Citra terbangun dari tidurnya,ia merasa sangat malu mendapati dirinya telanjang di balik selimut yang menjadi pelindungnya pada saat ini.
Anggara telah menghancurkannya,memuaskan hasratnya dan meninggalkannya tanpa daya.Dan tanpa sadar ia telah memperbolehkan Anggara dengan mudah menguasai tubuhnya.Ia bahkan memohon kepada pria itu.Setelah kabut gairah memudar dan menyingkap realitas,Citra tidak dapat lagi memahami penyerahan dirinya yang begitu lemah.Seharusnya bukan Anggara yang membuatnya merasakan hal ini!Seolah Citra menyerahkan semua hidupnya di tempat tidur itu....menyerah atas cintanya pada Andi pria yang saat ini masih mendiami hatinya.Setiap kali Citra merasakan kenikmatan,seriap kali ia menjerit,Ia telah mengkhianati cinta yang telah hidup di hatinya seumur hidupnya.Dan ia tidak tahu bagaimana itu bisa terjadi.Anggara bukanlah pria yang akan bisa dicintainya.Ia bahkan tidak yakin apakah ia menyukai pria itu.Selagi meluncur turun dari tempat tidur, Citra menarik benda pertama yang tersentuh olehnya.Sayangnya benda itu adalah kemeja Anggara.Aroma tubuh pria itu masih tercium di serat kain kemeja itu,dikulitnya,bahkan diudara yang di hirup Citra saat ini.Itu benar benar menggejeknya akan apa yang telah di ambil Anggara dari hidupnya...apa yang telah di lepaskan oleh citra.Saat ia mengambil kimononya agar dapat melepaskan diri dari kemeja itu ,Citra mendengar suara seprai berdesir."Kamu mau kemana,Citra?"Lampu tidur menyala.Karena silau akibat cahaya mendadak itu,Citra mengibaskan rambut ke belakang telinga dan mengancingkan kemeja."Aku akan kembali ke kamar tidurku."Mata Anggara berubah menjadi dingin,terfokus menatap citra dengan sedikit menyipit."Menurutku kamu sudah berada di sana.""Begini," Citra berkata,menemukan keberanian dari serpihan harga dirinya."Kita telah menjadi suami istri yang sah seperti kemauanmu.Tidak ada gunanya kita berada di tempat tidur yang sama.Aku lebih suka tidur kamarku sendiri."Citra memeluk diri sendiri."Aku ....akan memberitahumu jika kita berhasil."Anggara mengangkat alis."Aku tidak akan seangkuh itu dan menuntutmu dengan keras....mungkin butuh usaha yang lebih dari satu kali untuk berhasil mendapatkan seorang anak."Citra menggigit bibir bawah,mencoba tidak memperhatikan otot otot yang ia peluk begitu erat kurang dari satu jam yang lalu."Ya,kita tidak dapat berbuat apa apa dalam beberapa hari.Tadi memang tidak menyakitkan,tapi aku merasa lelah sekali."Tanpa menghiraukan kejanggalan memalukan dari pengakuan itu,Citra memaksa diri menatap mata Anggara,menyadari bahwa Anggara dapat mempergunakan indikasi paling kecil sekalipun untuk keuntungannya.Anggara mematikan lampu."Biasakan dirimu,tetapi jangan coba coba menggunakan seks untuk melawanku.Aku tidak suka bermain main seperti itu.""Aku tidak main main.""Oh,ya?" Anggara mendengus."Jika kamu mengira aku akan setuju meneruskan pernikahan ini padahal istriku menginginkan pria lain,kamu sangat salah.""Berani beraninya kamu,masih menyimpannya di hatimu,Aku memintamu menjadi istriku,bukan teman sekamarku.Putuskan apa yang kamu inginkan!"Tanpa menjawab,citra melangkah keluar membanting pintu penghubung antara kamar mereka.Anggara melipat lengannya ke atas kepala .Tidak ada wanita yang pernah membuat aturan di tempat tidurnya seperti ini.Dan Citra tidak akan menjadi orang pertama.Anggara bersungguh sungguh dengan ucapannya tadi...ia tidak menginginkan pernikahan tanpa percintaan,tidak ketika tempat tidur merupakan satu satunya tempat di mana ia...sambil mengenyahkan pikiran itu dari benaknya,Anggara duduk.Ia tidak ingin tidur.Ia lebih dari siap untuk mengulangi kebersamaan pertama mereka sebelum Citra krmbali bertingkah.Gadis itu berubah di tangannya,kekasih pertama yang palingresponsif yang pernah ia milikki.Anggara tidak mempertimbangkan aspek gairah untuk memilih Citra sebagai wanitanya,tidak pernah berpikir jika citra akan membuatnya bergairah.Tetapi citra sudah melakukannya dengan benar.Anggara bersedia mengakui fakta itu,sepanjang itu berhubungan dengan tempat tidur.Sisi primitif dalam diri Anggara sangat menyukai kenyataan bahwa ia satu satunya pria yang pernah mendengar jeritan desahan istrinya.Mengikuti pikiran itu,muncul pikiran yang tidak menyenangkan.Andi.Anggara mulai mengawasi pria itu sejak mengetahi tentang hubungan Citra dengan Andi dan ia mengetahui bahwa baru baru ini Andi sibuk mencari informasi tentang Citra.Anggara mengepalkan jemarinya seperti siap meninju.Citra boleh saja mencintai Andi sesukanya.Tidak ada bedanya bagi Anggara kecuali bahwa itu berarti Citra tidak mengharapkan hubungan emosional dari dia sama sekali.Tetapi Anggara sama sekali tidak ingin mentoleransi "persahabatan" antara istrinya dengan pria yang lebih muda darinya itu.Citra mungkin akan membenci dirinya,tetapi wanita itu harus tahu siapa dan seperti apa Anggara ketika mereka menikah dan menjadi suami istri.Anggara akan menjaga baik baik miliknya dan sekarang Citra adalah miliknya .Titik.Citra terjaga dengan mata lelah,saat melirik jam di layar handphonenya,ia melihat bahwa beberapa menit lagi pukul lima."Tidur empat jam.bagus."terdengar olehnya suara dari kamar tidur sebelah dan ia menyadari mungkin Anggara juga sudah bangun.Sambil mencoba untuk tidak memikirkan Anggara atau apa yang telah mereka lakukan semalam ,Citra menarik kembali selimut ke dagu.Aroma yang tercium adalah aroma pria yang berusaha keras di abaikannya.Karena terlalu kesal,Citra lupa melepas kemeja Anggara dan sekarang ingatan itu membuatnya terjaga sepenuhnya."Aaaaahhh!!" teriakannya yang terdengar seperti kekesalan Citra segera bangun dan bergegas mandi.Air hangat yang mengalir seakan mengobati otot otot Citra yang tidak terbiasa dengan jenis aktivitas yang di lakukannya semalam.Aktivitas yang jelas tidak ingin ia ingat ingat lagi,tetapi tampaknya tidak ingin enyah dari benaknya.Citra baru selesai berpakaian dan berdiri di depan jendela sambil menyikat rambutnya ketika mendengar ketukan pintu setengah hati dari pintu penghubung.Anggara berjalan masuk sedetik kemudian.Dengan celana hitam dan kemeja biru langit bermotif kotak kotak kecil ,entah bagaimana daya tarik pria itu bahkan lebih besar,jauh lebih hebat.Saraf Citra tersentak seketika ,melihat tuntutan Anggara dalam kegelapan,nyeri yang sangat indah dalam kenikmatan."Selamat pagi,"Anggara tersenyum menggoda,jelas jelas sadar akan pengaruhnya terhadap Citra.Keangkuhan itu menyentakkan Citra kembali ke pikiran logis."Aku tidak bicara kamu boleh masuk."sambil menarik sisirnya dengan keras dirambut,Citra mengembalikan perhatian pada kegelapan dini hari.Anggara menutup jarak di antara mereka,berdiri tepat di samping Citra,sosok kuat yang di sentuhnya dengan intim tetapi hanya di kenalnya samar ."Bersiaplah untuk pergi pukul tujuh nanti.""Kita akan kemana?""Kita akan mengunjungi makam keluargamu."Kekesalan Citra sirna."Terima kasih."sambil meletakkan sisir di ambang jendela ,Citra memaksa diri untuk menatap Anggara.Mata yang membalas tatapannya sangat sulit di baca."Beri aku ciuman selamat pagi,Citra.""Aku tidak suka di perintah.""Aneh,kamu mengikuti perintahku dengan sempurna tadi malam."Punggung Citra berubah kaku,"itulah yang ingin di dengar wanita setelah saat melakukannya."katanya sinis.Anggara tersenyum.menyeringai."Baik,aku paham maksudmu."Citra ternganga mendengar permintaan maaf samar tersebut.Anggara segera memanfaatkan kesempatan itu ,mengulurkan tangan ke tengkuk Citra dan segera mendapatkan kecupan yang ia minta.Karena masih sensitif akibat sensualitas yang tidak terkendali semalam ,pertahanan Citra sangat lemah .Ia ketakutan ketika mendengar dirinya memprotes Anggara mulai bergerak meninggalkan dirinya .Tetapi Anggara terlihat menyukai hal itu,sambil kembali memeluk Citra,dan menciumnya kembali dengan lebih intens dan lebih lama.Saat akhirnya Anggara benar benar meninggalkan kamarnya,hati Citra sepenuhnya menjadi sangat kacau.Ini tidak berjalan sesuai dengan rencananya,respons akut atas sentuhan Anggara.Citra selalu menganggap cinta dan seks harus bersama,selalu mengira ia akan sangat mencintai pria yang bercinta dengannya.Tetapi disinilah ia,hancur berkeping keping setiap kali Anggara menyentuhnya.Itu membuat Citra sangat malu.Yang paling parah, Citra tidak tahu cara melawan hal itu.Cintanya pada andi membuatnya terisolir dari pria manapun sejak ia masih remaja .Tapi perisai itu roboh akibat godaan kemaskulinan Anggara.Karena tidak mampu memikirkan apapun yang dapat membuatnya merasa lebih baik sehingga mampu merasakan gairah tanpa cinta,Citra melakukan apa yang selalu ia lakukan jika ia harus berpikir .Ia mengambil handphonenya dan mulai membuka buka akun sosial medianya mencari hal hal yang menarik yang mampu membuat pikirannya menjauh dari Anggara untuk sementara waktu.Citra melihat wajah Andi di layar handphonenya.Kehamilan Rosie dan hutang ayah citra terhadap Anggara membuka jurang dalam yang tidak dapat mereka lalui.Jarak itu sungguh menyakitkan.Andi merupakan sahabat akrabnya sejak kanak kanak,hubungan mereka di penuhi oleh gelak tawa dan kenakalan.Andi membantu Citra kembali tertawa ceria setelah kematian ibunya,mengolok oloknya sampai menangis,dan memaksa Citra untuk bergabung lagi dengan dunia .Citra mengungkapkan semua rahasianya pada Andi,dan sebaliknya ia mendengarkan semua rahasia Andi. Dan pada suatu masa diantara masa kanak kanak dan dewasa,Citra dan Andi jatuh cinta.Andi benar benar menghancurkan hati Citra ketika menikahi Rosie.Lebih baik mereka tidak bertemu lagi setelah Citra menikah...Citra tidak yakin apakah ia tahan mendengar pernyataan Andi secara langsung.Dan sekarang ia telah di miliki oleh Anggara.Bukannya itu penting.Citra melemparkan handphonenya ke tempat tidur,lalu menutupi wajahnya dengan tangannya,"tolong aku ,apa yang harus aku lakukan sekarang."itu seperti bisikan tersiksa dari hatinya.Tetapi tidak ada seorang pun yang bisa mendengarkannya.Beberapa jam kemudian Citra sudah berada di depan Perkebunan teh keluarga Dobson,dan melihat sekitar lokasi itu dari dalam mobil.Ia yang memaksa berkunjung,tetapi ketika mereka sampai,Citra tidak lagi yakin itu keputusan yang tepat.Jelas sekali dari raut wajah Anggara tidak ingin berada di tempat ini."Apa kamu mau ikut?" Citra bertanya sambil membuka pintu mobil.Anggara membuatnya terkejut dengan menemaninya mengunjungi makam Orangtuanya.Citra tidak tahu harus mengharapkan apa saat ini,terutama karena Anggara telah bersikap begitu diam dan dingin sepanjang perjalanan kembali ke perkebunan Brakseng.Anggara melepaskan sabuk pengaman dan keluar,tanpa sepatah kata pun selagi Citra membuka pintu belakang dan mengeluarkan botol air dan bunga bunga yang ia petik sendiri dari taman belakang rumah.Kemudian Anggara melangkah ke sisinya ketika Citra melangkah menuju sebuah bangunan berpilar tempat peristirahatan terakhir Keluarga Nugroho.Selagi berhenti di depan makam ayahnya citra menawark
Tulang kaki citra terasa lumpuh seketika,ia terduduk di kursi menutupi wajahnya yang dengan kedua telapak tangan.Tetapi itu tidak menghentikan kekacauan pikirannya.Ancaman Anggara membuatnya kaget dan shock,jelas sekali suami barunya itu tidak mempercayai dirinya.Namun Citra masih tidak percaya jika Anggara akan mengancamnya dengan kelemahan terbesarnya.Lahan perkebunan peninggalan ayahnya.Citra tidak akan mampu melihat lahan perkebunan itu akan di jual kepada para pengembang yang mungkin akan merusak semua kenangan yang tersisa di lahan sekaligus rumah orangtuanya.Bagi Anggara mungkin lahan itu tidak sebanding dengan hartanya yang lain,tetapi bagi Citra itu adalah segalanya."Citra...?"Suara bu ida mengejutkannya sehingga citra menurunkan tangannya."Ada apa bu?"Si wanita yang lebih tua itu menatap ekspresi Citra dengan sorot mata khawatir,tetapi tidak memiliki keberanian bertanya apa apa lagi."Ada telepon untuk nak Citra."sambil mengulurkan telepon portable."Terima kasih,bu."Ci
Citra menutup pintu mobil dengan keras sehingga mungkin cukup untuk membuat pintu itu terlepas dari rangkanya.Yang di lakukannya bukan berarti dia sedang cemburu.Ia hanya merasa kesal yang ia sendiri tidak tahu penyebabnya.Setelah mengambil keranjang kue yang telah mereka persiapkan,mereka berjalan masuk ke dalam rumah bercat putih yang terlihat mengusung konsep minimalis itu.Setengah jalan menuju kesana Anggara merangkul citra dan mencondongkan tubuh ke arahnya begitu dekat sehingga napasnya mengibaskan rambut citra setiap kali Anggara berbicara."Tersenyumlah Citra,kita seharusnya masih dalam masa bulan madu."Citra tidak tahu apa yang membuatnya mau melakukan itu.Sambil merangkul pinggang Anggara ,Citra memberi senyum yang sangat manis ketika mereka tiba di tempat berlangsungnya acara."Oh,Citra,betapa cantiknya dirimu!"Peringatan pelan Anggara terdengar sayup.Beberapa tamu mendengar dan sekarang menggoda Anggara karena berubah menjadi selembut itu.Anggara menyambut gurauan tersebu
Lilie bangkit berdiri,dengan senyum puas di wajahnya. "Selesai," ia mengumumkan sambil menunjukkam hasil karyanya. "Memang tidak sebagus hasil jahitan awalnya, tapi ini tidak akan terlihat buruk oleh siapa pun malam ini."Citra menunduk melihat kancing bajunya. Lilie terlihat terlalu percaya diri pada dirinya sendiri. Jahitannya terlihat berantakan."Aku memang tidak pernah berbakat dalam hal menjahit," kata Lilie sambil mengangkat bahu tidak peduli. Citra bangkit berdiri,menarik napasnya pelan untuk bersikap tetap tenang."Kamu seharusnya memberitahuku tadi," gerutunya.Bibir lilie perlahan menyunggingkan senyum licik. "Wah,wah," katanya, "apakah sekarang kamu kesal padaku?"Citra lalu dengan tanpa berpikir berkata,"Kamu terlihat sengaja membuatku kesal.""Mungkin," jawab Lilie,terdengar seolah tidak terlalu peduli. Ia berpaling ke pintu dengan ekspresi bingung. "Kenapa dia belum juga datang?"Jantung Citra berdebar aneh. "Siapa yang kamu tunggu?"Kemudian engsel pintu terlihat b
Perjalanan kembali ke Brakseng malam itu merupakan saat terburuk dalam hidup CitraAnggara hanya terdiam membisu di sepanjang perjalanan dan Citra akan sia sia saja mengajak Anggara berbicara, Citra memutuskan untuk tetap diam dari pada menambah dilema di hatinya. Bahkan saat mereka memasuki pekarangan rumah tidak ada perubahan....Anggara langsung meninggalkan Citra untuk mengecek beberapa hal yang tadi di tanyakan kepada tukang yang memperbaiki balkon rumahnya.Saat mendengar Anggara kembali ke kamar tidur utama,Citra menjadi sangat gugup,Citra ingin pertengkaran hening ini berakhir,bahkan jika itu berarti mereka akan bertengkar hebat.Sambil mengikat jubah tidurnya erat menutupi baju tidur tipis yang di kenakannya,Citra mengetuk pintu penghubung.Tidak ada jawaban,tetapi Citra tetap melangkah masuk.Anggara duduk di pinggir tempat tidur,telah membuka jaket dan kemejanya.Sekarang ia menjatuhkan kaus kaki dan berdiri."Tidak sabar ingin ke tempat tidur?" Sambil membalas tatapan Citra,An
Citra berusaha mengubur semua pikiran pikiran negatif yang muncul di kepalanya. Ia sadar ketika ia memutuskan untuk mulai menjalani pernikahan ini,ia sudah tahu aturannya.Jika sekarang ia berharap lebih,itu salahnya sendiri,dan kesalahan itu lebih baik di hentikan sejak awal.Sambil menarik napas lega,Citra mengambil beberapa beberapa warna cat dan menata kanvasnya di penyangga.Ia duduk di sisi jendela yang menghadap langsung ke perkebunan kopi dengan latar belakang pegunungan Welirang, sungguh pemandangan yang sangat indah. Mudah sekali baginya untuk membuat sebuah lukisan yang indah di sini. Citra telah menghabiskan waktu selama bertahun tahun untuk mengenali kota kecil ini.Tetapi hari ini,Citra terlihat tidak konsentrasi dan mengingat ingat wajah pria itu,sesuatu yang belum pernah di rasakannya sebelumnya...hal ini benar benar mengganggunya."Non, ada telepon." Suara bu ida yang spontan membuyarkan pikiran CitraCitra menoleh kaget.Ia tidak mendengar dering telepon."Siapa?""Gunaw
mereka telah sampai di depan mobil saat itu.Anggara menghentikan langkah dan melepaskan rangkulannya di bahu Citra."Apa?" Suaranya sangat tenang,sangat mematikan.Meskipun sangat sulit untuk bertahan menghadapi pria itu,Citra tahu ia akan kehilangan harga diri jika ia langsung menyerah."Kamu tidak ingin aku menemui Andi.Baik sudah kulakukan.Tetapi itu juga berlaku untuk kamu.Kamu juga tidak boleh bergaul seenaknya lagi dengan mantan kekasihmu.""Itu berbeda,Cici sayang, aku tidak memberitahu semua orang tentang kisah cintaku dengan Andine.Dan aku juga tidak membututinya sepanjang waktu." Anggara mengeluarkan kunci mobil."Terserah kamu mau datang ke pesta itu atau tidak,tetapi kamu belum memperhatikan ucapanku jika kamu pikir bisa mencegah aku untuk pergi."Citra ingin menjerit.Tetapi Anggara benar....dalam perdebatan ia selalu kalah.Anggara telah di tempah oleh situasi paling sulit dan itu membuatnya semakin kebal terhadap segala hal yang lembut dan baik. Anggara tidak pernah meng
"Di mana Citra?" Anggara memandang tajam langit malam yang berawan gelap dan bersumpah akan benar benar menghukum Citra saat menemukan gadis itu."Anda yakin dia tidak mengatakan akan pergi kemana?"Bu Ida menggeleng."Dia tidak ada di sini ketika saya kembali dari pasar untuk membeli bahan makanan.Ibu kira ia pergi mengunjungi temannya.""Aku akan mencarinya.Jika dia kembali,beritahu dia agar tidak kemana mana.""Apa tuan ingin aku menelepon teman temannya?""Aku akan menelepon bu Ida jika tidak dapat menemukannya." Anggara memegang telepon selularnya dan mengingat ingat siapa yang bisa dia hubungi."Sebaiknya bu Ida istirahat dulu saja.""Tidak tuan saya akan mencarinya di sekitar perkebunan. Apa tuan yakin,bisa menemukan non Citra?""Bu Ida lebih baik berada di rumah saja, jika dia kembali seserorang dapat mengabariku." Anggara masuk ke dalam mobilnya setelah menerima anggukan tanda mengerti dari bu ida.Begitu Anggara berbalik dan menyalakan mesinnya,ia memikirkan tempat tempat ya
"Maksudmu, ini bukan pertama kalinya?" seru Anggara dengan wajah panik, membuka ponsel untuk menghubungi dokter Mila dan gusar karena selama ini tidak diberitahu. "Kenapa kamu tidak cerita padaku?""Oh, pergilah dan jangan ribut, Anggara," erang Citra sambil mendekati wastafel untuk mencuci wajah sehabis muntah-muntah yang tadi membuatnya melompat dari tempat tidur dan langsung menuju kamar mandi. Saat ini, ia betul-betul tak butuh penonton. "Ini hanya gangguan perut biasa... mungkin karena menu makananku berubah. Aku terlalu banyak makan makanan pedas."ujar Citra yang terus menahan rasa mualnya"Aku akan mempekerjakan koki baru jika begini akibatnya. Sudah berapa kali ini terjadi?" desak Anggara, bicara cepat dalam bahasa inggris kepada seorang pelayan yang berdiri di dekat mereka. Kemudian, ia mengangguk dan mengatupkan bibir sensualnya saat mendengar jawaban yang membenarkan kecurigaan terburuknya. Wajah tampannya berubah suram mengiringi suasana hatinya. "Kamu harus kembali ke tem
Anggara masuk ke kamar setelah larut malam dan berbaring di sisi tempat tidurnya sementara Citra berpura-pura terlelap. Ia malu atas kenyataan yang Anggara sodorkan ke hadapannya dan amat menyesali pilihannya sekarang. Pagi hari saat ia terjaga, Anggara sudah pergi, dan itulah awal dari tiga minggu yang amat sepi ketika Citra jarang sekali melihatnya. Anggara makan pagi sebelum Citra turun dari tempat tidur, yang justru membuat wanita itu lega karena pada minggu ketiga ia merasa perutnya tidak nyaman, yang ia duga akibat kehamilan yang masih ia sembunyikan. Ia terkadang mual pada pagi hari, bahkan muntah beberapa kali, tetapi kemudian baik-baik saja saat siang dan malam.Tanpa menyadari penderitaan Citra pada pagi hari, Anggara kerap muncul saat makan siang, mengajaknya berbincang dengan amat sopan, tetapi Citra hanya menerima tanggapan dingin. Anggara kembali pada kebiasaannya makan malam bersama Citra. Dan suatu pagi, pria itu mengumumkan sekilas akan terbang ke Singapura untuk men
Citra masih tersenyum-senyum sendiri saat kembali masuk ke tempat tidurnya. Ia tidak sabar memberitahu kepada Anggara tentang kabar bahagia ini. Dengan tatapan penuh harap ia mengeluarkan ponsel dan membaca pesan masuk pada ponselnya.Pesan itu dari Andi. AKU KEHABISAN UANG. BUTUH UANG 500 JUTA. Citra membaca pesan itu dengan mata membelalak kecewa serta mulut mengatup. Ada apa dengan Andi?Ia betul-betul tidak tahu malu. Ia bergegas mengetik pesan balasan. AKU TIDAK AKAN MEMBERIMU UANG UANG SEBANYAK ITU. DIA HARUS MEMBERIKU UANG JIKA TIDAK INGIN FOTO FOTONYA BERSAMA GADIS GADIS DI SURABAYA TEREKSPOS KE MEDIA. Dengan perasaan terpukul bercampur ngeri, Citra duduk tertegun sambil menatap layar ponsel. Mereka telah tiba di pusat kota saat akhirnya ia bisa menenangkan perasaan yang campur aduk. Ia mengangkat telepon untuk bicara dengan Lilir yang duduk di samping sopir. "Aku ingin pulang ke rumah. Aku terlalu capek untuk belanja sore ini," ujarnya. Gadis-gadis? Di Surabaya? Perutnya
Selama beberapa hari ini Laurel lebih terbuka dibandingkan yang terjadi selama pernikahan mereka, namun Anggara tidak akan tertipu. Ketika Citra merasa terancam, dia menutup diri. Itulah cara wanita itu melindungi dirinya sendiri. Di sini, Anggarq tidak bersedia membiarkan Citra bersembunyi tapi ia cukup realistis untuk tahu bahwa ketika mereka kembali ke dunia sibuk tempat mereka tinggal, segalanya akan berubah. "Seminggu," janjinya di bibir Citra, "kita akan kembali selama seminggu. Dan kita akan bersama-sama pada awal dan akhir setiap hari. Sarapan setiap pagi dan makan malam setiap malam. Sendang tidak jauh dari Brakseng. Aku takkan pergi lama. Aku berjanji." Citra mengawasi saat Anggara mengirimkan e-mail dengan satu tangan sambil mengikat simpul dasi sutranya dengan tangan yang satu lagi. Secangkir kopi dingin tergeletak tak tersentuh di meja karena ia tak sempat meminumnya. Sejak mereka tiba kembali di Brakseng, rumah yang dimiliki keluarga Anggara selama beberapa generasi,A
Anggara mendekatkan wajahnya menatap wajah Citra,Matanya menyipit . "Kamu tak mau aku melakukannya?" Citra bisa saja berbohong. Ia bisa saja membiarkan hubungan mereka berjalan tanpa memberitahu Anggara hal sebenarnya, tapi mereka sudah menghadapi cukup banyak hambatan dalam pernikahan mereka tanpa ia menciptakan hambatan baru. "Tidak." Citra menggeleng perlahan, tahu bahwa apa yang akan ia katakan bisa menghancurkan masa depan mereka. "Tidak, aku tidak mau. Ada sesuatu yang belum kuberitahukan padamu. Sesuatu yang belum kukatakan dengan sejujurnya." Anggara terdiam, wajahnya dibayangi cahaya yang semakin temaram. "Katakanlah." Bagaimana Citra bisa menjelaskannya? Dari mana ia memulainya? "Kehilangan bayi kita adalah hal terburuk yang pernah kualami. Ketika merasakan rasa sakit pertama itu aku berpikir, Jangan, tolonglah, jangan sampai ini terjadi. Aku panik. Tak ada, benar-benar tak ada, yang paling kuinginkan di dunia ini seperti aku menginginkan anak kita." Mata Citra basah k
Citra sangat gemetar sehingga tak yakin kedua kakinya mampu menopang tubuh. "Kupikir aku tak boleh melihat rumah." "Tidak lagi. Aku punya kejutan untukmu. Hadiah." Saat mereka menuruni tangga taman itu, Anggara memegang tangan Citra dengan erat dan mengernyit. "Tanganmu dingin. Apa kamu baik-baik saja?" "Aku tak apa-apa." Citra ingin memberitahu Anggara bahwa ia tak membutuhkan hadiah-hadiah besar dari pria itu, bahwa hadiah-hadiah bukanlah alasan ia bersama Anggara. Tapi satu-satunya yang bisa ia pikiran adalah kenyataan bahwa Anggara akan membuat janji untuk menemui dokter padahal itulah hal terakhir yang ia inginkan.Anggara memperpanjang langkah-langkahnya. "Aku tak sabar menunggumu melihatnya." "Dokter itu?" Anggara melirik lembut. "Aku sedang membicarakan hadiahku untukmu." "Oh. Aku yakin aku akan menyukainya," ucap Citra parau, tahu ia harus mengatakan yang sebenarnya pada Anggara.Mereka tiba kembali di rumah dan Anggata segera melangkah menuju ruang kerja, salah sat
"Jika kita melakukan ini..." Citra membiarkan kata itu menggantung "...bagaimana dengan anak yang selalu kamu impikan?" "Kamulah keluarga yang kuimpikan dan untuk yang lainnya..." Anggara mengabaikan anjing-anjing itu, mencondongkan tubuh ke depan, menyingkirkan kuas dari tangan Citra dan menarik wanita itu berdiri "...kita akan menemukan cara untuk mengatasinya. Tapi kita akan menemukannya bersama-sama, bukan sendiri-sendiri. Apa pun yang kamu pikirkan, kamu harus memberitahuku dan kali ini aku akan mendengarkan dengan teliti. Aku mencintaimu. Aku mencintaimu." Anggara menangkup wajah Citra dengan kedua tangan, merasakan kelembutan kulit Citra di telapak tangannya. "Pada saat aku selesai membuktikan padamu tidak akan ada ruang bagi keraguan dalam benakmu." Keheningan mencekam dan Anggara menyadari makna sebenarnya dari kata ketegangan. Ia bertanya-tanya apa yang harus ia lakukan jika Citra menjauhkan diri karena ia tahu ia tidak akan pernah menerima kata tidak. Kedua mata hit
Citra berharap bisa menerimanya dengan mudah dan bagi jutaan wanita lain mungkin demikian. Mendengarkan Anggara Dobson mengatakan "Aku mencintaimu" telah menjadi puncak ambisi banyak wanita. Untuk Citra, itu sekadar ucapan biasa. Citra frustrasi dengan dirinya sendiri, turun dari ranjang, mengenakan jubah kamar dan melangkah menuju teras. Kenyataan bahwa Anggara membiarkannya pergi dengan begitu mudah memberitahunya banyak hal tentang perasaan pria itu sekarang, saat sedalam apa perasaan tidak amannya yang terungkap. Ketakutan dalam bentuk sensasi dingin merayap di sekujur tubuhnya yang panas ketika akhirnya ia menyadari masa depan pernikahan mereka bukan bergantung pada kemampuannya untuk memiliki anak, tapi kemampuannya untuk memercayai Anggara supaya tidak melukainya. Apa maksud Citra, ia tidak pernah memberi wanita itu tanda apa pun? Anggara berbaring telentang di ranjang, kedua tangannya diletakkan di belakang kepala, memikirkan kembali pernikahan mereka selama dua tah
Anggara menginginkan Citra menceritakan kegundahannya . Dan dia layak mendapatkannya. "Dari kecil aku menginginkan seorang saudara,baik itu laki laki maupun perempuan. Aku selalu kesepian saat ayahku bekerja.Aku tidak punya siapa siapa yang dapat di ajak bicara. Dan ketika ayahku meninggal aku benar benar menjadi sendiri dan merasa sebatang kara. Ini membuat aku mengalami gangguan kecemasan yang akut.Citra berbaring telentang, menjauhkan diri dari Anggara. Citra mengubah suaranya menjadi santai sambil menoleh memandang Anggara. "Jadi sekarang kamu tahu mengapa aku benar- benar kacau." Dan tak ada keluarga, tapi Citra tidak menyebutkan bagian itu. Tidak menyebutkan mengenai kesedihan dan perasaan di sendiri yang mengikuti pengalaman traumatis tersebut. "Mungkin jika aku membaca beberapa cerita dongeng, aku tidak akan menjadi separah ini. Masalahnya, aku tidak akan tahu akhir yang bahagia bahkan jika aku mengalaminya sendiri." Keheningan terasa di antara mereka dan Aggara bersandar d