"Azura tau kalau dia pernah ngalamin itu Ma," desis Ryu mengadu pada Mika, keduanya tengah duduk berdua di taman rumah makan, sementara yang lain sudah menunggu hidangan buka puasa di meja yang direservasi.
"Terus? Dia nggak syok kan? Nggak berusaha buat nyiksa dirinya lagi kan?" mata Mika membola panik. Ryu menggeleng, "Dia belom inget, cuma denger soal itu dari ibu tirinya." "Mak Lampir satu itu ya! Kurang ajar banget mulutnya!" umpat Mika seketika kesal. "Azura dateng ke rumah di TC pas aku sama adek-adek sampe di kebun. Awalnya nggak mau ngaku, tapi terus nangis pas udah kudesak. Jujur Ma, aku bingung waktu itu, dia nanya itu bener atau enggak dan aku ada di posisi yang serba salah. Untungnya dia baik-baik aja, ingatannya aman," terang Ryu. "Kamu harus jaga dia dari ingatan traumatis itu dengan resiko dia nggak inget kamu." "Aku udah bilang kan Ma, selama dia baik-baik aja, aku nggak pa-paMewarisi perusahaan yang dikelola oleh keluarga besar Dhanapati, Ryu Raiden Dhananjaya harus berakhir di dalam perkebunan sawit rimbun Kalimantan Tengah yang jauh dari keramaian dua bulan belakangan ini. Bagaimanapun, ia sulung dari pasangan Gentala Rainer Dhanapati, pengusaha perkebunan kelapa sawit tersohor dan Mika Hayu Lyana Indrajaya—pewaris perusahaan rokok terbesar di Jawa. Jadi, mau tidak mau, Ryu harus rela melanjutkan bisnis keluarga demi membuktikan kualitas dan kemampuannya dan hidup menepi dari hiruk-pikuk perkotaan. "AZURA!!" Satu detik. Dua detik. Tiga detik. "AZURA!!" "Inggih Bapak (Banjar: Iya, Bapak), maaf Pak, saya baru kembali dari kantin," ucap Rara, begitu Lembayung Azura Arunika akrab dipanggil. Ia menyembulkan kepalanya di pintu ruangan sang bos, tersenyum cantik. "Ngapain di kantin?" tanya Ryu, lelaki berparas rupawan dengan perangai 'buta hejo' kata para karyawannya ini. "Maaf, ini jam makan siang kan Pak?" Rara meringis polos. "Sejak kapan kamu
"Kita ke Simpang, Pak?" tanya Rara kaget saat Ryu membelokkan mobilnya menembus jalan poros menuju portal utama perusahaan.Lokasi pabrik kelapa sawit di mana perusahaan yang dipimpin Ryu beroperasi memang berada di tengah jantung kebun kelapa sawit. Akses menuju perusahaan harus melewati portal utama perusahaan yang letaknya di pinggir jalan lintas kabupaten di Kalimantan Tengah. Jalan poros adalah satu dari beberapa jalur penghubung perusahaan dengan dunia di luar perkebunan yang dibangun perusahaan untuk mobilitas kendaraan pengangkut CPO. "Hem," Ryu menggumam. "Pasti telat balik kantor kan Pak?" "Kenapa emangnya? Saya yang punya perusahaan, siapa yang berani negur saya?" tantang Ryu. "Bukannya perusahaan masih atas nama Pak Rain ya Pak?" sangkal Rara menggemaskan. Ryu mendengus kasar, "Kamu mau ngajak saya berdebat?" geramnya. "Hah? Mana saya berani Pak," balas Rara nyengir. "Jangan banyak protes makanya!" sungut Ryu galak. "Saya nggak protes Pak, nanya aja kok
Rara memilih untuk bungkam lagi setelah mereka melanjutkan perjalanan. Masih ada sekitar 90 menit ke depan yang harus ia lalui bersama kecanggungan ini. Ryu tampak angkuh menyetir, mulutnya terkunci, kacamata hitam bertengger nyaman di hidung mancung sampai langitnya, menggantikan kacamata andalan berlensa bening andalannya sehari-hari. "Saya boleh tanya yang sedikit pribadi nggak Pak?" tanya Rara tak tahan juga terdiam tanpa berbuat apa-apa, sementara kepalanya akan mudah pusing jika terus melihat layar ponsel. "Enggak." Singkat, padat dan menyebalkan. Begitulah Ryu dikenal oleh para karyawan. "Ya Allah Pak, baru juga nawaitu sayanya," ujar Rara diam-diam mencibir. "Saya nggak suka ditanya-tanya. Males nyari jawabannya," tandas Ryu. "Kan Bapak belom tau saya mau nanya apa, kenapa udah males aja? Aneh ih Bapak nih," ucap Rara dengan logat Banjar-nya yang khas dan menjadi candu di telinga Ryu. "Emang mau nanya apaan?" gumam Ryu. "Bakalan dijawab nggak tapinya?" Ryu mengedikkan
"Beneran tau Pak? Serius?" sorak Rara senang, sepolos itu pikirannya hingga ia tak mau tahu tentang ucapan mengejutkan dari Ryu barusan. "Mending kamu tidur aja, biar saya konsentrasi nyetir," jakun Ryu naik-turun menandakan ia gugup saat berucap, masih berusaha menata hati. "Nanti saya dibilang nggak tau diri. Atasan nyetir sayanya, guring (Banjar: tidur)," Rara meringis geli. "Ketimbang kamu ganggu konsentrasi saya nyetir. Udah berisik, pertanyaannya nggak berfaedah, nggak berbobot." "Tapi kan saya jadi tau kalau Pak Ryu sebenernya suka cerita, rajin senyum pula." Ryu mendesah, "Kamu sarapan apa pagi ini? Kenapa ngocehnya overdosis gini?" tanyanya. "Tadi makan snack aja sih Pak, tapi emang ada jagungnya," Rara terbahak. "Ya Tuhan," desis Ryu. "Baeknya pake kesempatan buat tidur. Nanti kalau udah sampe Sampit, saya nggak akan ngelepasin kamu!" ujarnya lagi. "Bapak!" Rara spontan menyilangkan kedua tangannya di depan dada, "jangan bikin gosip yang kesebar di kebun jad
"Kamu tolong minta orang hotel untuk bersihin kamar saya," ujar Ryu pada Rara yang tertatih mengejar langkah lebarnya. "Layanan kamar ya Pak?" tanya Rara memastikan. Ryu mengangguk, "Pastiin pas kita balik ke sini, kamar saya sudah dibersihkan!" ucapnya. "Siap Pak!" sahut Rara reflek mengangkat tangannya memberi hormat, mencipta ekspresi jijik dari Ryu. "Sebentar saya ke resepsionisnya Pak," tambahnya buru-buru berlalu dari hadapan Ryu. Meninggalkan Ryu yang memilih duduk di sofa tunggu, Rara mendekat ke meja resepsionis. Langkahnya tampak ringan, wajahnya ceria, seakan tanpa beban. "Azura ketua OSIS kita!" sambut seorang resepsionis yang berdiri paling tengah, senyumnya tak ramah, cenderung meremehkan. Dahi Rara mengerut, mengingat lagi, siapa gerangan sosok ini. Lantas, senyumnya melebar saat potongan memori masa SMP-nya melintas di kepala. "Yanda anak 9A ya!" tebak Rara. "Ih, inget yaa?" tukas perempuan bernama Yanda yang bekerja menjadi staf hotel itu. "Nggak bener dong ka
"Jangan mikir macem-macem cuma karena saya bilang ke temen kamu soal kamu yang sangat memuaskan saya!" pesan Ryu sebelum ia turun dari mobil, setelah terjebak dalam kediaman yang panjang sepanjang perjalanan. "Saya anggap Bapak muji cara kerja saya yang sangat memuaskan, begitu Pak?" sahut Rara mengekor langkah Ryu masuk ke dalam rumah makan di pinggir sungai Mentaya itu. Ryu hanya menoleh tanpa menjawab, ia memilih mengitarkan pandangan, mencari kolega perusahaan yang sudah menunggu di sudut rumah makan. Suasana pinggiran Sungai Mentaya yang cukup ramai kelotok menyeberang dan lewatnya kapal-kapal tongkang mencipta vibes syahdu yang manis. "Mas Ryu!" sapa lelaki paruh baya berwajah oriental yang langsung berdiri menyambut. "Sudah pesan makanan, semuanya?" sapa Ryu sambil menyalami kelima lelaki yang kompak berdiri untuk menyapanya. "Maaf telat," tambahnya. "It's okay!" balas Mister Singh, lelaki berperawakan tinggi, berwajah India tapi asli dari Malaysia. "Senang lah punya pers
Rara menghela napas panjang, untung saja, dalam ketidaksadarannya Ryu memiliki asisten lain seperti Jefri yang siap sedia mengantarkannya dan menggantikannya menyetir selama di Sampit. Setidaknya jika dalam kondisi darurat seperti ini, Rara yang tidak bisa menyetir bisa mengandalkan Jefri. Setelah bertemu dengan para kolega sore tadi di sebuah rumah makan yang menyediakan hidangan laut, Ryu sempoyongan bak orang mabuk. Dalihnya yang bersikap menghormati para kolega dengan memakan kerang hijau sebagai hidangan ternyata berujung petaka. Sejak kecil perut Ryu memang sensitif. Ia tidak bisa memakan hidangan laut yang tidak diolah dengan baik dan benar, terutama kerang hijau berbumbu padang tersebut. "Makasih ya Mas Jefri udah bantu aku bawa Pak Ryu sampai hotel," ucap Rara sambil sempoyongan memapah tubuh tinggi tegap Ryu. "Nggak pa-pa, nanti kalau memang butuh sesuatu, atau kondisi Bapak parah, bisa hubungi telepon kantor atau hubungi saya aja Mbak," balas Jefri baik hati. "Siap Mas,
"Ehem," Rara tertegun. Bagaimana tidak? Ryu memiliki tubuh atletis menawan, tersembunyi di balik kemeja putihnya. Ini godaan dan Rara berusaha untuk mengendalikan dirinya sendiri. "Saya bersihkan dulu ya Pak, ada yang kotor sampe ke perut ternyata. Banyak kali muntahnya Pak Ryu ini," ujarnya mengalihkan perhatiannya sendiri dari bidang 'abs' Ryu yang melambai-lambai memikat itu, pun dengan tato di bawah tulang selangka kanannya yang entah bertuliskan apa."Kamu mau saya muntah lagi? Bantu aja nggak usah banyak protes," ucap Ryu sembari mengurut pelipisnya dengan tangan kiri."Kan saya ngasih tau, Bapak," ujar Rara membasahi bibirnya. 'Godaan Ra, godaan. Jangan sampe dia makin tantrum gegara kamu cerewetin!'"Nggak perlu, saya udah kenyang," lirih Ryu. "Lagian saya lebih suka tempe daripada tahu," tukasnya ambigu."Ya Allah," keluh Rara spontan. "Awas ya Bapak tantrum lagi kayak tadi di tempat makan, saya balik ke kamar beneran!" ancamnya gemas."Heh!" Ryu langsung menegakkan kepalanya
"Azura tau kalau dia pernah ngalamin itu Ma," desis Ryu mengadu pada Mika, keduanya tengah duduk berdua di taman rumah makan, sementara yang lain sudah menunggu hidangan buka puasa di meja yang direservasi. "Terus? Dia nggak syok kan? Nggak berusaha buat nyiksa dirinya lagi kan?" mata Mika membola panik. Ryu menggeleng, "Dia belom inget, cuma denger soal itu dari ibu tirinya." "Mak Lampir satu itu ya! Kurang ajar banget mulutnya!" umpat Mika seketika kesal. "Azura dateng ke rumah di TC pas aku sama adek-adek sampe di kebun. Awalnya nggak mau ngaku, tapi terus nangis pas udah kudesak. Jujur Ma, aku bingung waktu itu, dia nanya itu bener atau enggak dan aku ada di posisi yang serba salah. Untungnya dia baik-baik aja, ingatannya aman," terang Ryu. "Kamu harus jaga dia dari ingatan traumatis itu dengan resiko dia nggak inget kamu." "Aku udah bilang kan Ma, selama dia baik-baik aja, aku nggak pa-pa
Ryu memang sengaja memilih menunggu di sebuah counter makanan cepat saji. Ia biarkan para perempuan memuaskan hasrat belanjanya sementara ia menikmati berbuka puasa sendirian karena Reiga juga memilih langsung diantar ke hotel. "Minumnya es teh nggak pa-pa?" tanya Ryu. "Nggak pa-pa, makasih Pak," kata Rara senang. "Kamu harus lebih terbiasa manggil saya pake sebutan yang bukan kayak di kantor. Nanti saya dikira menindas kamu," pinta Ryu mengamati perempuan pemilik hatinya itu makan dengan lahap. "Mas Ryu juga harus belajar pake sapaan aku-kamu, bukan saya-kamu kalau kita lagi di luar biar keliatan akrab," ucap Rara. "Itu bisa diatur, kebiasa bilang gitu, susah ngerubahnya." "Nah, saya juga gitu Pak, jadi ngerasa sok akrab kalau saya manggil Mas Ryu," Rara meringis. "Senyamanmu aja," desah Ryu tak terlalu peduli. "Bebebh boleh?" goda Rara iseng. "Bole
"Hei, kita seumuran tauk, jangan curiga gitu ngeliatnya!" tegur Raya menunjuk wajah kakak tampannya. "Terus kalau seumuran kenapa? Rara ada di dunia yang berbeda dari lo," ucap Ryu berkacak pinggang. "Tapi selera drama Korea kita sama kok Pak," sanggah Rara ikut bersuara. "Pak? Mbak, kamu calon istrinya Bang Ryu lho, nggak ada panggilan yang lebih mesra?" sela Raya merasa aneh. "Ini di jam kantor, kami profesional!" sergah Ryu membela calon istrinya. "Halah, halah, ngomong aja lo menindas Mbak Rara kan Bang? Nggak boleh begitu! Nggak di kantor ini, lagi di pusat perbelanjaan dan ini udah buka puasa, udah sore, jam kerja udah abis, jangan diktator amat sama calon istri!" larang Raya galak. "Pak Ryu, maksudku Mas Ryu baik kok," bela Rara. "Dahlah, kalian berdua emang cocok." Raya beranjak, "Ayok Mbak, kita cari kebutuhan seserahannya dulu," ajaknya. Rara i
"Sudah pernah makan daging rusa sebelumnya, Pak?" tanya Rara penasaran. "Sudah, tapi nggak diolah begini," jawab Ryu. "Enak nggak Pak masakan saya?" "Hem?" Ryu sibuk mengunyah. "Enak enggak?" "Rasa rendang." Rara berdecak, "Ambigu artinya." "Saya nggak mungkin bilang rasa soto kan?" gumam Ryu gengsi, padahal ia sudah hampir menuntaskan isi piringnya tanpa sisa. "Ngolah daging rusa itu tricky sih Pak, makanya saya takut nggak sesuai sama lidah mewah Pak Ryu." "Lidah mewah?" dahi Ryu berkerut, ia dorong piring kosongnya ke tengah meja, "daging rusa itu hidangan mewah, Azura," tandasnya. Jadi nggak terkira harganya karena kamu yang masak. "Kroket kentangnya, saya mau lagi," tambahnya menunjuk dua buah kroket kentang yang tersisa. "Cuci mulut?" Rara sigap mengambilkan piring kroketnya untuk Ryu. "Pengganti rokok," ungkap Ry
"Makasih Pak," ucap Rara menyempatkan diri untuk berbalik. "Bapak jadi harus repot nganter saya," katanya jauh lebih tenang dari sebelumnya. "Kamu udah lebih baik?" tanya Ryu sambil duduk di ruang tamu rumah dinas Rara. "Jauh lebih baik. Pak Ryu mau saya bikinkan es kopi?" tawar Rara. "Boleh." Rara mengangguk, bergegas ke dapur untuk membuatkan Ryu minuman. Tak sempat menikmati makanan berat untuk berbuka puasa, Ryu lebih dulu mengantar Rara pulang ke rumahnya. Ia tahu Rara berusaha keras untuk tidak terlihat rapuh, tapi gadis ini pasti syok karena pernyataan ibu tirinya. Apalagi perkataan Bu Endah benar-benar tidak terprediksi. Beruntung Rara tidak kalut dan histeris karena syok. "Silahkan Pak," Rara kembali dari dapur dengan segelas es kopi kesukaan Ryu. Ada satu toples kue sagu keju melengkapi jamuannya. "Makasih," balas Ryu segera mengambil gelas yang Rara ulurkan. "Pencuri nggak neror lagi ka
"Kamu juga minum," ucap Ryu datang dari dapur seraya membawa satu nampan es teh untuknya dan Rara. Di jemari kirinya ia menenteng kroket buatan Rara, kroket yang sangat dirindukannya. "Bapak nggak buka puasa dulu bareng adek-adek?" tanya Rara. "Abis perjalanan jauh juga, Pak." "Saya biasa ngemil doang, nanti setelah salat tarawih baru makan berat," jawab Ryu. "Kamu ke sini cuma mau nganter makanan? Nggak ada hal laen? Urusan kerjaan?" tanya Ryu curiga. "Saya denger Bapak mau dateng bareng Mbak Raya dan Mas Reiga, makanya saya sengaja masak rendang daging rusa," jawab Rara. "Saya bareng Mas Jaka aja Pak," pamitnya berdiri buru-buru karena ia melihat Jaka sudah masuk ke dalam mobil, "Permisi ya Pak," ujarnya. "Hei," sigap, Ryu lagi-lagi menahan pergelangan tangan Rara. "Ada apa? Kamu ada yang mau disampein?" tanyanya sangat peka. Rara terdiam, ditatapnya Ryu sebentar, bibirnya bergetar, air mata itu akhirnya tu
"Bang! Bang Ryu!" Reiga, anak bungsu dari pasangan Mika dan Rain, si tampan tengil yang mewarisi kepribadian ibunya ini mengguncang pundak sang kakak sulung kencang. "Apaan?" Ryu mengangkat kepalanya malas-malas. "Lo tinggal di hutan begini? Betah?" gumam Reiga mengitarkan pandangan, "ih, gue ogah nerima warisan kebun, lo aja," tukasnya. "Makanya, biar lo betah, lo belajar tinggal di sini," ujar Raya, si cantik anak kedua. "Lo aja Kak, gue yang pegang udud," gumam Reiga nyengir. "Gue lahir duluan, menang milih ya! Dan gue milih pabrik rokok! Nggak bisa diganggu!" sengal Raya tak terima. "Mau berdebat apa mau turun kalian?" tanya Ryu bangun dari posisi setengah berbaringnya. "Mas Jaka jangan langsung pulang, saya udah minta Mbak Susi nyiapin makan," ujarnya pada sang sopir. "Bang, udah mau maghrib emang sehoror ini rumah lo?" tanya Reiga b
SMP Harapan Kita, 11 tahun lalu .... "Bang Ryu sering-sering main kebun ya, jengukin Mama Ayang ke sini," ucap Mayang, mengusap lengan Ryu lembut. "Iya Tante," jawab Ryu singkat, seperti biasanya. "Mana mau dia ke sini jengukin Mbak Mayang, kecuali ketemu sama yang itu tuh Mbak," ledek Mika mengedikkan dagunya pada seorang gadis berseragam SMP yang datang dari arah kelasnya. "Rara, Ketua OSIS cantik kita," bisik Mayang takjub. "Anak kamu udah gede ya Mik," gumamnya gemas. "Bentar ya Ma," pamit Ryu sadar bahwa Rara mendekat untuk mendatanginya. "Mas," senyum Rara terkembang, ia ikuti Ryu yang mengajaknya ke taman samping kelas 9C di mana ada beberapa kursi kayu yang diletakkan di sana. "Pulang Jakarta hari ini Mas?" tanyanya. Ryu mengangguk, "Pesawat jam 2 siang," ujarnya lalu duduk di kursi kayu. "Bawa apaan itu?" tunjuknya pada bungkusan di pangkuan Rara. "Kroket
Ryu mengangguk lemah, "Ada peristiwa besar yang bikin kamu begini, Azura," katanya memejamkan mata, tidak mau terlihat lemah dan rapuh di depan Rara. Setitik air mata Rara jatuh. Hening yang semula menyelimuti sekitar keduanya, diisi isak Rara yang menyayat. Satu hal yang membuat Rara begitu merasa jatuh ke dasar samudera, ia lupa pada apa yang membuatnya menjadi semenyedihkan ini. Selama ini yang ia yakini sebagai kecelakaan justru tak pernah terjadi. "Apa orang gila yang bikin Pak Ryu mati rasa itu saya?" bisik Rara memberanikan diri. Ia menahan napasnya sendiri, takut dikatai sok percaya diri oleh sang atasan. "Boleh saya sepercaya diri ini dan merasa penting buat orang sehebat Bapak?" Ryu tampak memijat pelipisnya, "Ayo balik hotel, bentar lagi sahur. Kita cari makan buat sahur sekalian," ajaknya tak menjawab pertanyaan Rara. "Pak," Rara meraih pergelangan tan