Angin dingin menyapu halaman kampus yang gelap. Lia berdiri di bawah bayangan pohon besar, matanya menatap jam tangannya yang berkilau di bawah cahaya bulan. Dia menunggu Raka. Dalam pesan singkat tadi sore, Raka mengatakan bahwa dia memiliki sesuatu yang sangat penting untuk dibicarakan. Tak lama kemudian, langkah kaki yang berat terdengar dari arah taman. Lia menoleh dan melihat Raka mendekat, wajahnya terlihat muram. "Maaf membuatmu menunggu," kata Raka, suaranya rendah. Lia mengangguk pelan. "Apa ini tentang rencana tadi?" Raka mengeluarkan sebuah amplop dari jaketnya dan menyerahkannya kepada Lia. "Ini semua informasi yang aku punya. Tentang mereka." Lia membuka amplop itu dengan hati-hati. Di dalamnya, terdapat beberapa foto dan dokumen. Salah satu foto itu menunjukkan pria yang pernah disebut Edi sebelumnya. Wajahnya tajam dan penuh karisma, tetapi ada sesuatu yang membuatnya terlihat berbahaya. "Siapa dia sebenarnya?" tanya Lia, suaranya bergetar. "Dia orang ya
Malam itu, di apartemennya yang sunyi, Lia duduk terpaku di depan meja kecil. Foto lama keluarganya yang terjatuh dari amplop itu kini berada di genggamannya. Dia memandang wajah-wajah di foto itu—ibunya yang tersenyum lembut, ayahnya dengan tatapan penuh percaya diri, dan dirinya sendiri yang masih kecil dengan senyum polos. Namun, perhatian Lia terfokus pada pria lain yang berdiri di belakang keluarganya, mengenakan jas hitam dan dasi merah. Dia tampak seperti bagian dari foto itu, tetapi wajahnya asing bagi Lia. “Siapa kau?” gumam Lia, jantungnya berdebar cepat. Pesan singkat yang menyertai foto itu—“Ini belum berakhir.”—terus terngiang-ngiang di kepalanya. Keesokan paginya, Lia membawa foto itu ke rumah ibunya. Dia butuh jawaban, meskipun instingnya mengatakan bahwa jawaban itu mungkin lebih rumit daripada yang dia bayangkan. Ibunya membuka pintu dengan senyum yang biasa, tetapi senyum itu pudar begitu dia melihat ekspresi wajah Lia. “Lia, ada apa? Kau kelihatan lelah,” tan
Lia memandang sekeliling ruangan kecil itu dengan perasaan campur aduk—takut, penasaran, dan sedikit lega karena akhirnya menemukan sesuatu yang konkret. Dinding-dinding ruangan tersebut penuh dengan peta, foto, dan tulisan tangan. Di tengahnya, ada meja kecil dengan tumpukan dokumen yang tampak tua. "Ini gila," gumam Lia, mendekati salah satu dinding. Dia melihat sebuah peta besar dengan beberapa tanda merah yang mencakup lokasi-lokasi yang akrab baginya—rumahnya, rumah lama ayahnya, bahkan universitas tempat dia belajar. Raka berdiri di sampingnya, wajahnya serius. "Seseorang telah memantau keluargamu selama bertahun-tahun." Lia mengangguk, berusaha menahan gemetar di tangannya. "Tapi siapa? Dan kenapa? Apa yang mereka cari?" Dia meraih salah satu dokumen dari meja dan membuka lembarannya. Ada foto seorang pria yang terlihat sangat familiar—pria yang ada di foto keluarganya. Di bawah fotonya ada nama: Hartono Aditya. "Hartono Aditya," bisik Lia. "Nama ini disebut di artikel ya
Lia berdiri di depan pintu gudang tua itu, napasnya pendek-pendek. Bangunan tersebut tampak usang, dengan dinding yang penuh dengan coretan vandal dan pintu besi yang berkarat. Suara gemerisik dedaunan yang diterpa angin terdengar seperti bisikan misterius di telinganya.Raka berdiri di sampingnya, wajahnya menunjukkan keseriusan yang jarang terlihat. “Kau yakin ingin melanjutkan ini?” tanyanya pelan.Lia mengangguk, meski hatinya penuh keraguan. “Aku harus tahu. Apa pun risikonya.”Raka menghela napas, lalu mendorong pintu gudang itu dengan sedikit tenaga. Pintu itu berdecit pelan, mengungkapkan ruangan gelap di baliknya. Lampu senter di tangan mereka menjadi satu-satunya sumber cahaya saat mereka melangkah masuk.Di dalam, suasananya jauh lebih sunyi. Rak-rak kayu tua berjejer, penuh dengan kotak-kotak berdebu dan tumpukan dokumen yang hampir lapuk. Di tengah ruangan, ada meja besar yang dipenuhi dengan peta, foto, dan catatan.“Ini seperti... markas seseorang,” bisik Lia, mendekati
Lia berdiri di depan rumah tua yang terletak di pinggiran kota, rumah yang disebutkan dalam peta di gudang. Bangunan itu terlihat seperti tidak berpenghuni selama bertahun-tahun, dengan cat tembok yang mengelupas dan jendela-jendela yang tertutup rapat oleh papan kayu. Rasa gugup mencengkeramnya, tetapi dia tahu dia tidak bisa berhenti sekarang.Raka berdiri di sampingnya, memperhatikan sekitar dengan penuh waspada. “Apa kau yakin tempat ini ada hubungannya dengan ayahmu?” tanyanya pelan.Lia mengangguk. “Semua petunjuk mengarah ke sini. Jika ini benar, maka mungkin ada sesuatu yang bisa menjelaskan mengapa semua ini terjadi.”Dean tiba beberapa saat kemudian, membawa tas ransel kecil berisi perlengkapan darurat. “Kita harus hati-hati,” katanya dengan nada tegas. “Kalau ini tempat rahasia, siapa pun yang mencoba melindunginya mungkin tidak akan membiarkan kita pergi begitu saja.”Ketiganya melangkah menuju pintu depan. Lia menarik napas dalam, lalu memutar gagang pintu yang ternyata t
Suara tembakan masih bergema di udara, menciptakan kekacauan yang memaksa Lia untuk terus bergerak. Pria misterius yang menemaninya menarik tangan Lia dengan tegas, membawanya keluar melalui pintu belakang kafe."Ikuti aku, jangan berhenti!" serunya.Lia tidak sempat berpikir, hanya bisa mengikuti langkah pria itu dengan napas yang terengah-engah. Di belakang mereka, suara langkah kaki dan teriakan semakin dekat. Jalan kecil yang mereka masuki gelap dan sempit, dengan bau sampah yang menyengat.“Siapa mereka?!” Lia bertanya di sela napasnya.“Mereka adalah orang-orang Hartono,” jawab pria itu sambil memeriksa sudut jalan. “Dia tidak akan membiarkan siapa pun yang tahu terlalu banyak tetap hidup.”Lia merasakan ketakutan menjalar hingga ke tulang. "Kalau begitu, kenapa kau menemuiku? Kau tahu ini berbahaya!"Pria itu tidak menjawab, hanya menariknya lebih cepat menuju sebuah mobil yang terparkir di ujung jalan.Setelah memastikan tidak ada yang mengikuti, mereka masuk ke dalam mobil. P
Hembusan angin malam menusuk hingga ke tulang, mengiringi langkah Lia yang berat menuju sudut jalan sempit. Napasnya masih terengah-engah, seperti baru saja berlari menghindari sesuatu yang memburu. Di tangannya tergenggam erat sebuah benda kecil berbentuk persegi panjang—benda yang kini menjadi sumber segala keresahannya."Lia!" Suara Dean terdengar, keras dan penuh emosi.Lia menoleh. Di bawah sinar redup lampu jalan, terlihat Dean dan Raka bergegas mendekat. Tatapan Dean mencerminkan kekhawatiran mendalam, sedangkan Raka tampak serius, matanya bergerak tajam ke segala arah seolah mengawasi setiap kemungkinan bahaya."Apa yang sedang kau lakukan di sini sendirian?" tanya Dean dengan nada mendesak, suaranya nyaris pecah.Lia mencoba berkata-kata, tapi yang keluar hanyalah gumaman pelan. Dia terlalu lelah, baik secara fisik maupun emosional.Raka melangkah mendekat, ekspresi wajahnya penuh kehati-hatian. “Apa itu?” tanyanya, menunjuk ke benda di tangan Lia.Lia mengangkat benda itu de
Suara jangkrik terdengar samar di kejauhan, bercampur dengan desiran angin yang menerpa dedaunan. Lia duduk bersandar pada batang pohon besar di taman kecil itu, mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih berdebar kencang. Napasnya berat, seperti habis berlari jauh.Dean duduk di sebelahnya, mengatur napasnya dengan susah payah. Luka di pelipisnya masih terlihat jelas, meskipun ia mencoba menyembunyikan rasa sakitnya. Raka, di sisi lain, bersandar pada bangku taman, tangannya memegangi luka di lengan kirinya yang terus mengeluarkan darah tipis.“Kita tidak bisa terus begini,” kata Dean akhirnya, memecah keheningan. Suaranya rendah, tetapi ada nada putus asa di dalamnya.“Kau pikir aku mau?!” balas Raka, suaranya tajam meskipun tubuhnya terlihat lemah. “Semua ini gara-gara benda itu!”Lia memeluk benda kecil di tangannya lebih erat, seolah itu adalah nyawanya sendiri. Matanya berkaca-kaca, tetapi ia tidak ingin menangis lagi. Sudah terlalu banyak air mata yang ia keluarkan malam i
Malam yang cerah menyelimuti kota, bulan menggantung sempurna di langit, memancarkan sinar lembut yang menembus tirai jendela kamar Lia. Di balkon, Lia berdiri dengan secangkir teh hangat di tangannya, menatap langit penuh bintang. Hatinya terasa lebih tenang setelah melewati minggu-minggu penuh kegelisahan. Keputusan yang ia buat telah menjadi titik balik dalam hidupnya, dan ia tahu ini adalah langkah awal dari perjalanan baru. Ponselnya yang tergeletak di meja berbunyi. Sebuah pesan dari Dean. “Ada waktu buat ngobrol? Aku di depan kosanmu.” Lia tersenyum tipis. Tanpa berpikir panjang, ia meraih jaketnya dan menuruni tangga. Di luar, Dean berdiri bersandar pada motornya. Ia mengenakan jaket kulit hitam yang membuatnya terlihat lebih santai dari biasanya. Ketika melihat Lia muncul, dia tersenyum hangat, menyembunyikan sedikit kegugupan di balik matanya. “Hai,” sapa Dean pelan. “Hai juga,” jawab Lia. “Kenapa nggak
Lia berdiri di depan cermin, tangannya merapikan rambut yang sedikit berantakan. Pikirannya sibuk memutar ulang percakapan terakhirnya dengan Raka beberapa hari lalu. Sesekali, ia menggigit bibir bawahnya, merasa bersalah atas keputusan yang ia buat. Tapi di saat yang sama, ada kelegaan. Dia memandangi pantulan dirinya dengan sorot mata yang penuh pertanyaan. Apakah ini jalan yang benar? Apakah keputusannya memilih Dean adalah langkah terbaik? Hatinya menggelayut di antara rasa percaya diri dan keraguan yang tak henti-henti menghantui. Suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya. “Lia, kita udah telat. Dean nunggu di bawah,” seru Ayu, teman sekamarnya, dengan nada ceria. Lia menarik napas dalam, mencoba menghapus pikiran-pikiran yang membebani. Dia melangkah keluar dengan senyum kecil, meskipun hatinya masih terasa berat. Di kafe kampus, Dean sudah duduk menunggu. Dia sedang sibuk memeriksa laptopnya, tetapi saat
Raka berjalan perlahan meninggalkan taman kampus, langkahnya berat seperti menahan beban tak kasatmata. Suara tawa kecil yang samar terdengar dari arah belakang membuat dadanya terasa sesak, tapi ia tidak menoleh. Angin sore menerpa wajahnya, menyapu rambutnya yang sedikit berantakan.Pikirannya bercampur aduk. Antara menyesali apa yang tidak pernah ia lakukan dan mencoba menerima kenyataan bahwa Lia telah memilih.Sesampainya di parkiran, ia duduk di jok motornya tanpa menyalakan mesin. Wajahnya menghadap ke langit yang semakin gelap, seakan mencari jawaban dari kekosongan yang tiba-tiba menyelimutinya.Dia memejamkan mata, mencoba mengingat senyum Lia, suara lembutnya, dan momen-momen kecil yang dulu terasa berarti. Namun, bayangan itu kini terasa seperti serpihan kaca yang menyakitkan saat disentuh.Suara dering ponsel membuyarkan lamunannya. Raka membuka layar, nama “Arin” tertera di sana.Ia menghela napas sebelum menjawab. “Hal
Langit sore mulai berubah jingga saat Lia berdiri di depan gedung kampus. Angin berembus lembut, menggoyangkan helaian rambutnya yang terurai. Tatapannya menerawang jauh, seakan pikirannya berada di tempat lain.“Lia.”Suara itu memecah lamunannya. Ia menoleh dan menemukan Dean berdiri tak jauh darinya. Senyum tipis terukir di wajah lelaki itu, meski ada sesuatu di matanya—sesuatu yang membuat dada Lia sedikit bergetar.“Aku sudah menunggumu.”Lia menarik napas dalam-dalam. Ia tahu percakapan ini tak bisa dihindari. Setelah semua yang terjadi, setelah kebingungan yang selama ini menghantuinya, mungkin ini saatnya mengambil keputusan.“Kita bicara di taman belakang?” usul Dean.Lia mengangguk. Mereka berjalan berdampingan, namun ada jarak tipis di antara mereka—seperti tembok tak kasatmata yang memisahkan perasaan mereka.Saat mereka tiba di taman, senja sudah hampir tenggelam. Langit berubah menjadi ungu keemasan, m
Senja mulai turun saat Lia duduk di bangku kayu di bawah pohon rindang di taman kampus. Angin sepoi-sepoi mengibaskan ujung rambutnya, namun ia tak peduli. Tatapannya tertuju pada secarik kertas yang ia genggam erat—surat dari Raka.Ia membaca ulang tulisan tangan yang familiar itu, berusaha memahami isi hati Raka yang terukir dalam kata-kata."Lia,Aku tahu hubungan kita telah melalui banyak pasang surut. Aku berterima kasih untuk setiap momen yang pernah kita bagi. Tapi aku sadar, terkadang cinta adalah tentang melepaskan. Aku ingin kamu bahagia, Lia, meskipun itu berarti aku harus mundur. Dean adalah orang yang tepat untukmu, dan aku yakin dia bisa memberikan kebahagiaan yang selama ini kamu cari.Aku akan baik-baik saja. Jangan khawatirkan aku. Kamu selalu ada di hatiku, tapi aku harus melangkah maju.Terima kasih untuk segalanya.-Raka"Hati Lia mencelos membaca baris terakhir itu. Ada rasa haru, bersamaan dengan rasa lega. Ia tah
Langit pagi terasa cerah, dengan sinar matahari lembut menyinari jalanan kampus yang mulai ramai oleh mahasiswa yang berlalu-lalang. Suara tawa dan percakapan ringan menggema di lorong-lorong, menyelimuti suasana kampus yang penuh kehidupan. Lia berjalan pelan menuju kelasnya, dengan tas selempang tergantung di bahu. Namun, di tengah keramaian itu, pikirannya melayang, terjebak dalam euforia percakapannya dengan Dean semalam.Ia tidak bisa berhenti tersenyum. Segala yang terjadi antara dirinya dan Dean terasa seperti mimpi. Setelah sekian lama berada dalam kebingungan tentang perasaan mereka, akhirnya semuanya jelas. Tapi di balik kebahagiaannya, ada perasaan lain yang berusaha ia sembunyikan—rasa bersalah pada Raka.“Lia!” Sebuah suara memanggilnya dari kejauhan.Lia menoleh dan melihat Dean berlari kecil ke arahnya, dengan senyuman khas yang selalu berhasil membuatnya merasa tenang.“Hai,” sapa Lia, berhenti di depan pintu kelas.“
Matahari pagi menyinari halaman kampus yang mulai ramai oleh para mahasiswa. Suara riuh dari para mahasiswa baru yang berlatih drama di aula terdengar sampai ke sudut taman kampus. Lia duduk di bangku kayu dengan sebuah buku terbuka di pangkuannya. Namun, pikirannya tidak sepenuhnya ada di sana.Ia menoleh ke kanan, tempat Dean tengah berbicara dengan beberapa temannya. Sesekali tawa Dean terdengar, dan itu cukup untuk membuat jantung Lia berdegup sedikit lebih cepat. Sejak kompetisi debat kemarin, hubungan mereka semakin terasa berbeda. Ada kehangatan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya, dan ia tahu, perlahan perasaannya terhadap Dean menjadi lebih jelas.“Lia!” Sebuah suara memanggilnya.Lia menoleh dan melihat Raka berjalan ke arahnya, membawa dua gelas kopi di tangan. Ada senyum kecil di wajah Raka, tetapi ia terlihat lebih tenang daripada sebelumnya.“Hai, Raka,” sapa Lia, memberikan ruang di bangku untuknya. “Kopi untukku?”
Hujan gerimis turun membasahi kota di sore itu. Langit tampak kelabu, seperti cerminan suasana hati Raka. Ia duduk di sebuah kedai kopi kecil yang berada di pinggir jalan, memandangi orang-orang yang berlalu lalang dengan payung warna-warni. Secangkir kopi hitam di depannya sudah mulai dingin, tapi ia tidak peduli.Pikirannya melayang pada kejadian pagi tadi. Ia sempat melihat Lia dan Dean berjalan bersama di koridor kampus, dengan senyum yang begitu tulus di wajah mereka. Meski sudah bertekad untuk menerima kenyataan, ada bagian kecil di hatinya yang masih terasa perih."Kenapa masih terasa sulit?" gumamnya pelan, hampir tidak terdengar di tengah suara rintik hujan.Pintu kedai terbuka, mengundang angin dingin masuk ke dalam. Raka mendongak, dan matanya bertemu dengan seorang gadis berambut panjang yang basah kuyup karena hujan. Ia mengenakan mantel kuning cerah, tapi rambutnya yang meneteskan air menunjukkan bahwa payung yang ia bawa tidak banyak me
Langit pagi masih dipenuhi rona oranye ketika Lia melangkahkan kaki ke taman kota. Ia sengaja datang lebih awal, mencari ketenangan sebelum menghadapi hari yang penuh keraguan. Aroma embun pagi bercampur dengan harum bunga mawar yang bermekaran di sekeliling membuatnya sedikit lebih tenang.Di tengah hamparan rumput, Lia duduk di bangku kayu yang menghadap kolam kecil. Ia menggenggam secangkir cokelat hangat yang dibawanya dari rumah, sesekali menyeruputnya perlahan. Pandangannya menerawang, memikirkan dua orang yang selama ini mengisi dunianya."Dean..." gumamnya pelan, suaranya tenggelam di antara kicauan burung.Dean, dengan segala ketulusannya, selalu ada untuknya, bahkan di saat Lia sendiri merasa sulit memahami dirinya. Namun, ada Raka, sahabat yang sudah menjadi bagian dari hidupnya sejak kecil, yang kehadirannya begitu akrab hingga kadang terasa seperti udara—penting, tapi sering kali terlupakan.Lia menarik napas panjang, mencoba men