Amar Mea Malawi sangat gusar, ia tidak ingin kehilangan kendali menghajar pelayannya. Dengan kesal ia segera menuju sungai, mengikuti anjuran nona Patrice. Amar Mea tahu sifat setia pelayannya itu, jadi Amar Mea Malawi tidak mempermasalahkannya.Dari arah sungai terdengar suara bambu dipukul bertalu-talu. Tukang kebun menemukan alas kaki serta mantel Mary Aram tersangkut akar pohon di pinggir sungai.Amar Mea Malawi berlari turun ke sungai. Di dalam sungai sudah ada paman Sanif yang sedang menyusuri sungai dengan perahu. Tukang kebun menyerahkan temuannya kepada Amar Mea Malawi."Mary Aram, kau benar-benar kabur dariku?" Amar Mea Malawi mengecup mantel wangi istrinya. Dan alas kaki yang berlumuran darah membuat Amar Mea diam-diam menangis penuh penyesalan.Di klinik apung dokter Mizeaz, Mary Aram merenung dengan keadaan yang menimpa dirinya. Sebelum datang ke St Martin, hidupnya sangat bahagia. Ayahnya selalu tersenyum dan lembut penuh kasih padanya.Abee Bong Moja adalah teman semasa
"Nona Merlyn, tolong siapkan obat sesuai daftar ini," dokter Mizeaz menyodorkan daftar kebutuhan obat kepada apoteker rumah sakit."Baik, dokter Mizeaz. Nanti perawat akan membawa obat pesanan anda ke ruang praktek anda," apoteker rumah sakit tersenyum ramah."Baiklah! Terima kasih banyak!" Dokter Mizeaz membayar obat pesanannya di kasir, kemudian segera kembali ke ruang prakteknya."Dokter Mizeaz membayar pesanan obat?" Miena Aram ingin tahu isi daftar obat pesanan dokter Adam Mizeaz, "Pembalut wanita? Salep organ sensitif? Salep luka, antibiotik, vitamin, obat sesak napas.""Dokter Mizeaz menjalankan misi sosial, dengan membuka praktek pengobatan untuk masyarakat Mua Mua di sungai induk," apoteker sedikit kesal dengan rasa ingin tahu Meina Aram. Dokter perempuan itu selalu ikut campur dengan urusan dokter Mizeaz, bahkan memusuhi rekan kerja wanita dokter Mizeaz."Mengapa ada pembalut wanita serta salep organ intim wanita?" Meina Aram sangat penasaran dan diliputi rasa tidak senang.
"Istrimu wanita Mua Mua, kau tidak memperlakukan istrimu dengan baik. Kau tidak bisa membawa istrimu kembali ke rumahmu!" Ketegasan tetua adat tidak bisa di bantah."Jika kau hendak membawa istrimu pulang, kau harus menyerahkan seluruh mas kawin serta bekal pernikahan dari orang tua kepada perbendaharaan adat sebagai jaminan!" Tetua adat menatap mata Amar Mea Malawi dengan penuh kewibawaan."Sebab istrimu harus memiliki jaminan untuk melangsungkan hidupnya dengan layak!" Tetua adat mendekati Mary Aram. "Turunkan anak perempuan kami! Jangan kembali kemari sebelum kau membawa jaminan kemari.""Baik! Aku akan kembali membawa jaminan," Amar Mea Malawi meletakkan kembali Mary Aram ke atas kursi malas, pria itu segera meninggalkan pondok apung.Menjelang malam Amar Mea Malawi datang bersama Sahu Mea Malawi dan seorang pengacara untuk membayar jaminan serta menandatangani surat perjanjian di hadapan tetua adat dan para tua tua adat suku Mua Mua, untuk membawa pulang Mary Aram.Jaminan itu ber
"Minggir kau pelayan murahan! Sama seperti majikanmu yang murahan itu!" Miriam Aram menampar wajah Nona Patrice.Sejenak mata nona Patrice berkunang-kunang. Menyadari Miriam Aram mendorong pintu kaca kamar majikannya, pelayan setia itu segera berlari naik dan menarik blouse Miriam Aram lalu balas menghajar wajah wanita itu."Bagus Patrice! Kau anak perempuanku yang hebat, Sanif ayahmu pasti bangga kepadamu," terdengar suara tuan besar Sahu Mea Malawi memberi semangat Tuan besar itu duduk dengan berwibawa di samping tempat tidur Mary Aram. "Hajar perempuan tidak beretika ini sampai jera!"Dalam urusan beladiri, nona Patrice didikan langsung dari tuan besar Mea Malawi. Tentu saja dengan mudah membanting Miriam Aram ke lantai."Kau ingin menjadi nyonya muda Mea Malawi? Jangan harap!" Sahu Mea Malawi menunjuk hidung Miriam Aram dengan ujung tongkatnya."Tingkahmu itu tidak sopan berkeliaran di rumah orang lain sambil berteriak-teriak, apa lagi memaki nyonya rumah!" tegur tuan besar Sahu
Sejak hadirnya Mary Aram di kediaman Mea Malawi, sudah menjadi kebiasaan di pagi hari para karyawan berkumpul membicarakan tugas harian.Nyonya muda cantik itu berdiskusi dengan bibi Dolores sang juru masak mengatur menu makanan hari itu. Mary Aram tidak membedakan makanan majikan dengan makanan para pelayan. Menu yang dimakan majikan itu, menu itu juga yang dimakan para pelayan.Mary Aram juga menambahkan susu serta madu untuk kesehatan anak-anak para pelayan.Apa yang dilakukan Mary Aram sangat mengesankan para pelayan. Prinsip Mary Aram adalah menghargai orang lain terlebih dahulu, maka dengan sendirinya orang lain akan menghargai diri kita.Setelah mengurus pembagian tugas pagi itu, Mary Aram kembali ke meja makan menanti suami dan ayah mertuanya turun sarapan pagi.Melihat suaminya turun untuk sarapan pagi, Mary Aram berusaha untuk tersenyum walaupun canggung. Ia menuangkan teh hangat pada gelas suaminya, dan menyiapkan sarapan pagi di atas piring."Selamat pagi, kau cerah dan ca
"Untuk apa gaun? Itu merupakan pemborosan," tegur Mary Aram mengingatkan, "Dengan harga satu gaun, kau dapat membeli satu lusin celana jeans, dan lima lusin kemeja di pasar induk. Dapat aku gunakan berhanti-ganti untuk kuliah ""Pasar induk?" Amar Mea Malawi tertegun menatap istrinya, "Kau seorang Nyonya Muda Mea Malawi, kau harus mengenakan pakaian berkualitas."Tanpa berpikir panjang, Amar Mea Malawi meraih beberapa blouse dan celana panjang sesuai kebutuhan istrinya untuk kuliah, juga lima gaun sutra agar penampilan istrinya bertambah anggun."Amar Mea, kau tidak boleh boros! Kita masih membutuhkan banyak uang untuk keperluan anak kita kelak," Mary Aram mengingatkan suaminya yang sedang memilih pakaian tidur wanita."Untuk pakaian tidur cukup kaos dan celana pendek saja! Memakai kaos dan celana pendek milikmu juga tidak masalah," Mary Aram mengembalikan pakaian tidur yang modelnya aneh-aneh menurutnya."Ah! Selera pria, memang mengerikan!" Keluh Mary Aram sangat malu."Anak? Kau me
Andai perseteruan itu terjadi di Muara Mua, sudah pasti Mary Aram pemenangnya. Dengan mudah Mary Aram akan berbalik menghajar Miriam Aram dan Meina Aram. Namun mendapati suaminya telah melakukan tindakan tegas, maka Mary Aram tidak menanggapi intimidasi kakak-kakak sepupunya itu.Tanpa menoleh, Mary Aram masuk ke dalam mobil. Wanita cantik itu sedikit lega memiliki cara mengendalikan Aram bersaudara."Apakah kau baik-baik saja?" Amar Mea Malawi menjalankan mobilnya keluar dari pelataran parkir.Mary Aram tidak menanggapi pertanyaan Amar Mea Malawi. Hal itu membuat Amar Mea Malawi serba salah."Kau marah karena aku memberikan uang bulanan untuk mereka?" Amar Mea meremas jemari tangan Mary Aram."Tuan Ferdinand Aram ayah mereka telah banyak membantuku dalam membangun usaha. Tanpa tuan Ferdinand Aram, aku tidak akan berjaya seperti sekarang ini. Jadi sudah sepantasnya aku membantu keluarga mereka ketika tuan Ferdinand Aram mengalami kebangkrutan," Amar Mea Malawi menghentikan mobilnya di
"Oh ya, uang yang aku kirimkan untuk kebutuhan Meina Aram juga. Jumlah yang aku kirim harus cukup untuk satu bulan, karena keluarga Mea Malawi bukan panti asuhan. Jadi berhematlah," Mary Aram beranjak meninggalkan ruang kantor suaminya."Amar Mea Malawi! Istrimu sangat keterlaluan!" Protes Miriam Aram gusar.Amar Mea Malawi tertawa terbahak, "Semakin kau membuat ulah, semakin pula istriku akan jahil memotong uang bulanan kalian."Amar Mea Malawi tahu jika uang jatah bulanan untuk Aram bersaudara, oleh Mary Aram sebagian dikirimkan kepada tuan besar Ferdinand Aram untuk mengembangkan usaha.Amar Mea Malawi kagum dengan cara jitu istrinya dalam membalas budi pada tuan besar Ferdinand Aram.Tidak membutuhkan waktu lama, telepon Amar Mea langsung berdering. Di seberang sana Meina Aram menangis-nangis mencemaskan kebutuhan hidupnya selama satu bulan.Hidup berdamai dengan keadaan memang membuat hidup lebih baik, pikiran menjadi lebih tenang untuk merencanakan hari esok. Mary Aram berjalan