emang di si
"Saya ganti baju dulu, kamu kalau mau sahur duluan, duluan aja," ucap Ryu sambil membuka satu per satu kancing kemejanya. Setelah memeluk Rara di pantai untuk menenangkannya, Ryu mengajak Rara pulang ke pondok milik Amang Rimang yang memang sudah disiapkan. Menu makan sahur sudah tersedia, ada air hangat untuk mandi dan tempat tidur yang nyaman. Lokasinya masih di sekitar pantai meski tak terlalu dekat dengan bibir pantainya. "Gara-gara saya, baju Pak Ryu jadi basah," sesal Rara. Sebuah kata singkat, tapi bermuatan perhatian. "Nggak pa-pa, saya bawa ganti," ucap Ryu melepas kemejanya dan bertelanjang dada dengan santainya di depan Rara. Kini, Rara bisa melihat dengan jelas tulisan di dada Ryu itu. Tertera tulisan "LEMBAYUNG" kecil dengan dua garis pendek yang mengapitnya. Ryu cukup percaya diri karena yakin bahwa Rara tak mungkin membaca tulisan permanen di dadanya itu. "Lembayung ...," desis Rara lirih. Gerakan Ryu yang tengah mengambil handuk kecil di atas nakas terhenti
"Pak," Rara susah payah menelan nasinya. "Saya takut kalau semua yang Ibuk bilang itu bener," lirihnya. "Kenapa takut? Ada saya," jawab Ryu sederhana. "GM nikahin perempuan bekas orang banyak, apa nggak memalukan?" "Biasa aja," Ryu mengedikkan bahunya santai. "Saya tidur dulu bentar, ngantuk," pamitnya kabur, tak menghabiskan makanannya. Rara mengangguk, dihelanya napas panjang seraya menatap punggung tegap Ryu yang akhirnya berbaring nyaman di sofa panjang. Sambil memberesi bekas piringnya bersama Ryu, sesekali Rara menoleh calon suami tampannya. Ryu yang istimewa dan luar biasa, si canggung yang sangat perhatian terhadapnya, si pemilik gengsi seluas samudra.Berbeda dengan Ryu, Rara yang sudah tidur sepanjang perjalanan menuju pantai, justru terjaga hingga adzan subuh berkumandang. Ia memilih untuk duduk di depan pondok, sesekali memainkan ponselnya yang mulai panas karena
"Jadi, mau tinggal di Jakarta aja?" tawar Opa Julian sambil melirik cucu menantunya."Ya?" hampir Rara tersedak. "Kami masih aktif bekerja di kebun, Opa," balasnya tertegun. Ia melirik suaminya yang masih asik menikmati hidangan makan malam, santai sekali."Ryu bakalan menggantikan Papanya di DC, paling dua tahun dari sekarang, dia harus sudah bisa pegang DC," ucap Opa Julian. "Ryu cuma tiga bersaudara, kamu tau dia sulung dan DC adalah tanggung jawabnya.""Pa," Rain angkat bicara. "Anak-anak masih muda, Ryu baru aja nikah, biarin aja lah mereka menikmati suasana kebun dulu," katanya."Kecuali," sela Mika, "kalau emang Rara nyaman dan betah di Jakarta, ya udah, biar Rara aja di sini sama Ryu. Kebun biar Mas Rain lagi yang tangani," usulnya."Ini nggak ada yang mau bantuin aku di pabrik?" celetuk Raya. "Aku cewek lho, suruh ngurusin rokok, tolong deh!" protesnya."Mama juga cewek, dan Mama juga sukses ngurus Indrajaya sendirian," sergah Rain."Ada Uncle Kev support system-nya betewe!"
"Mas nggak di rumah nggak di kebun, sama isi kamarnya, minimalis banget," ujar Rara. "Tapi nyaman deh," pujinya. "Udah selesai obrolan lelakinya?""Udah," jawab Ryu. "Ngerokok doang tadi tu," urainya."Opabro galak ya?""Tau aja panggilan Opabro," kekeh Ryu."Raya yang ngasih tau.""Opa seru kok, tenang aja," ujar Ryu."Aku pernah diceritain sama Raya soal Opa J, kisahnya Mama Mika pas hamil Mas.""Emang drama banget kisah cintanya Papa sama Mama. Mereka sama-sama anak orang kaya, jadi emang dramatis banget, nggak klise sama sekali. Asal kamu tau, Azura, aku ini anak di luar nikah. Mama hamil aku sebelom dinikahin sama Papa," cerita Ryu."Jadi, itulah kenapa Mas kasian sama aku?""Mana mungkin alasannya itu. Ya oke, kisahku emang cukup menyentuh. Tapi kenapa aku cuma ngeliat ke kamu, seorang Lembayung Azura Arunika adalah karena peletmu!" gemas Ryu menyentil hidung istrinya iseng."Apaan ih, ak
"Rara!!" sambut Mika bersemangat, ia peluk menantunya itu erat sekali. "Selamat datang di Jakarta ya, Sayang," ucapnya senang."Makasih Ma, seneng banget akhirnya bisa kesampean maen ke Jakarta," balas Rara tak kalah cerianya. Beruntung karena ia menjadi cinta pertama putra mahkota keluarga kaya raya ini."Maaf ya Mama nggak bisa ikut jemput ke bandara, yayasan lagi banyak kerjaan ini," sebut Mika. "Istirahat ya, kamar Ryu di atas, paling pojok," tunjuknya ke deretan kamar di lantai dua."Nanti aja ke kamarnya nunggu Mas Ryu, Ma," kata Rara."Ke mana Ray, si abang?" Mika menoleh anak gadisnya."Ngobrol sama Papabro sama Opabro di samping tuh," jawab Raya. "Mau kuanter ke kamar dulu apa Mbak?" tawarnya. "Mereka bertiga kalau udah ketemu suka lama ngobrolnya," tandasnya."Aku belom pernah ketemu Opa," gumam Rara lirih."Ah," mata Mika membola. "Iya, ya. Nanti kalau makan malem kita kenalin secara resmi. Tenang, Opa nggak galak," kekehnya."Yuk Mbak, kuanter ke kamar dulu," ajak Raya mer
Ryu beranjak ke dapur, mengambilkan permintaan istrinya. Ia kembali sambil membawa kotak obat milik Rara. "Diminum obatnya ya," pinta Ryu. Rara tak menolak, ia teguk air putih yang Ryu bawakan, juga ia telan obat yang Luna resepkan. Rasa sesak masih kuat menghimpit dadanya, marah dan kecewa pada sang ayah masih terus menghantui pikirannya. "Mas, boleh ajak aku ke Jakarta?" celetuk Rara tiba-tiba, menatap suaminya dengan sorot memohon. "Boleh, aku emang ada rencana ajak kamu ke sana." "Dalam waktu dekat, besok atau lusa," tuntut Rara. "Hem?" kedua alis Ryu bertaut. "Kamu kangen sama Mama?" candanya. "Aku pengin melarikan diri dari sini dulu. Liat pohon sawit di sana-sini, dadaku kayak dihimpit excavator, sesak Mas." "Ya oke, nanti kuurus kerjaan di kebun dulu sama yang laen. Kuusahain secepatnya kita ke Jakarta," putus Ryu berjanji.
Ryu menyesap rokoknya dalam-dalam, tatapannya tak beralih dari gelas es kopinya yang tinggal menyisakan jelaga. Di seberangnya, Rara juga memilih untuk diam, tangannya sibuk mengaduk-aduk es teh miliknya dengan sedotan, minuman yang warnanya sudah memutih karena esnya mencair. Sedangkan Pak Darwis diminta Rara pulang lebih dulu, Rara tidak ingin hatinya tambah kalut dan sakit hati. "Hatiku berusaha memahami kalau apa yang Ayah lakuin itu sebenernya karena Ayah nggak mau liat aku menderita karena dihina," sebut Rara setelah berdiam lama. "Tapi aku yakin, Ibuk pasti mempengaruhi Ayah biar berani begitu. Sejauh Ayah menikah sama Bunda, aku tau Ayah nggak pernah gegabah begitu, Mas," ungkapnya. "Kalau kami laporin Bu Endah waktu itu sebagai percobaan pembunuhan, Ayah bakalan keseret juga karena Ayah yang nyediain air itu," desah Ryu menjentik abu rokoknya di asbak. "Dan kalau Ayah kena persoalan hukum, kamu nggak punya pegangan. Keluargaku masih orang asing waktu itu, keluarga Bundamu
"Iyah," ucap Rara mantap. "Kayaknya Ayah udah sampe," bisiknya melihat ada sebuah motor yang terparkir di mana nomor polisinya sangat familiar. Beriringan, Ryu dan Rara masuk ke dalam rumah makan setelah mencari tempat parkir yang teduh lebih dulu. Nampak Pak Darwis berdiri untuk menyambut, ada rindu di mata tuanya yang sendu. Senyum simpul Pak Darwis terkembang, ia datang sendirian. "Rara," ucap Pak Darwis spontan memeluk anak perempuan tercintanya. "Ayah udah pesen minum?" tanya Rara setelah melepas pelukannya. "Udah, kalian udah pesen makanannya juga ya?" tanya Pak Darwis balik. "Sudah Yah, tadi lewat WA," Ryu yang menjawab sembari menyodorkan minuman yang dibawakan seorang pelayan. "Aku udah inget semuanya, Yah," ungkap Rara tanpa basa-basi. "Semuanya, nggak ada yang terlewatkan," sebutnya. Pak Darwis terpana. Ia yang semula siap meneguk teh manisnya, memilih meletakkan kemba
"Alhamdulillah Rara," Luna meremas lembut kedua sisi pundak Rara. "Makasih udah berjuang bareng kita," ucapnya. "Makasih juga Dokter Luna, Dokter yang selalu sabar dampingi saya," jawab Rara mematri senyum cantiknya. "Apa ke depannya ada kemungkinan saya bakalan lupa sama kenangan saya lagi, Dok?" tanyanya. Luna menoleh Ryu dulu sebelum menjawab pertanyaan Rara. Ryu hanya mengangguk dengan senyum simpul yang menghiasi wajah setampan dewanya. Semua pengobatan Rara termasuk penyembuhan kejiwaannya Ryu serahkan sepenuhnya pada Luna. "Semua itu tergantung sama diri kamu sendiri, Rara. Tapi kalau kamu sekuat ini, saya yakin kamu bakalan baik-baik aja. Ada keluhan lain nggak?" tanya Luna sambil kembali duduk lagi di kursinya. "Masih suka sesak dada saya kalau secara nggak sengaja saya keinget kejadian itu. Kepala tiba-tiba pusing, kayak saya jadi menggigil ketakutan, panik gitu, Dok," sebut Rara. "Nggak pa-pa. Kamu penyintas PTSD, wajar masih ada gejala begitu. Tapi perkembangan kamu
Keduanya lantas bangkit, mereka keluar dari kamar beriringan, Ryu merangkul pundak istrinya mesra. Melihat atmosfer itu, Susi terpaku takjub. Ditatapnya Rara dan Ryu bergantian, tak percaya bahwa Rara akan dengan santainya menerima perlakuan manis sang suami. "Mbak Rara, udah enakan?" tanya Susi reflek mengambilkan piring untuk Rara. "Nggak saya suapin di kamar?" tawarnya. "Aku mau disuapin suamiku, Mbak," kata Rara nyengir. "Hah?" Susi terpana. "Bu GM udah inget saya, Mbak," ucap Ryu. "Tolong ambilin obatnya Azura aja ya Mbak, di kamar, saya lupa bawa karena saking senengnya," pintanya. "Ehm, iya Pak, siap," sahut Susi tergagap tapi tetap bergegas beranjak ke kamar Ryu. "Makasih kalian, orang-orang hebat yang dikasih banyak kesabaran buat ngehadapin kegilaanku," desis Rara sambil menatap punggung Susi yang berjalan ke kamarnya. "Ini bukti kalau setelah hujan badai halilintar, T
"Mas," bisik Rara, ia usap punggung Ryu yang masih memeluknya erat. "Mas Ryu," panggilnya lembut. "Inget aku? Inget suamimu?" tanya Ryu masih terlihat gugup, ia lepas pelukannya. Rara nampak membasahi bibirnya, "Aku nggak lupa rasanya," bisiknya seraya meraba bibir. "Maafin aku Mas, maaf aku lupain Mas segitu gampangnya," katanya. "Enggak, nggak pa-pa," balas Ryu menggeleng-geleng. Ia kecup mesra kening istrinya, "makasih Azura," tukasnya. "Semua udah terkumpul Mas, semua kepingan ingatanku yang hilang, puzzle di kepalaku udah tersusun rapi," aku Rara. "Azura," lirih Ryu menundukkan kepala. "Istriku," desahnya penuh rasa syukur. "Mas nangis?" tanya Rara menaikkan pandangan suaminya dengan menangkup rahang Ryu. "Jangan nangis," pintanya. "Aku lega, lega banget." "Maafin aku ya Mas. Maaf karena udah bikin Mas secapek ini. Aku tau seminggu belakangan ini aku ngrepotin banget kan Mas? Aku teriak-teriak histeris, nggak mau dipegang Mas Ryu, maafin aku ya Mas." "Aku masih belom pe