Sore itu, Lia duduk di meja belajarnya, memandangi amplop cokelat yang baru saja tiba. Tidak ada nama pengirim, hanya alamat rumahnya yang tertulis dengan tinta hitam tebal. Jantungnya berdebar kencang saat dia membuka amplop itu. Di dalamnya, dia menemukan sebuah catatan tangan dengan tulisan yang samar-samar miring. "Berhenti mencari. Kamu tidak tahu apa yang sedang kamu hadapi." Lia menggigit bibirnya, mencoba mencerna makna kata-kata itu. Pesan ini jauh lebih langsung daripada yang dia terima sebelumnya. Pikirannya langsung melayang ke gedung penelitian yang mereka kunjungi beberapa hari lalu. Apakah seseorang tahu mereka sudah ke sana? Dia meraih ponselnya dan menghubungi Dean. “Dean, kamu di mana?” tanyanya, suaranya terdengar tegang. “Aku lagi di kafe dekat rumah. Kenapa?” “Aku perlu ketemu. Ada sesuatu yang harus kamu lihat.”kita Lia bertemu dengan Dean di kafe kecil yang sepi. Dia menyerahkan surat itu kepadanya tanpa berkata-kata. Dean membaca pesan itu dengan eksp
Lia berlari keluar dari kelas begitu bel berbunyi, tasnya tergantung di bahu, penuh dengan buku dan catatan yang sudah tak lagi menarik perhatiannya. Pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban. Surat-surat misterius itu, simbol yang ditemukan di buku tua, dan orang asing di perpustakaan—semuanya berputar di kepalanya seperti pusaran air. Dia tidak bisa menahan dirinya lebih lama lagi. Dia harus melakukan sesuatu, apa pun itu, untuk memecahkan teka-teki ini. Saat dia hampir sampai di gerbang sekolah, Dean menghentikannya. “Lia, tunggu!” Dia menoleh dengan cepat, tapi tatapannya bukan tatapan biasa. Ada ketakutan dan frustrasi di dalamnya. “Kamu kenapa?” tanya Dean dengan napas tersengal. “Aku nggak bisa kayak gini terus,” jawab Lia, suaranya gemetar. “Aku merasa seperti dikepung, Dean. Aku nggak tahu siapa yang bisa aku percaya. Aku bahkan nggak tahu apakah aku bisa percaya sama kamu.” Kata-kata Lia membuat Dean terdiam. Matanya melembut, tapi ada se
Langit pagi memancarkan warna kelabu, mencerminkan suasana hati Lia yang kacau. Setelah pesan ancaman terakhir yang dia terima, pikiran Lia dipenuhi ketakutan. Tetapi ketakutan itu tidak mampu mengalahkan tekadnya untuk terus mencari jawaban. Namun, ada hal lain yang membuat dadanya sesak. Dean. Percakapan terakhir mereka meninggalkan luka yang belum bisa dia sembuhkan. Lia berjalan menuju sekolah, berharap bisa menemui Dean sebelum kelas dimulai. Saat dia melihat Dean berdiri di dekat taman sekolah, sendirian, Lia tahu ini adalah kesempatannya. “Dean,” panggil Lia dengan suara rendah. Dean menoleh, dan matanya yang biasanya lembut tampak keras. “Apa yang kamu mau, Lia?” “Aku mau kita bicara. Aku nggak mau hubungan kita rusak karena semua ini,” kata Lia, mencoba menahan emosinya. Dean tertawa kecil, tapi nadanya dingin. “Hubungan? Lia, aku nggak tahu lagi apa arti hubungan kita. Kamu lebih memilih bekerja sama dengan Raka daripada percaya padaku.” “Itu bukan soal memilih! Aku
Lia mengatur napasnya, menenangkan detak jantungnya yang tak henti-hentinya berlomba. Ruangan bawah tanah yang dingin dan lembap itu terasa semakin menghimpit. Di sebelahnya, Raka berdiri dengan ekspresi tak terbaca. Ia memegang senter kecil, sinarnya menari di dinding bata yang penuh dengan lumut. “Kita harus segera keluar dari sini,” kata Raka, nadanya mendesak tetapi tetap lembut. Lia mengangguk, meski pikirannya masih berkecamuk. Percakapan terakhir mereka berputar-putar di kepalanya. Apakah benar Raka ada di pihaknya? Atau semua ini hanya permainan? Namun, sebelum mereka bisa melangkah lebih jauh, sebuah suara berat memecah keheningan. “Kalian kira bisa kabur begitu saja?” Lia dan Raka menoleh bersamaan. Di pintu tangga, pria yang tadi mereka hadapi berdiri dengan dua orang lainnya. Mereka membawa lampu sorot yang menyilaukan dan ekspresi dingin yang tak memberikan ruang untuk negosiasi. “Kita sudah selesai di sini,” kata pria itu, matanya menyipit ke arah Lia. “Serahkan a
Cahaya senja yang memudar melukis langit dengan warna jingga dan ungu. Lia berdiri di balkon kecil apartemennya, memandangi kota yang perlahan tenggelam dalam kegelapan. Angin malam menyapu wajahnya, membawa serta rasa dingin yang menelusup hingga ke hatinya. Dia memejamkan mata, mencoba mengatur napasnya. Namun, pikirannya terus-menerus dihantui oleh percakapan terakhir di dalam mobil bersama Dean dan Raka. Ketegangan di antara mereka seperti bara yang siap meledak kapan saja. “Lia, kau baik-baik saja?” Suara Dean mengejutkan Lia. Dia menoleh dan mendapati Dean berdiri di ambang pintu balkon, ekspresinya penuh kekhawatiran. Lia tidak menjawab, hanya memberikan isyarat kecil dengan bahu yang terangkat. “Aku tahu ini semua berat,” lanjut Dean, suaranya lebih pelan. “Tapi kau harus percaya bahwa aku ada di pihakmu.” Lia menatap Dean dengan sorot mata yang sulit ditebak. “Masalahnya bukan aku percaya atau tidak. Masalahnya adalah aku tidak tahu siapa yang benar-benar bisa kua
Pagi itu, Lia memutuskan untuk tidak larut dalam ketakutan. Dia harus mulai mengambil kendali atas situasi ini. Dia mengenakan jaket tebalnya, mengikat rambutnya, dan keluar dari apartemen dengan tekad yang bulat. Langkah kakinya membawanya ke perpustakaan kampus. Tempat itu sepi, hanya ada suara lembut kipas angin dan beberapa mahasiswa yang sibuk di meja mereka. Lia memilih sudut tersembunyi di belakang rak buku, membuka laptopnya, dan mulai menelusuri petunjuk. Dia mengingat kata-kata Raka tentang kemungkinan ancaman dari masa lalu. Meskipun tidak banyak yang dia tahu tentang masa lalu Raka atau Dean, dia memutuskan untuk memulai dengan apa yang ada di hadapannya. “Lia?” Sebuah suara mengejutkannya. Lia mengangkat kepala dan mendapati Dean berdiri di dekat rak. Wajahnya tampak khawatir. “Apa yang kau lakukan di sini sendirian?” tanyanya sambil menarik kursi dan duduk di hadapan Lia. “Aku sedang mencari sesuatu,” jawab Lia singkat, menutup layar laptopnya. Dean mengernyit. “
Angin dingin menyapu halaman kampus yang gelap. Lia berdiri di bawah bayangan pohon besar, matanya menatap jam tangannya yang berkilau di bawah cahaya bulan. Dia menunggu Raka. Dalam pesan singkat tadi sore, Raka mengatakan bahwa dia memiliki sesuatu yang sangat penting untuk dibicarakan. Tak lama kemudian, langkah kaki yang berat terdengar dari arah taman. Lia menoleh dan melihat Raka mendekat, wajahnya terlihat muram. "Maaf membuatmu menunggu," kata Raka, suaranya rendah. Lia mengangguk pelan. "Apa ini tentang rencana tadi?" Raka mengeluarkan sebuah amplop dari jaketnya dan menyerahkannya kepada Lia. "Ini semua informasi yang aku punya. Tentang mereka." Lia membuka amplop itu dengan hati-hati. Di dalamnya, terdapat beberapa foto dan dokumen. Salah satu foto itu menunjukkan pria yang pernah disebut Edi sebelumnya. Wajahnya tajam dan penuh karisma, tetapi ada sesuatu yang membuatnya terlihat berbahaya. "Siapa dia sebenarnya?" tanya Lia, suaranya bergetar. "Dia orang ya
Malam itu, di apartemennya yang sunyi, Lia duduk terpaku di depan meja kecil. Foto lama keluarganya yang terjatuh dari amplop itu kini berada di genggamannya. Dia memandang wajah-wajah di foto itu—ibunya yang tersenyum lembut, ayahnya dengan tatapan penuh percaya diri, dan dirinya sendiri yang masih kecil dengan senyum polos. Namun, perhatian Lia terfokus pada pria lain yang berdiri di belakang keluarganya, mengenakan jas hitam dan dasi merah. Dia tampak seperti bagian dari foto itu, tetapi wajahnya asing bagi Lia. “Siapa kau?” gumam Lia, jantungnya berdebar cepat. Pesan singkat yang menyertai foto itu—“Ini belum berakhir.”—terus terngiang-ngiang di kepalanya. Keesokan paginya, Lia membawa foto itu ke rumah ibunya. Dia butuh jawaban, meskipun instingnya mengatakan bahwa jawaban itu mungkin lebih rumit daripada yang dia bayangkan. Ibunya membuka pintu dengan senyum yang biasa, tetapi senyum itu pudar begitu dia melihat ekspresi wajah Lia. “Lia, ada apa? Kau kelihatan lelah,” tan
Hujan turun deras malam itu, menambah keheningan yang menyelimuti kamar Lia. Ia duduk di dekat jendela, memeluk lututnya sambil memandangi tetesan air yang membasahi kaca. Bayangan Raka masih terngiang di kepalanya, begitu pula kata-kata terakhir yang ia ucapkan.“Aku ingin kamu bahagia, Lia.”Namun, bahagia seperti apa yang sebenarnya ia inginkan? Apakah ia benar-benar tidak bisa bahagia tanpa Raka?Pikirannya berkecamuk. Ia merasa seperti tersesat di persimpangan jalan. Tapi di tengah kebingungannya, ada satu nama lain yang terus menyelinap masuk ke dalam hatinya: Dean.Dean, dengan senyumannya yang selalu memberi rasa hangat. Dean, yang meski tidak pernah ia duga, selalu berada di saat ia membutuhkan seseorang.Keesokan harinya, Lia memutuskan untuk pergi ke perpustakaan kampus. Ia membutuhkan ketenangan, atau setidaknya tempat di mana ia bisa mengalihkan pikirannya dari semua kekacauan ini.Langkahnya terhenti ketik
Langit kampus dipenuhi awan kelabu, mencerminkan suasana hati Lia yang tak menentu. Langkahnya terasa berat ketika ia memasuki taman di depan gedung utama, tempat Raka biasa menunggu. Namun hari ini berbeda. Tidak ada Raka yang tersenyum hangat menyapanya. Yang ada hanya bangku kosong dan udara dingin menusuk.Lia merapatkan jaketnya, matanya menyapu sekitar, berharap ia hanya terlambat beberapa menit. Namun, semakin lama ia berdiri di sana, semakin nyata kenyataan bahwa Raka tidak datang.“Lia.”Suara itu membuatnya menoleh. Dean berdiri tak jauh darinya, mengenakan hoodie abu-abu dan jeans. Rambutnya berantakan seperti baru berlari, dan ada senyuman kecil yang menggantung di bibirnya.“Aku kira kamu nggak ke sini,” katanya sambil melangkah mendekat.Lia menatapnya dengan ekspresi campur aduk. “Aku nunggu Raka.”Dean mengangguk pelan, meski ada sesuatu di matanya yang sulit diterjemahkan. “Raka nggak bilang apa-apa ke kamu?
Bab 68Malam itu, hujan turun dengan deras, menciptakan irama alami yang menenangkan. Lia duduk di dekat jendela kamarnya, menatap tetesan air yang berlomba-lomba menuruni kaca. Pikirannya melayang, mencoba mencerna peristiwa yang baru saja terjadi.Pertemuan dengan Raka di kafe sore tadi masih terngiang jelas di benaknya. Tatapan mata Raka yang penuh harap, kata-kata yang terucap dengan hati-hati, dan keheningan yang sesekali menyelimuti percakapan mereka."Lia, aku tahu ini sulit untukmu," kata Raka sambil menatap langsung ke matanya. "Tapi aku ingin kamu tahu, perasaanku padamu tulus. Aku siap menunggumu sampai kamu benar-benar yakin."Lia hanya bisa tersenyum tipis saat itu, tanpa mampu memberikan jawaban pasti. Hatinya masih bimbang antara perasaannya pada Raka dan Dean.Keesokan harinya, Lia memutuskan untuk berjalan-jalan di taman kota, berharap udara segar bisa membantunya berpikir lebih jernih. Langit cerah dengan awan putih berarak, angin sepoi-sepoi meniup lembut rambutnya.
Malam itu, angin berhembus lembut, membawa aroma khas hujan yang baru saja reda. Lia duduk di teras rumahnya, menatap langit yang mulai cerah, dengan bintang-bintang yang bermunculan satu per satu. Pikirannya melayang, merenungkan pertemuannya dengan Raka dan Dean beberapa hari lalu.Ia telah menyampaikan keputusannya untuk tidak memilih salah satu dari mereka saat ini, dan meminta waktu untuk memahami perasaannya sendiri. Keduanya menerima keputusan itu dengan lapang dada, meskipun Lia bisa melihat kekecewaan di mata mereka.Sejak saat itu, Lia merasa ada jarak yang tercipta antara dirinya dengan Raka dan Dean. Mereka masih berkomunikasi, namun tidak seintens dulu. Lia memahami bahwa mereka memberi ruang baginya untuk berpikir, namun ia tak bisa menghindari rasa kesepian yang mulai menyelimuti hatinya.Suatu hari, saat berjalan-jalan di taman kota, Lia melihat seorang gadis kecil yang sedang bermain dengan anjing peliharaannya. Tawa riang gadis itu mengingatkannya pada masa kecilnya
Langit mendung menggantung di atas kampus, memberikan suasana muram yang terasa selaras dengan perasaan Lia. Ia berjalan di koridor panjang menuju perpustakaan, mencoba mengalihkan pikirannya. Setiap langkah terasa berat, seolah-olah beban keputusan yang ia hadapi menekan pundaknya.Pintu perpustakaan berderit saat ia membukanya. Di dalam, aroma buku tua langsung menyergap indra penciumannya. Tempat ini biasanya menjadi pelariannya, namun hari ini, ketenangan perpustakaan terasa terlalu sunyi.Lia melangkah menuju rak bagian belakang, tempat paling sepi yang biasa ia pilih untuk menyendiri. Namun, langkahnya terhenti ketika ia melihat seorang pria yang sangat dikenalnya duduk di sudut ruangan, sibuk dengan laptopnya.Dean.Pria itu tampak tenggelam dalam pekerjaannya, wajahnya serius, jemarinya bergerak lincah di atas keyboard. Lia ragu sejenak, namun akhirnya mendekat. Ketukan kecil pada meja membuat Dean menoleh.“Oh, Lia,” ucapnya
Lia duduk di kursi taman kampus, membiarkan angin pagi yang dingin menggoda rambutnya. Langit mendung di atasnya seperti mencerminkan pikirannya yang kacau. Beberapa mahasiswa berlalu-lalang, namun ia tidak memperhatikan mereka. Matanya tertuju pada buku catatan yang terbuka di pangkuannya, tetapi pikirannya jauh dari tulisan-tulisan yang memenuhi halaman itu.Dean menghampiri dari kejauhan, wajahnya terlihat serius. Tanpa banyak bicara, ia duduk di samping Lia. Aroma khas parfumnya menyapa hidung Lia, membuatnya sedikit tegang.“Lia,” Dean memulai, suaranya pelan namun tegas. “Kamu baik-baik saja?”Lia menoleh, mencoba menutupi emosi yang meluap dalam hatinya. “Aku baik,” jawabnya singkat, meski nada suaranya terdengar getir.Dean menarik napas panjang. Ia tahu Lia sedang berusaha keras menyembunyikan sesuatu. Selama ini, Lia selalu seperti itu—mencoba terlihat kuat meskipun hatinya sedang bergolak.“Kita nggak bisa terus kayak gini
Hari itu, Lia merasa ada yang aneh. Seperti ada sesuatu yang menggantung di udara, sesuatu yang sedang menunggu untuk diungkapkan. Perasaan itu muncul begitu ia berjalan melewati ruang kelas, ketika ia melihat sebuah pesan di ponselnya.Pesan dari Raka."Bisakah kita bicara setelah sekolah?"Itu saja. Tidak ada penjelasan lebih lanjut. Tetapi cukup untuk membuat hati Lia berdegup lebih kencang. Seperti ada beban yang tertahan di dalam dirinya yang akhirnya harus dilepaskan.Setelah jam sekolah selesai, Lia berjalan dengan langkah perlahan menuju tempat yang telah mereka sepakati. Sebuah taman kecil di sudut sekolah yang biasanya jarang didatangi orang. Raka sudah menunggu di sana, tampak lebih serius daripada biasanya."Raka," sapa Lia pelan, mendekat.Raka menoleh, dan matanya langsung menangkap perhatian Lia. Ada sesuatu yang berbeda di mata laki-laki itu hari ini. Bukan hanya kecemasan, tapi juga keteguhan."Kita perlu bicara," kata Raka, suaranya lebih berat dari biasanya. “Tentan
Langit pagi masih dihiasi sisa-sisa warna fajar ketika Lia tiba di perpustakaan sekolah. Sepi. Hanya suara halus AC yang memenuhi ruangan. Ia menghela napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan pikiran. Hari ini ia memutuskan untuk menghindari Dean dan Raka. Hanya untuk satu hari.Tapi rencananya buyar begitu ia membuka pintu ruang baca.“Lia?”Suara itu familiar. Raka.Ia berdiri di pojok, dikelilingi tumpukan buku yang berantakan. Kemeja putihnya sedikit kusut, tapi wajahnya tetap tenang, meski ada kantong mata kecil yang tak bisa ia sembunyikan.“Oh, hai,” jawab Lia gugup, merasa kehadirannya seperti gangguan.Raka tersenyum kecil, lalu melangkah mendekat. “Aku nggak tahu kamu suka datang pagi-pagi ke sini.”Lia mengangkat bahu. “Aku cuma… butuh tempat tenang.”“Kebetulan,” kata Raka sambil menunjuk tumpukan buku. “Aku lagi cari bahan untuk tugas sejarah. Tapi kayaknya lebih banyak bingungnya daripada dapet jawabannya.”Lia terkekeh kecil, meski rasa canggung masih terasa. “Sejarah? K
Langit mendung menyelimuti suasana kampus. Lia berjalan melewati lorong panjang dengan buku-buku di pelukannya, sementara pikirannya berputar tanpa arah. Setiap langkah terasa berat, seperti menggiring beban yang tak kasatmata.Di depan perpustakaan, Dean berdiri bersandar pada dinding, menatap ke arah pintu masuk dengan raut wajah serius. Begitu melihat Lia mendekat, dia segera meluruskan tubuhnya. Ada sesuatu dalam tatapan Dean yang membuat Lia merasa perutnya melilit.“Lia,” panggilnya, suaranya rendah namun tegas.Lia berhenti, menarik napas dalam sebelum menjawab. “Ada apa, Dean?”Dia mendekat. Jarak mereka hanya beberapa langkah, tapi suasana di antara mereka terasa seperti samudra luas. Dean menatap Lia dengan mata yang penuh emosi, campuran antara harapan dan kecemasan.“Kita harus bicara,” katanya akhirnya.Lia mengangguk perlahan, tanpa kata, lalu mengikuti langkah Dean menuju bangku di bawah pohon besar di taman kampus. Tempat itu sepi, hanya suara angin yang menyelinap di