Citra baru saja selesai memasang stoking itu setengah di kaki putihnya ketika Anggara masuk ke ruangannya tanpa mengetuk. Citra berhenti bergerak ketika mata Anggara menatap kakinya dan kulit pahanya yang telanjang. Kemudian Anggara mulai berjalan maju mendekatinya. Dalam celana panjang hitam dan kemeja biru tua yang terlihat luar biasa maskulin, penampilan Anggara jelas mampu mengalihkan mata wanita mana pun...bahkan wanita yang sedang bermasalah seperti Citra.Saat berdiri di samping Citra, Anggara menyentuh lutut Citra yang terangkat. Bagaikan tawanan dan rasa mendamba yang tidak dapat di pahami, Citra hanya memandang polos ketika Anggara membungkuk untuk memberi kecupan ringan dan lembut di paha atasnya. Gelombang sensasi melandanya. Dan Citra sadar biarpun tindakan itu sangat lembut, itu merupakan pernyataan gamblang, tanpa kata , bahwa Citra seluruhnya adalah milik Anggara.Ketika Anggara kembali berdiri menegakan tubuhnya, hasrat liar dalam matanya membara."Selesaikan."Citra
Citra dan Anggara terlambat tiga puluh lima menit ke acara pesta ulang tahun tersebut,Gaun yang di kenakan Citra telah kusut secara keseluruhan, Sehingga setelah mandi dengan cepat dan penuh gairah bersama Anggara , Citra mengganti gaunnya dan mengenakan rok berbentuk pensil ketat dan kardigan tipis bermodel V di leher,semuanya berwarna hitam.Liontin itu berkilauan di kulitnya yang bersinar. Anggara memaksanya menggunakan stoking dan Citra menyetujui itu tanpa membantah.... Dalam benaknya Citra menyukai gagasan bahwa Anggara menganggapnya seksi meskipun tanpa pakaian yang terbuka,terutama saat Andine akan berada disana.Kemeja Anggara sebaliknya,tidak kusut sama sekali dan Anggara langsung mengenakannya kembali. Mereka sedang berjalan memasuki rumah Andine dan Citra menyadari warna kemeja itu begitu cocok dengan mata dan kulit Anggara, suaminya itu sungguh terlihat gagah dan tampan malam ini. Citra mengernyit, Anggara mungkin kaya dan berkuasa, tetapi dia hanyalah seperti pria biasa d
Tatapan mata itu mengingatkannya pada goresan luka yang tidak di harapkan. Begitu perih di hatinya.Sejak kapan fakta menyakitkan itu mampu melukai hatinya begitu dalam? Citra sadar betul perjanjian kejam itu ketika menyetujuinya. Tetapi tiba tiba saja kenyataan bahwa ia memang menjual dirinya sendiri dalam pernikahan dengan pria yang tidak akan pernah memandangnya sebagaimana seorang suami memandang istrinya lebih utama.Citra mengumpati dirinya sendiri karena begitu berharap pada Anggara, bahkan saat bayangan itu muncul di pikirannya. Ia meyakinkan diri sendiri bahwa ia tidak sedang mencintai Anggara, selama ini ia hanya mencintai Andi dan hanya Andi. Ia tidak berhak mengeluh jika suaminya juga memberikan cintanya kepada wanita lain jauh sebelum ia masuk ke dalam kehidupan pria itu.Tetapi sekarang itu menjadi masalah.Tiba tiba segalanya telah berubah menjadi masalah yang begitu rumit.Citra melemparkan tas tangannya ke arah ranjang dan menendang sepatunya sebelum duduk diatas tempat
Citra menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang yang lembut, namun entah mengapa tubuhnya terasa sakit sekali, Sambil menutupi wajahnya yang berlinang air mata dengan kepalan tangannya, berusaha untuk tidak memikirkan apa pun untuk saat ini. Tetapi isi kepalanya terlalu kacau hatinya terasa hancur. Sekarang ia telah mengandung benih dari pria yang menganggapnya seorang penipu licik.Dan dia seperti tersesat di dalam sebuah taman labirin yang besar. Citra tidak punya pilihan sekarang. Jika ia meninggalkan Anggara sekarang, pria itu mungkin akan menjual tanah perkebunan dan rumah peninggalan orangtuanya kepada para pengembang yang mungkin tidak bertanggungjawab. Anggara mencapai kesuksesannya seperti sekarang karena pria itu bukan seorang yang mempunyai empati tinggi. Dia sudah menjadikan Citra miliknya dan akan tetap membuat Citra selalu menjadi miliknya.Tetapi ada sesuatu yang berubah dalam tubuh Citra, untuk pertama kalinya, Citra mendapati diri untuk mempertimbangkan sesuatu yang selama
Mobil sedan hitam itu berhenti mulus di depan pintu rumah sakit begitu Citra selesai berbicara. Setelah selesai keluar dari mobil dengan membawa keranjang berisi buah buahan segar yang di belinya tadi di perjalanan, Citra menunggu sampai Anggara memarkirkan mobilnya dengan aman. "Kamu pasti sangat senang datang ke sini?" Kata Anggara begitu mereka melewati pintu masuk .Jemari Citra mengusap plastik pembungkus buah dan merapikannya. "Seperti anak kecil yang di bawa ke taman bermain." Sambil melirik papan petunjuk di lorong Rumah Sakit, Citra melangkah menuju lift."Kelakuanmu sekarang memang seperti anak kecil." Anggara menekan tombol lift menuju ke atas. Pintu lift segera terbuka. Citra melangkah masuk dan menekan tombol delapan tempat di mana kamar Rosie berada."Aku ingin kamu juga menghargaiku dan pekerjaanku, biarpun itu tidak sebanding dengan uang yang kamu hasilkan," Citra berkata tanpa sedikitpun melihat ke arah Anggara. "Semua pekerjaan patut di hargai.""Tentu saja." Angg
Hari berikutnya berlalu dengan keheningan yang nyaris sama. Ketika mengobrol, obrolan mereka tidak penting, dan di tempat tidur, satu satunya suara yang di dengar Citra adalah tuntuntan Anggara dan desahan Citra. Atau suara Citra yang memekikan nama Anggara. Sejak kebohongan yang di buat Citra pada hari itu. Dalam kemarahannya, Anggara selalu membuat Citra menyebut namanya, membuat Citra ingat dalam pelukan siapa dirinya berada. Seolah Citra dapat lupa. Citra tahu bukan hanya kehamilannya yang harus mereka bicarakan, tetapi juga perasaannya pada pria itu. Tetapi ia tidak dapat melakukannya, tidak dapat memaksa diri menghancurkan ilusi terakhirnya tentang pria yang menikah dengannya karena semua alasan yang keliru. Maka ia menenggelamkan diri dalam pekerjaannya. Tetapi, bahkan kecintaannya terhadap seni gagal menghentikannya memikirkannya. Dan alasannya sangat mengerikan. Tanpa mengesampingkan peringatan berulang ulang pada diri sendiri untuk tidak lupa bahwa pernikahan mereka a
Citra duduk di lantai kamar bersandar pada tempat tidurnya, memeluk lututnya yang terangkat. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Anggara begitu keras, begitu tidak memahami dirinya. Citra mengusap mata ketika bangkit berdiri dan bersiap ke atas tempat tidurnya. Pasti ada alasan di balik sikap Anggara yang tidak ingin membagi rahasianya kepadanya yang tidak dapat di pahami itu. Pasti ada. Karena jika tidak, tidak ada harapan lagi bagi pernikahan ini. Tidak sama sekali. Tidak peduli apa yang telah di lakukan pria itu dua malam lalu ketika ia menerima panggilan dari Andine, Citra berharap Anggara akan meminta maaf kepadanya. Tetapi pria itu menjalankan aktivitas seperti biasanya seperti tidak terjadi apa pun. "Aku tidak melihat Anggara pagi ini?" Citra bertanya pada bu Ida. "Sepertinya Tuan pergi pagi pagi sekali." Wanita itu menyingkirkan sisa sisa makan pagi. "Jangan khawatir non, Anggara mungkin pergi melihat para petani di perkebunan." Setelah beberapa menit berpikir si
Citra memaafkan sepenuhnya suaminya itu.....Pria itu sudah datang untuk mendukungnya walaupun sudah mengatakan dengan jelas bahwa dia sangat sibuk sehingga tidak bisa hadir. Pasti ada satu hal yang telah terjadi. "Aku melihat seorang investor di sana." Sambil berseri seri Gunawan pamit menemui seorang wanita paruh baya yang berdandan nyentrik.Citra mendongak ke arah Anggara tanpa melepaskan pelukannya. "Kamu datang." Saat itulah ia memperhatikan sudut kaku di rahang pria itu, ketegangan dalam tubuh di tubuh yang menempel dengannya. Senyumannya memudar."Apa yang telah kamu lakukan ,Citra?" Nada kemarahan terdengar dari nada bicaranya. "Di mana pria itu?""Siapa?" Harapan Citra seketika sirna.Ekspresi Anggara seketika menjadi muram."Rosie menangis histeris. Dia meneleponku dan memohon agar aku memintamu tidak mencuri suaminya."Citra merasa wajahnya menjadi pucat."Kurasa itu jawaban pertanyaanku mengapa kamu mau bersusah payah untuk datang kesini," hatinya terluka, tulangnya teras
"Maksudmu, ini bukan pertama kalinya?" seru Anggara dengan wajah panik, membuka ponsel untuk menghubungi dokter Mila dan gusar karena selama ini tidak diberitahu. "Kenapa kamu tidak cerita padaku?""Oh, pergilah dan jangan ribut, Anggara," erang Citra sambil mendekati wastafel untuk mencuci wajah sehabis muntah-muntah yang tadi membuatnya melompat dari tempat tidur dan langsung menuju kamar mandi. Saat ini, ia betul-betul tak butuh penonton. "Ini hanya gangguan perut biasa... mungkin karena menu makananku berubah. Aku terlalu banyak makan makanan pedas."ujar Citra yang terus menahan rasa mualnya"Aku akan mempekerjakan koki baru jika begini akibatnya. Sudah berapa kali ini terjadi?" desak Anggara, bicara cepat dalam bahasa inggris kepada seorang pelayan yang berdiri di dekat mereka. Kemudian, ia mengangguk dan mengatupkan bibir sensualnya saat mendengar jawaban yang membenarkan kecurigaan terburuknya. Wajah tampannya berubah suram mengiringi suasana hatinya. "Kamu harus kembali ke tem
Anggara masuk ke kamar setelah larut malam dan berbaring di sisi tempat tidurnya sementara Citra berpura-pura terlelap. Ia malu atas kenyataan yang Anggara sodorkan ke hadapannya dan amat menyesali pilihannya sekarang. Pagi hari saat ia terjaga, Anggara sudah pergi, dan itulah awal dari tiga minggu yang amat sepi ketika Citra jarang sekali melihatnya. Anggara makan pagi sebelum Citra turun dari tempat tidur, yang justru membuat wanita itu lega karena pada minggu ketiga ia merasa perutnya tidak nyaman, yang ia duga akibat kehamilan yang masih ia sembunyikan. Ia terkadang mual pada pagi hari, bahkan muntah beberapa kali, tetapi kemudian baik-baik saja saat siang dan malam.Tanpa menyadari penderitaan Citra pada pagi hari, Anggara kerap muncul saat makan siang, mengajaknya berbincang dengan amat sopan, tetapi Citra hanya menerima tanggapan dingin. Anggara kembali pada kebiasaannya makan malam bersama Citra. Dan suatu pagi, pria itu mengumumkan sekilas akan terbang ke Singapura untuk men
Citra masih tersenyum-senyum sendiri saat kembali masuk ke tempat tidurnya. Ia tidak sabar memberitahu kepada Anggara tentang kabar bahagia ini. Dengan tatapan penuh harap ia mengeluarkan ponsel dan membaca pesan masuk pada ponselnya.Pesan itu dari Andi. AKU KEHABISAN UANG. BUTUH UANG 500 JUTA. Citra membaca pesan itu dengan mata membelalak kecewa serta mulut mengatup. Ada apa dengan Andi?Ia betul-betul tidak tahu malu. Ia bergegas mengetik pesan balasan. AKU TIDAK AKAN MEMBERIMU UANG UANG SEBANYAK ITU. DIA HARUS MEMBERIKU UANG JIKA TIDAK INGIN FOTO FOTONYA BERSAMA GADIS GADIS DI SURABAYA TEREKSPOS KE MEDIA. Dengan perasaan terpukul bercampur ngeri, Citra duduk tertegun sambil menatap layar ponsel. Mereka telah tiba di pusat kota saat akhirnya ia bisa menenangkan perasaan yang campur aduk. Ia mengangkat telepon untuk bicara dengan Lilir yang duduk di samping sopir. "Aku ingin pulang ke rumah. Aku terlalu capek untuk belanja sore ini," ujarnya. Gadis-gadis? Di Surabaya? Perutnya
Selama beberapa hari ini Laurel lebih terbuka dibandingkan yang terjadi selama pernikahan mereka, namun Anggara tidak akan tertipu. Ketika Citra merasa terancam, dia menutup diri. Itulah cara wanita itu melindungi dirinya sendiri. Di sini, Anggarq tidak bersedia membiarkan Citra bersembunyi tapi ia cukup realistis untuk tahu bahwa ketika mereka kembali ke dunia sibuk tempat mereka tinggal, segalanya akan berubah. "Seminggu," janjinya di bibir Citra, "kita akan kembali selama seminggu. Dan kita akan bersama-sama pada awal dan akhir setiap hari. Sarapan setiap pagi dan makan malam setiap malam. Sendang tidak jauh dari Brakseng. Aku takkan pergi lama. Aku berjanji." Citra mengawasi saat Anggara mengirimkan e-mail dengan satu tangan sambil mengikat simpul dasi sutranya dengan tangan yang satu lagi. Secangkir kopi dingin tergeletak tak tersentuh di meja karena ia tak sempat meminumnya. Sejak mereka tiba kembali di Brakseng, rumah yang dimiliki keluarga Anggara selama beberapa generasi,A
Anggara mendekatkan wajahnya menatap wajah Citra,Matanya menyipit . "Kamu tak mau aku melakukannya?" Citra bisa saja berbohong. Ia bisa saja membiarkan hubungan mereka berjalan tanpa memberitahu Anggara hal sebenarnya, tapi mereka sudah menghadapi cukup banyak hambatan dalam pernikahan mereka tanpa ia menciptakan hambatan baru. "Tidak." Citra menggeleng perlahan, tahu bahwa apa yang akan ia katakan bisa menghancurkan masa depan mereka. "Tidak, aku tidak mau. Ada sesuatu yang belum kuberitahukan padamu. Sesuatu yang belum kukatakan dengan sejujurnya." Anggara terdiam, wajahnya dibayangi cahaya yang semakin temaram. "Katakanlah." Bagaimana Citra bisa menjelaskannya? Dari mana ia memulainya? "Kehilangan bayi kita adalah hal terburuk yang pernah kualami. Ketika merasakan rasa sakit pertama itu aku berpikir, Jangan, tolonglah, jangan sampai ini terjadi. Aku panik. Tak ada, benar-benar tak ada, yang paling kuinginkan di dunia ini seperti aku menginginkan anak kita." Mata Citra basah k
Citra sangat gemetar sehingga tak yakin kedua kakinya mampu menopang tubuh. "Kupikir aku tak boleh melihat rumah." "Tidak lagi. Aku punya kejutan untukmu. Hadiah." Saat mereka menuruni tangga taman itu, Anggara memegang tangan Citra dengan erat dan mengernyit. "Tanganmu dingin. Apa kamu baik-baik saja?" "Aku tak apa-apa." Citra ingin memberitahu Anggara bahwa ia tak membutuhkan hadiah-hadiah besar dari pria itu, bahwa hadiah-hadiah bukanlah alasan ia bersama Anggara. Tapi satu-satunya yang bisa ia pikiran adalah kenyataan bahwa Anggara akan membuat janji untuk menemui dokter padahal itulah hal terakhir yang ia inginkan.Anggara memperpanjang langkah-langkahnya. "Aku tak sabar menunggumu melihatnya." "Dokter itu?" Anggara melirik lembut. "Aku sedang membicarakan hadiahku untukmu." "Oh. Aku yakin aku akan menyukainya," ucap Citra parau, tahu ia harus mengatakan yang sebenarnya pada Anggara.Mereka tiba kembali di rumah dan Anggata segera melangkah menuju ruang kerja, salah sat
"Jika kita melakukan ini..." Citra membiarkan kata itu menggantung "...bagaimana dengan anak yang selalu kamu impikan?" "Kamulah keluarga yang kuimpikan dan untuk yang lainnya..." Anggara mengabaikan anjing-anjing itu, mencondongkan tubuh ke depan, menyingkirkan kuas dari tangan Citra dan menarik wanita itu berdiri "...kita akan menemukan cara untuk mengatasinya. Tapi kita akan menemukannya bersama-sama, bukan sendiri-sendiri. Apa pun yang kamu pikirkan, kamu harus memberitahuku dan kali ini aku akan mendengarkan dengan teliti. Aku mencintaimu. Aku mencintaimu." Anggara menangkup wajah Citra dengan kedua tangan, merasakan kelembutan kulit Citra di telapak tangannya. "Pada saat aku selesai membuktikan padamu tidak akan ada ruang bagi keraguan dalam benakmu." Keheningan mencekam dan Anggara menyadari makna sebenarnya dari kata ketegangan. Ia bertanya-tanya apa yang harus ia lakukan jika Citra menjauhkan diri karena ia tahu ia tidak akan pernah menerima kata tidak. Kedua mata hit
Citra berharap bisa menerimanya dengan mudah dan bagi jutaan wanita lain mungkin demikian. Mendengarkan Anggara Dobson mengatakan "Aku mencintaimu" telah menjadi puncak ambisi banyak wanita. Untuk Citra, itu sekadar ucapan biasa. Citra frustrasi dengan dirinya sendiri, turun dari ranjang, mengenakan jubah kamar dan melangkah menuju teras. Kenyataan bahwa Anggara membiarkannya pergi dengan begitu mudah memberitahunya banyak hal tentang perasaan pria itu sekarang, saat sedalam apa perasaan tidak amannya yang terungkap. Ketakutan dalam bentuk sensasi dingin merayap di sekujur tubuhnya yang panas ketika akhirnya ia menyadari masa depan pernikahan mereka bukan bergantung pada kemampuannya untuk memiliki anak, tapi kemampuannya untuk memercayai Anggara supaya tidak melukainya. Apa maksud Citra, ia tidak pernah memberi wanita itu tanda apa pun? Anggara berbaring telentang di ranjang, kedua tangannya diletakkan di belakang kepala, memikirkan kembali pernikahan mereka selama dua tah
Anggara menginginkan Citra menceritakan kegundahannya . Dan dia layak mendapatkannya. "Dari kecil aku menginginkan seorang saudara,baik itu laki laki maupun perempuan. Aku selalu kesepian saat ayahku bekerja.Aku tidak punya siapa siapa yang dapat di ajak bicara. Dan ketika ayahku meninggal aku benar benar menjadi sendiri dan merasa sebatang kara. Ini membuat aku mengalami gangguan kecemasan yang akut.Citra berbaring telentang, menjauhkan diri dari Anggara. Citra mengubah suaranya menjadi santai sambil menoleh memandang Anggara. "Jadi sekarang kamu tahu mengapa aku benar- benar kacau." Dan tak ada keluarga, tapi Citra tidak menyebutkan bagian itu. Tidak menyebutkan mengenai kesedihan dan perasaan di sendiri yang mengikuti pengalaman traumatis tersebut. "Mungkin jika aku membaca beberapa cerita dongeng, aku tidak akan menjadi separah ini. Masalahnya, aku tidak akan tahu akhir yang bahagia bahkan jika aku mengalaminya sendiri." Keheningan terasa di antara mereka dan Aggara bersandar d