"Mereka terlihat dekat? Apa mereka sudah saling mengenal sebelumnya?"
David menyesap cappuccinnolate dalam cangkirnya sambil melirik pada Mama dan Om William. Kedua orang itu duduk di pojok restoran ini. Pertemuan yang canggung dan terlihat serius.
"Ada hubungan apa antara, mamamu dan Om William itu?"
"Sudah nikmati saja minummu, ceritanya terlalu panjang. Kau akan kaget jika kuberitahu."
"Maksud loe?"
David mengernyitkan alisnya tak paham dengan kata-kataku. Terkadang ada hal yang tak perlu dijelaskan. Karena penjelasan itu belum tentu dapat diterima dengan baik oleh orang lain. Cukup
Keesokan paginya.Aku melirik Wulan dari kaca spion yang sengaja kuarahkan pada gadis yang duduk di sebelahku.Mengenakan celana jeans berwarna biru dan dan kemeja bermotif kotak-kotak. Rambutnya dibiarkan tergerai. Terlihat tomboy, namun dia cantik. Ah, gadisku ini.Kenapa wajah Wulan terlihat semakin besar di kaca?Astaga! Wulan mendekat ke arah kaca spion mobil. Ia mengarahkan kaca itu ke wajahnya."Wulan udah cantik, Ali?"Aku segera berpura-pura menatap ke luar kaca mobil. Memperhatikan jalanan di depan.
Semalam setelah Wulan masuk ke kamar dan mengingatkanku tentang kuliahnya. Aku berbicara serius dengan mama.Meminta izin dan bertukar pendapat tentang Wulan."Mama setuju, Wulan gadis yang baik."Mama menyetujui niatku, secara tak langsung merestui keinginanku untuk lebih dekat dengan Wulan."Kira-kira jurusan apa yang tepat buat, Wulan, Ma?" Aku meminta pendapat pada Mama.Gadis cempreng itu terkadang tak bisa menentukan pilihan."Dia sangat berbakat saat merawat mama. Bagaimana kalau perawat?"
Mengerjapkan mata beberapa kali. Segera kuambil bantal di samping, menutupkannya di atas wajah. Silau. Heh?! Matahari sudah naik hampir di atas ubun-ubun. Jam berapa sekarang? Aku memicingkan mata, melirik pada jam dinding. Apa? Jarum pendeknya sudah berada di angka sebelas. "Hah?!" "Astaga!" Aku melempar bantal ke sisi ranjang. Kenapa bisa sampai lupa. Hari ini aku janji akan mengantarkan Wulan ke Universitas Aviccenna. Segera meloncat dari ranjang menyambar handuk. Masuk ke dalam kamar mandi. Beberapa menit membersihkan badan dengan tergesa. Segera mengambil celana hitam panjang dan kemeja berwarna putih
"Mau apa lagi dia?" ketus Wulan. "Ada yang ingin dibicarakannya. Kamu mau ikut?" Sekadar bertanya pada Wulan. Aku yakin dia akan menggelengkan kepala. Wulan menatap rok berwarna merah selutut yang dipakainya. Kemudian melihat pantulan wajahnya di cermin, "Nggak, gila aja. Masak penampilan kayak badut gini mau diajak ke kafe? Sengaja, ya?" Jawaban yang sudah kutebak. Pasti dia menolak, "Oke, kuantar kamu pulang dulu." Kutambah kecepatan mobil, jarum speedometer menunjuk ke arah angka 100 km/jam. "Pelan-pelan, Ali!" Wulan mendel
Seminggu Yang Lalu …. Gemerlap lampu sorot berwarna-warni membuat suasana klub Heaven sangat meriah. Pesta dalam kegelapan. Dentuman musik dengan volume memekakkan telinga membuat para tamu yang datang bergoyang semakin cepat dan enerjik. Kehidupan malam adalah milik para manusia bebas. Kebebasan adalah tujuan semua manusia yang memiliki masalah. "Loe tau Lex, gimana selama tiga tahun ini gue ngejaga, Anissa?" David menunjuk ke arah dadanya sendiri. "Gue bener-bener sayang sama dia. Sampai-sampai gue gak pengen merusak dia. Bukankah cinta itu menjaga sampai dia menjadi yang halal untuk kita sentuh?" David menenggak minuma
"Apa ini cuma akal-akalan Hilton Corporation untuk meredam berita di media masa?" Perempuan yang bertubuh lebih gemuk menyikut lengan wanita di sebelahnya."Apa pun yang terjadi itu semua bukan urusan kalian!" sambungku lalu berdiri meninggalkan area pernikahan itu."Alex." Suara seorang perempuan memanggilku.Refleks aku menoleh ke arah belakang. Dari kejauhan mama dan Wulan menatapku, wanita paruh baya mengenakan gaun berwarna putih dengan sentuhan brokat berwarna emas itu melambai padaku.Mama menyuruhku mendekat, aku berbalik badan. Mengurungkan langkah yang akan meninggalkan area pernikahan ini.
Aku dan Om William berpelukan beberapa saat. Wildan menatap tajam padaku."Kalian terlihat akrab, apa kalian saling mengenal sebelumnya?" Kedua alis Wildan mengernyit."Kami hanya rekan bisnis, Nak!" Om William melepas pelukan. Terlihat ia berusaha bersikap tenang dan biasa saja di hadapan sang anak.Wildan berjalan perlahan menuju kami. Gadis cantik dengan balutan Cheongsam Floral berwarna putih itu mengikuti langkah sepupunya."Apa papa tahu siapa dia?" Wildan telah berada di samping papanya. Wajahnya memerah, terlihat masih marah kalah duel denganku tadi, "Dia adalah Alexander Ibrahim. Lelaki yang kabur dari acara pertunangan Melissa, sebulan yang lalu."
"Kenapa? Kenapa ini bisa terjadi?"Aku memukul kaca di hadapan. Bagaimana bisa golongan darahku tak sama dengan Om William?"Jadi, aku ini anak siapa?!" teriakku di depan kaca.Menekan kran besi di westafel, air mengucur dengan deras. Segera kubasuh muka. Saat semua hal terlalu benar dan menjadi di luar nalar. Aku butuh air untuk membasuh muka. Semoga diriku yang menyedihkan ini segera sadar dari halusinasi kesombonganku.Mendongak, kembali menatap cermin di hadapan. Wajahku telah basah oleh air. Beberapa tetes cairan turun dari rambut ke kening."Apa aku benar-benar anak, Papa? Ibrahim, pemilik Th