Tiga tahun berlalu.Gina kembali ke kota dengan tujuan untuk mengais rejeki yang lebih baik dari pada rejeki yang dia dapatkan di kota kelahirannya.Kali ini, dia datang tidak sendirian tapi bersama ibunya setelah seminggu lalu dia datang untuk mencari rumah kontrakan.Tidak mungkin kamar kos lagi karena dirinya akan tinggal berdua dengan ibunya.Ya.Hanya berduaAyahnya kemana?Hampir dua tahun setelah kepergian sang ayah menghadap sang pencipta.Hal yang tidak pernah terpikirkan oleh siapa pun karena ibunya lah yang selama ini sakit sakitan.Setelah kepergian sang ayah, Gina bertahan di rumah ibunya karena ibunya masih bersedih dan tidak mau pergi jauh dari rumah yang sudah di tempati puluhan tahun bersama sang suami. Karena itu, Gina mencoba mencari pekerjaan di kota kelahirannya walau dengan upah yang sedikit karena kota ini tidak sebesar kota sebelumnya dia merantau.Melihat Gina yang bekerja dari pagi hingga sore tapi tidak banyak penghasilan.Kasihan sekali!Dan baru baru ini,
CanggungPertemuan dua orang yang 'mungkin' masih saling mencintai tetapi harus berpisah karena suatu hal yang mereka tidak inginkan."Apa kabar?"Gina tersenyum simpul, "As you see, aku baik," jawabnya tanpa berniat mengajukan pertanyaan yang sama pada Abian.Di pikirannya sekarang, bagaimana cara agar Abian segera pergi dari hadapannya. Tidak mungkin dia yang pergi karena pesanannya saja belum datang sementara perutnya sudah minta di isi juga."Dulu, Rafael pernah bilang kalau kamu pulang kampung dan menetap di sana. Kapan balik kesini lagi?" tanya Abian memulai. Masih tetap terasa canggung dan mereka berdua seperti orang asing yang baru saja di pertemukan di sebuah blind date."Baru sebulanan. Mau mencoba cari peruntungan lagi disini."Kali ini Gina menjawab lebih panjang."Terima kasih," ujarnya pada pelayan yang mengantarkan pesanannya."Mau makan juga? Sudah pesan?" burunya pada Abian."Hmm, silahkan duluan."Gina menyuapkan satu sendok makanan ke mulutnya. Mengunyah pelan dalam
Cerahnya matahari pagi tidak bisa mengalahkan kecerahan yang terpancar dari wajah Gina.Akhirnya, setelah penantian panjang, hari ini dia akan mulai bekerja lagi di sebuah perusahaan besar di kota ini.Kemarin dia sudah di panggil untuk wawancara lagi dan dinyatakan di terima bekerja mulai hari ini."Anak bontot Ibu makin cantik saja," ujar ibunya saat wanita tua itu melihat Gina berputar di sebuah cermin untuk memastikan penampilannya."Siapa dulu dong ibunya," balas Gina tak kalah memuji. "Lihat ini, Gina mirip sekali sama ibu, kan?"Dia memeluk ibunya dan membawa ibunya untuk melihat diri mereka berdua di dalam cermin.Memang benar, keduanya sangat mirip. Dari tiga bersaudara, Gina lah yang paling mirip dengan ibunya. Kedua kakaknya paling hanya mengambil sedikit dari ibu, entah itu rambut atau bentuk hidung, selainnya semua di comot dari ayah mereka."Ya, karena miripnya. Ibu takut kamu bernasib sama dengan Ibu," ujar wanita tua itu dengan sendu.Gina memandang ibunya melalui cerm
"Dimana kamu tinggal sekarang?"Akhirnya Gina dan orang yang memanggilnya tadi sewaktu di parkiran menepi setelah keluar dari parkiran.Gina menolak untuk pergi minum atau makan karena baru saja selesai bersama teman-temannya."Dekat-dekat sini," jawabnya."Kos?"Gina menggeleng. "Aku tinggal sama ibuku. Jadi kami sewa rumah."Pria yang ternyata Abian itu tersentak saat Gina mengatakan tinggal bersama ibunya. Lalu, ayahnya tinggal sendirian di kampung?Karena setahunya, ayah Gina masih ada dan ibunya juga masih ada meski sudah sering sakit karena asma dan sesak napas."Ayah kamu?"Gina tersenyum getir mengingat sang ayah dan apa yang menjadi penyebab ayahnya berpulang selamanya ke rumah yang maha kuasa."Ayahku udah pergi untuk selama-lamanya," jawab Gina dengan mata yang mulai berembun. "Karena kau," lanjutnya tetapi hanya di dalam hati."Sorry, sorry, sorry. Aku nggak bermaksud un---""Tidak apa-apa. Wajar kamu tanya, kan kamu nggak aku kabari waktu ayahku berpulang," potong Gina de
Dari komunikasi yang intens, pertemuan Gina dan Abian juga semakin intens.Bahkan Gina sudah beberapa kali berbohong pada ibunya ketika dia telat pulang kerja atau pergi berkencan di malam minggu.Tidak ada kata balikan yang terucap di antara keduanya tapi segala tindakan masing masing sudah menjelaskan bahwa mereka telah kembali bersatu.Abian:"Ntar sore, kita ketemu di cafe Royal."Hari ini hari ulang tahun Gina dan Abian ingin merayakannya walau hanya makan bersama di cafe sederhana.Dan saat yang tunggu-tunggu telah tiba. Gina di sambut dengan sebuah kue kecil dengan tulisan "Happy birthday,Sayang"Makan malam sederhana yang terasa menyenangkan dan penuh canda tawa mereka berdua lewati."Aku tidak tahu, kamu suka atau tidak. Tapi ini aku berikan dengan ikhlas. Di terima yah!" ujar Abian seraya mengeluarkan satu kotak kecil dari saku celananya.Gina tersenyum sambil mengangguk. Tidak peduli apa isinya, selama itu berasal dari orang yang dia sayang dan yang dia harapkan tidak apa-a
Kejadian dua tahun lalu.Gina sedang duduk di teras belakang rumahnya dan sedang asyik melemparkan beberapa biji jagung untuk di santap oleh ayam peliharaan orang tuanya.Dering ponsel mengganggu kegiatannya. Dia mengambil ponsel yang di letakkan sembarang di sampingnya lalu dia berdecak kesal melihat nama si pemanggil."Orang gila ini, kenapa pula dia meneleponku lagi?" gumamnya lalu menekan tombol merah.Tak berselang lama, ponsel berdering lagi dan di reject lagi oleh Gina.Hingga dering ke lima kalinya, Gina langsung menekan tombol hijau dan langsung ngegas."Ada apa? Kenapa nelpon-nelpon?"Dahinya berkerut saat mendengar tawa Melda di seberang sana."Gila!" desisnya lalu memutus panggilan secara sepihak.Dia misuh misuh sambil meletakkan ponsel."Perempuan gila. Kamu pikir suamimu saja laki laki di dunia ini?" gumamnya tanpa sadar bahwa ayahnya sudah berdiri di ambang pintu belakang.Pria tua itu langsung memegangi dadanya karena entah kenapa dia merasa ucapan Gina barusan adalah
Belakangan ini Melda semakin gila.Sepertinya dia terobsesi dengan hubungan Abian dan Gina. Dia selalu di kejar oleh pikiran sendiri membuatnya tidak tenang siang dan malam. Apalagi jika Abian pulang sedikit lebih lama dari yang seharusnya. Pertengkaran terus terjadi dan nama Gina selalu menjadi sumber. Abian sampai harus mempertebal telinga juga sabarnya dalam menghadapi istrinya yang dia anggap sudah mulai gila tanpa alasan yang jelas. Menuduh Abian yang sengaja mengajukan diri ke luar kota agar bisa singgah dan bertemu dengan Gina.Makanya, setiap kali Abian pergi, Melda akan menelepon Gina dan mengatakan hal-hal yang tidak ada dan tidak mungkin ada akan terjadi.Gina sampai kehabisan akal. Dia selalu bersembunyi setiap kali nama Imelda muncul sebagai pemanggil di ponselnya karena takut di dengar oleh orang tuanya."Ka, bisa nggak kakak jangan mengkait-kaitkan aku dengan rumah tangga kalian lagi. Aku nggak ada hubungan apa-apa dengan suamimu, Kak. Itu dulu...." ujar Gina memelas.
"Yang, Kangen!"Satu baris kalimat itu saja bisa membuat Abian senyam senyum sepanjang hari.Ini adalah hari terindah dalam hidupnya dalam lima tahun terakhir. Bahkan di hari kelahiran Arion juga dia tidak sesenang ini.Walau fokusnya sekarang harus terbagi antara pekerjaan dan masalah di pengadilan yang berjalan alot, tapi ada satu hal yang membuatnya bersemangat ketika pulang kerja atau setelah bertemu pengacaranya.Setiap sore, ketika dia mendapat pesan dari Gina, dia akan selalu bersiul riang membuat teman-teman di kantornya bertanya-tanya.Sebagian dari mereka ada yang menduga Abian mungkin menang atas perkara perceraiannya atau mungkin Abian sudah menemukan tambatan hati yang baru.Abian:Yang, kamu lembur lagi atau on time?Abian mengirimkan pesan pada perempuan yang sekarang sudah menjadi kekasihnya itu.Tanpa perlu mengucapkan "Gina, aku masih mencintaimu, mari kita ulang dari awal," mereka sudah kembali bersama.Pertemuan dan komunikasi yang intens adalah kuncinya.Dari pang
"Dia sengaja. Sengaja sekali mau membuat aku marah," ujar Gina pada Abian."Aku tahu kalian sering melakukannya dulu. Jelas, karena kalian suami istri. Tapi sekarang kan nggak lagi. Kalian sudah mantan, kenapa dia menciummu di depanku?"Abian datang dan memeluk Gina."Kamu tahu, seperti itu lah dia. Dia tidak akan peduli dirinya di anggap rendahan asalkan dia bisa membalas kamu dan membuat kamu marah.""Dasar l0nt3, pantas aja kamu ceraikan dia. Mungkin gitu juga dia buat ke orang lain waktu dia selingkuh, sama kayak yang sama kita dulu kan? Dia merampas kamu dari aku dengan cara kotor. Bilang kamu udah tidur sama dia dan minta pertanggung jawaban. Memang, kalau jalan di mulainya saja tidak mulus, ya nggak akan pernah mulus."Gina masih berapi-api di dalam pelukan Bian. Pikirannya benar-benar di kacaukan oleh Melda.Satu harapan Gina,"Jangan sampai dia berbuat gila lagi sama kita biar kita nggak happy as a couple."Gina menarik diri dari pelukan Abian. Dia menatap Abian yang ada di d
"Ambil ini juga!""Ini juga.""Ini, ini dan yang ini,"Abian dan Gina hanya diam terpaku hampir bersandar ke dinding rumah ketika melihat Melda berkeliling di ruang tamu seraya menunjuk satu per satu perabot rumah yang ada disana.Ibunya Arion itu datang dengan membawa sepupunya yang pernah datang ke rumah Gina dan juga beberapa pria kekar yang siap melahap Bian dan Gina jika saja mereka berani melawan.Di luar ada truk warna kuning yang siap mengangkut semua barang yang di tunjuk oleh Melda."Itu hadiah dari ibuku, kenapa di bawa juga?" tanya Abian ketika pria pria kekar itu mengangkat sofa coklat yang selama ini ada di ruang tamu.Memang, itu baru di beli menggantikan sofa lama setelah Melda menjadi istri di rumah itu dan uangnya dari orang tua Abian .Melda hanya berkontribusi memilihkan warna saja."Iya benar, tapi itu di beli untukku. Bukan untuk istri barumu," jawab Melda. "Kalau mau sofa baru, minta ke mertuamu saja, cuma aku kok kurang yakin akan di belikan, haha," lanjutnya s
"Maaf ya, aku nggak sengaja ketiduran. Aku nungguin kamu bentar eh taunya aku ketiduran," ujar Gina pada Abian.Dia berbohong!Dia sedang menutupi perasaan terbuang nya, perasaan tidak di terima dan tidak di akui."Hmm, tapi kenapa kamu nggak langsung ke kamar aja," jawab Abian.Saat ini keduanya sudah ada di kamar dan barusan Abian baru menyeret koper Gina dari ruang depan.Koper itu luput dari matanya tadi saat dia panik tidak menemukan Gina di kamar."Aku nggak enak sama mama kamu. Kan belum di persilahkan. Masa langsung masuk.""Sayaaaang! Kenapa berpikir sampai sejauh itu? Kamu kan udah pernah ke sini, udah tahu kamar aku yang mana. Kenapa harus di persilahkan lagi?"Hah!Capek ngomong sama laki yang pemikirannya lurus lurus aja. Yang tidak paham betapa rumitnya pikiran perempuan.Bagi beberapa perempuan yang baru menikah, hal ini sangat sederhana dan kalau bisa keharusan walaupun sudah pernah beberapa kali ke rumah si laki dan sudah tahu setiap sudut rumah itu. Karena dengan beg
Badai berlalu.Rumah tangga baru di mulai walau dengan pernikahan siri tapi keluarga inti Gina menerimanya dan memberikan wejangan yang lumayan banyak pada Gina sembari mengingatkan Abian agar pria itu tidak lupa mendaftarkan pernikahan mereka nanti."Kemarin kamu hanya anak Ibu. Mulai hari ini orang tuamu sudah bertambah. Ibunya suamimu adalah ibumu juga walau namanya ibu mertua. Bagaimana kamu memperlakukan Ibumu ini, begitu jugalah kamu harus memperlakukan ibu mertuamu," ujar ibunya Gina saat akan melepas Gina di bawa oleh Abian dan keluarganya."Kehormatan keluarga ibumu ada di tanganmu. Jangan berperilaku buruk yang mempermalukan keluarga suamimu agar nama baik ibumu ini tidak tercoreng."Gina mengangguk seraya menahan tangis.Dalam hati dia sadar, ibunya merestui Abian secepat ini karena dia kadung hamil. Jika tidak, butuh waktu yang lama baginya karena ibunya masih berpegang teguh pada permintaan terakhir almarhum bapaknya."Maafin Gina ya Bu. Tolong ketika ibu berdoa, tolong s
"Bu, maafin Gina yah!"Gina berlutut di kaki ibunya yang masih sesenggukan karena menahan tangis."Gina bodoh, Bu. Maaf ya. Kalau ibu nggak mau Gina menikah siri, ayo kita pergi saja. Gak apa-apa Gina nggak jadi menikah."Mendengar itu, ibunya semakin sesenggukan."Menikah saja. Siri juga nggak apa-apa. Tidak mungkin kamu hamil tanpa suami. Apa kata orang nanti."Perasaan bersalah kian besar di hati Gina. Dia mengutuk dirinya karena tidak bisa menahan godaan Abian. Dia menikmati semua itu tanpa memikirkan konsekuensinya.Sekarang, setelah dia mendapatkan hasil dari perbuatannya, dia seolah-olah tidak di terima oleh keluarga Abian yang hanya ingin menikahkan siri mereka dengan alasan masih belum bisa melakukan pesta besar karena Abian baru saja bercerai."Apa kata orang nanti. Bisa-bisa Abian yang di tuduh main perempuan makanya bercerai."Begitu kata orang tua Abian ketika mereka kumpul dua keluarga untuk membicarakan perihal pernikahan ini. Walau keluarga inti Gina tidak terima tapi
"Ibu!""Ibu tidak marah karena tidak ada guna lagi. Ibu kecewa karena kalian ternyata sudah sejauh itu. Karena itu nak Abian, sebelum Gina menjadi bahan pembicaraan orang-orang, bisakah kamu menikahi dia segera?"Gina langsung berdiri karena tidak setuju dengan perkataan ibunya. Dia tidak hamil. Dia juga dulu pernah melakukan ini bahkan sering tapi tidak pernah hamil karena Abian pakai pengaman atau nggak buang di luar.Kali ini juga mereka buang di luar kenapa dia bisa hamil?Sementara Abian, dia menunduk lesu.Menikah dengan Gina adalah impiannya tapi bukan karena Gina hamil.Dia mengepalkan tangannya karena tidak bisa mengontrol ga!rahnya. Terakhir kali dia main dengan Gina, mereka menghabiskan setengah hari di rumahnya dan melakukannya beberapa kali di berbagai sudut.Buang di luar sih, tapi dia sadar, sisa sisanya mungkin masih ada dia sudah colok lagi karena masih bergairah.Dan sekarang, mereka seperti terpaksa di restui.Abian langsung berdiri lalu bersimpuh di kaki ibunya Gin
"Loh loh, apa ini, Bu?"Gina langsung berjalan cepat ke arah kamar begitu melihat ada tas milik ibunya di samping pintu kamar.Jantungnya berdebar karena berbagai hal.Baru saja menghabiskan sisa hari bersama Abian dengan bermain di atas kasur membuat dia melayang bahagia dan tiba di rumah di kejutkan dengan aksi ibunya."Bu, tas nya buat apa? Ibu mau kemana?"Gina langsung mendekat pada ibunya yang sedang membereskan tas kecil tempat barang barang berharga.Air mata Gina langsung menetes dan dia dengan segera bersimpuh di kaki ibunya."Gina tahu, Gina sudah keterlaluan sama Ibu. Maafkan Gina. Tapi, tidak bisakah Ibu merestui Gina? Gina tahu kita menderita sebelumnya dan ada kaitannya dengan pria itu. Tapi itu bukan salahnya, Bu. Perempuan itulah yang salah."Ibunya hanya tersenyum.Gina ternyata sudah hilang akal dan dia jadi berpikir, apa yang akan terjadi pada Gina jika dia pergi? Bisa jadi anak gadisnya itu hilang arah karena mengikuti cinta yang masih membara.Sang ibu menghela d
SepiRumah yang hanya berpenghuni dua orang dan biasanya sepi kini semakin sepi dan sunyi karena keduanya sama sama mengurung diri di kamar.Sudah tiga hari sejak kejadian itu.Bahkan ketika Gina berangkat kerja, dia hanya pamit dari luar pintu kamar.Hatinya juga keras, dia tetap mempertahan cintanya bahkan setelah di tolak oleh orang tuanya.Terdengar suara motor yang menjauh. Ibunya Gina mengintip dari jendela kamar. Gerbang besi sudah di tutup dan Gina sudah pergi bekerja.Wajahnya bengkak dan matanya sembab."Pak, maafkan ibu, ibu gagal. Ibu nggak bisa mengikuti apa kata bapak. Anak bungsu kita bahkan sampai memilih tidak akan pernah menikah jika tidak dengan pria itu. Ibu takut dia nekat kalai ibu bersikeras pak. Pak ibu harus gimana?"Wanita yang sudah melalui jurang dan bukit percintaan tahu benar bahwa menyadarkan Gina yang saat ini jatuh cinta bukanlah perkara muda. Usia Gina yang sudah termasuk matang tidak bisa di jadikan patokan kedewasaan berpikirnya apalagi jaman sekara
Galau! Ya, Abian benar-benar galau beberapa hari ini. Jika orang tua Gina tidak menerimanya lalu bagaimana kelanjutan hubungan mereka ini sekarang? Berhenti sampai disini atau lanjut menerjang badai? Pria itu uring uringan selama beberapa hari dan mencoba untuk tidak menghubungi Gina untuk mengetes perasaannya. Serasa ada yang hilang. Hampa! Sementara itu, Gina juga sedang galau. Dia juga menyesal karena ucapannya pada Abian malam itu. "Kenapa aku harus mengatakannya kemarin. Seharusnya aku simpan saja dalam hati dan biarkan dia berjuang menghadapi ibu," gumam Gina. Dia memandang kebun kecil milik ibunya di belakang rumah kontrakan mereka. Matanya menatap jauh tapi kosong. "Pak, maafkan Gina yah. Permintaan terakhir bapak pun Gina tak bisa kabulkan. Tolong maafkan Gina ya pak." Gina langsung menoleh dengan mata bulat setelah mendengar, "Maksud kamu apa, Nduk?" Ibunya berdiri hanya berjarak tiga puluh senti di belakangnya dengan raut wajah tidak percaya dengan apa yang ba