Raditya duduk di ruangannya, jari-jarinya mengetuk meja tanpa henti. Pikirannya tak bisa lepas dari tatapan Alya pagi tadi. Ada sesuatu yang berbeda. Seakan ada pertanyaan yang mengendap dalam sorot matanya. Apa dia telah melakukan kesalahan? Atau ada sesuatu yang mengganggu Alya? Hari ini ia bekerja setengah hati, pikirannya benar-benar terpecah.
Saat jam istirahat tiba, Raditya mengambil ponselnya dan memesan makan siang untuk dua orang. Ia memutuskan untuk menemui Alya di ruangannya. Beberapa menit kemudian, dengan dua kotak makanan di tangannya, ia berjalan menuju ruang IT tempat Alya bekerja.
Saat pintu diketuk dan terbuka, Alya yang tengah menatap layar laptopnya langsung mendongak. Matanya membulat melihat Raditya berdiri di sana dengan makanan di tangannya.
"Kamu sengaja membawakanku makan siang?" tanyanya, suaranya sedikit ragu.
Raditya mengangguk. "Aku tahu kamu sering lupa makan kalau sudah sibuk dengan pekerjaanmu. Jadi, aku pikir kita bisa ma
Raditya segera berdiri dan berjalan cepat menuju pintu. Alya mengikuti di belakangnya dengan perasaan tak menentu. Begitu pintu terbuka, Aldo berdiri di sana dengan wajah tegang, sebuah tablet di tangannya."Apa yang terjadi, Aldo?" tanya Raditya dengan nada tajam.Aldo menyerahkan tablet itu padanya. "Ini, Pak. Saya baru saja mendapat laporan dari tim keamanan cyber kita. Seseorang mencoba mengakses sistem utama perusahaan secara ilegal. Dan jejak digitalnya mengarah ke... Darel."Alya tersentak. "Apa? Darel mencoba meretas perusahaan ini?"Raditya menggeram pelan. "Sialan! Ini bukan lagi sekadar fitnah, ini serangan langsung."Aldo mengangguk. "Kami baru saja berhasil memblokir aksesnya sebelum dia sempat mengambil data penting. Tapi ada sesuatu yang lebih mengkhawatirkan.""Apa itu?" tanya Raditya dengan sorot mata tajam.Aldo menarik napas panjang. "Kami menemukan bahwa dia telah berkomunikasi dengan seseorang dari dalam perusahaa
Raditya menatap layar ponsel Alya dengan ekspresi dingin. Nama Darel terpampang jelas di sana. Jari-jarinya sempat mengepal sebelum akhirnya ia menekan tombol jawab dan mengaktifkan mode speaker."Apa maumu, Darel?" suara Raditya terdengar tajam.Dari seberang, terdengar tawa kecil yang terdengar santai, tapi juga penuh provokasi. "Santai, Radit. Aku hanya ingin mengobrol dengan istriku, kenapa kamu yang mengangkat ponselnya, Hah!! Atau, sepertinya kau sudah menemukan sesuatu yang menarik, ya?"Alya menatap Raditya dengan gelisah. Raditya mengeraskan rahangnya. "Kau meretas sistemku. Kau mencuri data perusahaan. Dan satu lagi, ALYA BUKAN ISTRIMU! KAU HANYA ‘MANTAN’! Kau pikir aku akan membiarkanmu begitu saja? Hahh!!"Darel mendengus. "Aku hanya mengambil apa yang seharusnya menjadi milikku. Atau kau lupa? Aku tahu banyak hal tentang NW Tech, lebih dari yang kau kira. Dan percaya atau tidak, aku masih punya kejutan untukmu."Raditya men
Alarm darurat terus meraung, membuat suasana di dalam gedung semakin kacau. Raditya berlari cepat melewati lorong, diikuti Alya dan Aldo yang tak kalah panik."Aldo, status server?" tanya Raditya dengan nada mendesak.Aldo menatap layar ponselnya sambil terus berlari. "Seseorang mencoba menghapus semua data. Firewall kita masih bertahan, tapi tidak akan lama lagi!"Alya menatap Raditya. "Kita harus segera ke ruang server. Kalau tidak, semua data perusahaan akan lenyap."Raditya mengangguk. "Kita akan cegah sebelum terlambat."Mereka bertiga sampai di depan ruang server. Dua petugas keamanan sudah berjaga di sana, terlihat kebingungan dengan situasi yang terjadi."Siapa yang ada di dalam?" tanya Raditya tajam.Salah satu petugas melirik rekannya sebelum menjawab, "Kami tidak tahu, Pak. Tiba-tiba alarm berbunyi dan sistem mengunci pintu otomatis. Tidak ada yang bisa masuk atau keluar."Raditya segera mengakses sistem dari tabletn
Raditya menyipitkan mata ke arah Darel yang baru saja muncul. “Apa yang kau lakukan di sini?”Darel melangkah masuk dengan santai, tangannya terselip di saku celana. “Edo mungkin anak yang cerdas, tapi dia terlalu percaya diri. Aku hanya datang untuk memastikan semuanya berjalan sesuai rencana.”Raditya menahan amarahnya. “Rencana apa? Menghancurkan NW Tech? Kau pikir aku akan diam saja?”Edo menyeringai. “Itu sudah terlambat. Lima detik lagi, semua data perusahaan ini akan lenyap.”Aldo menatap layar dengan cemas. “Pak Raditya, kita benar-benar kehabisan waktu!”Namun, Raditya tidak panik. Ia justru tersenyum tipis dan melangkah ke komputer di dekatnya. Jemarinya mulai menari cepat di atas keyboard.Alya menatapnya dengan bingung. “Radit, apa yang kau lakukan?”“Menyerang balik.”Edo mendengus. “Omong kosong. Kau mungkin pintar dalam bisnis, tapi dalam dunia ini, aku lebih unggul.”Raditya tetap fokus, matanya tak lepas
Raditya mengetik dengan kecepatan penuh, matanya tak lepas dari layar. Timer di layar terus berkurang - 50… 49… 48…Aldo berteriak panik. “Pak! Kita kehabisan waktu!”Raditya mengabaikan teriakan itu, fokusnya hanya satu: menghentikan penghancuran total yang diaktifkan oleh Darel.Alya berdiri di belakangnya, jantungnya berdebar kencang. “Radit, kamu bisa melakukannya. Aku yakin kamu pasti bisa!” ujar Alya memberi semangat.Alya tahu, Raditya bukan CEO biasa, kemampuannya di dunia cyber tak perlu diragukan lagi, karena dia adalah ‘Mr. Ranwy si Master Cyber’, Sang Penguasa yang ditakuti di dunia cyber.Raditya tidak menjawab, namun mendengarkan suara Alya yang memberikan dukungan, ia merasa tertantang dan termotivasi. Ia memasukkan serangkaian kode, tangannya bergerak cepat. “Aku hanya perlu memutus koneksi mereka dari sistem utama. Jika aku bisa mengisolasi perintah ini ke server cadang
Raditya melangkahkan kakinya menuju ruang tunggu yang berada tepat di dekat ruangan CEO-nya. Karena siapapun tak mendapatkan akses masuk ruangan CEO tanpa persetujuan darinya. Raditya memasuki ruangan dan dilihatnya di sana sudah duduk Pak Arya, sahabat sang ayah yang selama ini dikenalnya.Mengetahui Raditya memasuki ruangan, Pak Arya tersenyum hangat. “Kerja bagus, Radit. Aku yakin berkat kepemimpinanmu, perusahaan ini bisa melewati masalah IT tadi dengan baik.”Raditya hanya menanggapinya dengan anggukan ringan. “Terima kasih, Pak. Tapi saya yakin kedatangan Bapak bukan hanya untuk memuji saya.”Pak Arya tersenyum tipis. “Kamu benar. Aku ingin menanyakan tentang warisan teknologi dari ayahmu. Aku berharap kamu mau mempertimbangkan untuk melanjutkannya, Radit. Teknologi itu adalah peninggalan besar yang bisa membawa perubahan besar.”Raditya menghela napas. “Saya belum memikirkannya, Pak. Saat ini perusahaan masih menjadi fokus utama saya.”Pak A
Weekend pun tiba. Seperti rencana kemarin, Raditya sudah bersiap untuk menjemput Alya di rumahnya. Mobilnya berhenti tepat di depan pagar rumah Alya. Ia mengetuk pintu dan tak lama kemudian, pintu terbuka menampilkan sosok Alya yang sudah siap dengan penampilannya yang begitu menawan.Raditya terpaku sejenak. Alya mengenakan dress selutut berwarna biru muda dengan potongan sederhana namun elegan, menonjolkan lekuk tubuhnya dengan anggun. Rambut panjangnya yang biasanya terurai kini ditata dalam gelombang lembut, sebagian diikat ke belakang dengan pita kecil berwarna senada dengan bajunya. Wajahnya berseri di bawah sinar matahari pagi, dan bibirnya yang dihiasi lipstik natural tampak begitu sempurna.“Kamu…” Raditya kehilangan kata-kata. Matanya menelusuri wajah Alya dengan takjub. “Kamu sangat cantik.”Alya tersenyum kecil, namun rona merah langsung menjalari pipinya. “Terima kasih.”Raditya masih menatapnya deng
Raditya masih menggenggam tangan Alya, seakan enggan melepaskannya. Keheningan di antara mereka terasa begitu dalam, seolah ada banyak hal yang ingin mereka katakan, namun tak satu pun dari mereka yang berani memulai.Alya menarik napas dalam dan berusaha mengendalikan debaran jantungnya. “Radit, tadi kamu mau bilang apa?”Raditya menatapnya sejenak, lalu menggeleng dengan senyum tipis. “Nanti saja. Aku tidak ingin mengatakannya di saat seperti ini.”Alya mengernyit. “Kenapa?”Raditya menatap laut yang membentang luas di hadapan mereka. “Karena aku ingin momen itu spesial.”Alya terdiam. Kata-kata Raditya membuatnya semakin penasaran. Namun, sebelum ia bisa bertanya lebih lanjut, seorang staf mendekati mereka dengan sopan.“Tuan Raditya, makan siang sudah disiapkan.”Raditya mengangguk. “Baik. Ayo, kita makan dulu.”Mereka berjalan menuju ruang makan kapal
Matahari pagi menyinari Mansion keluarga Wiranagara dengan lembut, seakan ingin menghangatkan suasana yang penuh haru. Di ruang keluarga, Alya dan Raditya duduk bersama Bunda Clarissa, Kakek Bakhtiar, dan Nenek Aiko. Hari ini, mereka akan berpamitan.Nenek Aiko menggenggam tangan Alya erat, matanya berkaca-kaca. "Sayang, seminggu terasa begitu cepat. Nenek masih ingin bersama kalian lebih lama."Alya tersenyum lembut. "Aku juga, Nek. Rasanya belum cukup waktu untuk menghabiskan momen bersama kalian. Tapi... ini bukan perpisahan selamanya."Raditya menatap neneknya dengan penuh kasih. "Nenek harus menjaga kesehatan. Jangan lupa minum obat dan makan makanan sehat, ya."Nenek Aiko mengangguk pelan. "Tentu sayang, tentu. Jika nenek sudah sehat, nenek akan ke Nusant mengunjungi kalian."Alya menggenggam tangan neneknya. "Semoga kondisi nenek semakin sehat, hingga kita bisa bertemu kembali di Nusant ya, Nek."Bunda Clarissa menatap menantunya dengan penuh kehangatan, lalu tersenyum jahil. "
Alya menyandarkan kepalanya di bahu Raditya, menikmati semilir angin pagi yang menyentuh kulitnya dengan lembut. Sementara itu, Raditya menggenggam tangannya erat, seakan meyakinkan bahwa kebahagiaan ini akan bertahan selamanya."Radit, sebenarnya kita mau ke mana?" tanya Alya, mencoba mencari tahu rahasia yang disimpan suaminya.Raditya tersenyum penuh misteri. "Kalau aku kasih tahu sekarang, nggak seru dong. Yang jelas, kamu pasti suka."Alya mengerucutkan bibirnya. "Kamu selalu suka bikin aku penasaran."Raditya tertawa kecil dan mencubit ujung hidung Alya. "Karena kamu selalu terlihat lucu kalau penasaran."Alya mendengus pelan, tapi tak bisa menahan senyum. "Baiklah, aku ikut saja. Tapi kalau ternyata aku nggak suka tempatnya, siap-siap ditagih kompensasi.""Siap, Nyonya Raditya," jawab Raditya santai.Setengah jam kemudian, mereka sudah bersiap dan masuk ke dalam mobil. Raditya yang menyetir, sementara Alya duduk di sebelahnya, sesekali melirik ke arah suaminya yang terlihat ten
Setelah cukup lama berendam dalam kehangatan, Alya menyandarkan kepalanya ke dada Raditya, merasa begitu nyaman dalam pelukannya."Radit..." panggilnya pelan."Hmm?" Raditya merespons sambil mengusap lembut lengan istrinya di bawah air."Kita bisa seperti ini terus nggak?" tanya Alya, suaranya terdengar sedikit mengantuk.Raditya terkekeh kecil. "Maksudmu berendam terus di bathtub? Bisa sih, tapi nanti kita jadi ikan," canda Raditya.Alya tertawa kecil dan mencubit lengan suaminya. "Bukan itu maksudku. Maksudnya, bisa nggak kita terus bahagia kayak gini?"Raditya menghela napas, lalu mencium puncak kepala Alya. "Tentu bisa. Aku akan pastikan itu terjadi."Alya tersenyum puas. "Kalau begitu, ayo keluar. Aku sudah cukup segar."Raditya mengangguk, lalu membantu Alya bangkit. Setelah membungkus tubuh istrinya dengan handuk, ia sendiri mengeringkan tubuhnya dengan santai.Saat mereka keluar dari kamar mandi, Raditya lebih dulu mengenakan pakaian santainya. Sementara itu, Alya sibuk memili
Cahaya matahari pagi yang masuk melalui celah tirai membuat Alya menggeliat pelan. Tubuhnya terasa sedikit lelah setelah malam panjang yang mereka lalui semalam. Ia merenggangkan kedua tangannya di atas kepala, mendesah pelan. Raditya yang duduk di tepi ranjang hanya tersenyum, merasa istrinya begitu menggemaskan."Sayang, kamu sudah bangun?" suara serak Alya terdengar manja.Raditya mengulurkan tangan, mengusap lembut pipi istrinya. "Sudah dari tadi. Aku sudah menyiapkan sesuatu untuk kita."Alya membuka matanya perlahan, menatap Raditya yang sudah tampak segar. "Apa itu?"Raditya tersenyum kecil. "Bathup sudah aku isi air hangat. Aku tahu kamu butuh merilekskan tubuh setelah..." ia berhenti sejenak, menatap Alya dengan penuh arti, "setelah gemuranku semalam, bahkan kita semalam sama- sama mencapai pelepasan tiga kali, apa kamu ingat sayang?" goda Raditya.Alya yang masih dalam keadaan setengah sadar langsung memerah wajahnya. Ia menarik selimut m
Pagi itu, suasana di kediaman keluarga terasa hangat. Alya dan Raditya bersiap untuk berangkat honeymoon ke salah satu daerah di Jepang, tepatnya ke Shirakawa-go, desa tradisional dengan pemandangan salju yang romantis. Mereka berpamitan kepada Kakek Bakhtiar, Nenek Aiko, dan Bunda Clarissa."Kalian hati-hati di sana. Nikmati bulan madu kalian, jangan lupa kabari kalau sudah sampai," ujar Kakek Bakhtiar."Raditya, jaga Alya baik-baik. Jepang itu indah, tapi tetap waspada, ya," kata Nenek Aiko.Raditya menggenggam tangan Alya erat, "Tentu saja, Nek. Aku nggak akan membiarkan Alya sedikit pun terluka," jawab Raditya.Bunda Clarissa tersenyum lembut, "Alya, sayang. Jangan terlalu manja sama Raditya, nanti dia makin posesif," ujar Bunda Clarissa.Alya yang mendengarnya otomatis tertawa kecil, "Sudah terlanjur, Bun. Radit memang posesif dari dulu," kata Alya.Raditya hanya menatap Alya dengan mata tajam penuh arti, membuat Alya tersipu.**
Malam itu, suasana di kediaman keluarga Bakhtiar terasa berbeda. Setelah perbincangan serius siang tadi, Kakek Bakhtiar akhirnya mengambil keputusan."Kita akan bertemu dengan Haruto nanti malam di ruang khusus," ucap Kakek Bakhtiar dengan suara mantap. "Rei, pastikan dia dalam kondisi yang pantas untuk berbicara dengan kita. Suruh dia mandi dan bersihkan diri. Aku yakin keadaannya sekarang tidak baik-baik saja."Rei mengangguk dengan hormat. "Baik, Tuan. Saya akan mengurusnya."Beberapa jam kemudian, Rei memasuki ruang bawah tanah tempat Haruto ditahan. Haruto tampak duduk diam di sudut ruangan, tubuhnya terlihat lelah, dengan wajah yang penuh dengan bekas luka dan kotoran. Rei melipat tangannya di depan dada, menatap pria itu dengan ekspresi netral."Bangun. Tuan Bakhtiar ingin bertemu denganmu malam ini. Tapi sebelum itu, kau harus mandi dan membersihkan diri. Pakaiannya sudah disiapkan."Haruto mengangkat kepalanya, menatap Rei dengan sorot mat
Alya menarik napas dalam, hatinya berdebar kencang. Ia tahu ini bukan keputusan yang mudah, tetapi ia harus mengatakannya. Ruangan terasa lebih sunyi dari biasanya, hanya suara angin lembut dari luar jendela yang berbisik pelan. Dengan suara pelan namun tegas, ia mulai berbicara, “Nenek, Kakek, Bunda, sebenarnya kami ingin kembali ke Nusant.”Ruangan mendadak membeku. Semua mata tertuju padanya. Clarissa yang tadinya masih menggenggam tangan Nenek Aiko terdiam, sementara Kakek Bakhtiar mengerutkan keningnya, mencoba memahami maksud Alya lebih dalam. Nenek Aiko, yang baru saja merasakan kebahagiaan bertemu kembali dengan putrinya, kini menatap Alya dengan pandangan penuh kebingungan dan kesedihan.“Sayang, kenapa tiba-tiba? Apa ada sesuatu yang mengganggumu di sini?” tanya Nenek Aiko dengan suara penuh harap, sedikit gemetar.Alya menggeleng, senyum lembut tetapi sendu terukir di wajahnya. “Bukan begitu, Nek. Aku sangat bahagia bisa
Siang itu, Kakek Bakhtiar, Alya, dan Raditya berjalan menuju ruang perawatan Nenek Aiko di rumah sakit. Wajah Nenek Aiko terlihat lebih segar dari sebelumnya, meski masih terlihat lelah."Bagaimana perasaanmu hari ini, Nek?" tanya Alya lembut sambil menggenggam tangan Nenek Aiko.Nenek Aiko tersenyum tipis. "Jauh lebih baik, sayang. Apa kita benar-benar akan pulang hari ini?"Kakek Bakhtiar mengangguk. "Tentu saja. Aku sudah siapkan semuanya. Kita akan pulang ke mansion."Raditya membantu merapikan barang-barang Nenek Aiko. "Kami sudah menyiapkan sesuatu yang istimewa di rumah, Nek.""Sesuatu yang istimewa?" Nenek Aiko menatap mereka dengan bingung."Nanti juga Nenek akan tahu," kata Alya dengan senyum penuh arti.Setelah semua siap, mereka meninggalkan rumah sakit. Sepanjang perjalanan, Nenek Aiko terlihat lebih bersemangat, meskipun hatinya masih dipenuhi rasa penasaran. Mobil yang membawa mereka melaju dengan tenang di jalanan kota
Malam semakin larut di mansion Raditya. Hanya suara ketikan keyboard dan hembusan napas Alya yang terdengar di ruangan itu. Raditya menatap layar dengan penuh konsentrasi, jari-jarinya bergerak cepat menulis barisan kode yang akan menjadi pukulan terakhir bagi Reinhardt."Radit, mereka sedang mencoba reboot sistem mereka," lapor Alya.Raditya mengangguk. "Bagus. Itu berarti mereka masih mencoba bertahan. Aku sudah menyiapkan kejutan terakhir. Kali ini, aku akan benar-benar mengakhiri semuanya."Alya mengamati layar dengan seksama. "Apa yang kamu rencanakan?"Raditya tersenyum tipis. "Aku akan menyusup ke server utama mereka dan menanamkan worm yang tidak hanya akan melumpuhkan AI mereka, tetapi juga menghapus seluruh jejak digital mereka. Semua data, semua koneksi- akan musnah dalam hitungan detik."Alya mengangkat alisnya. "Kamu yakin tidak akan ada yang tersisa?"Raditya mengangguk. "Aku tidak akan memberinya kesempatan lagi. Kali ini, Rei