Hembusan angin malam menusuk hingga ke tulang, mengiringi langkah Lia yang berat menuju sudut jalan sempit. Napasnya masih terengah-engah, seperti baru saja berlari menghindari sesuatu yang memburu. Di tangannya tergenggam erat sebuah benda kecil berbentuk persegi panjang—benda yang kini menjadi sumber segala keresahannya."Lia!" Suara Dean terdengar, keras dan penuh emosi.Lia menoleh. Di bawah sinar redup lampu jalan, terlihat Dean dan Raka bergegas mendekat. Tatapan Dean mencerminkan kekhawatiran mendalam, sedangkan Raka tampak serius, matanya bergerak tajam ke segala arah seolah mengawasi setiap kemungkinan bahaya."Apa yang sedang kau lakukan di sini sendirian?" tanya Dean dengan nada mendesak, suaranya nyaris pecah.Lia mencoba berkata-kata, tapi yang keluar hanyalah gumaman pelan. Dia terlalu lelah, baik secara fisik maupun emosional.Raka melangkah mendekat, ekspresi wajahnya penuh kehati-hatian. “Apa itu?” tanyanya, menunjuk ke benda di tangan Lia.Lia mengangkat benda itu de
Suara jangkrik terdengar samar di kejauhan, bercampur dengan desiran angin yang menerpa dedaunan. Lia duduk bersandar pada batang pohon besar di taman kecil itu, mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih berdebar kencang. Napasnya berat, seperti habis berlari jauh.Dean duduk di sebelahnya, mengatur napasnya dengan susah payah. Luka di pelipisnya masih terlihat jelas, meskipun ia mencoba menyembunyikan rasa sakitnya. Raka, di sisi lain, bersandar pada bangku taman, tangannya memegangi luka di lengan kirinya yang terus mengeluarkan darah tipis.“Kita tidak bisa terus begini,” kata Dean akhirnya, memecah keheningan. Suaranya rendah, tetapi ada nada putus asa di dalamnya.“Kau pikir aku mau?!” balas Raka, suaranya tajam meskipun tubuhnya terlihat lemah. “Semua ini gara-gara benda itu!”Lia memeluk benda kecil di tangannya lebih erat, seolah itu adalah nyawanya sendiri. Matanya berkaca-kaca, tetapi ia tidak ingin menangis lagi. Sudah terlalu banyak air mata yang ia keluarkan malam i
Langit malam menutupi hutan lebat dengan tirai hitam yang hanya diterangi oleh bulan sabit pucat. Daun-daun yang bergesekan diterpa angin terdengar seperti bisikan rahasia, sementara langkah kaki mereka membuat suara gemerisik di atas tanah yang penuh dedaunan kering.Lia berlari secepat yang ia bisa, napasnya memburu seperti ketukan drum perang. Dean memimpin di depan, sesekali menoleh ke belakang untuk memastikan mereka masih bersama. Raka, dengan luka di lengannya, tetap berusaha menjaga jarak mereka dari bahaya, meskipun setiap langkahnya pasti membawa rasa sakit yang membakar."Berhenti dulu," Dean akhirnya berkata, suaranya terengah-engah. Ia berhenti di samping pohon besar dan berbalik ke arah mereka.Lia jatuh berlutut, tangannya mencengkeram lututnya saat ia mencoba mengatur napas. Sementara itu, Raka menyandarkan tubuhnya pada batang pohon, peluh bercampur darah membasahi bajunya."Kita nggak bisa terus lari seperti ini," ujar Raka dengan nada tajam, meskipun suaranya terden
Pintu pondok berderit pelan saat angin berhembus, menciptakan suasana yang semakin mencekam. Lia, Dean, dan Raka saling berpandangan, mata mereka tajam, penuh kewaspadaan. Ketukan yang baru saja terdengar memecah keheningan malam, dan kini, suara itu kembali terdengar, lebih keras dan tegas."Kalian tidak bisa bersembunyi selamanya," suara itu terdengar lebih dekat, serasa membungkus mereka dengan ancaman yang jelas.Lia menatap Raka dan Dean, bibirnya bergetar sedikit, tetapi ia berusaha mengontrol diri. Ia tahu bahwa tidak ada jalan kembali lagi. Apa yang mereka hadapi malam ini adalah keputusan yang telah mereka buat sejak mereka memutuskan untuk melawan, untuk mencari jawaban atas misteri yang menyelubungi mereka."Siapa itu?" bisik Lia, suaranya hampir tak terdengar, meskipun ia tahu jawaban atas pertanyaannya."Orang yang mengejar kita sejak awal," jawab Raka dengan tenang, namun sorot matanya mengandung ketegangan. Ia bisa merasakan ancaman yang semakin mendekat.Dean meraih pi
Langit senja berganti kelam, dan hanya diterangi cahaya rembulan yang redup. Udara malam terasa semakin dingin saat Lia, Dean, dan Raka berdiri di tepi jurang, tempat yang terasa asing meski sudah sering mereka kunjungi. Sebuah pengungkapkan baru saja terlontar, dan kini mereka dihadapkan pada sebuah kenyataan yang mengerikan—misteri yang mereka cari telah mengungkapkan wajahnya yang tak terduga."Apa maksudmu?" suara Dean pecah, wajahnya tertegun dengan perasaan yang sulit diungkapkan. Mata tajamnya menyelidik, tidak percaya.Lia menggigit bibirnya, menahan gelombang emosi yang datang begitu kuat. Hatinya bergejolak, tapi di balik itu, ia merasa ada sebuah kebenaran yang tak bisa dipungkiri. Sesuatu yang selama ini mereka anggap musuh, ternyata adalah bagian dari teka-teki yang lebih besar."Dia… dia yang mengirim kita ke sini," kata Raka dengan suara pelan, menatap Lia dan Dean satu per satu. "Semua ini bukan kebetulan."Lia merasakan tubuhnya kaku, mulutnya kering. Bayangan masa la
Cahaya rembulan yang menerobos masuk melalui celah-celah dinding bangunan tua itu memantulkan bayangan di lantai batu. Lia, Raka, dan Dean berdiri diam di tengah ruangan, napas mereka terdengar samar di antara keheningan. Buku bersinar yang baru saja mereka temukan terasa seperti benda paling berat yang pernah Lia pegang, bukan karena bobotnya, tetapi karena makna yang terkandung di dalamnya.Lia menggenggam buku itu erat, seolah khawatir jika dia melepaskannya, semua jawaban yang selama ini mereka cari akan lenyap begitu saja. Dia melirik ke arah Raka dan Dean, yang berdiri di sisi kiri dan kanannya. Wajah Raka tampak tegang, rahangnya mengeras, sementara Dean terlihat lebih tenang, tetapi matanya berbicara banyak—ada keingintahuan bercampur ketakutan di sana.“Kita harus membaca semuanya,” kata Lia akhirnya, memecah keheningan. Suaranya tegas, meski ada sedikit getaran yang tak bisa dia sembunyikan.Dean melangkah lebih dekat, menatap buku itu dengan alis berkerut. “Lia, kamu yakin?
Langkah kaki mereka bergema pelan di jalan setapak yang tertutup kabut tebal. Hanya bunyi ranting yang patah di bawah sepatu mereka yang menjadi penanda waktu terus berjalan. Lia, Raka, dan Dean mengikuti wanita tua itu dalam diam, masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka sendiri.Wanita itu tampak tak terganggu oleh suasana mencekam di sekitarnya. Setiap langkahnya seperti memiliki tujuan yang jelas, meski jalur yang mereka tempuh semakin tak beraturan. Lia sesekali melirik ke arah Dean dan Raka, memastikan mereka masih di sana. Buku di tangannya terasa semakin berat, seolah menyerap energi dari tubuhnya.“Berapa jauh lagi?” tanya Raka akhirnya, nada suaranya terdengar jengah.Wanita tua itu tidak menjawab. Dia hanya terus berjalan, tongkatnya mengetuk-ngetuk tanah dengan ritme yang tetap.“Ini mulai tidak masuk akal,” desis Dean sambil melirik Lia. “Bagaimana kalau kita hanya dimanfaatkan? Kita tidak tahu siapa dia sebenarnya.”Lia menggelengkan kepala, mencoba meredam kecemasan
Langit malam menampakkan wajahnya yang gelap, hanya diterangi oleh bintang-bintang kecil yang seperti berkedip ragu. Lia duduk di sudut kamar penginapan, tangannya memegang buku tebal yang sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupnya dalam beberapa minggu terakhir. Di luar, suara angin berdesir pelan, membawa aroma embun dan tanah basah.Raka berdiri di dekat jendela, memandang ke luar dengan ekspresi serius. Sementara itu, Dean duduk di tepi ranjang, sesekali melirik ke arah Lia, seolah ingin mengatakan sesuatu tetapi memilih diam.“Kita harus memutuskan langkah selanjutnya,” Raka akhirnya angkat bicara, memecah keheningan yang tegang. Suaranya rendah, tetapi ada ketegasan di dalamnya. “Semakin lama kita menunggu, semakin besar risiko kita ditemukan oleh mereka.”“Mereka?” Dean memutar bola matanya. “Kita bahkan tidak tahu siapa yang mengejar kita, Raka. Semua ini seperti teka-teki tanpa petunjuk.”“Kita punya petunjuk,” potong Lia tiba-tiba. Dia mengangkat buku di tangannya. “
Malam yang cerah menyelimuti kota, bulan menggantung sempurna di langit, memancarkan sinar lembut yang menembus tirai jendela kamar Lia. Di balkon, Lia berdiri dengan secangkir teh hangat di tangannya, menatap langit penuh bintang. Hatinya terasa lebih tenang setelah melewati minggu-minggu penuh kegelisahan. Keputusan yang ia buat telah menjadi titik balik dalam hidupnya, dan ia tahu ini adalah langkah awal dari perjalanan baru. Ponselnya yang tergeletak di meja berbunyi. Sebuah pesan dari Dean. “Ada waktu buat ngobrol? Aku di depan kosanmu.” Lia tersenyum tipis. Tanpa berpikir panjang, ia meraih jaketnya dan menuruni tangga. Di luar, Dean berdiri bersandar pada motornya. Ia mengenakan jaket kulit hitam yang membuatnya terlihat lebih santai dari biasanya. Ketika melihat Lia muncul, dia tersenyum hangat, menyembunyikan sedikit kegugupan di balik matanya. “Hai,” sapa Dean pelan. “Hai juga,” jawab Lia. “Kenapa nggak
Lia berdiri di depan cermin, tangannya merapikan rambut yang sedikit berantakan. Pikirannya sibuk memutar ulang percakapan terakhirnya dengan Raka beberapa hari lalu. Sesekali, ia menggigit bibir bawahnya, merasa bersalah atas keputusan yang ia buat. Tapi di saat yang sama, ada kelegaan. Dia memandangi pantulan dirinya dengan sorot mata yang penuh pertanyaan. Apakah ini jalan yang benar? Apakah keputusannya memilih Dean adalah langkah terbaik? Hatinya menggelayut di antara rasa percaya diri dan keraguan yang tak henti-henti menghantui. Suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya. “Lia, kita udah telat. Dean nunggu di bawah,” seru Ayu, teman sekamarnya, dengan nada ceria. Lia menarik napas dalam, mencoba menghapus pikiran-pikiran yang membebani. Dia melangkah keluar dengan senyum kecil, meskipun hatinya masih terasa berat. Di kafe kampus, Dean sudah duduk menunggu. Dia sedang sibuk memeriksa laptopnya, tetapi saat
Raka berjalan perlahan meninggalkan taman kampus, langkahnya berat seperti menahan beban tak kasatmata. Suara tawa kecil yang samar terdengar dari arah belakang membuat dadanya terasa sesak, tapi ia tidak menoleh. Angin sore menerpa wajahnya, menyapu rambutnya yang sedikit berantakan.Pikirannya bercampur aduk. Antara menyesali apa yang tidak pernah ia lakukan dan mencoba menerima kenyataan bahwa Lia telah memilih.Sesampainya di parkiran, ia duduk di jok motornya tanpa menyalakan mesin. Wajahnya menghadap ke langit yang semakin gelap, seakan mencari jawaban dari kekosongan yang tiba-tiba menyelimutinya.Dia memejamkan mata, mencoba mengingat senyum Lia, suara lembutnya, dan momen-momen kecil yang dulu terasa berarti. Namun, bayangan itu kini terasa seperti serpihan kaca yang menyakitkan saat disentuh.Suara dering ponsel membuyarkan lamunannya. Raka membuka layar, nama “Arin” tertera di sana.Ia menghela napas sebelum menjawab. “Hal
Langit sore mulai berubah jingga saat Lia berdiri di depan gedung kampus. Angin berembus lembut, menggoyangkan helaian rambutnya yang terurai. Tatapannya menerawang jauh, seakan pikirannya berada di tempat lain.“Lia.”Suara itu memecah lamunannya. Ia menoleh dan menemukan Dean berdiri tak jauh darinya. Senyum tipis terukir di wajah lelaki itu, meski ada sesuatu di matanya—sesuatu yang membuat dada Lia sedikit bergetar.“Aku sudah menunggumu.”Lia menarik napas dalam-dalam. Ia tahu percakapan ini tak bisa dihindari. Setelah semua yang terjadi, setelah kebingungan yang selama ini menghantuinya, mungkin ini saatnya mengambil keputusan.“Kita bicara di taman belakang?” usul Dean.Lia mengangguk. Mereka berjalan berdampingan, namun ada jarak tipis di antara mereka—seperti tembok tak kasatmata yang memisahkan perasaan mereka.Saat mereka tiba di taman, senja sudah hampir tenggelam. Langit berubah menjadi ungu keemasan, m
Senja mulai turun saat Lia duduk di bangku kayu di bawah pohon rindang di taman kampus. Angin sepoi-sepoi mengibaskan ujung rambutnya, namun ia tak peduli. Tatapannya tertuju pada secarik kertas yang ia genggam erat—surat dari Raka.Ia membaca ulang tulisan tangan yang familiar itu, berusaha memahami isi hati Raka yang terukir dalam kata-kata."Lia,Aku tahu hubungan kita telah melalui banyak pasang surut. Aku berterima kasih untuk setiap momen yang pernah kita bagi. Tapi aku sadar, terkadang cinta adalah tentang melepaskan. Aku ingin kamu bahagia, Lia, meskipun itu berarti aku harus mundur. Dean adalah orang yang tepat untukmu, dan aku yakin dia bisa memberikan kebahagiaan yang selama ini kamu cari.Aku akan baik-baik saja. Jangan khawatirkan aku. Kamu selalu ada di hatiku, tapi aku harus melangkah maju.Terima kasih untuk segalanya.-Raka"Hati Lia mencelos membaca baris terakhir itu. Ada rasa haru, bersamaan dengan rasa lega. Ia tah
Langit pagi terasa cerah, dengan sinar matahari lembut menyinari jalanan kampus yang mulai ramai oleh mahasiswa yang berlalu-lalang. Suara tawa dan percakapan ringan menggema di lorong-lorong, menyelimuti suasana kampus yang penuh kehidupan. Lia berjalan pelan menuju kelasnya, dengan tas selempang tergantung di bahu. Namun, di tengah keramaian itu, pikirannya melayang, terjebak dalam euforia percakapannya dengan Dean semalam.Ia tidak bisa berhenti tersenyum. Segala yang terjadi antara dirinya dan Dean terasa seperti mimpi. Setelah sekian lama berada dalam kebingungan tentang perasaan mereka, akhirnya semuanya jelas. Tapi di balik kebahagiaannya, ada perasaan lain yang berusaha ia sembunyikan—rasa bersalah pada Raka.“Lia!” Sebuah suara memanggilnya dari kejauhan.Lia menoleh dan melihat Dean berlari kecil ke arahnya, dengan senyuman khas yang selalu berhasil membuatnya merasa tenang.“Hai,” sapa Lia, berhenti di depan pintu kelas.“
Matahari pagi menyinari halaman kampus yang mulai ramai oleh para mahasiswa. Suara riuh dari para mahasiswa baru yang berlatih drama di aula terdengar sampai ke sudut taman kampus. Lia duduk di bangku kayu dengan sebuah buku terbuka di pangkuannya. Namun, pikirannya tidak sepenuhnya ada di sana.Ia menoleh ke kanan, tempat Dean tengah berbicara dengan beberapa temannya. Sesekali tawa Dean terdengar, dan itu cukup untuk membuat jantung Lia berdegup sedikit lebih cepat. Sejak kompetisi debat kemarin, hubungan mereka semakin terasa berbeda. Ada kehangatan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya, dan ia tahu, perlahan perasaannya terhadap Dean menjadi lebih jelas.“Lia!” Sebuah suara memanggilnya.Lia menoleh dan melihat Raka berjalan ke arahnya, membawa dua gelas kopi di tangan. Ada senyum kecil di wajah Raka, tetapi ia terlihat lebih tenang daripada sebelumnya.“Hai, Raka,” sapa Lia, memberikan ruang di bangku untuknya. “Kopi untukku?”
Hujan gerimis turun membasahi kota di sore itu. Langit tampak kelabu, seperti cerminan suasana hati Raka. Ia duduk di sebuah kedai kopi kecil yang berada di pinggir jalan, memandangi orang-orang yang berlalu lalang dengan payung warna-warni. Secangkir kopi hitam di depannya sudah mulai dingin, tapi ia tidak peduli.Pikirannya melayang pada kejadian pagi tadi. Ia sempat melihat Lia dan Dean berjalan bersama di koridor kampus, dengan senyum yang begitu tulus di wajah mereka. Meski sudah bertekad untuk menerima kenyataan, ada bagian kecil di hatinya yang masih terasa perih."Kenapa masih terasa sulit?" gumamnya pelan, hampir tidak terdengar di tengah suara rintik hujan.Pintu kedai terbuka, mengundang angin dingin masuk ke dalam. Raka mendongak, dan matanya bertemu dengan seorang gadis berambut panjang yang basah kuyup karena hujan. Ia mengenakan mantel kuning cerah, tapi rambutnya yang meneteskan air menunjukkan bahwa payung yang ia bawa tidak banyak me
Langit pagi masih dipenuhi rona oranye ketika Lia melangkahkan kaki ke taman kota. Ia sengaja datang lebih awal, mencari ketenangan sebelum menghadapi hari yang penuh keraguan. Aroma embun pagi bercampur dengan harum bunga mawar yang bermekaran di sekeliling membuatnya sedikit lebih tenang.Di tengah hamparan rumput, Lia duduk di bangku kayu yang menghadap kolam kecil. Ia menggenggam secangkir cokelat hangat yang dibawanya dari rumah, sesekali menyeruputnya perlahan. Pandangannya menerawang, memikirkan dua orang yang selama ini mengisi dunianya."Dean..." gumamnya pelan, suaranya tenggelam di antara kicauan burung.Dean, dengan segala ketulusannya, selalu ada untuknya, bahkan di saat Lia sendiri merasa sulit memahami dirinya. Namun, ada Raka, sahabat yang sudah menjadi bagian dari hidupnya sejak kecil, yang kehadirannya begitu akrab hingga kadang terasa seperti udara—penting, tapi sering kali terlupakan.Lia menarik napas panjang, mencoba men