Langkah kaki mereka bergema pelan di jalan setapak yang tertutup kabut tebal. Hanya bunyi ranting yang patah di bawah sepatu mereka yang menjadi penanda waktu terus berjalan. Lia, Raka, dan Dean mengikuti wanita tua itu dalam diam, masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka sendiri.Wanita itu tampak tak terganggu oleh suasana mencekam di sekitarnya. Setiap langkahnya seperti memiliki tujuan yang jelas, meski jalur yang mereka tempuh semakin tak beraturan. Lia sesekali melirik ke arah Dean dan Raka, memastikan mereka masih di sana. Buku di tangannya terasa semakin berat, seolah menyerap energi dari tubuhnya.“Berapa jauh lagi?” tanya Raka akhirnya, nada suaranya terdengar jengah.Wanita tua itu tidak menjawab. Dia hanya terus berjalan, tongkatnya mengetuk-ngetuk tanah dengan ritme yang tetap.“Ini mulai tidak masuk akal,” desis Dean sambil melirik Lia. “Bagaimana kalau kita hanya dimanfaatkan? Kita tidak tahu siapa dia sebenarnya.”Lia menggelengkan kepala, mencoba meredam kecemasan
Langit malam menampakkan wajahnya yang gelap, hanya diterangi oleh bintang-bintang kecil yang seperti berkedip ragu. Lia duduk di sudut kamar penginapan, tangannya memegang buku tebal yang sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupnya dalam beberapa minggu terakhir. Di luar, suara angin berdesir pelan, membawa aroma embun dan tanah basah.Raka berdiri di dekat jendela, memandang ke luar dengan ekspresi serius. Sementara itu, Dean duduk di tepi ranjang, sesekali melirik ke arah Lia, seolah ingin mengatakan sesuatu tetapi memilih diam.“Kita harus memutuskan langkah selanjutnya,” Raka akhirnya angkat bicara, memecah keheningan yang tegang. Suaranya rendah, tetapi ada ketegasan di dalamnya. “Semakin lama kita menunggu, semakin besar risiko kita ditemukan oleh mereka.”“Mereka?” Dean memutar bola matanya. “Kita bahkan tidak tahu siapa yang mengejar kita, Raka. Semua ini seperti teka-teki tanpa petunjuk.”“Kita punya petunjuk,” potong Lia tiba-tiba. Dia mengangkat buku di tangannya. “
Lorong itu menyelimuti mereka dengan kegelapan yang tebal. Hanya suara langkah kaki mereka yang memantul di dinding sempit, menciptakan gema yang semakin menambah suasana mencekam. Udara di dalam terasa berat, hampir seperti menekan dada mereka, memaksa napas keluar dengan susah payah.“Kenapa rasanya semakin sulit bernapas?” gumam Lia, suaranya nyaris tenggelam oleh bunyi napasnya sendiri.Raka melirik ke belakang, memastikan Lia baik-baik saja. “Kita sudah terlalu jauh masuk. Kalau ada yang tidak beres, kita harus segera kembali.”Dean, yang berada di depan mereka, menggeleng pelan tanpa menoleh. “Tidak ada jalan kembali sekarang. Kalau kita berhenti, kita tidak akan pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi.”Langkah mereka semakin lambat ketika dinding-dinding di sekitar lorong mulai menampilkan pola-pola aneh. Simbol-simbol yang mirip tulisan kuno muncul di permukaan, menyala samar seperti tinta bercahaya. Lia mengulurkan tangan, mencoba menyentuh salah satu simbol, tetapi sebuah e
Lorong itu sunyi, hanya terdengar suara napas mereka yang terengah-engah. Lia memeluk tubuhnya sendiri, mencoba mengusir rasa dingin yang tiba-tiba menusuk tulangnya. Sesuatu terasa berbeda. Setelah pengalaman di ruangan misterius tadi, ada kehampaan yang tidak bisa ia jelaskan.Raka berjalan di belakangnya, tangannya menggenggam senter yang mulai redup cahayanya. Wajahnya yang biasanya penuh keyakinan kini tampak suram. Sementara itu, Dean berjalan di depan, matanya terus mengamati setiap sudut lorong seolah-olah ada sesuatu yang siap menyerang mereka.“Ini… terasa aneh,” gumam Lia, suaranya pecah.“Apa maksudmu?” tanya Dean tanpa menoleh.“Aku merasa seperti… kehilangan sesuatu,” Lia mengakui, matanya berkaca-kaca. Ia mengingat saat terakhir kali melihat cermin itu, bagaimana gambar ibunya menghilang begitu saja. Sekarang, kenangan itu seperti kabur di benaknya. Ia tahu ia pernah bermain piano bersama ibunya, tetapi setiap kali mencoba mengingat detailnya, hanya ada kehampaan.“Kau
Lorong yang sebelumnya dingin kini terasa semakin pengap. Lia berdiri di depan cermin besar yang tampak memancarkan aura gelap, tangannya gemetar saat ia menyentuh permukaannya yang dingin. Dean dan Raka berdiri di belakangnya, keduanya memasang ekspresi tegang.“Lia, jangan bodoh,” ujar Raka, nadanya rendah namun penuh peringatan.Dean maju selangkah, menarik tangan Lia perlahan agar menjauh dari cermin. “Kita tidak tahu apa yang akan terjadi jika kau terlalu dekat. Ini bisa jadi jebakan.”Namun, Lia tetap terpaku. Pantulan dirinya di cermin tidak hanya menampilkan wajahnya, tapi juga bayangan kabur di belakangnya. Seolah ada sosok lain yang berdiri di tempat mereka. Bayangan itu tidak bergerak seperti pantulan normal, tetapi memandang langsung ke arahnya dengan mata kosong yang penuh rasa sakit.“Aku… aku harus tahu,” gumam Lia, hampir seperti berbicara kepada dirinya sendiri.Raka menatap Dean dengan gelisah. “Kita harus menghentikannya sebelum sesuatu yang buruk terjadi.”“Tunggu
Langit-langit ruangan yang tinggi dan gelap tampak seperti menutup dunia mereka. Langkah kaki Lia, Dean, dan Raka bergema di sepanjang lorong batu, setiap bunyi langkah seperti palu yang mengetuk rasa cemas dalam hati mereka. Udara di sekeliling mereka terasa berat, seolah sesuatu sedang mengintai di kegelapan.Raka berjalan di depan, obor kecil di tangannya menjadi satu-satunya sumber cahaya. Wajahnya tegang, rahangnya mengeras. Sesekali ia melirik ke belakang, memastikan Lia dan Dean masih mengikutinya.“Kita sudah berjalan cukup jauh,” kata Dean, memecah kesunyian. Suaranya datar, namun ada nada ketidaknyamanan yang sulit disembunyikan. “Apa kau yakin ini jalan yang benar?”Raka tidak menjawab segera. Ia hanya menatap ujung lorong yang tampak seperti membentang tanpa akhir. “Aku yakin. Aku hanya… merasakannya.”Lia menahan napas, perasaan gelisah mengisi dadanya. “Merasa?” tanyanya pelan. “Apa maksudmu?”Raka berhenti dan berbalik, menatap Lia dengan sorot mata yang sulit diartikan
Cahaya matahari pagi mengintip dari sela-sela tirai perpustakaan tua itu, menyelimuti ruangan dengan kehangatan yang kontras dengan atmosfer tegang yang menyelimuti mereka. Lia duduk di kursi kayu yang keras, jari-jarinya mengetuk pelan permukaan meja. Pikirannya terus memutar ulang kata-kata pria tua tadi malam. Seraphis adalah kunci. Tapi untuk membuka apa?Dean dan Raka berdiri di dekat jendela, masing-masing tampak tenggelam dalam pikiran mereka sendiri. Keduanya berbeda seperti siang dan malam, tetapi dalam situasi ini, keduanya sama-sama bingung dan khawatir.“Apa yang akan kita lakukan sekarang?” tanya Raka akhirnya, memecah kesunyian.Dean menoleh, ekspresinya penuh skeptisisme. “Kau sungguh percaya semua ini? Sebuah batu kuno, perang besar, dan sesuatu yang sedang ‘menunggu kita’? Ini terdengar seperti dongeng, bukan kenyataan.”“Kalau begitu, kenapa kau tetap di sini?” balas Raka dengan nada dingin. “Tidak ada yang memaksamu, Dean.”“Aku di sini karena…” Dean menggantungkan
Angin malam berembus perlahan, membawa serta aroma tanah basah dari lembah yang baru saja mereka tinggalkan. Lia, Dean, dan Raka duduk melingkar di sekitar api unggun kecil yang mereka buat di sela-sela reruntuhan. Ketegangan di antara mereka begitu nyata, seolah bisa disentuh.Lia menatap api yang berkobar di depannya, mencoba mengabaikan pandangan intens dari dua pria di sampingnya. Kepalanya masih dipenuhi dengan gambaran dari cahaya keemasan yang muncul di depan pintu besar tadi. Suara berbisik itu terus terngiang di telinganya, mengulang kata-kata yang sama: Pilihlah dengan bijak.“Apa yang kau pikirkan?” suara Dean memecah keheningan.Lia terkejut, menoleh ke arahnya. Tatapan Dean lembut, tapi matanya mengisyaratkan kekhawatiran yang mendalam.“Aku...” Lia terdiam sejenak, lalu menggeleng. “Aku hanya mencoba memahami semua ini.”“Tidak mudah memang,” gumam Raka sambil menambahkan kayu ke dalam api. “Tapi kita tidak punya pilihan selain terus maju.”Lia mengangguk pelan, tetapi h
Malam yang cerah menyelimuti kota, bulan menggantung sempurna di langit, memancarkan sinar lembut yang menembus tirai jendela kamar Lia. Di balkon, Lia berdiri dengan secangkir teh hangat di tangannya, menatap langit penuh bintang. Hatinya terasa lebih tenang setelah melewati minggu-minggu penuh kegelisahan. Keputusan yang ia buat telah menjadi titik balik dalam hidupnya, dan ia tahu ini adalah langkah awal dari perjalanan baru. Ponselnya yang tergeletak di meja berbunyi. Sebuah pesan dari Dean. “Ada waktu buat ngobrol? Aku di depan kosanmu.” Lia tersenyum tipis. Tanpa berpikir panjang, ia meraih jaketnya dan menuruni tangga. Di luar, Dean berdiri bersandar pada motornya. Ia mengenakan jaket kulit hitam yang membuatnya terlihat lebih santai dari biasanya. Ketika melihat Lia muncul, dia tersenyum hangat, menyembunyikan sedikit kegugupan di balik matanya. “Hai,” sapa Dean pelan. “Hai juga,” jawab Lia. “Kenapa nggak
Lia berdiri di depan cermin, tangannya merapikan rambut yang sedikit berantakan. Pikirannya sibuk memutar ulang percakapan terakhirnya dengan Raka beberapa hari lalu. Sesekali, ia menggigit bibir bawahnya, merasa bersalah atas keputusan yang ia buat. Tapi di saat yang sama, ada kelegaan. Dia memandangi pantulan dirinya dengan sorot mata yang penuh pertanyaan. Apakah ini jalan yang benar? Apakah keputusannya memilih Dean adalah langkah terbaik? Hatinya menggelayut di antara rasa percaya diri dan keraguan yang tak henti-henti menghantui. Suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya. “Lia, kita udah telat. Dean nunggu di bawah,” seru Ayu, teman sekamarnya, dengan nada ceria. Lia menarik napas dalam, mencoba menghapus pikiran-pikiran yang membebani. Dia melangkah keluar dengan senyum kecil, meskipun hatinya masih terasa berat. Di kafe kampus, Dean sudah duduk menunggu. Dia sedang sibuk memeriksa laptopnya, tetapi saat
Raka berjalan perlahan meninggalkan taman kampus, langkahnya berat seperti menahan beban tak kasatmata. Suara tawa kecil yang samar terdengar dari arah belakang membuat dadanya terasa sesak, tapi ia tidak menoleh. Angin sore menerpa wajahnya, menyapu rambutnya yang sedikit berantakan.Pikirannya bercampur aduk. Antara menyesali apa yang tidak pernah ia lakukan dan mencoba menerima kenyataan bahwa Lia telah memilih.Sesampainya di parkiran, ia duduk di jok motornya tanpa menyalakan mesin. Wajahnya menghadap ke langit yang semakin gelap, seakan mencari jawaban dari kekosongan yang tiba-tiba menyelimutinya.Dia memejamkan mata, mencoba mengingat senyum Lia, suara lembutnya, dan momen-momen kecil yang dulu terasa berarti. Namun, bayangan itu kini terasa seperti serpihan kaca yang menyakitkan saat disentuh.Suara dering ponsel membuyarkan lamunannya. Raka membuka layar, nama “Arin” tertera di sana.Ia menghela napas sebelum menjawab. “Hal
Langit sore mulai berubah jingga saat Lia berdiri di depan gedung kampus. Angin berembus lembut, menggoyangkan helaian rambutnya yang terurai. Tatapannya menerawang jauh, seakan pikirannya berada di tempat lain.“Lia.”Suara itu memecah lamunannya. Ia menoleh dan menemukan Dean berdiri tak jauh darinya. Senyum tipis terukir di wajah lelaki itu, meski ada sesuatu di matanya—sesuatu yang membuat dada Lia sedikit bergetar.“Aku sudah menunggumu.”Lia menarik napas dalam-dalam. Ia tahu percakapan ini tak bisa dihindari. Setelah semua yang terjadi, setelah kebingungan yang selama ini menghantuinya, mungkin ini saatnya mengambil keputusan.“Kita bicara di taman belakang?” usul Dean.Lia mengangguk. Mereka berjalan berdampingan, namun ada jarak tipis di antara mereka—seperti tembok tak kasatmata yang memisahkan perasaan mereka.Saat mereka tiba di taman, senja sudah hampir tenggelam. Langit berubah menjadi ungu keemasan, m
Senja mulai turun saat Lia duduk di bangku kayu di bawah pohon rindang di taman kampus. Angin sepoi-sepoi mengibaskan ujung rambutnya, namun ia tak peduli. Tatapannya tertuju pada secarik kertas yang ia genggam erat—surat dari Raka.Ia membaca ulang tulisan tangan yang familiar itu, berusaha memahami isi hati Raka yang terukir dalam kata-kata."Lia,Aku tahu hubungan kita telah melalui banyak pasang surut. Aku berterima kasih untuk setiap momen yang pernah kita bagi. Tapi aku sadar, terkadang cinta adalah tentang melepaskan. Aku ingin kamu bahagia, Lia, meskipun itu berarti aku harus mundur. Dean adalah orang yang tepat untukmu, dan aku yakin dia bisa memberikan kebahagiaan yang selama ini kamu cari.Aku akan baik-baik saja. Jangan khawatirkan aku. Kamu selalu ada di hatiku, tapi aku harus melangkah maju.Terima kasih untuk segalanya.-Raka"Hati Lia mencelos membaca baris terakhir itu. Ada rasa haru, bersamaan dengan rasa lega. Ia tah
Langit pagi terasa cerah, dengan sinar matahari lembut menyinari jalanan kampus yang mulai ramai oleh mahasiswa yang berlalu-lalang. Suara tawa dan percakapan ringan menggema di lorong-lorong, menyelimuti suasana kampus yang penuh kehidupan. Lia berjalan pelan menuju kelasnya, dengan tas selempang tergantung di bahu. Namun, di tengah keramaian itu, pikirannya melayang, terjebak dalam euforia percakapannya dengan Dean semalam.Ia tidak bisa berhenti tersenyum. Segala yang terjadi antara dirinya dan Dean terasa seperti mimpi. Setelah sekian lama berada dalam kebingungan tentang perasaan mereka, akhirnya semuanya jelas. Tapi di balik kebahagiaannya, ada perasaan lain yang berusaha ia sembunyikan—rasa bersalah pada Raka.“Lia!” Sebuah suara memanggilnya dari kejauhan.Lia menoleh dan melihat Dean berlari kecil ke arahnya, dengan senyuman khas yang selalu berhasil membuatnya merasa tenang.“Hai,” sapa Lia, berhenti di depan pintu kelas.“
Matahari pagi menyinari halaman kampus yang mulai ramai oleh para mahasiswa. Suara riuh dari para mahasiswa baru yang berlatih drama di aula terdengar sampai ke sudut taman kampus. Lia duduk di bangku kayu dengan sebuah buku terbuka di pangkuannya. Namun, pikirannya tidak sepenuhnya ada di sana.Ia menoleh ke kanan, tempat Dean tengah berbicara dengan beberapa temannya. Sesekali tawa Dean terdengar, dan itu cukup untuk membuat jantung Lia berdegup sedikit lebih cepat. Sejak kompetisi debat kemarin, hubungan mereka semakin terasa berbeda. Ada kehangatan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya, dan ia tahu, perlahan perasaannya terhadap Dean menjadi lebih jelas.“Lia!” Sebuah suara memanggilnya.Lia menoleh dan melihat Raka berjalan ke arahnya, membawa dua gelas kopi di tangan. Ada senyum kecil di wajah Raka, tetapi ia terlihat lebih tenang daripada sebelumnya.“Hai, Raka,” sapa Lia, memberikan ruang di bangku untuknya. “Kopi untukku?”
Hujan gerimis turun membasahi kota di sore itu. Langit tampak kelabu, seperti cerminan suasana hati Raka. Ia duduk di sebuah kedai kopi kecil yang berada di pinggir jalan, memandangi orang-orang yang berlalu lalang dengan payung warna-warni. Secangkir kopi hitam di depannya sudah mulai dingin, tapi ia tidak peduli.Pikirannya melayang pada kejadian pagi tadi. Ia sempat melihat Lia dan Dean berjalan bersama di koridor kampus, dengan senyum yang begitu tulus di wajah mereka. Meski sudah bertekad untuk menerima kenyataan, ada bagian kecil di hatinya yang masih terasa perih."Kenapa masih terasa sulit?" gumamnya pelan, hampir tidak terdengar di tengah suara rintik hujan.Pintu kedai terbuka, mengundang angin dingin masuk ke dalam. Raka mendongak, dan matanya bertemu dengan seorang gadis berambut panjang yang basah kuyup karena hujan. Ia mengenakan mantel kuning cerah, tapi rambutnya yang meneteskan air menunjukkan bahwa payung yang ia bawa tidak banyak me
Langit pagi masih dipenuhi rona oranye ketika Lia melangkahkan kaki ke taman kota. Ia sengaja datang lebih awal, mencari ketenangan sebelum menghadapi hari yang penuh keraguan. Aroma embun pagi bercampur dengan harum bunga mawar yang bermekaran di sekeliling membuatnya sedikit lebih tenang.Di tengah hamparan rumput, Lia duduk di bangku kayu yang menghadap kolam kecil. Ia menggenggam secangkir cokelat hangat yang dibawanya dari rumah, sesekali menyeruputnya perlahan. Pandangannya menerawang, memikirkan dua orang yang selama ini mengisi dunianya."Dean..." gumamnya pelan, suaranya tenggelam di antara kicauan burung.Dean, dengan segala ketulusannya, selalu ada untuknya, bahkan di saat Lia sendiri merasa sulit memahami dirinya. Namun, ada Raka, sahabat yang sudah menjadi bagian dari hidupnya sejak kecil, yang kehadirannya begitu akrab hingga kadang terasa seperti udara—penting, tapi sering kali terlupakan.Lia menarik napas panjang, mencoba men