Malam itu, di apartemennya yang sunyi, Lia duduk terpaku di depan meja kecil. Foto lama keluarganya yang terjatuh dari amplop itu kini berada di genggamannya. Dia memandang wajah-wajah di foto itu—ibunya yang tersenyum lembut, ayahnya dengan tatapan penuh percaya diri, dan dirinya sendiri yang masih kecil dengan senyum polos. Namun, perhatian Lia terfokus pada pria lain yang berdiri di belakang keluarganya, mengenakan jas hitam dan dasi merah. Dia tampak seperti bagian dari foto itu, tetapi wajahnya asing bagi Lia. “Siapa kau?” gumam Lia, jantungnya berdebar cepat. Pesan singkat yang menyertai foto itu—“Ini belum berakhir.”—terus terngiang-ngiang di kepalanya. Keesokan paginya, Lia membawa foto itu ke rumah ibunya. Dia butuh jawaban, meskipun instingnya mengatakan bahwa jawaban itu mungkin lebih rumit daripada yang dia bayangkan. Ibunya membuka pintu dengan senyum yang biasa, tetapi senyum itu pudar begitu dia melihat ekspresi wajah Lia. “Lia, ada apa? Kau kelihatan lelah,” tan
Lia memandang sekeliling ruangan kecil itu dengan perasaan campur aduk—takut, penasaran, dan sedikit lega karena akhirnya menemukan sesuatu yang konkret. Dinding-dinding ruangan tersebut penuh dengan peta, foto, dan tulisan tangan. Di tengahnya, ada meja kecil dengan tumpukan dokumen yang tampak tua. "Ini gila," gumam Lia, mendekati salah satu dinding. Dia melihat sebuah peta besar dengan beberapa tanda merah yang mencakup lokasi-lokasi yang akrab baginya—rumahnya, rumah lama ayahnya, bahkan universitas tempat dia belajar. Raka berdiri di sampingnya, wajahnya serius. "Seseorang telah memantau keluargamu selama bertahun-tahun." Lia mengangguk, berusaha menahan gemetar di tangannya. "Tapi siapa? Dan kenapa? Apa yang mereka cari?" Dia meraih salah satu dokumen dari meja dan membuka lembarannya. Ada foto seorang pria yang terlihat sangat familiar—pria yang ada di foto keluarganya. Di bawah fotonya ada nama: Hartono Aditya. "Hartono Aditya," bisik Lia. "Nama ini disebut di artikel ya
Lia berdiri di depan pintu gudang tua itu, napasnya pendek-pendek. Bangunan tersebut tampak usang, dengan dinding yang penuh dengan coretan vandal dan pintu besi yang berkarat. Suara gemerisik dedaunan yang diterpa angin terdengar seperti bisikan misterius di telinganya.Raka berdiri di sampingnya, wajahnya menunjukkan keseriusan yang jarang terlihat. “Kau yakin ingin melanjutkan ini?” tanyanya pelan.Lia mengangguk, meski hatinya penuh keraguan. “Aku harus tahu. Apa pun risikonya.”Raka menghela napas, lalu mendorong pintu gudang itu dengan sedikit tenaga. Pintu itu berdecit pelan, mengungkapkan ruangan gelap di baliknya. Lampu senter di tangan mereka menjadi satu-satunya sumber cahaya saat mereka melangkah masuk.Di dalam, suasananya jauh lebih sunyi. Rak-rak kayu tua berjejer, penuh dengan kotak-kotak berdebu dan tumpukan dokumen yang hampir lapuk. Di tengah ruangan, ada meja besar yang dipenuhi dengan peta, foto, dan catatan.“Ini seperti... markas seseorang,” bisik Lia, mendekati
Lia berdiri di depan rumah tua yang terletak di pinggiran kota, rumah yang disebutkan dalam peta di gudang. Bangunan itu terlihat seperti tidak berpenghuni selama bertahun-tahun, dengan cat tembok yang mengelupas dan jendela-jendela yang tertutup rapat oleh papan kayu. Rasa gugup mencengkeramnya, tetapi dia tahu dia tidak bisa berhenti sekarang.Raka berdiri di sampingnya, memperhatikan sekitar dengan penuh waspada. “Apa kau yakin tempat ini ada hubungannya dengan ayahmu?” tanyanya pelan.Lia mengangguk. “Semua petunjuk mengarah ke sini. Jika ini benar, maka mungkin ada sesuatu yang bisa menjelaskan mengapa semua ini terjadi.”Dean tiba beberapa saat kemudian, membawa tas ransel kecil berisi perlengkapan darurat. “Kita harus hati-hati,” katanya dengan nada tegas. “Kalau ini tempat rahasia, siapa pun yang mencoba melindunginya mungkin tidak akan membiarkan kita pergi begitu saja.”Ketiganya melangkah menuju pintu depan. Lia menarik napas dalam, lalu memutar gagang pintu yang ternyata t
Suara tembakan masih bergema di udara, menciptakan kekacauan yang memaksa Lia untuk terus bergerak. Pria misterius yang menemaninya menarik tangan Lia dengan tegas, membawanya keluar melalui pintu belakang kafe."Ikuti aku, jangan berhenti!" serunya.Lia tidak sempat berpikir, hanya bisa mengikuti langkah pria itu dengan napas yang terengah-engah. Di belakang mereka, suara langkah kaki dan teriakan semakin dekat. Jalan kecil yang mereka masuki gelap dan sempit, dengan bau sampah yang menyengat.“Siapa mereka?!” Lia bertanya di sela napasnya.“Mereka adalah orang-orang Hartono,” jawab pria itu sambil memeriksa sudut jalan. “Dia tidak akan membiarkan siapa pun yang tahu terlalu banyak tetap hidup.”Lia merasakan ketakutan menjalar hingga ke tulang. "Kalau begitu, kenapa kau menemuiku? Kau tahu ini berbahaya!"Pria itu tidak menjawab, hanya menariknya lebih cepat menuju sebuah mobil yang terparkir di ujung jalan.Setelah memastikan tidak ada yang mengikuti, mereka masuk ke dalam mobil. P
Hembusan angin malam menusuk hingga ke tulang, mengiringi langkah Lia yang berat menuju sudut jalan sempit. Napasnya masih terengah-engah, seperti baru saja berlari menghindari sesuatu yang memburu. Di tangannya tergenggam erat sebuah benda kecil berbentuk persegi panjang—benda yang kini menjadi sumber segala keresahannya."Lia!" Suara Dean terdengar, keras dan penuh emosi.Lia menoleh. Di bawah sinar redup lampu jalan, terlihat Dean dan Raka bergegas mendekat. Tatapan Dean mencerminkan kekhawatiran mendalam, sedangkan Raka tampak serius, matanya bergerak tajam ke segala arah seolah mengawasi setiap kemungkinan bahaya."Apa yang sedang kau lakukan di sini sendirian?" tanya Dean dengan nada mendesak, suaranya nyaris pecah.Lia mencoba berkata-kata, tapi yang keluar hanyalah gumaman pelan. Dia terlalu lelah, baik secara fisik maupun emosional.Raka melangkah mendekat, ekspresi wajahnya penuh kehati-hatian. “Apa itu?” tanyanya, menunjuk ke benda di tangan Lia.Lia mengangkat benda itu de
Suara jangkrik terdengar samar di kejauhan, bercampur dengan desiran angin yang menerpa dedaunan. Lia duduk bersandar pada batang pohon besar di taman kecil itu, mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih berdebar kencang. Napasnya berat, seperti habis berlari jauh.Dean duduk di sebelahnya, mengatur napasnya dengan susah payah. Luka di pelipisnya masih terlihat jelas, meskipun ia mencoba menyembunyikan rasa sakitnya. Raka, di sisi lain, bersandar pada bangku taman, tangannya memegangi luka di lengan kirinya yang terus mengeluarkan darah tipis.“Kita tidak bisa terus begini,” kata Dean akhirnya, memecah keheningan. Suaranya rendah, tetapi ada nada putus asa di dalamnya.“Kau pikir aku mau?!” balas Raka, suaranya tajam meskipun tubuhnya terlihat lemah. “Semua ini gara-gara benda itu!”Lia memeluk benda kecil di tangannya lebih erat, seolah itu adalah nyawanya sendiri. Matanya berkaca-kaca, tetapi ia tidak ingin menangis lagi. Sudah terlalu banyak air mata yang ia keluarkan malam i
Langit malam menutupi hutan lebat dengan tirai hitam yang hanya diterangi oleh bulan sabit pucat. Daun-daun yang bergesekan diterpa angin terdengar seperti bisikan rahasia, sementara langkah kaki mereka membuat suara gemerisik di atas tanah yang penuh dedaunan kering.Lia berlari secepat yang ia bisa, napasnya memburu seperti ketukan drum perang. Dean memimpin di depan, sesekali menoleh ke belakang untuk memastikan mereka masih bersama. Raka, dengan luka di lengannya, tetap berusaha menjaga jarak mereka dari bahaya, meskipun setiap langkahnya pasti membawa rasa sakit yang membakar."Berhenti dulu," Dean akhirnya berkata, suaranya terengah-engah. Ia berhenti di samping pohon besar dan berbalik ke arah mereka.Lia jatuh berlutut, tangannya mencengkeram lututnya saat ia mencoba mengatur napas. Sementara itu, Raka menyandarkan tubuhnya pada batang pohon, peluh bercampur darah membasahi bajunya."Kita nggak bisa terus lari seperti ini," ujar Raka dengan nada tajam, meskipun suaranya terden
Langit sore itu terlihat begitu cerah. Cahaya matahari yang lembut menyelimuti kampus, menciptakan suasana yang tenang meski ada banyak orang berlalu-lalang. Lia berjalan di samping Dean, langkah mereka seakan seirama meskipun kadang Lia terhenti, menatap langit dengan pikiran yang penuh."Apa yang sedang kau pikirkan?" tanya Dean, matanya memandang Lia dengan penuh perhatian. Tangannya yang besar menggenggam tangan Lia dengan lembut, seakan memberinya kekuatan.Lia menarik napas dalam-dalam, merasa tenang di dekatnya. "Aku hanya berpikir, apakah ini keputusan yang tepat. Mengakhiri masa lalu dan memulai sesuatu yang baru."Dean tersenyum, senyum yang selalu bisa membuat Lia merasa lebih ringan. "Keputusan itu tak pernah mudah, Lia. Tapi aku yakin kau sudah memilih dengan hati. Kau tak perlu ragu lagi."Lia mengangguk, meskipun ada sedikit rasa khawatir yang masih menghantuinya. Meninggalkan masa lalu memang bukan hal yang mudah. Namun, apa y
Lia berjalan pelan di lorong kampus, matanya menatap lurus ke depan, meskipun pikirannya berkecamuk. Hari-hari terakhir terasa begitu berbeda. Kehadiran Dean yang semakin dekat membuatnya merasa nyaman, tetapi di sisi lain, bayang-bayang Raka masih mengintai di setiap langkahnya.Hari itu, Lia memutuskan untuk bertemu Dean setelah kuliah. Ia ingin berbicara lebih banyak, mengungkapkan perasaannya yang telah lama terpendam. Mereka sudah melewati banyak hal bersama, dan sepertinya inilah saat yang tepat untuk mengungkapkan segala sesuatunya dengan jelas.Sementara itu, Dean yang telah menunggu di taman kampus tersenyum ketika melihat Lia mendekat. Seperti biasa, senyum itu menghangatkan hati Lia. Ia tahu Dean adalah sosok yang selalu bisa membuatnya merasa tenang. Tak ada yang memaksanya untuk menjadi sesuatu yang bukan dirinya."Lia, kau datang juga," ujar Dean dengan suara lembut, namun penuh kehangatan. Matanya yang teduh menatap Lia dengan penuh per
Hujan turun deras malam itu, menambah keheningan yang menyelimuti kamar Lia. Ia duduk di dekat jendela, memeluk lututnya sambil memandangi tetesan air yang membasahi kaca. Bayangan Raka masih terngiang di kepalanya, begitu pula kata-kata terakhir yang ia ucapkan.“Aku ingin kamu bahagia, Lia.”Namun, bahagia seperti apa yang sebenarnya ia inginkan? Apakah ia benar-benar tidak bisa bahagia tanpa Raka?Pikirannya berkecamuk. Ia merasa seperti tersesat di persimpangan jalan. Tapi di tengah kebingungannya, ada satu nama lain yang terus menyelinap masuk ke dalam hatinya: Dean.Dean, dengan senyumannya yang selalu memberi rasa hangat. Dean, yang meski tidak pernah ia duga, selalu berada di saat ia membutuhkan seseorang.Keesokan harinya, Lia memutuskan untuk pergi ke perpustakaan kampus. Ia membutuhkan ketenangan, atau setidaknya tempat di mana ia bisa mengalihkan pikirannya dari semua kekacauan ini.Langkahnya terhenti ketik
Langit kampus dipenuhi awan kelabu, mencerminkan suasana hati Lia yang tak menentu. Langkahnya terasa berat ketika ia memasuki taman di depan gedung utama, tempat Raka biasa menunggu. Namun hari ini berbeda. Tidak ada Raka yang tersenyum hangat menyapanya. Yang ada hanya bangku kosong dan udara dingin menusuk.Lia merapatkan jaketnya, matanya menyapu sekitar, berharap ia hanya terlambat beberapa menit. Namun, semakin lama ia berdiri di sana, semakin nyata kenyataan bahwa Raka tidak datang.“Lia.”Suara itu membuatnya menoleh. Dean berdiri tak jauh darinya, mengenakan hoodie abu-abu dan jeans. Rambutnya berantakan seperti baru berlari, dan ada senyuman kecil yang menggantung di bibirnya.“Aku kira kamu nggak ke sini,” katanya sambil melangkah mendekat.Lia menatapnya dengan ekspresi campur aduk. “Aku nunggu Raka.”Dean mengangguk pelan, meski ada sesuatu di matanya yang sulit diterjemahkan. “Raka nggak bilang apa-apa ke kamu?
Bab 68Malam itu, hujan turun dengan deras, menciptakan irama alami yang menenangkan. Lia duduk di dekat jendela kamarnya, menatap tetesan air yang berlomba-lomba menuruni kaca. Pikirannya melayang, mencoba mencerna peristiwa yang baru saja terjadi.Pertemuan dengan Raka di kafe sore tadi masih terngiang jelas di benaknya. Tatapan mata Raka yang penuh harap, kata-kata yang terucap dengan hati-hati, dan keheningan yang sesekali menyelimuti percakapan mereka."Lia, aku tahu ini sulit untukmu," kata Raka sambil menatap langsung ke matanya. "Tapi aku ingin kamu tahu, perasaanku padamu tulus. Aku siap menunggumu sampai kamu benar-benar yakin."Lia hanya bisa tersenyum tipis saat itu, tanpa mampu memberikan jawaban pasti. Hatinya masih bimbang antara perasaannya pada Raka dan Dean.Keesokan harinya, Lia memutuskan untuk berjalan-jalan di taman kota, berharap udara segar bisa membantunya berpikir lebih jernih. Langit cerah dengan awan putih berarak, angin sepoi-sepoi meniup lembut rambutnya.
Malam itu, angin berhembus lembut, membawa aroma khas hujan yang baru saja reda. Lia duduk di teras rumahnya, menatap langit yang mulai cerah, dengan bintang-bintang yang bermunculan satu per satu. Pikirannya melayang, merenungkan pertemuannya dengan Raka dan Dean beberapa hari lalu.Ia telah menyampaikan keputusannya untuk tidak memilih salah satu dari mereka saat ini, dan meminta waktu untuk memahami perasaannya sendiri. Keduanya menerima keputusan itu dengan lapang dada, meskipun Lia bisa melihat kekecewaan di mata mereka.Sejak saat itu, Lia merasa ada jarak yang tercipta antara dirinya dengan Raka dan Dean. Mereka masih berkomunikasi, namun tidak seintens dulu. Lia memahami bahwa mereka memberi ruang baginya untuk berpikir, namun ia tak bisa menghindari rasa kesepian yang mulai menyelimuti hatinya.Suatu hari, saat berjalan-jalan di taman kota, Lia melihat seorang gadis kecil yang sedang bermain dengan anjing peliharaannya. Tawa riang gadis itu mengingatkannya pada masa kecilnya
Langit mendung menggantung di atas kampus, memberikan suasana muram yang terasa selaras dengan perasaan Lia. Ia berjalan di koridor panjang menuju perpustakaan, mencoba mengalihkan pikirannya. Setiap langkah terasa berat, seolah-olah beban keputusan yang ia hadapi menekan pundaknya.Pintu perpustakaan berderit saat ia membukanya. Di dalam, aroma buku tua langsung menyergap indra penciumannya. Tempat ini biasanya menjadi pelariannya, namun hari ini, ketenangan perpustakaan terasa terlalu sunyi.Lia melangkah menuju rak bagian belakang, tempat paling sepi yang biasa ia pilih untuk menyendiri. Namun, langkahnya terhenti ketika ia melihat seorang pria yang sangat dikenalnya duduk di sudut ruangan, sibuk dengan laptopnya.Dean.Pria itu tampak tenggelam dalam pekerjaannya, wajahnya serius, jemarinya bergerak lincah di atas keyboard. Lia ragu sejenak, namun akhirnya mendekat. Ketukan kecil pada meja membuat Dean menoleh.“Oh, Lia,” ucapnya
Lia duduk di kursi taman kampus, membiarkan angin pagi yang dingin menggoda rambutnya. Langit mendung di atasnya seperti mencerminkan pikirannya yang kacau. Beberapa mahasiswa berlalu-lalang, namun ia tidak memperhatikan mereka. Matanya tertuju pada buku catatan yang terbuka di pangkuannya, tetapi pikirannya jauh dari tulisan-tulisan yang memenuhi halaman itu.Dean menghampiri dari kejauhan, wajahnya terlihat serius. Tanpa banyak bicara, ia duduk di samping Lia. Aroma khas parfumnya menyapa hidung Lia, membuatnya sedikit tegang.“Lia,” Dean memulai, suaranya pelan namun tegas. “Kamu baik-baik saja?”Lia menoleh, mencoba menutupi emosi yang meluap dalam hatinya. “Aku baik,” jawabnya singkat, meski nada suaranya terdengar getir.Dean menarik napas panjang. Ia tahu Lia sedang berusaha keras menyembunyikan sesuatu. Selama ini, Lia selalu seperti itu—mencoba terlihat kuat meskipun hatinya sedang bergolak.“Kita nggak bisa terus kayak gini
Hari itu, Lia merasa ada yang aneh. Seperti ada sesuatu yang menggantung di udara, sesuatu yang sedang menunggu untuk diungkapkan. Perasaan itu muncul begitu ia berjalan melewati ruang kelas, ketika ia melihat sebuah pesan di ponselnya.Pesan dari Raka."Bisakah kita bicara setelah sekolah?"Itu saja. Tidak ada penjelasan lebih lanjut. Tetapi cukup untuk membuat hati Lia berdegup lebih kencang. Seperti ada beban yang tertahan di dalam dirinya yang akhirnya harus dilepaskan.Setelah jam sekolah selesai, Lia berjalan dengan langkah perlahan menuju tempat yang telah mereka sepakati. Sebuah taman kecil di sudut sekolah yang biasanya jarang didatangi orang. Raka sudah menunggu di sana, tampak lebih serius daripada biasanya."Raka," sapa Lia pelan, mendekat.Raka menoleh, dan matanya langsung menangkap perhatian Lia. Ada sesuatu yang berbeda di mata laki-laki itu hari ini. Bukan hanya kecemasan, tapi juga keteguhan."Kita perlu bicara," kata Raka, suaranya lebih berat dari biasanya. “Tentan