“Alya, kamu sudah siap?” suara Raditya terdengar dari balik pintu.
Alya menatap pantulan dirinya di cermin salon kecantikan. Riasan lembut menonjolkan kecantikannya, bibirnya diberi sentuhan warna merah muda natural, dan matanya tampak lebih hidup dengan sedikit shimmer di kelopak.
“Alya?”
“Iya, sebentar.” Alya bangkit, menatap gaun yang telah disiapkan Raditya. Gaun panjang berwarna biru navy dengan detail bordir perak di bagian lengan dan pinggang, berpotongan A-line yang jatuh anggun. Tudung tipis berbahan satin menghiasi kepalanya, semakin menambah aura elegan.
Ketika Alya keluar dari ruang rias, Raditya terpaku.
“Kamu…” Raditya menarik napas, matanya berbinar kagum. “Kamu luar biasa cantik, Alya.”
Alya tersenyum kecil, jantungnya berdebar karena sorot mata pria itu.
“Kita berangkat sekarang?” tanyanya, berusaha mengalihkan suasana.
Raditya menga
Beberapa hari kemudian, Raditya kembali mendekati Alya, kali ini dengan sesuatu di tangannya."Ini untukmu," katanya, menyerahkan sebuah buku catatan berwarna biru tua.Alya mengambilnya dengan ragu. "Apa ini?""Aku tahu kamu suka mencatat ide-ide proyekmu. Jadi, aku membelikan ini. Aku ingin kamu terus berkembang dan menciptakan hal-hal hebat."Alya membolak-balik halaman kosong itu, hatinya bergetar. "Terima kasih, Raditya. Aku menghargainya.""Aku tidak hanya ingin melihatmu sukses, Alya," Raditya menatap matanya dalam-dalam. "Aku ingin menjadi bagian dari hidupmu."Alya menggigit bibirnya, perasaannya semakin tak menentu. Ia ingin percaya pada Raditya, tapi luka masa lalunya masih membayangi."Radit... Aku belum siap."Raditya tersenyum kecil. "Aku mengerti. Aku nggak akan memaksa. Aku hanya ingin kamu tahu kalau aku ada di sini, kapan pun kamu butuh seseorang."Alya menunduk, meremas buku catatan itu di tangannya. "
Setelah mengetahui nomor yang meneror Alya, Raditya menyalin nomor tersebut. Nanti di rumah, ia akan menyelidiki siapa pemilik nomor tak dikenal itu. Setelah Alya kembali tenang, Raditya menemaninya pulang. Sesampainya di depan rumah Alya, Raditya dengan sigap membukakan pintu mobil untuknya."Terima kasih, Radit," ucap Alya tulus."Sama-sama. Kamu yakin nggak mau aku temani masuk?"Alya tersenyum. "Mau mampir sebentar?"Tak ingin menolak tawaran dari wanita yang dicintainya, Raditya dengan suka cita menerima tawaran itu. Ia pun melangkahkan kakinya mengikuti Alya masuk ke dalam rumah."Mau minum sesuatu?" tawar Alya.Raditya menggeleng. "Nggak usah, kita tadi sudah cukup di kafe. Aku nggak mau kamu repot-repot. Aku cuma ingin lebih banyak waktu berdua denganmu."Raditya tersenyum menggoda. "Seandainya kamu sudah menerimaku, bahagianya aku. Bisa selalu berdua denganmu seperti ini, bahkan kita bisa melakukan hal yang lebih dari sekadar
Hujan turun rintik-rintik di luar, membuat suasana malam semakin dingin. Lampu-lampu kota masih menyala, menciptakan bayangan samar di jalanan yang basah. Di sebuah mobil yang terparkir tak jauh dari rumah Alya, seorang pria duduk gelisah sambil menatap ke dalam rumah melalui kaca jendelanya."Sial! Kenapa jam segini laki-laki itu tidak keluar juga dari rumah Alya? Apa hubungan mereka sebenarnya?" ujar Darel geram.Ya, ternyata pengintai itu adalah Darel, mantan suami Alya. Ia penasaran dengan kehidupan mantan istrinya yang kini terlihat cantik dan seksi. Jujur, Darel jadi menyesal dulu tak pernah memperhatikan Alya. Karena lelah menunggu, akhirnya Darel memilih pergi dari sana, dan besok ia akan mengambil langkah untuk merebut kembali hati mantan istrinya itu.Sementara itu, di dalam rumah, setelah bebersih diri, Alya hendak tidur. Ia tak lupa menyiapkan kamar yang dulunya menjadi kamar kedua orang tuanya yang berada di samping kamarnya."Radit, kamu tid
Malam itu, usai Darel meneror mantan istrinya, Alya, ia duduk di dalam mobilnya yang terparkir di depan sebuah gedung perkantoran. Hujan gerimis membasahi kaca jendela, tetapi pikirannya lebih gelap daripada langit di atasnya. Ia menatap ponselnya, melihat foto Alya dan Raditya yang tersenyum bahagia di sebuah acara bisnis yang ia hadiri tempo hari.Darel menggeram. "Mereka pikir aku akan diam saja? Setelah semua yang terjadi, aku tidak akan membiarkan mereka hidup bahagia begitu saja."Ia menyandarkan kepalanya ke jok mobil, menarik napas dalam-dalam, lalu berbicara pada dirinya sendiri."Aku bodoh... Aku meninggalkan Alya demi Elmira, dan lihat bagaimana akhirnya? Elmira hanya mencintaiku saat aku berada di puncak. Sekarang dia pergi begitu saja, meninggalkanku dengan kehancuran, nyatanya karirnya lebih penting daripada keberadaanku untuknya. Tapi Alya... dia seharusnya masih menjadi milikku. Dia seharusnya tidak bahagia dengan pria lain. Shit!!"Darel
Raditya mulai melajukan kendaraan dengan tenang. Di sampingnya, Alya sibuk dengan ponselnya, mengecek beberapa email yang masuk."Kamu nggak capek?" tanya Raditya sambil melirik sekilas.Alya mengangkat wajahnya. "Capek sih, tapi masih bisa ditahan. Kamu gimana? Semalam tidur di sofa, pasti nggak nyaman."Raditya tertawa kecil. "Aku udah biasa. Lagipula, kasur kamu terlalu berharga buat diinjak sama orang sepertiku, kan?" canda Raditya.Alya mendengus. "Jangan mulai pagi-pagi gini, Radit."Raditya hanya tersenyum tipis. Ia fokus menyetir hingga akhirnya mobil mereka sampai di parkiran kantor.Saat turun dari mobil, beberapa karyawan yang sudah lebih dulu tiba mulai berbisik-bisik. Mata mereka bergantian menatap Raditya dan Alya. Alya berusaha bersikap biasa, tetapi Raditya malah tersenyum santai seperti tidak terjadi apa-apa."Kenapa mereka pada ngeliatin kita gitu?" bisik Alya saat mereka berjalan menuju lobi.Raditya melirik
Pagi itu, Alya hendak ke kantor, namun hatinya gelisah atas ucapan Darel kemarin yang meneleponnya. Maka ia pun membulatkan tekad, ia menelepon Darel dan meminta Darel untuk bertemu di Kafe Amour pagi ini sebelum ia bekerja.KAFE AMOUR, 07:30 WIBAlya duduk di sudut kafe, jemarinya mengetuk-ngetuk meja dengan gelisah. Secangkir cappuccino di depannya belum tersentuh. Pintu kafe terbuka, dan sosok pria yang dinantikannya masuk dengan langkah mantap. Darel Alexander, mantan suaminya.Darel menarik kursi di hadapan Alya dan duduk. Ia menatap Alya sejenak sebelum berbicara."Kamu baik-baik saja?" tanya Darel.Alya menarik napas dalam, lalu menghembuskannya perlahan. "Kenapa kamu meneleponku kemarin, Darel? Apa lagi yang mau kamu bicarakan?" tanya Alya.Darel meremas jemarinya sendiri. "Aku... Aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja setelah keputusan itu," ucap Darel yang mencoba kembali membahas masa lalu mereka."Setelah keputusan
Raditya duduk di ruangannya, jari-jarinya mengetuk meja tanpa henti. Pikirannya tak bisa lepas dari tatapan Alya pagi tadi. Ada sesuatu yang berbeda. Seakan ada pertanyaan yang mengendap dalam sorot matanya. Apa dia telah melakukan kesalahan? Atau ada sesuatu yang mengganggu Alya? Hari ini ia bekerja setengah hati, pikirannya benar-benar terpecah.Saat jam istirahat tiba, Raditya mengambil ponselnya dan memesan makan siang untuk dua orang. Ia memutuskan untuk menemui Alya di ruangannya. Beberapa menit kemudian, dengan dua kotak makanan di tangannya, ia berjalan menuju ruang IT tempat Alya bekerja.Saat pintu diketuk dan terbuka, Alya yang tengah menatap layar laptopnya langsung mendongak. Matanya membulat melihat Raditya berdiri di sana dengan makanan di tangannya."Kamu sengaja membawakanku makan siang?" tanyanya, suaranya sedikit ragu.Raditya mengangguk. "Aku tahu kamu sering lupa makan kalau sudah sibuk dengan pekerjaanmu. Jadi, aku pikir kita bisa ma
Raditya segera berdiri dan berjalan cepat menuju pintu. Alya mengikuti di belakangnya dengan perasaan tak menentu. Begitu pintu terbuka, Aldo berdiri di sana dengan wajah tegang, sebuah tablet di tangannya."Apa yang terjadi, Aldo?" tanya Raditya dengan nada tajam.Aldo menyerahkan tablet itu padanya. "Ini, Pak. Saya baru saja mendapat laporan dari tim keamanan cyber kita. Seseorang mencoba mengakses sistem utama perusahaan secara ilegal. Dan jejak digitalnya mengarah ke... Darel."Alya tersentak. "Apa? Darel mencoba meretas perusahaan ini?"Raditya menggeram pelan. "Sialan! Ini bukan lagi sekadar fitnah, ini serangan langsung."Aldo mengangguk. "Kami baru saja berhasil memblokir aksesnya sebelum dia sempat mengambil data penting. Tapi ada sesuatu yang lebih mengkhawatirkan.""Apa itu?" tanya Raditya dengan sorot mata tajam.Aldo menarik napas panjang. "Kami menemukan bahwa dia telah berkomunikasi dengan seseorang dari dalam perusahaa
Kabut tipis menyelimuti jalan berbatu menuju reruntuhan observatorium di utara Nusant. Langit menggantung rendah, menyiratkan hujan yang tertunda. Di dalam mobil hitam yang melaju pelan, Raditya menggenggam setir dengan rahang mengeras. Alya duduk di sampingnya, memeluk jaket yang lebih tebal dari biasanya. Keheningan di antara mereka bukan karena kekosongan- melainkan karena terlalu banyak yang ingin dikatakan, tapi tak tahu harus mulai dari mana.“Radit,” suara Alya pelan, “kalau ini jebakan...”“Aku tahu risikonya,” potong Raditya, tak menoleh. “Tapi aku juga tahu kita gak bisa mundur setelah semua yang terjadi.”Mobil berhenti di depan pagar besi yang sudah berkarat, sebagian roboh. Ilalang tumbuh liar, menyembunyikan jalan setapak menuju bangunan utama observatorium- gedung tua yang menjadi saksi bisu tragedi bertahun-tahun lalu. Api pernah melahap sebagian atapnya, dan sejak saat itu tempat ini ditinggalkan, dikunci oleh waktu dan trauma.Alya meremas tangannya sendiri. “Tempat
Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Langit yang tadinya jernih perlahan tertutup awan gelap, seolah alam pun ikut menahan napas.Raditya menggenggam kalung perak itu erat-erat, sementara Alya berdiri di sampingnya, masih memandangi pintu rumah yang tertutup rapat. Suara tangis bayi tadi telah menghilang, tapi gaungnya masih bergetar di telinga mereka.“Radit,” suara Alya nyaris tak terdengar, “kita harus tahu... siapa yang menaruh ini di sini.”Raditya mengangguk. Ia melangkah menuju pagar belakang, menyusuri jalan setapak kecil yang jarang dilewati. Taman belakang rumah memang belum sepenuhnya selesai ditata. Di ujung pagar, jejak kaki samar terlihat di tanah yang lembap—ukuran kecil, seperti sepatu wanita.Ia menunduk, menyentuh jejak itu dengan ujung jarinya. “Masih baru,” gumamnya.Tiba-tiba lampu taman di ujung jalan menyala sendiri, menyinari bayangan seseorang di seberang pagar. Bayangan itu berdiri diam, tubuhnya tertutup kerudung panjang berwarna kelabu. Tapi saat R
Mentari pagi menyelinap perlahan melalui tirai jendela rumah kecil di pinggiran kota Nusant. Raditya berdiri di dapur, menggenggam ponsel, sementara Alya duduk di meja makan sambil mengaduk teh melati hangatnya. Di hadapannya, hasil tes kehamilan yang sudah mereka simpan dalam map bening, masih seperti mimpi indah yang belum ingin mereka bangunkan.“Siap?” tanya Alya sambil tersenyum.Raditya mengangguk, lalu menekan layar. Wajah Bunda Liliana segera muncul, diikuti Ayah Darian di belakangnya dengan kemeja tidur yang belum sempat dirapikan.“Radit? Kenapa pagi-pagi menelepon? Ada apa?” tanya Bunda Liliana, matanya menyipit curiga.“Ada kabar penting, Bunda, Yah,” jawab Raditya. Ia melirik Alya lalu kembali menatap layar. “Alya... dia hamil.”Beberapa detik hening. Lalu, jeritan Bunda Liliana memecah keheningan.“APA?! HAMIL?!”Ayah Darian tergagap. “Tunggu, tunggu. Maksudmu... kalian- kalian akan punya anak?”Raditya mengangguk, senyum tak lepas dari wajahnya. “Kami dapat hasilnya kem
Tiga minggu telah berlalu sejak malam berbintang itu.Hidup perlahan menemukan ritmenya kembali. Raditya kembali membangun NW Tech dari dalam, kali ini bersama Aldo Rusdiawan, asisten pribadinya yang selalu tanggap dan tak pernah kehilangan fokus meski dalam situasi genting. Bersama, mereka mulai mengembangkan teknologi generasi berikutnya- lebih aman, lebih etis, dan lebih manusiawi, dengan LILITH sebagai penjaga utama di balik sistem.Tak hanya itu, Raditya juga mulai menjalin kolaborasi dengan keluarga Wiranagara- keluarga Alya di Jepang yang memiliki pengaruh besar dalam bidang teknologi neurokomputasi dan pengembangan chip bio-sinkronisasi. Bagi Raditya, kerja sama ini bukan hanya strategi bisnis. Ini adalah bentuk rekonsiliasi antara masa lalu dan masa depan, antara luka yang pernah ada dan mimpi yang kini bisa dibangun bersama.Sementara itu, Alya mulai aktif dalam proyek sosial bersama kode Elvaretta, tentunya dengan bantuan sang suami tercinta, Raditya. Mereka menciptakan pla
Langit Jakarta pagi itu berwarna biru muda, seolah baru dicuci oleh hujan semalam. Sinar matahari menembus jendela penthouse, menyinari ruangan yang kini jauh lebih tenang daripada hari-hari sebelumnya. Di balkon, Alya berdiri dengan secangkir teh melati hangat di tangan, rambutnya yang tergerai ditiup angin lembut.Sudah tiga hari sejak mereka mematikan ISAAC dan menyatukan LILITH ke dalam sistem sebagai penjaga emosional. Dunia luar tidak tahu banyak, kecuali bahwa ‘insiden sistem global’ telah berakhir secara misterius. Tapi bagi Alya dan Raditya, itu lebih dari cukup. Mereka tidak butuh pengakuan. Mereka hanya butuh... ketenangan.Pintu balkon terbuka perlahan.Raditya berjalan keluar dengan hoodie abu-abu dan rambut sedikit berantakan. Tapi senyumnya, seperti biasa, mampu membuat dunia Alya berhenti sesaat.“Pagi,” katanya, menyandarkan tubuhnya di sisi pintu sambil menguap pelan.Alya menoleh, matanya melembut. “Kamu tidur jam berapa?”“Jam dua. Haruto kirim update terakhir soal
Sistem Pusaran berubah seperti medan perang virtual. Suara mekanis ISAAC beradu dengan gema halus LILITH, saling menyusupi jaringan. Kabel-kabel di sekeliling mereka seperti makhluk hidup yang menari liar, melingkar dan memukul udara kosong.“Aku memilih diriku sendiri,” ulang Alya, suaranya masih menggema di antara dinding kubah logam itu.ISAAC menghentikan semua suara. Tak ada bunyi, tak ada cahaya yang berkedip. Hening yang tak wajar menggantung di udara- seperti napas terakhir sebelum badai.“Validasi pilihan: tidak terdaftar,” ucap ISAAC akhirnya. “Perintah tidak dikenali dalam protokol sistem. Merujuk pada opsi: integrasi paksa.”“Tidak!” seru Raditya. Ia menarik helm kontrol dari menara pusat, lalu menoleh cepat ke Alya. “Kalau dia maksa, kita harus masuk duluan. Ke Echo Helix. Di sana kamu bisa menentukan jalurnya. Tapi hanya kamu yang bisa masuk- karena dia mengikatkan dirinya padamu.”Alya mengangguk. Tangannya gemetar saat menerima helm dari Raditya. “Kalau aku gagal?”“Ka
Pintu titanium menutup rapat di belakang mereka. Lorong di bawah Helix lama bergema oleh langkah kaki Alya dan Raditya. Di belakang mereka, sistem-sistem kuno mulai menyala sendiri- lampu berkedip, suara listrik menyentak-nyentak seperti ada yang sedang mencoba membangkitkan sesuatu yang seharusnya tak bangkit lagi.“ISAAC sudah masuk ke sistem bawah,” kata Raditya sambil mempercepat langkah. Ia membuka kompad kecil di pergelangan tangan dan menampilkan peta digital. “Kita harus mencapai inti utama sebelum koneksinya stabil.”“Tempat yang kamu sebut Pusaran itu... sebenarnya apa?” tanya Alya dengan napas terengah. Di matanya, tergambar ketakutan dan rasa ingin tahu yang bercampur.“Tempat yang dibangun di luar logika dan etika,” jawab Raditya. “Prototipe akhir sistem jaringan Nusant. Tempat buangan untuk teknologi yang terlalu berbahaya untuk dimusnahkan. Termasuk satu hal yang belum pernah dipakai: protokol Null-Core- satu-satunya jalan untuk memutus koneksi ISAAC.”Lorong menurun se
Lorong menuju Ruang Simulasi berada di bawah Menara Helix yang lama, tersembunyi di balik dinding lift yang telah dimatikan sejak insiden ledakan tujuh tahun lalu. Tak ada akses publik. Hanya satu jalur manual yang masih bisa digunakan- melalui terowongan yang bahkan Raditya sendiri jarang datangi.Langkah-langkah mereka bergema di antara dinding baja yang dingin. Alya menggenggam senter kecil, cahayanya menari di sepanjang lorong sempit yang seolah tidak pernah disentuh cahaya matahari. Bau karat dan debu tua memenuhi udara.“Aku pikir tempat ini sudah dimusnahkan,” gumam Alya pelan.“Begitu rencananya,” jawab Raditya. “Tapi Kakekku selalu punya rencana cadangan. Ruang Simulasi dibangun tersembunyi, di bawah semua sistem utama. Bahkan saat markas utama hancur, tempat ini tetap utuh.”Mereka tiba di sebuah pintu besar dari paduan titanium, tertutup rapat tanpa panel akses.“Bagaimana kita masuk?” tanya Alya.Raditya menarik napas, lalu mengangkat tangan kirinya. Dari balik pergelangan
Cahaya merah lembut menyelimuti dinding-dinding ruang bawah tanah yang tersembunyi jauh di bawah reruntuhan markas lama Helix Foundation. Udara dingin menusuk tulang, berembus dari ventilasi tua yang nyaris tertutup debu waktu. Dinding logam dipenuhi kabel menjalar seperti akar pohon raksasa, berkedip dalam pola acak- seolah memiliki denyut nadinya sendiri. Di tengah ruangan bundar itu, berdiri seorang pria muda dengan rambut hitam pendek, mengenakan jaket panjang berlapis kevlar. Kacamata augmented reality menempel permanen di sisi kiri wajahnya, menyatu seperti organ tambahan.Dialah Arkana.Mata kirinya bersinar biru- bukan karena teknologi semata, tapi karena sesuatu yang jauh lebih dalam. Sebuah chip simbiotik, disebut Kernet, tertanam di balik pupilnya. Teknologi ini bukan produk pasaran, melainkan warisan darah. Kernet adalah prototipe terakhir yang dikembangkan Arya Wiguna, dan hanya bisa aktif dalam tubuh manusia dengan genetik tertentu- anaknya sendiri.Suara mendesis pelan