"Kami sangat menyesal atas apa yang terjadi. Kami ingin Darel menikah dengan Anda," ujar Tuan Alexander. Alya terkejut. "Menikah? Kenapa?" tanya Alya.
“Karena kamu tidak punya siapa-siapa lagi, dan Darel adalah penyebabnya. Ini adalah bentuk tanggung jawab kami,” jawab Tuan Alexander. Darel menambahkan, "Saya ingin menebus kesalahan saya."
Alya merasa terjebak. Ia tidak menginginkan pernikahan ini, tetapi menyadari ia tidak punya pilihan lain. Hidupnya kini bergantung pada belas kasihan orang lain. Tanpa pilihan, mereka melangsungkan pernikahan sederhana di ruang perawatan rumah sakit.
Pemuka agama pun menikahkan mereka, dan pernikahan mereka telah tercatat dalam buku pernikahan negara.
"Bagimana apakah ‘Sah’?"
"Sah." Ucap semua hadirin.
Alya menunduk, matanya kosong. Tak ada kebahagiaan, hanya kehampaan yang memenuhi dadanya.
"Sekarang kalian resmi menjadi suami istri. Semoga bisa saling menjaga dan menjalani kehidupan rumah tangga dengan baik," ujar Tuan Alexander.
Alya dengan suara hampir berbisik, "Suami istri...?" ia pun tersenyum pahit.
Darel menatap Alya sekilas, lalu membuang muka.
Mamanya Darel mendekat, menatap Alya dengan tajam, "Sekarang kau sudah menjadi bagian dari keluarga kami. Jangan macam-macam."
Alya tak menjawab. Rasanya seperti terperangkap dalam sangkar emas yang tidak bisa ia tinggalkan.
***
Kehidupan pernikahan Alya tidak membaik. Darel semakin mengabaikannya, lebih sering menghabiskan waktu dengan kekasihnya, Elmira.
Kini Alya sedang merapikan pakaian Darel di lemari, matanya tiba-tiba menangkap secarik kertas berlogo hotel. Dahinya berkerut saat membacanya.
Alya berbisik, "Reservasi hotel?" matanya bergerak cepat membaca nama yang tertera.
"Darel… dan Elmira?"
Tangannya bergetar. Ia melirik ponsel Darel yang tergeletak di meja samping tempat tidur. Dengan jantung berdebar, ia membuka galeri foto.
"Tidak… ini tidak mungkin…" ujar Alya dengan suara tercekat.
Foto-foto mesra Darel dan Elmira terpampang jelas, bahkan ada foto mereka diranjang yang sama. Wajah mereka penuh kebahagiaan, seolah Alya tak pernah ada dalam hidup Darel.
"Selama ini… aku hanya istri di atas kertas?" tanya Alya memonolog.
Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. Ia merasakan sakit yang menusuk begitu dalam.
Hati istri mana yang tak perih mengetahui suaminya telah mengkhianatinya sedalam ini? Apalagi, sejak pernikahan mereka, Darel belum pernah sekalipun menyentuhnya sebagai seorang suami.
Darel masuk ke kamar tanpa mengetuk. Ia tampak tidak peduli dengan kesedihan Alya.
"Besok aku akan pergi ke luar kota. Aku tidak mau ada masalah saat aku pergi," ujarnya dingin.
Alya mendongak, matanya yang sembab menatap wajah lelaki yang telah menikahinya itu. "Darel, apakah kita tidak bisa berbicara? Hanya sekali ini saja, aku ingin kita berbicara sebagai suami istri."
Darel tertawa sinis. "Suami istri? Kamu pikir masih ada hubungan itu di antara kita? Dari awal pernikahan ini hanya kesalahan. Aku sudah lelah. Kalau bukan karena keluargaku, aku pasti sudah meninggalkanmu sejak lama."
Perkataan Darel seperti pisau yang menusuk hati Alya. Ia menggigit bibirnya, mencoba menahan rasa sakit. Sungguh, ia ingin berteriak, ingin marah, tetapi tak ada gunanya. Hatinya sudah cukup terkoyak.
"Kalau begitu, lepaskan aku," ucap Alya dengan suara bergetar. "Izinkan aku pergi."
Darel terdiam sesaat, lalu menyeringai. "Pergi? Kau pikir semudah itu? Kalau kau pergi, kau tidak akan mendapatkan apa-apa. Jangan harap aku akan membiarkanmu pergi dengan mudah."
Alya menatapnya dengan tatapan penuh luka. “Aku tidak butuh apa pun darimu. Aku hanya ingin kebebasan.”
***
Suatu pagi, saat sarapan, Alya meletakkan dokumen di atas meja makan. Semua anggota keluarga Alexander sedang duduk di sana, bahkan ada Elmira juga yang kini tak malu bermesraan didepan keluarga Darel.
"Apa ini?" tanya Mama Salsa dengan nada merendahkan.
“Surat perceraian,” jawab Alya dengan tegas. Suaranya bergetar, tetapi penuh ketegasan.
Ruangan menjadi sunyi. Darel menatapnya tajam. Elmira tersenyum penuh kemenangan.
“Kamu yakin dengan keputusan ini?” tanya Darel dengan nada menantang.
Alya mengangguk. “Aku sudah cukup menderita. Aku tidak ingin bertahan dalam pernikahan yang hanya membawa luka.”
Mama Salsa tertawa dingin. “Bagus. Dari awal kamu memang tidak pantas untuk Darel. Pergilah, dan jangan pernah kembali.”
Alya tidak berkata apa-apa. Ia hanya mengambil koper yang sudah ia siapkan dan melangkah keluar dengan tertatih. Darel tidak mencoba menahannya, duduk diam seolah kepergian Alya tidak berarti apa-apa baginya.
Alya melangkah keluar dari rumah besar itu dengan langkah tertatih dan terseok-seok. Udara pagi terasa lebih segar, kebebasan akhirnya ada dalam genggamannya. Dengan langkah mantap, ia berjalan ke pinggir jalan dan mengangkat tangan, menghentikan taksi. Namun, di saat yang bersamaan, seorang pria juga melakukan hal yang sama.
"Maaf, tapi saya duluan yang menghentikan taksi ini," ucap Alya.
Pria itu menaikkan alis, "Duluan? Saya jelas lebih cepat."
Alya pun menyilangkan tangan, "Saya yang lebih butuh."
"Oh ya? Saya juga buru-buru," ujar pria itu.
Pak Sopir pun menghela napas, "Mas, Mbak, kalau masih bertengkar, jangan naik taksi saya."
Alya mengerutkan kening, "Baiklah. Pak, antarkan saya dulu," putus Alya.
Pria itu menatap Alya sejenak, lalu menghela napas, "Turuti saja maunya dia, Pak, biar cepat selesai."
Alya melirik pria itu sekilas, lalu memasukkan koper kecilnya ke dalam bagasi. Pria itu pun melakukan hal yang sama. Keduanya masuk ke dalam taksi, duduk dalam diam. Suasana canggung menyelimuti.
"Kenapa? Mau bertengkar lagi?" tanya pria itu.
Alya mendengus, "Enggak. Saya cuma merasa… kita pernah bertemu sebelumnya?"
Pria itu menyeringai, "Mungkin. Dunia ini kecil."
Alya mengalihkan pandangan ke luar jendela, berusaha mengabaikan perasaan aneh yang mulai mengusiknya. Tak lama, ponsel pria itu berdering.
"Ya, saya sudah dalam perjalanan… Jangan biarkan dia pergi sebelum saya sampai," ujar pria itu dengan suara yang berubah serius.
Alya menoleh, ia merasakan sesuatu yang janggal. Pria itu menutup telepon, lalu menatapnya.
"Sepertinya perjalanan kita akan lebih menarik dari yang kukira," ucapnya kemudian.
Alya menegang. Jantungnya berdetak lebih cepat. Siapa pria ini sebenarnya? Dan kenapa firasat buruk mulai menyelimutinya?
***
~ Bersambung ~
“Berhenti di depan, Pak,” ujar Alya.“Baik.”Alya sampai di gang rumahnya, ia sengaja turun tak di depannya. Ia rasa tak nyaman saja jika pria itu mengetahui rumahnya, karena aura yang keluar dari pria itu nampak dingin dan entahlah, Alya tak tahu. Sopir taksi pun menghentikan mobilnya, kemudian Alya membayarnya, lalu mengambil koper di bagasi belakang."Jadi di daerah ini rumahmu?" tanya pria misterius itu.Alya tak menghiraukannya, ia pun berjalan menuju gang rumahnya dengan langkah tertatih."Gadis yang menarik," ujar Raditya.Kemudian taksi pun melaju ke tempat tujuan selanjutnya. Sesampainya di sebuah perusahaan besar, Raditya membawa kopernya menuju ke ruangannya paling atas. Ia terburu-buru hendak menemui teman yang mencuranginya dahulu, makanya tadi ditelepon ia begitu marah. Raditya Nathan Wijaya, seorang CEO dari PT. Nathan Wijaya Teknologi, sekaligus memiliki identitas lain yang tak diketahui orang selama ini, ia juga seorang hacker hebat dalam dunia cyber.Sesampainya di r
Ketukan keras menggema di pintu depan."Alya, aku tahu kau di dalam! Buka pintunya!" suara berat Raditya terdengar jelas, menggema di dalam rumah.Alya yang tengah duduk di sofa terkejut. Ia tak menyangka Raditya akan datang langsung ke rumahnya. Dengan napas yang sedikit tercekat, ia bangkit dan menghampiri pintu. Saat pintu dibuka, sosok tinggi dengan sorot mata tajam itu berdiri di sana, menatapnya lekat."Maaf, aku pikir hanya itu satu-satunya cara untuk mendapatkan barang-barangku kembali," kata Alya pelan."Mana barang-barangku?" tanya Raditya tanpa basa-basi. Sejurus kemudian, ia menambahkan dengan nada lebih santai, "Kamu tidak menyuruhku duduk?"Alya mengerutkan kening. Saat berbicara di telepon tadi, suara Raditya begitu kasar, bahkan terdengar membentak. Namun, kini, saat mereka bertatap muka, suaranya melunak, seolah-olah ada sesuatu yang berubah dalam dirinya."Silakan duduk!" ujar Alya akhirnya, menggeser tubuhnya ke samping untuk memberinya jalan masuk.Raditya melangka
Alya menarik tangannya perlahan, mencoba mengatur napasnya yang tiba-tiba terasa berat. Ia menatap Raditya dengan sorot waspada, berusaha menutupi kegugupan yang muncul akibat sentuhan singkat itu."Kita baru bertemu, Radit. Jangan bertindak seolah-olah kau mengenalku," ucapnya dengan nada lebih tegas dari yang ia maksudkan.Raditya mengangkat alisnya, jelas tertarik dengan respons Alya. "Aku memang belum mengenalmu sepenuhnya. Tapi anehnya, aku merasa seperti sudah lama mengenalmu."Alya tersenyum kecil, tapi matanya tetap menyimpan kehati-hatian. "Itu hanya perasaanmu saja."Raditya menyandarkan tubuhnya ke kursi, memperhatikan Alya dengan tatapan yang sulit ditebak. "Mungkin. Tapi aku tetap ingin tahu lebih banyak tentangmu."Alya menelan ludah. Ia tidak ingin membicarakan masa lalunya. Tidak dengan orang yang baru dikenalnya. Tidak dengan pria yang, entah kenapa, mampu membuatnya kehilangan kendali hanya dengan sebuah tatapan."Aku hanya seorang wanita biasa," katanya akhirnya, me
Alya menelan ludah, mencoba membaca ekspresi Raditya.Konsekuensi? Apa maksudnya?Alya dengan suara sedikit gemetar, bertanya, "Konsekuensi seperti apa yang kamu maksud, Radit?"Raditya tidak langsung menjawab. Ia menatap Alya sejenak, lalu menghela napas pelan."Jika kamu menerima tawaran ini, hidupmu tidak akan sama lagi," ujar Raditya.Alya semakin penasaran. Ia menggenggam tangannya sendiri, mencoba menenangkan diri."Kamu membuatku semakin penasaran, Radit. Katakan saja langsung," ucap Alya.Raditya tersenyum tipis, lalu mengambil ponselnya. Ia mengetik sesuatu dengan cepat sebelum menaruhnya di meja."Aku ingin kamu bergabung dengan perusahaanku. Bukan hanya sebagai mitra bisnis, tapi sebagai bagian inti dari tim inovasi kami," tawar Raditya.Alya terkejut. Ia tidak menyangka akan mendapat tawaran sebesar ini."Bagian inti? Maksudnya… aku akan bekerja di perusahaanmu?" tanya Alya.Raditya mengangguk."Bukan sekadar bekerja. Aku ingin kita mengembangkan EduLearn bersama, mengemba
Wanita itu berdiri di depan meja, menatap Raditya dengan tatapan penuh arti. Alya bisa merasakan ketegangan di udara."Kenapa kamu ada di sini?" tanya Raditya dengan nada dingin.Wanita itu tersenyum tipis. "Kita perlu bicara. Urusan kita belum selesai."Alya melirik Raditya, mencoba membaca ekspresinya. Namun, pria itu tetap menjaga ketenangannya."Aku tidak melihat ada urusan yang belum selesai di antara kita, Rena," ujar Raditya tegas.Alya tersentak. Nama itu… Ia merasa pernah mendengarnya."Oh, Radit, kamu selalu berusaha mengabaikan sesuatu yang tidak nyaman bagimu. Tapi kali ini, kamu tidak bisa lari." Rena menarik kursi dan duduk tanpa diundang.Alya menyadari bahwa ini bukan sekadar pertemuan bisnis biasa. Ada sesuatu di antara mereka yang lebih dalam."Apa sebenarnya yang kamu inginkan, Rena?" Raditya bersedekap, matanya tajam menusuk wanita itu."Aku ingin kesempatan kedua," jawab Rena tanpa ragu.Alya merasakan ketegangan makin meningkat. Ia mencoba untuk tetap tenang, tet
Suasana pagi di depan gedung megah PT. Nathan Wijaya Teknologi dipenuhi aktivitas. Sebuah Lamborghini Urus hitam berhenti tepat di depan pintu masuk utama, menarik perhatian karyawan yang baru tiba. Pintu mobil terbuka, dan seorang pria bertubuh tegap dengan jas hitam turun dengan karisma yang sulit diabaikan. Raditya Nathan Wijaya, CEO perusahaan, melangkah dengan percaya diri, pandangannya tajam menelusuri area depan sebelum akhirnya masuk ke dalam.Di dalam, suasana kantor berubah begitu Raditya muncul. Para karyawan bergegas kembali ke meja mereka, pura-pura sibuk meskipun rasa penasaran mereka masih menggelayuti. Tak jauh dari sana, Alya terduduk di ruang tunggu, merapikan ujung blazernya dengan gugup. Sejak tadi, dia bisa merasakan tatapan penuh tanya dari para karyawan. Bisik-bisik yang muncul tak bisa dia abaikan sepenuhnya."Jadi dia karyawan baru? Kenapa perusahaan sekelas NW Tech mau menerima orang cacat?" bisik seorang wanita di pojok."Mungkin ada k
Hari-hari berlalu dengan kesibukan Alya mengembangkan EduLearn. Setiap hari, ia menghabiskan waktunya di depan layar, menyusun kode, memperbaiki bug, dan memastikan sistem berjalan dengan lancar. Tak jarang Raditya datang ke ruangannya untuk berdiskusi."Bagaimana progress-nya?" tanya Raditya suatu sore, bersandar di pintu dengan tangan di saku celana.Alya menatap layar laptopnya, lalu berbalik ke arah Raditya. "Fitur interaktifnya hampir selesai. Saya hanya perlu melakukan beberapa uji coba lagi sebelum kita rilis versi beta."Raditya mengangguk, lalu melangkah masuk dan duduk di kursi di seberang Alya. "Bagus. Kamu memang luar biasa."Alya terkekeh, mencoba meredam rasa gugupnya. "Saya hanya melakukan pekerjaan saya."Raditya menatapnya dengan mata berbinar. "Dan kamu melakukannya dengan sangat baik. Aku kagum dengan semangatmu."Alya merasa pipinya sedikit memanas. "Terima kasih. Kalau tidak ada yang lain, saya akan lanjut bekerja."
Alya menegang di balik pintu. Ketukan pelan itu membuatnya semakin gelisah."Alya, buka pintunya. Ini aku." Suara Raditya terdengar tegas namun menenangkan.Tanpa pikir panjang, Alya langsung membuka pintu. Begitu melihat Raditya berdiri di sana dengan tatapan khawatir, ia langsung melangkah maju dan memeluknya erat. Jantungnya masih berdebar kencang akibat ketakutan yang dirasakannya.Raditya terkejut sejenak, tapi kemudian ia membalas pelukan Alya, menepuk punggungnya lembut. "Tenang, aku di sini. Tidak ada yang akan menyakitimu."Alya merasakan ketenangan dalam dekapan Raditya. Tangannya yang semula gemetar perlahan mulai stabil. Setelah beberapa saat, Raditya menuntunnya ke sofa yang ada di ruangan itu. Ia duduk di samping Alya, menatapnya dengan serius."Coba jelaskan, sebenarnya apa yang terjadi?" tanyanya pelan, tapi ada nada tegas dalam suaranya.Alya menarik napas dalam, lalu mulai bercerita. Ia menceritakan semua yang terjadi sejak
Kabut tipis menyelimuti jalan berbatu menuju reruntuhan observatorium di utara Nusant. Langit menggantung rendah, menyiratkan hujan yang tertunda. Di dalam mobil hitam yang melaju pelan, Raditya menggenggam setir dengan rahang mengeras. Alya duduk di sampingnya, memeluk jaket yang lebih tebal dari biasanya. Keheningan di antara mereka bukan karena kekosongan- melainkan karena terlalu banyak yang ingin dikatakan, tapi tak tahu harus mulai dari mana.“Radit,” suara Alya pelan, “kalau ini jebakan...”“Aku tahu risikonya,” potong Raditya, tak menoleh. “Tapi aku juga tahu kita gak bisa mundur setelah semua yang terjadi.”Mobil berhenti di depan pagar besi yang sudah berkarat, sebagian roboh. Ilalang tumbuh liar, menyembunyikan jalan setapak menuju bangunan utama observatorium- gedung tua yang menjadi saksi bisu tragedi bertahun-tahun lalu. Api pernah melahap sebagian atapnya, dan sejak saat itu tempat ini ditinggalkan, dikunci oleh waktu dan trauma.Alya meremas tangannya sendiri. “Tempat
Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Langit yang tadinya jernih perlahan tertutup awan gelap, seolah alam pun ikut menahan napas.Raditya menggenggam kalung perak itu erat-erat, sementara Alya berdiri di sampingnya, masih memandangi pintu rumah yang tertutup rapat. Suara tangis bayi tadi telah menghilang, tapi gaungnya masih bergetar di telinga mereka.“Radit,” suara Alya nyaris tak terdengar, “kita harus tahu... siapa yang menaruh ini di sini.”Raditya mengangguk. Ia melangkah menuju pagar belakang, menyusuri jalan setapak kecil yang jarang dilewati. Taman belakang rumah memang belum sepenuhnya selesai ditata. Di ujung pagar, jejak kaki samar terlihat di tanah yang lembap—ukuran kecil, seperti sepatu wanita.Ia menunduk, menyentuh jejak itu dengan ujung jarinya. “Masih baru,” gumamnya.Tiba-tiba lampu taman di ujung jalan menyala sendiri, menyinari bayangan seseorang di seberang pagar. Bayangan itu berdiri diam, tubuhnya tertutup kerudung panjang berwarna kelabu. Tapi saat R
Mentari pagi menyelinap perlahan melalui tirai jendela rumah kecil di pinggiran kota Nusant. Raditya berdiri di dapur, menggenggam ponsel, sementara Alya duduk di meja makan sambil mengaduk teh melati hangatnya. Di hadapannya, hasil tes kehamilan yang sudah mereka simpan dalam map bening, masih seperti mimpi indah yang belum ingin mereka bangunkan.“Siap?” tanya Alya sambil tersenyum.Raditya mengangguk, lalu menekan layar. Wajah Bunda Liliana segera muncul, diikuti Ayah Darian di belakangnya dengan kemeja tidur yang belum sempat dirapikan.“Radit? Kenapa pagi-pagi menelepon? Ada apa?” tanya Bunda Liliana, matanya menyipit curiga.“Ada kabar penting, Bunda, Yah,” jawab Raditya. Ia melirik Alya lalu kembali menatap layar. “Alya... dia hamil.”Beberapa detik hening. Lalu, jeritan Bunda Liliana memecah keheningan.“APA?! HAMIL?!”Ayah Darian tergagap. “Tunggu, tunggu. Maksudmu... kalian- kalian akan punya anak?”Raditya mengangguk, senyum tak lepas dari wajahnya. “Kami dapat hasilnya kem
Tiga minggu telah berlalu sejak malam berbintang itu.Hidup perlahan menemukan ritmenya kembali. Raditya kembali membangun NW Tech dari dalam, kali ini bersama Aldo Rusdiawan, asisten pribadinya yang selalu tanggap dan tak pernah kehilangan fokus meski dalam situasi genting. Bersama, mereka mulai mengembangkan teknologi generasi berikutnya- lebih aman, lebih etis, dan lebih manusiawi, dengan LILITH sebagai penjaga utama di balik sistem.Tak hanya itu, Raditya juga mulai menjalin kolaborasi dengan keluarga Wiranagara- keluarga Alya di Jepang yang memiliki pengaruh besar dalam bidang teknologi neurokomputasi dan pengembangan chip bio-sinkronisasi. Bagi Raditya, kerja sama ini bukan hanya strategi bisnis. Ini adalah bentuk rekonsiliasi antara masa lalu dan masa depan, antara luka yang pernah ada dan mimpi yang kini bisa dibangun bersama.Sementara itu, Alya mulai aktif dalam proyek sosial bersama kode Elvaretta, tentunya dengan bantuan sang suami tercinta, Raditya. Mereka menciptakan pla
Langit Jakarta pagi itu berwarna biru muda, seolah baru dicuci oleh hujan semalam. Sinar matahari menembus jendela penthouse, menyinari ruangan yang kini jauh lebih tenang daripada hari-hari sebelumnya. Di balkon, Alya berdiri dengan secangkir teh melati hangat di tangan, rambutnya yang tergerai ditiup angin lembut.Sudah tiga hari sejak mereka mematikan ISAAC dan menyatukan LILITH ke dalam sistem sebagai penjaga emosional. Dunia luar tidak tahu banyak, kecuali bahwa ‘insiden sistem global’ telah berakhir secara misterius. Tapi bagi Alya dan Raditya, itu lebih dari cukup. Mereka tidak butuh pengakuan. Mereka hanya butuh... ketenangan.Pintu balkon terbuka perlahan.Raditya berjalan keluar dengan hoodie abu-abu dan rambut sedikit berantakan. Tapi senyumnya, seperti biasa, mampu membuat dunia Alya berhenti sesaat.“Pagi,” katanya, menyandarkan tubuhnya di sisi pintu sambil menguap pelan.Alya menoleh, matanya melembut. “Kamu tidur jam berapa?”“Jam dua. Haruto kirim update terakhir soal
Sistem Pusaran berubah seperti medan perang virtual. Suara mekanis ISAAC beradu dengan gema halus LILITH, saling menyusupi jaringan. Kabel-kabel di sekeliling mereka seperti makhluk hidup yang menari liar, melingkar dan memukul udara kosong.“Aku memilih diriku sendiri,” ulang Alya, suaranya masih menggema di antara dinding kubah logam itu.ISAAC menghentikan semua suara. Tak ada bunyi, tak ada cahaya yang berkedip. Hening yang tak wajar menggantung di udara- seperti napas terakhir sebelum badai.“Validasi pilihan: tidak terdaftar,” ucap ISAAC akhirnya. “Perintah tidak dikenali dalam protokol sistem. Merujuk pada opsi: integrasi paksa.”“Tidak!” seru Raditya. Ia menarik helm kontrol dari menara pusat, lalu menoleh cepat ke Alya. “Kalau dia maksa, kita harus masuk duluan. Ke Echo Helix. Di sana kamu bisa menentukan jalurnya. Tapi hanya kamu yang bisa masuk- karena dia mengikatkan dirinya padamu.”Alya mengangguk. Tangannya gemetar saat menerima helm dari Raditya. “Kalau aku gagal?”“Ka
Pintu titanium menutup rapat di belakang mereka. Lorong di bawah Helix lama bergema oleh langkah kaki Alya dan Raditya. Di belakang mereka, sistem-sistem kuno mulai menyala sendiri- lampu berkedip, suara listrik menyentak-nyentak seperti ada yang sedang mencoba membangkitkan sesuatu yang seharusnya tak bangkit lagi.“ISAAC sudah masuk ke sistem bawah,” kata Raditya sambil mempercepat langkah. Ia membuka kompad kecil di pergelangan tangan dan menampilkan peta digital. “Kita harus mencapai inti utama sebelum koneksinya stabil.”“Tempat yang kamu sebut Pusaran itu... sebenarnya apa?” tanya Alya dengan napas terengah. Di matanya, tergambar ketakutan dan rasa ingin tahu yang bercampur.“Tempat yang dibangun di luar logika dan etika,” jawab Raditya. “Prototipe akhir sistem jaringan Nusant. Tempat buangan untuk teknologi yang terlalu berbahaya untuk dimusnahkan. Termasuk satu hal yang belum pernah dipakai: protokol Null-Core- satu-satunya jalan untuk memutus koneksi ISAAC.”Lorong menurun se
Lorong menuju Ruang Simulasi berada di bawah Menara Helix yang lama, tersembunyi di balik dinding lift yang telah dimatikan sejak insiden ledakan tujuh tahun lalu. Tak ada akses publik. Hanya satu jalur manual yang masih bisa digunakan- melalui terowongan yang bahkan Raditya sendiri jarang datangi.Langkah-langkah mereka bergema di antara dinding baja yang dingin. Alya menggenggam senter kecil, cahayanya menari di sepanjang lorong sempit yang seolah tidak pernah disentuh cahaya matahari. Bau karat dan debu tua memenuhi udara.“Aku pikir tempat ini sudah dimusnahkan,” gumam Alya pelan.“Begitu rencananya,” jawab Raditya. “Tapi Kakekku selalu punya rencana cadangan. Ruang Simulasi dibangun tersembunyi, di bawah semua sistem utama. Bahkan saat markas utama hancur, tempat ini tetap utuh.”Mereka tiba di sebuah pintu besar dari paduan titanium, tertutup rapat tanpa panel akses.“Bagaimana kita masuk?” tanya Alya.Raditya menarik napas, lalu mengangkat tangan kirinya. Dari balik pergelangan
Cahaya merah lembut menyelimuti dinding-dinding ruang bawah tanah yang tersembunyi jauh di bawah reruntuhan markas lama Helix Foundation. Udara dingin menusuk tulang, berembus dari ventilasi tua yang nyaris tertutup debu waktu. Dinding logam dipenuhi kabel menjalar seperti akar pohon raksasa, berkedip dalam pola acak- seolah memiliki denyut nadinya sendiri. Di tengah ruangan bundar itu, berdiri seorang pria muda dengan rambut hitam pendek, mengenakan jaket panjang berlapis kevlar. Kacamata augmented reality menempel permanen di sisi kiri wajahnya, menyatu seperti organ tambahan.Dialah Arkana.Mata kirinya bersinar biru- bukan karena teknologi semata, tapi karena sesuatu yang jauh lebih dalam. Sebuah chip simbiotik, disebut Kernet, tertanam di balik pupilnya. Teknologi ini bukan produk pasaran, melainkan warisan darah. Kernet adalah prototipe terakhir yang dikembangkan Arya Wiguna, dan hanya bisa aktif dalam tubuh manusia dengan genetik tertentu- anaknya sendiri.Suara mendesis pelan