Beberapa jam kemudian Citra sudah berada di depan Perkebunan teh keluarga Dobson,dan melihat sekitar lokasi itu dari dalam mobil.Ia yang memaksa berkunjung,tetapi ketika mereka sampai,Citra tidak lagi yakin itu keputusan yang tepat.Jelas sekali dari raut wajah Anggara tidak ingin berada di tempat ini.
"Apa kamu mau ikut?" Citra bertanya sambil membuka pintu mobil.Anggara membuatnya terkejut dengan menemaninya mengunjungi makam Orangtuanya.Citra tidak tahu harus mengharapkan apa saat ini,terutama karena Anggara telah bersikap begitu diam dan dingin sepanjang perjalanan kembali ke perkebunan Brakseng.Anggara melepaskan sabuk pengaman dan keluar,tanpa sepatah kata pun selagi Citra membuka pintu belakang dan mengeluarkan botol air dan bunga bunga yang ia petik sendiri dari taman belakang rumah.Kemudian Anggara melangkah ke sisinya ketika Citra melangkah menuju sebuah bangunan berpilar tempat peristirahatan terakhir Keluarga Nugroho.Selagi berhenti di depan makam ayahnya citra menawarkan keranjang bunga pada anggara."Kamu mau menabur bunga ini?""Boleh."nada suara Anggara jelas sekali menunjukkan bahwa dirinya tidak terbiasa dengan hal seperti ini.Citra sedikit terluka,tetapi menolak untuk mengatakannya.Citra kembali melanjutkan untuk membersihkan rumput rumput kecil yang tumbuh di sekitar makam ayahnya.Terlihat citra menahan air matanya agar tidak terjatuh untuk membuktikan kepada ayahnya bahwa ia baik baik saja."Apa kamu sudah selesai?" Anggara tampak tidak ingin melihat citra berlama lama dalam kesedihannya."Ya."Citra bangkit berdiri dari posisi duduk,pandangannya terarah pada garis wajah tegas yang sangat sulit ia mengerti."Tapi...""Tapi apa,Citra? Masih banyak pekerjaan yang harus ku selesaikan".Anggara melirik arloji silver di lengan kirinya.Citra meraih tangan Anggara untuk menghentikan langkah pria itu yang akan berbalik."Apa sebaiknya kita mampir juga ke makam ayahmu?"Anggara mengangkat alis."Aku rasa tidak perlu. Kita datang kemari hanya untuk mengunjungi makam orangtuamu.""Anggara....""Citra,Seharusnya kamu belajar untuk mengenalku lebih jauh.Hal seperti ini bukan menjadi prioritasku." Sambil berbalik,Anggara melepaskan tanganCitra dan kembali ke mobil.Citra ingin sekali mempercayai bahwa anggara berbohong,tetapi tatapan mata pria itu ketika berbicara tidak menunjukkan apa apa selain ketenangan.Malam telah tiba,Citra duduk di sebuah kursi yang menghadap ke halaman rumah ,dia sedang menyibukkan diri dengan buku sketsa di tangannya saat sebuah mobil sedan berderum masuk ke dalam garasi.Citra menghentikan aktifitasnya dan menunggu pengemudinya parkir dan berjalan keluar,tetapi pengemudinya terus berpacu ke dalam garasi hingga batas dinding sebelum tiba tiba berhenti karena bagian belakang mobilnya terlihat menabrak sedikit bagian dinding garasi.Sambil mengernyit melihat kejadian itu,citra meletakkan pensil yang ia pegang dan melangkah keluar."Siapa yang...?"pintu kendaraan tersebut terbuka dan pria yang sama sekali tidak ingin ia temui melompat keluar."CICi.....!!!"setelah berlari menaiki tangga ,Andi merangkul pinggang Citra dan memeluknya.Tidak mungkin tidak merasa senang melihat Andi,terutama saat Citra sangat merindukan pria itu.Dengan mata coklat dan rambut ikal berwarna hitam pekat,Andi seperti seorang aktor papan atas terlihat sangat tampan.Pantas saja banyak gadis gadis yang mengejarnya.Senyum itu membuat Citra terpikat.Citra tersenyum bahagia untuk pertama kalinya sejak pernikahannya."lepaskan aku,dasar bodoh!"Senyum hangat itu memudar."Aku tidak akan mau membiarkan kamu lepas lagi."Perut Citra langsung melilit karena amat sangat khawatir."Apa?""Aku mendengar kabar bahwa kamu telah menikah.""Ya,yang kamu dengar itu benar."pernyataan itu di ucapkan dengan suara tenang namun terdengar tajam,dan datang dari sisi lain ruangan itu."Jadi kusarankan kamu melepaskan tanganmu darinya."Karena menyadari keadaan itu bagaimanaterlihat,Citra menjauh dari tangan Andi,suhu wajahnya seakan berubah ubah dari panas ke dingin."Andi hanya datang berkunjung untuk melihat keadaanku."Citra berusaha menghangatkan suasana yang terasa mencengkam.Anggara berjalan mendekat untuk merangkul pinggan Citra.Untuk memberontak atas keposesifan,Citra mencoba untuk melepaskan diri untuk menghindar,tetapi berbeda dengan Andi,Anggara tidak mau mengalah."Benarkah?"Citra merasa kaget melihat mata Andi menyipit."Kamu bahkan tidak mau memberitahu Citra bahwa aku ingin bicara dengannya setelah kalian menikah."Dagunya terangkat tinggi."Aneh."Anggara menyahut,nada suaranya sangat logis sekaligus berbahaya."Kukira semua orang punya telepon."Citra mulai takut akan keselamatan Andi.Dia memang kuat,tetapi jelas bukan tandingan Anggara.Citra memohon tanpa suara saat Andi menatapnya.Dan betapa leganya Citra ketika kalimat Andi selanjutnya terdengar sopan."Kurasa aku dan Citra harus bicara."Lengan Anggara bagaikan sangkar."Jika kamu ingin bicara dengan istriku,kamu dapat melakukannya sekarang juga.""Baiklah,kalau begitu aku akan pulang sekarang,Citra."Andi berlalu dengan kebisingan yang sama seperti ketika pertama kali tiba ke rumah itu.Citra tidak berbicara lagi sampai mobil sedan itu lenyap di kejahuan.Kemudian ia melepaskan diri dari genggaman Anggara dan menatap pria itu ,dengan bersedekap."Kamy pikir,apa yang kamu lakukan tadi?""Kurasa aku sudah menjelaskan bahwa kamu istriku,fakta yang tampaknya nyaris kamu lupakan."mata Anggara berkelibat marah."Berapa lama kamu berencana bermesraan dengannya di depan rumah ini?"Kemarahan yang mendorong jawaban Citra."Dia telah menjadi sahabatku nyaris sepanjang hidupku.Tidakkah terpikir olehmu bahwa mungkin ia ingin bercerita tentang hidupnya?"Citra menyingkirkan fakta bahwa Andi mengatakan tidak ingin melepaskan Citra,karena hal itu jelas membuatnya merasa bersalah."Aku tidak peduli apa yang ingin ia bicarakan."Anggara bersedekap sikap dominan yang konsisten."Tidak boleh ada lagi pembicaraan pribadi di antara kalian.""Kamu suamiku,bukan penjagaku!""Aku memang seharusnya tidak perlu menjadi penjagamu.Atau kamu pikir perbuatanmu berpelukkan dengan mantan kekasihmu itu bisa di terima?""Kamu terdengar memutarbalikkan semuanya!"pelukan citra terhadap Andi sama sekali tidak berarti lain.Tetapi Anggara membuat itu terdengar seperti hal yang menjijikkan ,membuat Citra mempertanyakan semua tindakan,semua kata katanya sendiri.Dengan rahang mengeras,kalimat Anggara selanjutnya terdengar sedingin es,"Aku berjanji Citra,jika kamu berselingkuh dariku dengan pria menyedihkan itu,aku akan langsung menceraikanmu kemudian aku akan membuat hidupnya menderita."Citra merasakan darah mengalir deras di bawah kulitnya."Kamu tidak boleh melakukannya,aku telah memberi segalanya kepadamu."Anggara terlihat mengejek."kamu membuat perjanjian untuk seumur hidup,bukan untuk tidur semalam di ranjangku.Jika itu yang ku inginkan,aku bisa mendapatkannya dengan yang jauh lebih murah dan yang jauh lebih berpengalaman dari pada kamu,sayangku."Kalimat itu seakan menampar Citra begitu keras sehingga ia tidak mampu lagi bersuara."Tanahmu sama sekali tidak ada nilainya bagiku dalam perjanjian ini,"lanjut Anggara."Aku membelinya hanya untuk pengesahan perniķahan kita,aku bisa saja dengan sangat mudah menjualnya dan menceraikanmu jika kamu tidak dapat melaksanakan tugasmu sebagai istriku.Pikirkan itu jika lain kali tiba tiba kamu ingin bertemu dengan sahabatmu itu."Anggara berlalu tanpa memberikan Citra kesempatan untuk menjawab.Lagi pula,Citra tidak tahu lagi harus menjawab apa.Tulang kaki citra terasa lumpuh seketika,ia terduduk di kursi menutupi wajahnya yang dengan kedua telapak tangan.Tetapi itu tidak menghentikan kekacauan pikirannya.Ancaman Anggara membuatnya kaget dan shock,jelas sekali suami barunya itu tidak mempercayai dirinya.Namun Citra masih tidak percaya jika Anggara akan mengancamnya dengan kelemahan terbesarnya.Lahan perkebunan peninggalan ayahnya.Citra tidak akan mampu melihat lahan perkebunan itu akan di jual kepada para pengembang yang mungkin akan merusak semua kenangan yang tersisa di lahan sekaligus rumah orangtuanya.Bagi Anggara mungkin lahan itu tidak sebanding dengan hartanya yang lain,tetapi bagi Citra itu adalah segalanya."Citra...?"Suara bu ida mengejutkannya sehingga citra menurunkan tangannya."Ada apa bu?"Si wanita yang lebih tua itu menatap ekspresi Citra dengan sorot mata khawatir,tetapi tidak memiliki keberanian bertanya apa apa lagi."Ada telepon untuk nak Citra."sambil mengulurkan telepon portable."Terima kasih,bu."Ci
Citra menutup pintu mobil dengan keras sehingga mungkin cukup untuk membuat pintu itu terlepas dari rangkanya.Yang di lakukannya bukan berarti dia sedang cemburu.Ia hanya merasa kesal yang ia sendiri tidak tahu penyebabnya.Setelah mengambil keranjang kue yang telah mereka persiapkan,mereka berjalan masuk ke dalam rumah bercat putih yang terlihat mengusung konsep minimalis itu.Setengah jalan menuju kesana Anggara merangkul citra dan mencondongkan tubuh ke arahnya begitu dekat sehingga napasnya mengibaskan rambut citra setiap kali Anggara berbicara."Tersenyumlah Citra,kita seharusnya masih dalam masa bulan madu."Citra tidak tahu apa yang membuatnya mau melakukan itu.Sambil merangkul pinggang Anggara ,Citra memberi senyum yang sangat manis ketika mereka tiba di tempat berlangsungnya acara."Oh,Citra,betapa cantiknya dirimu!"Peringatan pelan Anggara terdengar sayup.Beberapa tamu mendengar dan sekarang menggoda Anggara karena berubah menjadi selembut itu.Anggara menyambut gurauan tersebu
Lilie bangkit berdiri,dengan senyum puas di wajahnya. "Selesai," ia mengumumkan sambil menunjukkam hasil karyanya. "Memang tidak sebagus hasil jahitan awalnya, tapi ini tidak akan terlihat buruk oleh siapa pun malam ini."Citra menunduk melihat kancing bajunya. Lilie terlihat terlalu percaya diri pada dirinya sendiri. Jahitannya terlihat berantakan."Aku memang tidak pernah berbakat dalam hal menjahit," kata Lilie sambil mengangkat bahu tidak peduli. Citra bangkit berdiri,menarik napasnya pelan untuk bersikap tetap tenang."Kamu seharusnya memberitahuku tadi," gerutunya.Bibir lilie perlahan menyunggingkan senyum licik. "Wah,wah," katanya, "apakah sekarang kamu kesal padaku?"Citra lalu dengan tanpa berpikir berkata,"Kamu terlihat sengaja membuatku kesal.""Mungkin," jawab Lilie,terdengar seolah tidak terlalu peduli. Ia berpaling ke pintu dengan ekspresi bingung. "Kenapa dia belum juga datang?"Jantung Citra berdebar aneh. "Siapa yang kamu tunggu?"Kemudian engsel pintu terlihat b
Perjalanan kembali ke Brakseng malam itu merupakan saat terburuk dalam hidup CitraAnggara hanya terdiam membisu di sepanjang perjalanan dan Citra akan sia sia saja mengajak Anggara berbicara, Citra memutuskan untuk tetap diam dari pada menambah dilema di hatinya. Bahkan saat mereka memasuki pekarangan rumah tidak ada perubahan....Anggara langsung meninggalkan Citra untuk mengecek beberapa hal yang tadi di tanyakan kepada tukang yang memperbaiki balkon rumahnya.Saat mendengar Anggara kembali ke kamar tidur utama,Citra menjadi sangat gugup,Citra ingin pertengkaran hening ini berakhir,bahkan jika itu berarti mereka akan bertengkar hebat.Sambil mengikat jubah tidurnya erat menutupi baju tidur tipis yang di kenakannya,Citra mengetuk pintu penghubung.Tidak ada jawaban,tetapi Citra tetap melangkah masuk.Anggara duduk di pinggir tempat tidur,telah membuka jaket dan kemejanya.Sekarang ia menjatuhkan kaus kaki dan berdiri."Tidak sabar ingin ke tempat tidur?" Sambil membalas tatapan Citra,An
Citra berusaha mengubur semua pikiran pikiran negatif yang muncul di kepalanya. Ia sadar ketika ia memutuskan untuk mulai menjalani pernikahan ini,ia sudah tahu aturannya.Jika sekarang ia berharap lebih,itu salahnya sendiri,dan kesalahan itu lebih baik di hentikan sejak awal.Sambil menarik napas lega,Citra mengambil beberapa beberapa warna cat dan menata kanvasnya di penyangga.Ia duduk di sisi jendela yang menghadap langsung ke perkebunan kopi dengan latar belakang pegunungan Welirang, sungguh pemandangan yang sangat indah. Mudah sekali baginya untuk membuat sebuah lukisan yang indah di sini. Citra telah menghabiskan waktu selama bertahun tahun untuk mengenali kota kecil ini.Tetapi hari ini,Citra terlihat tidak konsentrasi dan mengingat ingat wajah pria itu,sesuatu yang belum pernah di rasakannya sebelumnya...hal ini benar benar mengganggunya."Non, ada telepon." Suara bu ida yang spontan membuyarkan pikiran CitraCitra menoleh kaget.Ia tidak mendengar dering telepon."Siapa?""Gunaw
mereka telah sampai di depan mobil saat itu.Anggara menghentikan langkah dan melepaskan rangkulannya di bahu Citra."Apa?" Suaranya sangat tenang,sangat mematikan.Meskipun sangat sulit untuk bertahan menghadapi pria itu,Citra tahu ia akan kehilangan harga diri jika ia langsung menyerah."Kamu tidak ingin aku menemui Andi.Baik sudah kulakukan.Tetapi itu juga berlaku untuk kamu.Kamu juga tidak boleh bergaul seenaknya lagi dengan mantan kekasihmu.""Itu berbeda,Cici sayang, aku tidak memberitahu semua orang tentang kisah cintaku dengan Andine.Dan aku juga tidak membututinya sepanjang waktu." Anggara mengeluarkan kunci mobil."Terserah kamu mau datang ke pesta itu atau tidak,tetapi kamu belum memperhatikan ucapanku jika kamu pikir bisa mencegah aku untuk pergi."Citra ingin menjerit.Tetapi Anggara benar....dalam perdebatan ia selalu kalah.Anggara telah di tempah oleh situasi paling sulit dan itu membuatnya semakin kebal terhadap segala hal yang lembut dan baik. Anggara tidak pernah meng
"Di mana Citra?" Anggara memandang tajam langit malam yang berawan gelap dan bersumpah akan benar benar menghukum Citra saat menemukan gadis itu."Anda yakin dia tidak mengatakan akan pergi kemana?"Bu Ida menggeleng."Dia tidak ada di sini ketika saya kembali dari pasar untuk membeli bahan makanan.Ibu kira ia pergi mengunjungi temannya.""Aku akan mencarinya.Jika dia kembali,beritahu dia agar tidak kemana mana.""Apa tuan ingin aku menelepon teman temannya?""Aku akan menelepon bu Ida jika tidak dapat menemukannya." Anggara memegang telepon selularnya dan mengingat ingat siapa yang bisa dia hubungi."Sebaiknya bu Ida istirahat dulu saja.""Tidak tuan saya akan mencarinya di sekitar perkebunan. Apa tuan yakin,bisa menemukan non Citra?""Bu Ida lebih baik berada di rumah saja, jika dia kembali seserorang dapat mengabariku." Anggara masuk ke dalam mobilnya setelah menerima anggukan tanda mengerti dari bu ida.Begitu Anggara berbalik dan menyalakan mesinnya,ia memikirkan tempat tempat ya
Citra meraih gagang telepon itu dan menghela napas panjang, ia bersyukur bahwa setidaknya Anggara masih memberikan telepon itu, ia hanya sempat mengucapkan satu kata sebelum Andi berbicara panjang lebar. Anggara menatapnya dengan tajam ketika Citra tidak langsung mengakhiri telepon itu, dan mulai pergi. Citra menarik lengan Anggara tanpa peringatan. "Tunggu!"Sambil menutup bagian bawah gagang telepon itu, Citra menatap mata marah suaminya. "Sesuatu terjadi pada Rosie. Mereka ada di rumah sakit dan Andi terdengar sangat panik, mereka mungkin tidak akan dapat menyelamatkan bayi mereka."Jika Anggara menghalau tangan Citra, Citra mungkin tidak akan kaget.Tetapi yang di lakukan Anggara adalah mengambil alih telepon itu dan berbicara langsung pada Andi. "Citra akan segera berganti pakaian. Kami akan segera ke sana."Begitu mereka tiba di rumah sakit, Citra langsung bergegas menuju ruang informasi. Sementara Anggara menemui dokter Herman direktur rumah sakit yang merupakan teman sekolahnya
"Maksudmu, ini bukan pertama kalinya?" seru Anggara dengan wajah panik, membuka ponsel untuk menghubungi dokter Mila dan gusar karena selama ini tidak diberitahu. "Kenapa kamu tidak cerita padaku?""Oh, pergilah dan jangan ribut, Anggara," erang Citra sambil mendekati wastafel untuk mencuci wajah sehabis muntah-muntah yang tadi membuatnya melompat dari tempat tidur dan langsung menuju kamar mandi. Saat ini, ia betul-betul tak butuh penonton. "Ini hanya gangguan perut biasa... mungkin karena menu makananku berubah. Aku terlalu banyak makan makanan pedas."ujar Citra yang terus menahan rasa mualnya"Aku akan mempekerjakan koki baru jika begini akibatnya. Sudah berapa kali ini terjadi?" desak Anggara, bicara cepat dalam bahasa inggris kepada seorang pelayan yang berdiri di dekat mereka. Kemudian, ia mengangguk dan mengatupkan bibir sensualnya saat mendengar jawaban yang membenarkan kecurigaan terburuknya. Wajah tampannya berubah suram mengiringi suasana hatinya. "Kamu harus kembali ke tem
Anggara masuk ke kamar setelah larut malam dan berbaring di sisi tempat tidurnya sementara Citra berpura-pura terlelap. Ia malu atas kenyataan yang Anggara sodorkan ke hadapannya dan amat menyesali pilihannya sekarang. Pagi hari saat ia terjaga, Anggara sudah pergi, dan itulah awal dari tiga minggu yang amat sepi ketika Citra jarang sekali melihatnya. Anggara makan pagi sebelum Citra turun dari tempat tidur, yang justru membuat wanita itu lega karena pada minggu ketiga ia merasa perutnya tidak nyaman, yang ia duga akibat kehamilan yang masih ia sembunyikan. Ia terkadang mual pada pagi hari, bahkan muntah beberapa kali, tetapi kemudian baik-baik saja saat siang dan malam.Tanpa menyadari penderitaan Citra pada pagi hari, Anggara kerap muncul saat makan siang, mengajaknya berbincang dengan amat sopan, tetapi Citra hanya menerima tanggapan dingin. Anggara kembali pada kebiasaannya makan malam bersama Citra. Dan suatu pagi, pria itu mengumumkan sekilas akan terbang ke Singapura untuk men
Citra masih tersenyum-senyum sendiri saat kembali masuk ke tempat tidurnya. Ia tidak sabar memberitahu kepada Anggara tentang kabar bahagia ini. Dengan tatapan penuh harap ia mengeluarkan ponsel dan membaca pesan masuk pada ponselnya.Pesan itu dari Andi. AKU KEHABISAN UANG. BUTUH UANG 500 JUTA. Citra membaca pesan itu dengan mata membelalak kecewa serta mulut mengatup. Ada apa dengan Andi?Ia betul-betul tidak tahu malu. Ia bergegas mengetik pesan balasan. AKU TIDAK AKAN MEMBERIMU UANG UANG SEBANYAK ITU. DIA HARUS MEMBERIKU UANG JIKA TIDAK INGIN FOTO FOTONYA BERSAMA GADIS GADIS DI SURABAYA TEREKSPOS KE MEDIA. Dengan perasaan terpukul bercampur ngeri, Citra duduk tertegun sambil menatap layar ponsel. Mereka telah tiba di pusat kota saat akhirnya ia bisa menenangkan perasaan yang campur aduk. Ia mengangkat telepon untuk bicara dengan Lilir yang duduk di samping sopir. "Aku ingin pulang ke rumah. Aku terlalu capek untuk belanja sore ini," ujarnya. Gadis-gadis? Di Surabaya? Perutnya
Selama beberapa hari ini Laurel lebih terbuka dibandingkan yang terjadi selama pernikahan mereka, namun Anggara tidak akan tertipu. Ketika Citra merasa terancam, dia menutup diri. Itulah cara wanita itu melindungi dirinya sendiri. Di sini, Anggarq tidak bersedia membiarkan Citra bersembunyi tapi ia cukup realistis untuk tahu bahwa ketika mereka kembali ke dunia sibuk tempat mereka tinggal, segalanya akan berubah. "Seminggu," janjinya di bibir Citra, "kita akan kembali selama seminggu. Dan kita akan bersama-sama pada awal dan akhir setiap hari. Sarapan setiap pagi dan makan malam setiap malam. Sendang tidak jauh dari Brakseng. Aku takkan pergi lama. Aku berjanji." Citra mengawasi saat Anggara mengirimkan e-mail dengan satu tangan sambil mengikat simpul dasi sutranya dengan tangan yang satu lagi. Secangkir kopi dingin tergeletak tak tersentuh di meja karena ia tak sempat meminumnya. Sejak mereka tiba kembali di Brakseng, rumah yang dimiliki keluarga Anggara selama beberapa generasi,A
Anggara mendekatkan wajahnya menatap wajah Citra,Matanya menyipit . "Kamu tak mau aku melakukannya?" Citra bisa saja berbohong. Ia bisa saja membiarkan hubungan mereka berjalan tanpa memberitahu Anggara hal sebenarnya, tapi mereka sudah menghadapi cukup banyak hambatan dalam pernikahan mereka tanpa ia menciptakan hambatan baru. "Tidak." Citra menggeleng perlahan, tahu bahwa apa yang akan ia katakan bisa menghancurkan masa depan mereka. "Tidak, aku tidak mau. Ada sesuatu yang belum kuberitahukan padamu. Sesuatu yang belum kukatakan dengan sejujurnya." Anggara terdiam, wajahnya dibayangi cahaya yang semakin temaram. "Katakanlah." Bagaimana Citra bisa menjelaskannya? Dari mana ia memulainya? "Kehilangan bayi kita adalah hal terburuk yang pernah kualami. Ketika merasakan rasa sakit pertama itu aku berpikir, Jangan, tolonglah, jangan sampai ini terjadi. Aku panik. Tak ada, benar-benar tak ada, yang paling kuinginkan di dunia ini seperti aku menginginkan anak kita." Mata Citra basah k
Citra sangat gemetar sehingga tak yakin kedua kakinya mampu menopang tubuh. "Kupikir aku tak boleh melihat rumah." "Tidak lagi. Aku punya kejutan untukmu. Hadiah." Saat mereka menuruni tangga taman itu, Anggara memegang tangan Citra dengan erat dan mengernyit. "Tanganmu dingin. Apa kamu baik-baik saja?" "Aku tak apa-apa." Citra ingin memberitahu Anggara bahwa ia tak membutuhkan hadiah-hadiah besar dari pria itu, bahwa hadiah-hadiah bukanlah alasan ia bersama Anggara. Tapi satu-satunya yang bisa ia pikiran adalah kenyataan bahwa Anggara akan membuat janji untuk menemui dokter padahal itulah hal terakhir yang ia inginkan.Anggara memperpanjang langkah-langkahnya. "Aku tak sabar menunggumu melihatnya." "Dokter itu?" Anggara melirik lembut. "Aku sedang membicarakan hadiahku untukmu." "Oh. Aku yakin aku akan menyukainya," ucap Citra parau, tahu ia harus mengatakan yang sebenarnya pada Anggara.Mereka tiba kembali di rumah dan Anggata segera melangkah menuju ruang kerja, salah sat
"Jika kita melakukan ini..." Citra membiarkan kata itu menggantung "...bagaimana dengan anak yang selalu kamu impikan?" "Kamulah keluarga yang kuimpikan dan untuk yang lainnya..." Anggara mengabaikan anjing-anjing itu, mencondongkan tubuh ke depan, menyingkirkan kuas dari tangan Citra dan menarik wanita itu berdiri "...kita akan menemukan cara untuk mengatasinya. Tapi kita akan menemukannya bersama-sama, bukan sendiri-sendiri. Apa pun yang kamu pikirkan, kamu harus memberitahuku dan kali ini aku akan mendengarkan dengan teliti. Aku mencintaimu. Aku mencintaimu." Anggara menangkup wajah Citra dengan kedua tangan, merasakan kelembutan kulit Citra di telapak tangannya. "Pada saat aku selesai membuktikan padamu tidak akan ada ruang bagi keraguan dalam benakmu." Keheningan mencekam dan Anggara menyadari makna sebenarnya dari kata ketegangan. Ia bertanya-tanya apa yang harus ia lakukan jika Citra menjauhkan diri karena ia tahu ia tidak akan pernah menerima kata tidak. Kedua mata hit
Citra berharap bisa menerimanya dengan mudah dan bagi jutaan wanita lain mungkin demikian. Mendengarkan Anggara Dobson mengatakan "Aku mencintaimu" telah menjadi puncak ambisi banyak wanita. Untuk Citra, itu sekadar ucapan biasa. Citra frustrasi dengan dirinya sendiri, turun dari ranjang, mengenakan jubah kamar dan melangkah menuju teras. Kenyataan bahwa Anggara membiarkannya pergi dengan begitu mudah memberitahunya banyak hal tentang perasaan pria itu sekarang, saat sedalam apa perasaan tidak amannya yang terungkap. Ketakutan dalam bentuk sensasi dingin merayap di sekujur tubuhnya yang panas ketika akhirnya ia menyadari masa depan pernikahan mereka bukan bergantung pada kemampuannya untuk memiliki anak, tapi kemampuannya untuk memercayai Anggara supaya tidak melukainya. Apa maksud Citra, ia tidak pernah memberi wanita itu tanda apa pun? Anggara berbaring telentang di ranjang, kedua tangannya diletakkan di belakang kepala, memikirkan kembali pernikahan mereka selama dua tah
Anggara menginginkan Citra menceritakan kegundahannya . Dan dia layak mendapatkannya. "Dari kecil aku menginginkan seorang saudara,baik itu laki laki maupun perempuan. Aku selalu kesepian saat ayahku bekerja.Aku tidak punya siapa siapa yang dapat di ajak bicara. Dan ketika ayahku meninggal aku benar benar menjadi sendiri dan merasa sebatang kara. Ini membuat aku mengalami gangguan kecemasan yang akut.Citra berbaring telentang, menjauhkan diri dari Anggara. Citra mengubah suaranya menjadi santai sambil menoleh memandang Anggara. "Jadi sekarang kamu tahu mengapa aku benar- benar kacau." Dan tak ada keluarga, tapi Citra tidak menyebutkan bagian itu. Tidak menyebutkan mengenai kesedihan dan perasaan di sendiri yang mengikuti pengalaman traumatis tersebut. "Mungkin jika aku membaca beberapa cerita dongeng, aku tidak akan menjadi separah ini. Masalahnya, aku tidak akan tahu akhir yang bahagia bahkan jika aku mengalaminya sendiri." Keheningan terasa di antara mereka dan Aggara bersandar d