"Jadi? Tentu saja, ini bukan kamar mama!" celetuk Wulan.
Sudah pasti lemari pakaian yang dimaksud mama adalah lemari yang berada di kamar papa. Mereka adalah pasangan suami istri sebelumnya, pakaian mereka tentu berada dalam satu tempat.
Aku merogoh ponsel di saku. Menatap layarnya. Jam digital di layarnya tertera angka 17.20 WIB. Tanya jawab tadi hanya berlangsung dua puluh menit?
Pada jam seperti ini papa akan berada di dalam kamarnya. Hingga nanti saat makan malam tiba, ia akan keluar dan turun ke meja makan.
"Mama, apa tak ada yang ingin mama bicarakan dengan papa?"
Mama menatapku beberapa saat. Aku mengedipkan mata p
"William Dwi Hartono, coba cari tahu siapa lelaki ini!?" perintahku.Aku segera menutup panggilan. Kuyakin David akan segera mendapatkan informasi tentang lelaki ini. Kemungkinan besar dia adalah ayah kandungku. Lelaki yang melakukan one night stand dengan mama.Satu notifikasi masuk melalui pesan whatss**p.[Bro, are you kidding me? Loe beneran gak tahu apa ngetes gue?]Satu pesan dari David membuatku mengernyitkan alis untuk memahaminya.[Maksud loe?]Segera kubalas pesan dari David itu.[Cob
"Mereka terlihat dekat? Apa mereka sudah saling mengenal sebelumnya?"David menyesap cappuccinnolate dalam cangkirnya sambil melirik pada Mama dan Om William. Kedua orang itu duduk di pojok restoran ini. Pertemuan yang canggung dan terlihat serius."Ada hubungan apa antara, mamamu dan Om William itu?""Sudah nikmati saja minummu, ceritanya terlalu panjang. Kau akan kaget jika kuberitahu.""Maksud loe?"David mengernyitkan alisnya tak paham dengan kata-kataku. Terkadang ada hal yang tak perlu dijelaskan. Karena penjelasan itu belum tentu dapat diterima dengan baik oleh orang lain. Cukup
Keesokan paginya.Aku melirik Wulan dari kaca spion yang sengaja kuarahkan pada gadis yang duduk di sebelahku.Mengenakan celana jeans berwarna biru dan dan kemeja bermotif kotak-kotak. Rambutnya dibiarkan tergerai. Terlihat tomboy, namun dia cantik. Ah, gadisku ini.Kenapa wajah Wulan terlihat semakin besar di kaca?Astaga! Wulan mendekat ke arah kaca spion mobil. Ia mengarahkan kaca itu ke wajahnya."Wulan udah cantik, Ali?"Aku segera berpura-pura menatap ke luar kaca mobil. Memperhatikan jalanan di depan.
Semalam setelah Wulan masuk ke kamar dan mengingatkanku tentang kuliahnya. Aku berbicara serius dengan mama.Meminta izin dan bertukar pendapat tentang Wulan."Mama setuju, Wulan gadis yang baik."Mama menyetujui niatku, secara tak langsung merestui keinginanku untuk lebih dekat dengan Wulan."Kira-kira jurusan apa yang tepat buat, Wulan, Ma?" Aku meminta pendapat pada Mama.Gadis cempreng itu terkadang tak bisa menentukan pilihan."Dia sangat berbakat saat merawat mama. Bagaimana kalau perawat?"
Mengerjapkan mata beberapa kali. Segera kuambil bantal di samping, menutupkannya di atas wajah. Silau. Heh?! Matahari sudah naik hampir di atas ubun-ubun. Jam berapa sekarang? Aku memicingkan mata, melirik pada jam dinding. Apa? Jarum pendeknya sudah berada di angka sebelas. "Hah?!" "Astaga!" Aku melempar bantal ke sisi ranjang. Kenapa bisa sampai lupa. Hari ini aku janji akan mengantarkan Wulan ke Universitas Aviccenna. Segera meloncat dari ranjang menyambar handuk. Masuk ke dalam kamar mandi. Beberapa menit membersihkan badan dengan tergesa. Segera mengambil celana hitam panjang dan kemeja berwarna putih
"Mau apa lagi dia?" ketus Wulan. "Ada yang ingin dibicarakannya. Kamu mau ikut?" Sekadar bertanya pada Wulan. Aku yakin dia akan menggelengkan kepala. Wulan menatap rok berwarna merah selutut yang dipakainya. Kemudian melihat pantulan wajahnya di cermin, "Nggak, gila aja. Masak penampilan kayak badut gini mau diajak ke kafe? Sengaja, ya?" Jawaban yang sudah kutebak. Pasti dia menolak, "Oke, kuantar kamu pulang dulu." Kutambah kecepatan mobil, jarum speedometer menunjuk ke arah angka 100 km/jam. "Pelan-pelan, Ali!" Wulan mendel
Seminggu Yang Lalu …. Gemerlap lampu sorot berwarna-warni membuat suasana klub Heaven sangat meriah. Pesta dalam kegelapan. Dentuman musik dengan volume memekakkan telinga membuat para tamu yang datang bergoyang semakin cepat dan enerjik. Kehidupan malam adalah milik para manusia bebas. Kebebasan adalah tujuan semua manusia yang memiliki masalah. "Loe tau Lex, gimana selama tiga tahun ini gue ngejaga, Anissa?" David menunjuk ke arah dadanya sendiri. "Gue bener-bener sayang sama dia. Sampai-sampai gue gak pengen merusak dia. Bukankah cinta itu menjaga sampai dia menjadi yang halal untuk kita sentuh?" David menenggak minuma
"Apa ini cuma akal-akalan Hilton Corporation untuk meredam berita di media masa?" Perempuan yang bertubuh lebih gemuk menyikut lengan wanita di sebelahnya."Apa pun yang terjadi itu semua bukan urusan kalian!" sambungku lalu berdiri meninggalkan area pernikahan itu."Alex." Suara seorang perempuan memanggilku.Refleks aku menoleh ke arah belakang. Dari kejauhan mama dan Wulan menatapku, wanita paruh baya mengenakan gaun berwarna putih dengan sentuhan brokat berwarna emas itu melambai padaku.Mama menyuruhku mendekat, aku berbalik badan. Mengurungkan langkah yang akan meninggalkan area pernikahan ini.
~Perpisahan paling menyakitkan adalah terpisahnya dua hati tanpa kejelasan alasan. Saling memendam perasaan tanpa bisa menjelaskan.~"Wulan sedih Ali, ternyata selama ini Emak Wulan masih hidup, tapi dia gak pernah kasih kabar sedikit pun," ungkap Wulan di sela isak tangisnya."Sudahlah Wulan. Mungkin semua ini sudah takdir."Aku menepuk-nepuk punggung Wulan. Setelah bertemu dan saling mengungkapkan isi hati dengan ibunya beberapa jam, kami kembali pulang."Emak Jahat, Ali. Dia tega ninggalin Wulan dan abah.""Bukan ibumu yang meninggalkan, tetapi takdir memaksanya meninggalkan kalian. Dia juga terpaksa."
"Nak order ape?" Pelayan tadi kembali mengajukan pertanyaan. Menatap bingung pada kami berdua. Duduk di kursi restoran tapi tak memesan makanan. "Emak …." Suara Wulan bergetar. Matanya berkaca-kaca dan memerah. Pramusaji yang mendatangi meja kami refleks. Menatap Wulan dengan serius, kedua alisnya mengernyit, "Wulan?" "Kamu teh, Wulan Kirana?" Akhirnya. Perjumpaan yang kubayangkan seperti perkiraan. Istriku $ berdiri dari kursinya memeluk pramusaji di depannya. Sang pramusaji membeku. Kertas catatan order dan bolpoinnya terjatuh.
"Terima kasih untuk malam yang indah ini, Sayang." Wulan mencium bibirku setelah berkata. "Sudah tugasku untuk membahagiakanmu," ucapku sambil menatap mata bulat Wulan, "tidurlah, besok kita akan mulai jalan-jalan." Wulan tersenyum, wajahnya lebih ceria dari saat pertama aku mengenalnya dulu. Tak terlihat wajah lelah bahkan mengantuk seperti sebelum kuajak dia mengunjungi Suria KLCC. "Kemana? Besok kita akan kemana?" tanya Wulan bersemangat. "Tidurlah, besok kamu akan tahu kemana tujuan kita." Aku menaikkan selimut sampai dadanya. Ia menurut dan mulai memejamkan matanya. Malam ini akan menjadi malam yang takkan terlupakan oleh Wu
~Tempat ternyaman~ Aku memeluk Wulan dari belakang. Kami menikmati malam pertama di tengah kota Kuala Lumpur dari balkon hotel. Gedung-gedung tinggi menjulang membuat kota ini terlihat seperti kota metropolitan. Bias lampu warna-warni berpendar menyemarakkan malam. Di bawah sana jalanan beraspal padat oleh berbagai kendaraan. Bunyi klakson dan mesin mobil menggema hingga balkon, tempat kami berdiri. "Apa kau suka dengan bulan madu kita?" "Tentu saja, ini pertama kalinya Wulan keluar negeri." Wulan mendongak ke wajahku. Aku menghadiahinya sebuah ciuman hangat. Ia tersenyum.
KLIA 2, Malaysia. Aku menggandeng istriku, telapak tangan Wulan terasa sangat dingin, "Apa kamu kedinginan?" Wulan menggeleng pelan, "Wulan kalo gerogi emang suka panas dingin begini." Tersenyum menatap wajah istriku itu. Ini pengalaman pertamanya naik pesawat terbang. Aku berjalan lebih cepat. Satu langkah kakiku sama dengan dua kali langkah Wulan. Sontak istriku itu menarik tangan, "Kenapa sih, cepet-cepet?" "Pelan-pelan," katanya lagi. Aku tersenyum tak menjawab pertanyaan Wulan, hanya memelankan jalan. Keluar dari koridor para penumpang berbelok ke arah kiri menuju baggage claim area. Ada banyak passenger lain yang juga mencari koper mereka.
Pukul sembilan pagi aku dan Wulan sudah selesai bersiap-siap. Abah Dadang dan dua asisten rumah tangga mengantar sampai di teras. "Abah jaga diri ya, Jangan lupa makan. Kalau Wulan telepon harus diangkat." "Iya, Neng geulis." Keduanya melepaskan pelukan. Aku ganti bersalaman dengan Abah Dadang. "Kami berangkat dulu," pamitku kemudian. Mengajak istriku segera masuk ke dalam mobil. Dua jam dari sekarang pesawat akan take off. Perjalanan dari villa menuju bandara memakan waktu sekitar satu setengah jam. "Ini pertama kalinya Wulan, naik pesawat."  
~Hidup terlalu singkat untuk digunakan membahas masa lalu. Kehidupan yang sekarang adalah sebaik-baiknya pilihan yang sudah kita ambil.~***Kucium kening Wulan. Istriku mengerjap, bulu mata lentiknya bergetar ia menatapku sejenak, "Gak tidur?"Aku menggelengkan kepala pelan. Mengelus rambut sehitam jelaganya."Jam berapa sekarang?""Pukul 00.15 Sayang," jawabku.Sejak kami resmi menjadi suami istri, entah sudah berapa kali aku bercinta dengannya. Seakan-akan tak pernah puas, dan selalu kurang. Wulan pasti kelelahan meladeni keinginanku.
Tok … tok … tok!Seseorang mengetuk pintu kamar. Aku dan Wulan sama-sama kelelahannya. Setelah bercinta di sofa kami melanjutkannya di kamar."Sayang, bangun." Aku mencoba membangunkan Wulan. Ia mengerjapkan mata, menoleh ke arahku."Ada apa?""Ada yang mengetuk pintu.""Ahhh, kamu yang bukain. Aku males," sahutnya sambil membelakangiku. Menarik selimut untuk menutupi tubuhnya lebih erat.Terpaksa aku bangun. Meraih celana pendek dan kaos yang tercecer di lantai. Membuka pintu dan keluar dari kamar.
Aku merangkul Wulan, membimbingnya masuk ke dalam villa kami. Menutup pintunya kembali. Aku mengajak Wulan duduk di sofa."Apa?" tanya Wulan dengan penasaran.Langsung saja kulumat bibir ranum Wulan. Suasana rumah sangat sepi, tak ada orang lain selain kami. Tentu saja kesempatan ini tak boleh dilewatkan.Kali ini aku ingin mencoba sesuatu yang berbeda. Kuarahkan istriku untuk duduk di atas pangkuan. Wulan bahkan mungkin tak sadar jika sudah berada di atasku. Ia memejamkan mata, sementara bibir kami terus bertaut. Sesekali li*ahnya ikut terhisap.Tanganku mulai bergerak lincah menjamah tubuh sintal Wulan. Aku mulai hapal dimana saja titik sensitif istriku ini. Menghentikan pagutan kami, beralih pad