"Mengandung? Yang benar saja Dokter? Selama ini Mary Aram tidak menunjukkan tanda-tanda sedang mengandung?"Boa Moza sangat terperanjat mendengar berita yang tidak terduga, kepalanya berdenyut pusing seketika."Ya, Tuan Boa Moza. Usia kandungan nyonya muda sudah menginjak enam bulan.""Bagaimana mungkin tiba-tiba ada janin usia enam bulan di dalam perut Mary Aram? Bentuk tubuhnya juga tidak berubah? Hanya saja nafsu makan memang besar.""Tidak semua wanita mengandung menunjukkan tanda-tanda mengandung. Nyonya muda, wanita yang tangguh, jadi wajar saja tidak menyadari jika sedang mengandung.""Serahkan surat ini kepada pihak kepolisian," Dokter mengulurkan sepucuk surat."Pelanggaran nyonya muda hanya pelanggaran ringan. Mengingat sedang hamil, nyonya muda bisa mendapatkan dispensasi tidak perlu menjalani hukuman kurungan. Cukup dikenakan wajib lapor saja.""Oh terimakasih dokter," Boa Moza menarik napas lega mendapatkan surat pengantar kesehatan.Tidak terbayang, betapa menderitanya
"Ada apa Mary Aram? Mengapa kau gelisah?" Boa Moza memijat telapak tangan Mary Aram."Entahlah Paman, hatiku merasa tidak nyaman. Sekujur tubuhku terasa merinding.""Kau akan baik-baik saja Mary Aram. Lihat! Kakak besarmu datang menjemput, ia mencemaskan dirimu.""Kakak besar? Paman bagaimana aku harus menjelaskan pada kakak besar, bahwa aku tidak bisa menggenapinya janjiku? Dan aku juga sangat malu telah melakukan hal terlarang bersamanya.""Katakan saja apa yang ada di dalam hatimu, tentu kakak besarmu mau mengerti."Mary Aram menarik napas panjang, tubuhnya tiba-tiba menjadi dingin dan kaku."Mary Aram! Mary Aram! Bangun!" Boa Moza menepuk pipi Mary Aram."Paman, aku sangat takut. Sesuatu yang gelap datang menekanku, aku merasa sesak dan pilu," di sela-sela sesak napasnya, Mary Aram berusaha untuk menekan rasa takutnya."Tuan Boa Moza, bisakah anda memangku tuan kecil? Aku hendak mengurus nona," perawat meletakkan Hegan Boa ke pangkuan Boa Moza."Oh iya!" Boa Moza mendekap Hegan Bo
Kegelapan itu terasa begitu berat menghimpit, menciptakan kengerian yang sangat. Sayup-sayup terdengar suara tiupan terompet, makin lama Makin jelas.'Suara terompet? Perayaan bulan purnama?'Suara terompet itu kembali terdengar, disertai tambur ditabuh bersahut-sahutan. Dan alat musik tradisional juga terdengar mengiringi suara tambur dan terompet.'Apakah ini di Muara Mua? Mengapa begitu sangat mencekam? Apakah yang sebenarnya terjadi?'"Ah! Siapa kau? Lepaskan tanganku!"Tangan itu begitu kuat menggenggam, serta menarik tangan Mary Aram keluar dari sebuah pondok menuju ke tempat yang lebih gelap."Aku mohon, lepaskan aku!"Sosok itu begitu kekar dan tinggi, langkahnya lebar menyeret Mary Aram menuju ke arah sungai besar.Meski sesekali jatuh tersungkur, sosok itu terus menyeret Mary Aran hingga ke pinggir sungai."Naik ke perahu! Dan jangan membantah!" Suara membentak disertai dorongan membuat tubuh Mary Aram terjungkal ke dalam sebuah perahu."Siapa kau? Kau sangat kasar," perasaa
"Joseph Boa, bantu Kakak menjaga Mary Aram. Kakakmu Emily Bong Moja kondisinya sedang tidak baik, bisa jadi ini adalah hari-hari terakhirnya. Kakak tidak ingin hari-hari terakhirnya itu terlewat begitu saja."Raut wajah dokter Felix Aram penuh kesedihan, sebab istri yang begitu dicintainya sedang di ujung hari terakhir.Dokter itu mengecup bayinya, penuh kasih yang mendalam, "Nak menurutlah pada paman, ayah harus menemani hari-hari terakhir ibu.""Baik Kakak. Namun bagaimana jika Mary Aram lapar atau mandi?" Boa Moza segera merapikan tugas-tugas sekolahnya."Ibu yang akan memandikan dan menyiapkan susu, kau hanya menjaganya saja.""Kakak jangan cemas, aku akan mengasuh Mary Aram dengan baik. Ibu sudah sibuk mengurus toko obat, akan lelah jika harus mengasuh Mary Aram.""Anak hebat, Mary Aram pasti bangga memiliki paman yang hebat."Tuan besar Felix Aram meletakkan Mary Aram kecil di pembaringan Boa Moza yang luas. Pembaringan Boa Moza berupa kasur lebar berisi kapuk atau bunga pohon Ra
"Kakak pertama, bisakah kakak membawa ibu ke St John? Aku akan segera menikahi Mary Aram, kakak kedua sedang mencarikan hari baik untuk pernikahan."["Mengapa tidak kau dan Mary Aram saja yang pulang ke Muara Mua?" Terdengar suara tuan besar Ferdinand Aram. "Bukankah lebih baik mengadakan perayaan pernikahan di Muara Mua?"]Tuan Besar Ferdinand Aram adalah kepala keluarga besar Boa Moza Aram, yang merupakan kakak kandung tuan besar Felix Aram."Kondisi mental Mary Aram, tidak memungkinkan ia melakukan perjalanan jauh. Terlebih lagi, ia sedang mengandung."["Ibu sudah tua, akan melelahkan bila menempuh perjalanan jauh."]"Bukankah naik pesawat dari kota Fontana, akan lebih cepat sampai ke St John? Muara Mua ke Fontana hanya 30 menit perjalanan mobil."["Baiklah, kakak akan meminta ibu untuk membawa pakaian pengantin serta ramuan herbal. Ada jadwal penerbangan menuju St John malam ini, kami akan tiba menjelang pagi."]"Mary Aram sudah memiliki pakaian pengantin, aku sudah membelinya di k
Semilir angin dingin di atas menara utara, serta pemandangan Kota St John di waktu malam seharusnya dapat membuat hati sedikit nyaman. Namun tidak demikian bagi Mary Aram. Justru suasana hatinya semakin sendu.Lagu penyejuk jiwa mengalun, menandakan pergantian tugas para petugas kesehatan dan karyawan rumah sakit.Entah mengapa? Belakangan ini dirinya tidak nyaman dengan datangnya petang. Sesuatu yang menyakitkan serta kesedihan mendalam, selalu merayap di hati menciptakan kepahitan.Dahulu ia suka bermanja-manja dengan ayah atau pamannya ketika matahari menjelang terbenam. Kehangatan cinta kasih ayah dan paman selalu berlimpah ketika menjelang petang.Namun hari-hari belakangan ini, terbenamnya matahari terasa sangat memilukan, dingin, sepi, dan menakutkan. "Tuhan, jika kau izinkan cawan kepahitan ini berlalu daripadaku," kesesakan hati itu begitu mencengkram hingga menekan ke jantung."Aku tidak sanggup meminumnya. Perasaanku begitu sesak, ketakutan besar selalu membayangiku.""Anda
"Anakku!" Jantung Amar Mea Malawi melonjak. Jiwanya seakan memberontak meninggalkan raganya, ketika melihat darah mengalir membasahi kaki Mary Aram.Tanpa berpikir panjang Amar Mea Malawi, mengangkat tubuh Mary Aram dan membawanya turun menuju Emergency Room.'Astaga! Seharusnya aku tidak datang kemari,' Amar Mea Malawi benar-benar dilanda ketakutan. Ia takut jika anak yang di dalam kandungan Mary Aram gugur.'Benar-benar bodoh kau, Amar Mea Malawi!' pria itu mempercepat langkahnya. "Turunkan aku!" Desis Mary Aram. Meski lemah tanpa kekuatan, tangannya yang dingin mencengkram lengan Amar Mea Malawi."Diam!" Hardik Amar Mea Malawi. "Baik! Kita bercerai! Asalkan nyawa anakku selamat!""Anak? Anak siapa? Aku tidak menginginkan anak darimu!" Dengan mata penuh kebencian Mary Aram berusaha melawan rasa takutnya, menatap Amar Mea Malawi."Diam kataku!" Emosi Amar Mea Malawi hendak meledak mendengarnya, namun ia berusaha menekannya demi keselamatan anaknya."Siapapun! Tolong aku!" Pria itu te
"Mary Aram, aku tidak tahu bagaimana harus menjalani kehidupanku di kemudian hari? Tidak semudah itu melepas dan melupakanmu.""Apakah tidak ada sedikitpun cinta untukku? Begitu besarkah, rasa bencimu kepadaku?""Apakah tidak ada kesempatan untukku memperbaiki keadaan?" Amar Mea Malawi benar-benar patah hati. Andai dirinya bisa mengendalikan rasa cemburunya, mungkin rumah tangganya berjalan dengan tentram. "Tuan Muda, tuan Sahu Mea Malawi ayah anda, melarang anda menahkodai kapal. Sebaiknya beristirahatlah, perjalanan ke St Martin masih panjang," nahkoda kapal hendak menggantikan kemudi. "Tidak masalah, jangan cemaskan aku," Amar Mea Malawi bersikeras mengemudikan kapal. "Setiba di daratan, aku akan beristirahat di hotel."Kapal berlayar melintasi samudra Hindia menuju ke pulau Timur. Untuk sampai ke kota St Martin, harus menempuh 8 jam perjalanan laut dan 12 jam perjalanan darat. Pukul dua siang, tampak pelabuhan besar kota Partiz, ujung barat dari pulau Timur. Pelabuhan megah itu