Malam semakin panas Ketika Anggara menciumnya lagi,tangan Citra masih berada di antara tubuh mereka dan terimpit dada Anggara.Kejutan atas sentuhan antara kulit dengan kulit membuatnya tubuhnya bergetar.Tidak ada yang lembut pada diri seorang Anggara Dobson.Pria itu seperti sebuah mesin kokoh yang ramping dan sisi kewanitaan dalam diri Citra hanya dapat memuja pria itu sembunyi dalam hatinya.
Ketika Anggara meluncurkan tangan dari rambut ke sepanjang bahu citra,secara naluriah citra memahami permintaan tanpa suara itu.Sambil menurunkan tangannya dari dada anggara ,citra membiarkan pria itu melepaskan jubah kimononya melalui lengannya.Yang membuatnya heran ,Anggara berhenti pada garis dada jubah itu tepat di atas payudaranya.Tangan citra naik responsif,menahan bahan satin itu ke dadanya.Mata anggara berkilat karena penuh gairah ,sama sekali tidak ingin sembunyikannya."Lakukan untukku,citra."Tidak ada yang dapat di lakukan citra saat ini kecuali mengikuti alur permintaan anggara.Dengan hasrat yang menggebu di antara mereka.Tubuhnya mengalahkan pikirannya,mengambil alih segala yang citra ketahui tentang hasrat dan kebutuhannya sendiri.Tidak mampu menahan tajamnya tatapan anggara,citra memalingkan wajahnya...dan melepas jubah itu.Jubah itu meluncur dari tubuhnya seperti air dingin yang mengalir dari atas pegunungan....Hening sesaat.Citra mengumpulkan keberanian untuk mendongak mengarah pada wajah anggara.Bola mata hitam bertatapan dengan matanya sendiri,dan waktu seakan terhenti."Menawan," ucap anggara sambil menurunkan tatapannya pada pakaian dalam yang berwarna pink muda berenda itu dan mengarahkan tatapannya pada titik tepat bagian atas stoking berenda bertemu dengan kulit telanjang dari dada atasnya.Kemudian ia menelusuri tubuh citra dengan tatapan penuh hasrat,membuat citra nyaris tidak mampu bernapas.Dan itu di lakukannya sebelum melempar kemejanya ke sembarang arah.Citra menahan erangan namun tidak cukup cepat."Kalau kamu ingin menyentuhku ,lakukan saja semaumu."Tangan Anggara merengkuh pinggang citra lalu menangkup bokong gadis itu dengan penuh keberanian yang dengan jelas menunjukkan bahwa anggara menganggap citra adalah miliknya sepenuhnya.Dengan tangan terkepal di dada Anggara,citra berjuang melawan keinginan untuk bersandar lebih dekat dan merasakan tubuh suaminya itu.Kulit pria itu sangat indah,sehat dan putih bercahaya memancarkan kekuatan yang maskulin.Sedetik kemudian ,Anggara menggunakan kekuatan itu untuk mengangkat citra dan menurunkannya dengan pelan ke tempat tidur.Kemudian,tanpa melepaskan tatapannya dari citra,anggara duduk di sisi tempat tidur untuk melepas kaus kakinya.Gerakan otot punggungnya memporak porandakan pertahanan akhir citra.Citra hampir nyaris mendekat untuk menyentuh tubuh menggoda itu ketika pria itu berdiri.Tangannya membuka sabuk celananya.Dengan jari meremas seprai dan napas yang tidak beraturan,citra terpaku ketika Anggara membuka dan menarik lepas sabuknya.Sabuk itu jatuh ke lantai berkarpet dengan suara dentingan logam keras.Tetapi entah mengapa citra nyaris tidak mendengar apapun,seluruh perhatiannya terpaku pada jemari Anggara ketika jemari itu membuka kancing atas celananya.Kemudian anggara menurunkan resleting.Dengan pipi merona,citra memejamkan mata dan merasa malu....dan mendengar tawa kecil anggara ketika ia terlepas dari celana panjangnya dan merangkak ke atas tempat tidur di sisi citra.Ia meletakkan sebelah kaki di atas tubuh bagian bawah citra,Anggara menaruh sebelah tangannya menyentuh pinggang citra,"aku tidak telanjang....belum."itu adalah bisikkan yang sangat menggoda.Saat membuka mata,citra mendapati bibir Anggara dekat sekali dengan bibirnya,mata pria itu tidak memancarkan sorot geli kesenangan lain selain lewat tawanya.Tangan yang berada di atas perut citra meluncur ke bawah dengan lembut."Tatap aku,"perintah anggara ketika citra hampir berpaling.Citra menatap pria itu,mengakui pada diri sendiri bahwa ia sepenuhnya ikut serta dan menikmati permainan itu begitu pria itu bergerak mendekat.Tubuhnya melengkung dan citra mendapati dirinya tidak ingin melepaskan anggara.Sambil mengerang,Anggara menciumnya dengan lembut ,tangan besar itu membelai citra dengan lembut.Sedetik kemudian,Anggara berlalu .Citra menjerit karena kehilangan itu ,suaranya terdengar begitu putus asa sehingga dirinya terkejut."Aku ingin kamu telanjang."Jemari Anggara mulai membuka pita yang mengikat pakaian dalam itu.Rahangnya yang kaku jelas menunjukkan betapa bergairahnya pria itu."Di mana kamu mendapatkan ini?""Victoria secret,"Citra berusaha menjawab.Sambil mencium lehernya,Anggara bergerak semakin dekat."Pakai lagi untukku."itu jelas jelas terdengar seperti sebuah perintah.Citra nyaris melancarkan protes atas keangkuhan Anggara seandainya pria itu tidak memilih saat itu untuk membuka pakaian dalamnya dan menutupi salah satu payudara Citra dengan telapak tangan.Dengan pikiran terpecah,Citra merespons ke dalam sentuhan keras pria itu .Sentuhan itu terasa hangat,membangkitkan sesuatu dalam tubuh citra yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.Tetapi Anggara melepasnya terlalu cepat.Citra harus menggigit bibir bawah agar tidak memohon kepada Anggara untuk melakukannya kembali ."Aku suka caramu menatapku,Citra.Sekarang saatnya aku yang menatapmu."sambil berlutut,Anggara melepas pakaian dalam itu seluruhnya dan menyingkirkannya.Kemudian ia menelusuri tubuh Citra dengan mata...mulai dari ujung kakinya yang tertutup stoking,ke pinggulnya sampai ke puncak payudaranya.Rasanya setiap tatapan pria itu sama seperti sentuhan fisik dan ketika Anggara kembali mendekat,citra tidak lagi memiliki keinginan untuk protes,apalagi kemampuan untuk menjauh dari pria itu.Anggara berlutut,panas tubuhnya menjalar lembut.Sambil mengusap paha dan bokong Citra, Anggara menarik citra mendekat."Ahhh.....!" Citra mencengkeram bahu Anggara untuk mempersiapkan diri,dan seketika menyadari Anggara benar benar bergairah.Anggara seolah melihat sorot mata paham dalam mata Citra."Tenang sayang,aku belum selesai mencicipi seluruh tubuhmu."Citra menelan ludah,dalam posisi ini ia sepenuhnya merasa tidak berdaya .Tetapi Anggara tidak menggodanya ,dan langsung memberikan apa yang benar benar di inginkan citra dengan menunduk dan mencium puncak payudaranya.Ciuman keras itu merasuk ke dalam dirinya,menggodanya,mengejeknya.Kuku jemarinya citra menusuk bahu Anggara,sangat terasa licin dan panas.Anggara begitu maskulin dan gagah sampai sampai seluruh sisi feminim dalam diri citra bereaksi,melembut,melemah...luluh tidak berdaya.Akibatnya,ketika Anggara membaringkannya kembali ,anin berbaring di atas tempat tidur ,citra kehabisan kata kata dan diam membisu,hanya tatapan matanya yang dapat menggambarkan keinginan hatinya ."Anggara,kumohon."Sambil memaki pelan,Anggara bergerak cepat untuk melepaskan celananya.Dan ia kembali dengan segera,tangannya membelai paha citra."mendekatlah."suara dan senyum Anggara seakan terdengar seperti bantuan kepada citra yang semakin tidak berdaya.Citra menuruti pria itu.Dan menyadari tubuhnya agak melengkung ke atas,dalam posisi sempurna bagi Anggara untuk melakukan gerakan yang ia inginkan."Aku akan membuatmu merasa tidak sakit sama sekali."tangan Anggara terus membelai ,naik ke arah payudara .walaupun kata katanya terdengar kalem ,matanya terlihat jauh dari tenang.Citra merasa pengendalian diri Anggara hanya di tahan oleh seutas tali tipis,gairahnya benar benar jelas .Bagian kecil dalam dirinya merasa sedikit takut akan intensitas Anggara yang meningkat,tetapi bagian itu terkubur oleh rasa mendambanya sendiri.Sambil membelai Citra,Anggara menyatukan tubuh mereka.Kilat seperti menyambar tubuhnya dan ketika Anggara bergerak perlahan dan teratur ,citra menjerit."Aaahh....ahh".Tetapi apa yang dikatakan Anggara sebelumnya benar ,pria itu bergerak begitu perlahan sehingga citra merasa dirinya akan menjadi gila merasakan kenikmatan ini.Anggara menyentuh tempat tempat yang tidak pernah di sentuh siapapun,membawa kenikmatan yang dahyat.Dan tidak ada rasa sakit."Aku senang sekali ,kamu gadis yang pintar ,citra."Anggara nyaris mengeram ketika terus bergerak,mereka seakan tak terpisahkan hingga citra dapat merasakan detak jantung Anggara dalam tubuhnya.Meski tidak paham apa yang di katakan anggara,Citra mendekap pria itu dengan respon yang alami.Anggara memperketat pelukannya pada citra dan mulai bergerak.Iramanya sangat cepat dan kuat.Citra menjerit dan menjerit setiap kali Anggara mendorongnya menuju tepian dengan napas menggoda dan panas.Dan ketika ia jatuh terkulai,ia tak lagi polos.Gadis itu seutuhnya telah menjadi milik Anggara Dobson.Citra terbangun dari tidurnya,ia merasa sangat malu mendapati dirinya telanjang di balik selimut yang menjadi pelindungnya pada saat ini.Anggara telah menghancurkannya,memuaskan hasratnya dan meninggalkannya tanpa daya.Dan tanpa sadar ia telah memperbolehkan Anggara dengan mudah menguasai tubuhnya.Ia bahkan memohon kepada pria itu.Setelah kabut gairah memudar dan menyingkap realitas,Citra tidak dapat lagi memahami penyerahan dirinya yang begitu lemah.Seharusnya bukan Anggara yang membuatnya merasakan hal ini!Seolah Citra menyerahkan semua hidupnya di tempat tidur itu....menyerah atas cintanya pada Andi pria yang saat ini masih mendiami hatinya.Setiap kali Citra merasakan kenikmatan,seriap kali ia menjerit,Ia telah mengkhianati cinta yang telah hidup di hatinya seumur hidupnya.Dan ia tidak tahu bagaimana itu bisa terjadi.Anggara bukanlah pria yang akan bisa dicintainya.Ia bahkan tidak yakin apakah ia menyukai pria itu.Selagi meluncur turun dari tempat tidur, Citra menarik benda
Beberapa jam kemudian Citra sudah berada di depan Perkebunan teh keluarga Dobson,dan melihat sekitar lokasi itu dari dalam mobil.Ia yang memaksa berkunjung,tetapi ketika mereka sampai,Citra tidak lagi yakin itu keputusan yang tepat.Jelas sekali dari raut wajah Anggara tidak ingin berada di tempat ini."Apa kamu mau ikut?" Citra bertanya sambil membuka pintu mobil.Anggara membuatnya terkejut dengan menemaninya mengunjungi makam Orangtuanya.Citra tidak tahu harus mengharapkan apa saat ini,terutama karena Anggara telah bersikap begitu diam dan dingin sepanjang perjalanan kembali ke perkebunan Brakseng.Anggara melepaskan sabuk pengaman dan keluar,tanpa sepatah kata pun selagi Citra membuka pintu belakang dan mengeluarkan botol air dan bunga bunga yang ia petik sendiri dari taman belakang rumah.Kemudian Anggara melangkah ke sisinya ketika Citra melangkah menuju sebuah bangunan berpilar tempat peristirahatan terakhir Keluarga Nugroho.Selagi berhenti di depan makam ayahnya citra menawark
Tulang kaki citra terasa lumpuh seketika,ia terduduk di kursi menutupi wajahnya yang dengan kedua telapak tangan.Tetapi itu tidak menghentikan kekacauan pikirannya.Ancaman Anggara membuatnya kaget dan shock,jelas sekali suami barunya itu tidak mempercayai dirinya.Namun Citra masih tidak percaya jika Anggara akan mengancamnya dengan kelemahan terbesarnya.Lahan perkebunan peninggalan ayahnya.Citra tidak akan mampu melihat lahan perkebunan itu akan di jual kepada para pengembang yang mungkin akan merusak semua kenangan yang tersisa di lahan sekaligus rumah orangtuanya.Bagi Anggara mungkin lahan itu tidak sebanding dengan hartanya yang lain,tetapi bagi Citra itu adalah segalanya."Citra...?"Suara bu ida mengejutkannya sehingga citra menurunkan tangannya."Ada apa bu?"Si wanita yang lebih tua itu menatap ekspresi Citra dengan sorot mata khawatir,tetapi tidak memiliki keberanian bertanya apa apa lagi."Ada telepon untuk nak Citra."sambil mengulurkan telepon portable."Terima kasih,bu."Ci
Citra menutup pintu mobil dengan keras sehingga mungkin cukup untuk membuat pintu itu terlepas dari rangkanya.Yang di lakukannya bukan berarti dia sedang cemburu.Ia hanya merasa kesal yang ia sendiri tidak tahu penyebabnya.Setelah mengambil keranjang kue yang telah mereka persiapkan,mereka berjalan masuk ke dalam rumah bercat putih yang terlihat mengusung konsep minimalis itu.Setengah jalan menuju kesana Anggara merangkul citra dan mencondongkan tubuh ke arahnya begitu dekat sehingga napasnya mengibaskan rambut citra setiap kali Anggara berbicara."Tersenyumlah Citra,kita seharusnya masih dalam masa bulan madu."Citra tidak tahu apa yang membuatnya mau melakukan itu.Sambil merangkul pinggang Anggara ,Citra memberi senyum yang sangat manis ketika mereka tiba di tempat berlangsungnya acara."Oh,Citra,betapa cantiknya dirimu!"Peringatan pelan Anggara terdengar sayup.Beberapa tamu mendengar dan sekarang menggoda Anggara karena berubah menjadi selembut itu.Anggara menyambut gurauan tersebu
Lilie bangkit berdiri,dengan senyum puas di wajahnya. "Selesai," ia mengumumkan sambil menunjukkam hasil karyanya. "Memang tidak sebagus hasil jahitan awalnya, tapi ini tidak akan terlihat buruk oleh siapa pun malam ini."Citra menunduk melihat kancing bajunya. Lilie terlihat terlalu percaya diri pada dirinya sendiri. Jahitannya terlihat berantakan."Aku memang tidak pernah berbakat dalam hal menjahit," kata Lilie sambil mengangkat bahu tidak peduli. Citra bangkit berdiri,menarik napasnya pelan untuk bersikap tetap tenang."Kamu seharusnya memberitahuku tadi," gerutunya.Bibir lilie perlahan menyunggingkan senyum licik. "Wah,wah," katanya, "apakah sekarang kamu kesal padaku?"Citra lalu dengan tanpa berpikir berkata,"Kamu terlihat sengaja membuatku kesal.""Mungkin," jawab Lilie,terdengar seolah tidak terlalu peduli. Ia berpaling ke pintu dengan ekspresi bingung. "Kenapa dia belum juga datang?"Jantung Citra berdebar aneh. "Siapa yang kamu tunggu?"Kemudian engsel pintu terlihat b
Perjalanan kembali ke Brakseng malam itu merupakan saat terburuk dalam hidup CitraAnggara hanya terdiam membisu di sepanjang perjalanan dan Citra akan sia sia saja mengajak Anggara berbicara, Citra memutuskan untuk tetap diam dari pada menambah dilema di hatinya. Bahkan saat mereka memasuki pekarangan rumah tidak ada perubahan....Anggara langsung meninggalkan Citra untuk mengecek beberapa hal yang tadi di tanyakan kepada tukang yang memperbaiki balkon rumahnya.Saat mendengar Anggara kembali ke kamar tidur utama,Citra menjadi sangat gugup,Citra ingin pertengkaran hening ini berakhir,bahkan jika itu berarti mereka akan bertengkar hebat.Sambil mengikat jubah tidurnya erat menutupi baju tidur tipis yang di kenakannya,Citra mengetuk pintu penghubung.Tidak ada jawaban,tetapi Citra tetap melangkah masuk.Anggara duduk di pinggir tempat tidur,telah membuka jaket dan kemejanya.Sekarang ia menjatuhkan kaus kaki dan berdiri."Tidak sabar ingin ke tempat tidur?" Sambil membalas tatapan Citra,An
Citra berusaha mengubur semua pikiran pikiran negatif yang muncul di kepalanya. Ia sadar ketika ia memutuskan untuk mulai menjalani pernikahan ini,ia sudah tahu aturannya.Jika sekarang ia berharap lebih,itu salahnya sendiri,dan kesalahan itu lebih baik di hentikan sejak awal.Sambil menarik napas lega,Citra mengambil beberapa beberapa warna cat dan menata kanvasnya di penyangga.Ia duduk di sisi jendela yang menghadap langsung ke perkebunan kopi dengan latar belakang pegunungan Welirang, sungguh pemandangan yang sangat indah. Mudah sekali baginya untuk membuat sebuah lukisan yang indah di sini. Citra telah menghabiskan waktu selama bertahun tahun untuk mengenali kota kecil ini.Tetapi hari ini,Citra terlihat tidak konsentrasi dan mengingat ingat wajah pria itu,sesuatu yang belum pernah di rasakannya sebelumnya...hal ini benar benar mengganggunya."Non, ada telepon." Suara bu ida yang spontan membuyarkan pikiran CitraCitra menoleh kaget.Ia tidak mendengar dering telepon."Siapa?""Gunaw
mereka telah sampai di depan mobil saat itu.Anggara menghentikan langkah dan melepaskan rangkulannya di bahu Citra."Apa?" Suaranya sangat tenang,sangat mematikan.Meskipun sangat sulit untuk bertahan menghadapi pria itu,Citra tahu ia akan kehilangan harga diri jika ia langsung menyerah."Kamu tidak ingin aku menemui Andi.Baik sudah kulakukan.Tetapi itu juga berlaku untuk kamu.Kamu juga tidak boleh bergaul seenaknya lagi dengan mantan kekasihmu.""Itu berbeda,Cici sayang, aku tidak memberitahu semua orang tentang kisah cintaku dengan Andine.Dan aku juga tidak membututinya sepanjang waktu." Anggara mengeluarkan kunci mobil."Terserah kamu mau datang ke pesta itu atau tidak,tetapi kamu belum memperhatikan ucapanku jika kamu pikir bisa mencegah aku untuk pergi."Citra ingin menjerit.Tetapi Anggara benar....dalam perdebatan ia selalu kalah.Anggara telah di tempah oleh situasi paling sulit dan itu membuatnya semakin kebal terhadap segala hal yang lembut dan baik. Anggara tidak pernah meng
"Maksudmu, ini bukan pertama kalinya?" seru Anggara dengan wajah panik, membuka ponsel untuk menghubungi dokter Mila dan gusar karena selama ini tidak diberitahu. "Kenapa kamu tidak cerita padaku?""Oh, pergilah dan jangan ribut, Anggara," erang Citra sambil mendekati wastafel untuk mencuci wajah sehabis muntah-muntah yang tadi membuatnya melompat dari tempat tidur dan langsung menuju kamar mandi. Saat ini, ia betul-betul tak butuh penonton. "Ini hanya gangguan perut biasa... mungkin karena menu makananku berubah. Aku terlalu banyak makan makanan pedas."ujar Citra yang terus menahan rasa mualnya"Aku akan mempekerjakan koki baru jika begini akibatnya. Sudah berapa kali ini terjadi?" desak Anggara, bicara cepat dalam bahasa inggris kepada seorang pelayan yang berdiri di dekat mereka. Kemudian, ia mengangguk dan mengatupkan bibir sensualnya saat mendengar jawaban yang membenarkan kecurigaan terburuknya. Wajah tampannya berubah suram mengiringi suasana hatinya. "Kamu harus kembali ke tem
Anggara masuk ke kamar setelah larut malam dan berbaring di sisi tempat tidurnya sementara Citra berpura-pura terlelap. Ia malu atas kenyataan yang Anggara sodorkan ke hadapannya dan amat menyesali pilihannya sekarang. Pagi hari saat ia terjaga, Anggara sudah pergi, dan itulah awal dari tiga minggu yang amat sepi ketika Citra jarang sekali melihatnya. Anggara makan pagi sebelum Citra turun dari tempat tidur, yang justru membuat wanita itu lega karena pada minggu ketiga ia merasa perutnya tidak nyaman, yang ia duga akibat kehamilan yang masih ia sembunyikan. Ia terkadang mual pada pagi hari, bahkan muntah beberapa kali, tetapi kemudian baik-baik saja saat siang dan malam.Tanpa menyadari penderitaan Citra pada pagi hari, Anggara kerap muncul saat makan siang, mengajaknya berbincang dengan amat sopan, tetapi Citra hanya menerima tanggapan dingin. Anggara kembali pada kebiasaannya makan malam bersama Citra. Dan suatu pagi, pria itu mengumumkan sekilas akan terbang ke Singapura untuk men
Citra masih tersenyum-senyum sendiri saat kembali masuk ke tempat tidurnya. Ia tidak sabar memberitahu kepada Anggara tentang kabar bahagia ini. Dengan tatapan penuh harap ia mengeluarkan ponsel dan membaca pesan masuk pada ponselnya.Pesan itu dari Andi. AKU KEHABISAN UANG. BUTUH UANG 500 JUTA. Citra membaca pesan itu dengan mata membelalak kecewa serta mulut mengatup. Ada apa dengan Andi?Ia betul-betul tidak tahu malu. Ia bergegas mengetik pesan balasan. AKU TIDAK AKAN MEMBERIMU UANG UANG SEBANYAK ITU. DIA HARUS MEMBERIKU UANG JIKA TIDAK INGIN FOTO FOTONYA BERSAMA GADIS GADIS DI SURABAYA TEREKSPOS KE MEDIA. Dengan perasaan terpukul bercampur ngeri, Citra duduk tertegun sambil menatap layar ponsel. Mereka telah tiba di pusat kota saat akhirnya ia bisa menenangkan perasaan yang campur aduk. Ia mengangkat telepon untuk bicara dengan Lilir yang duduk di samping sopir. "Aku ingin pulang ke rumah. Aku terlalu capek untuk belanja sore ini," ujarnya. Gadis-gadis? Di Surabaya? Perutnya
Selama beberapa hari ini Laurel lebih terbuka dibandingkan yang terjadi selama pernikahan mereka, namun Anggara tidak akan tertipu. Ketika Citra merasa terancam, dia menutup diri. Itulah cara wanita itu melindungi dirinya sendiri. Di sini, Anggarq tidak bersedia membiarkan Citra bersembunyi tapi ia cukup realistis untuk tahu bahwa ketika mereka kembali ke dunia sibuk tempat mereka tinggal, segalanya akan berubah. "Seminggu," janjinya di bibir Citra, "kita akan kembali selama seminggu. Dan kita akan bersama-sama pada awal dan akhir setiap hari. Sarapan setiap pagi dan makan malam setiap malam. Sendang tidak jauh dari Brakseng. Aku takkan pergi lama. Aku berjanji." Citra mengawasi saat Anggara mengirimkan e-mail dengan satu tangan sambil mengikat simpul dasi sutranya dengan tangan yang satu lagi. Secangkir kopi dingin tergeletak tak tersentuh di meja karena ia tak sempat meminumnya. Sejak mereka tiba kembali di Brakseng, rumah yang dimiliki keluarga Anggara selama beberapa generasi,A
Anggara mendekatkan wajahnya menatap wajah Citra,Matanya menyipit . "Kamu tak mau aku melakukannya?" Citra bisa saja berbohong. Ia bisa saja membiarkan hubungan mereka berjalan tanpa memberitahu Anggara hal sebenarnya, tapi mereka sudah menghadapi cukup banyak hambatan dalam pernikahan mereka tanpa ia menciptakan hambatan baru. "Tidak." Citra menggeleng perlahan, tahu bahwa apa yang akan ia katakan bisa menghancurkan masa depan mereka. "Tidak, aku tidak mau. Ada sesuatu yang belum kuberitahukan padamu. Sesuatu yang belum kukatakan dengan sejujurnya." Anggara terdiam, wajahnya dibayangi cahaya yang semakin temaram. "Katakanlah." Bagaimana Citra bisa menjelaskannya? Dari mana ia memulainya? "Kehilangan bayi kita adalah hal terburuk yang pernah kualami. Ketika merasakan rasa sakit pertama itu aku berpikir, Jangan, tolonglah, jangan sampai ini terjadi. Aku panik. Tak ada, benar-benar tak ada, yang paling kuinginkan di dunia ini seperti aku menginginkan anak kita." Mata Citra basah k
Citra sangat gemetar sehingga tak yakin kedua kakinya mampu menopang tubuh. "Kupikir aku tak boleh melihat rumah." "Tidak lagi. Aku punya kejutan untukmu. Hadiah." Saat mereka menuruni tangga taman itu, Anggara memegang tangan Citra dengan erat dan mengernyit. "Tanganmu dingin. Apa kamu baik-baik saja?" "Aku tak apa-apa." Citra ingin memberitahu Anggara bahwa ia tak membutuhkan hadiah-hadiah besar dari pria itu, bahwa hadiah-hadiah bukanlah alasan ia bersama Anggara. Tapi satu-satunya yang bisa ia pikiran adalah kenyataan bahwa Anggara akan membuat janji untuk menemui dokter padahal itulah hal terakhir yang ia inginkan.Anggara memperpanjang langkah-langkahnya. "Aku tak sabar menunggumu melihatnya." "Dokter itu?" Anggara melirik lembut. "Aku sedang membicarakan hadiahku untukmu." "Oh. Aku yakin aku akan menyukainya," ucap Citra parau, tahu ia harus mengatakan yang sebenarnya pada Anggara.Mereka tiba kembali di rumah dan Anggata segera melangkah menuju ruang kerja, salah sat
"Jika kita melakukan ini..." Citra membiarkan kata itu menggantung "...bagaimana dengan anak yang selalu kamu impikan?" "Kamulah keluarga yang kuimpikan dan untuk yang lainnya..." Anggara mengabaikan anjing-anjing itu, mencondongkan tubuh ke depan, menyingkirkan kuas dari tangan Citra dan menarik wanita itu berdiri "...kita akan menemukan cara untuk mengatasinya. Tapi kita akan menemukannya bersama-sama, bukan sendiri-sendiri. Apa pun yang kamu pikirkan, kamu harus memberitahuku dan kali ini aku akan mendengarkan dengan teliti. Aku mencintaimu. Aku mencintaimu." Anggara menangkup wajah Citra dengan kedua tangan, merasakan kelembutan kulit Citra di telapak tangannya. "Pada saat aku selesai membuktikan padamu tidak akan ada ruang bagi keraguan dalam benakmu." Keheningan mencekam dan Anggara menyadari makna sebenarnya dari kata ketegangan. Ia bertanya-tanya apa yang harus ia lakukan jika Citra menjauhkan diri karena ia tahu ia tidak akan pernah menerima kata tidak. Kedua mata hit
Citra berharap bisa menerimanya dengan mudah dan bagi jutaan wanita lain mungkin demikian. Mendengarkan Anggara Dobson mengatakan "Aku mencintaimu" telah menjadi puncak ambisi banyak wanita. Untuk Citra, itu sekadar ucapan biasa. Citra frustrasi dengan dirinya sendiri, turun dari ranjang, mengenakan jubah kamar dan melangkah menuju teras. Kenyataan bahwa Anggara membiarkannya pergi dengan begitu mudah memberitahunya banyak hal tentang perasaan pria itu sekarang, saat sedalam apa perasaan tidak amannya yang terungkap. Ketakutan dalam bentuk sensasi dingin merayap di sekujur tubuhnya yang panas ketika akhirnya ia menyadari masa depan pernikahan mereka bukan bergantung pada kemampuannya untuk memiliki anak, tapi kemampuannya untuk memercayai Anggara supaya tidak melukainya. Apa maksud Citra, ia tidak pernah memberi wanita itu tanda apa pun? Anggara berbaring telentang di ranjang, kedua tangannya diletakkan di belakang kepala, memikirkan kembali pernikahan mereka selama dua tah
Anggara menginginkan Citra menceritakan kegundahannya . Dan dia layak mendapatkannya. "Dari kecil aku menginginkan seorang saudara,baik itu laki laki maupun perempuan. Aku selalu kesepian saat ayahku bekerja.Aku tidak punya siapa siapa yang dapat di ajak bicara. Dan ketika ayahku meninggal aku benar benar menjadi sendiri dan merasa sebatang kara. Ini membuat aku mengalami gangguan kecemasan yang akut.Citra berbaring telentang, menjauhkan diri dari Anggara. Citra mengubah suaranya menjadi santai sambil menoleh memandang Anggara. "Jadi sekarang kamu tahu mengapa aku benar- benar kacau." Dan tak ada keluarga, tapi Citra tidak menyebutkan bagian itu. Tidak menyebutkan mengenai kesedihan dan perasaan di sendiri yang mengikuti pengalaman traumatis tersebut. "Mungkin jika aku membaca beberapa cerita dongeng, aku tidak akan menjadi separah ini. Masalahnya, aku tidak akan tahu akhir yang bahagia bahkan jika aku mengalaminya sendiri." Keheningan terasa di antara mereka dan Aggara bersandar d