"Apa itu?"
Wulan ikut bertanya melihat secarik kertas lusuh di tangan. Aku menggeleng, tak dapat membaca tulisan yang telah luntur.
Menghembuskan napas dengan kasar. Lalu keluar dari kamar itu. Kutinggalkan bungkusan plastik hitam di atas ranjang Wulan.
"Mau kemana?"
"Minum!"
Aku melangkah keluar dari kamar Wulan. Menuju dapur di sampingnya. Mengambil gelas dan menuangkan ceret berisi air. Kuteguk dengan cepat isi dalam gelas. Haus.
Sebuah fakta yang begitu mengagetkan. Jika baju yang kupakai saja sebegitu mahal. Berarti aku ini anak orang kaya. Namun, kenapa tak ada orang yang mencariku?
Sial. Kenapa masa laluku bagai terowongan buntu?! Semakin aku berusaha mengingat, semakin tak dapat aku berpikir.
Kubuka kembali kertas lusuh di tangan. Sebuah catatan kecil. Tak lebih dari tiga kalimat. Sialnya, tulisan itu tak terbaca. Tintanya luntur, saat ikut terhanyut di Sungai. Kertas lusuh itu adalah satu petunjuk untuk mengingat masa laluku. Karena hanya benda itu yang tersisa saat aku hanyut di sungai.
Tak ada dompet, atau tanda pengenal lain. Hanya gumpalan kertas itu dalam saku jas yang kupakai.
"Apa sebenarnya yang tertulis di kertas ini?" pekikku. Kembali kuremas kertas. Emosi, kulempar gumpalan kertas ke arah pintu.
"Aduh!"
Aku menoleh ke arah suara, Wulan mengusap-usap wajahnya. Ia mengambil kertas remasan yang kubuang tadi.
"Maaf, gak sengaja!" ucapku.
"Ali, dendam ma gue, ya?"
Wulan melebarkan matanya saat menatapku. Intonasi nada bicaranya cepat dan datar. Sebenarnya kata-katanya itu pertanyaan atau tuduhan?
"Udah dibilangin gak sengaja!"
Aku keluar dari dapur. Malas ribut dengan gadis cempreng itu. Usia gadis itu empat tahun di bawahku. Tapi gadis itu tak punya sopan santun. Jika tak ada hal penting atau maksud tertentu, ia tak pernah memanggil Kakak, Mas, atau Bang. Hanya Ali.
"Ali," panggil Wulan.
"Ali …."
"Coba lihat tulisan ini Ali, kayaknya masih bisa dibaca, ini tulisan Hilton. Iya, walaupun samar, sepertinya sih, kata Hilton ini!"
"Ali," ucap Wulan lagi.
Wulan mengikutiku masuk ke kamar. Ia menyodorkan remasan kertas tadi. Gadis itu telah merapikan gumpalan kertas. Namun, tetap saja lusuh dan tak jelas. Penasaran, aku coba meraih kertas itu. Mencoba membacanya.
"Mana?"
"Yang ini."
Telunjuk Wulan menyentuh sebuah tulisan. Tintanya sudah luntur, sama dengan kata lain yang tertulis. Namun, sedikit lebih jelas. Aku mencoba mengamati kata yang ditunjuk Wulan itu lebih seksama. Ya, Wulan benar kata yang tertulis di sana adalah Hilton.
"Hilton?"
Aku mengernyitkan Alis, mengulangi kata yang dapat terbaca itu. Apa maksudnya?
"Hilton teh, nama hotel bintang lima, gede. Tempatnya orang-orang elit dan kaya di Puncak, Bogor sana," terang Wulan.
Aku terdiam, mencoba menggabungkan potongan ingatan, dan bukti-bukti yang mulai kutemui. Bayangan kejadian yang melintas saat aku dipukuli oleh lelaki gondrong di terminal Bojong Gede kemarin, sepertinya di sebuah bangunan besar. Terlihat rapi, dan mewah.
Jas yang ditemukan Wulan juga barang mahal. Mungkinkah sesuatu terjadi setelah aku berada di sana, di hotel Hilton?
Ada satu kejadian besar yang membuatku jatuh ke sungai? Hingga aku tak ingat apapun sekarang.
"Aarrrgh," geram kupukul kasur.
Aku membalikkan badan, menatap Wulan dengan penuh emosi.
"Sebenarnya apa yang terjadi padaku? Siapa aku? Dari mana asalku?"
Aku menatap tajam pada Wulan. Berharap dia bisa menjawab semua pertanyaanku. Kedua tangan memegang bahu Wulan. Kugoncang-goncangkan beberapa kali. Gadis itu hanya terdiam.
Wulan terlihat mengambil napas, matanya berkedip dengan cepat, bibirnya bergetar. Mungkin dia ketakutan melihat ekspresiku.
"Sebenarnya …."
Wajah Wulan berubah sangat serius. Mungkinkah dia tahu sesuatu? Wulan menghentikan kata-katanya. Aku semakin penasaran.
"Katakan yang sebenarnya Wulan, cepat!" desakku.
"Sebenarnya … sebenarnya ... kamu adalah pangeran kodok yang menyamar menjadi manusia," kata Wulan.
Aku mengembuskan napas dengan berat dan kasar. Huh, percuma saja berbicara serius dengan gadis tak waras ini. Kukira dia benar-benar tahu sesuatu tentangku.
"Hahaha …."
Gadis itu kembali tertawa terpingkal-pingkal, memegang perut. Dikiranya ini adalah suatu hal yang lucu.
"Dasar!"
Aku menjentikkan jari telunjuk, tepat di tengah kening Wulan.
"Auuh," teriaknya. Wulan memegangi bekas merah di keningnya, "Sakit tau!"
"Sudah diam, sana pergi."
"Udah ditemenin, malah ngusir," sungut Wulan. Bibirnya maju beberapa senti sambil keluar dari kamar. Aku segera menutup pintu. Berjalan menuju ranjang, berbaring.
***
"Kupikir, dengan menerima pertunangan ini. Aku akan bahagia. Namun, aku tak bahagia. Semua ini hanya sandiwara."
"A-apa maksudmu?" Aku maju selangkah mendekat pada seorang gadis cantik, bodynya bak gitar Spanyol. Dress dengan belahan dada yang dikenakan gadis itu sungguh menggoda.
Namun, semakin aku maju, ia terlihat semakin jauh dari jangkauan tangan.
"Kenapa? Kupikir kau juga menyukaiku? Bukankah kau juga membutuhkanku sama seperti aku membutuhkanmu?"
Aku berlari berusaha menggenggam tangan gadis itu. Mencegahnya agar tak pergi semakin jauh.
Kabut asap menyelimuti gadis itu, tak dapat kulihat dengan jelas wajah cantiknya lagi. Kukibaskan tangan berusaha mengusir kabut asap, memperjelas pandangan.
"Kupikir, aku akan menikahimu di hadapan Papa. Namun, tetap berhubungan dengan kekasihku, Jhon."
Lagi suara gadis itu terdengar, kali ini dari samping kanan. Segera aku menoleh, mencari asal suara. Tiba-tiba seseorang menghadang langkah. Wajah itu, sorot mata tajamnya, seringaiannya. Aku merasa mengenal sosok ini.
"Apa aku mengenalmu?"
Sang lelaki mendorongku hingga terjatuh. Kedua sosok itu berpelukan dengan mesra di depan kedua mataku. Perlahan semakin menjauh, masuk ke dalam kabut asap. Bayangan mereka hilang.
"Tidak. Hey, tunggu!"
"Tungguuu …."
"Tamara … Tamara …."
Mataku terbuka tanganku terulur mencoba meraih bayangan tadi. Aku seorang diri dalam kamar. Bunyi detik jam masih berdetak mengikuti irama. Jarum panjangnya terus berputar.
"Apa tadi? Mimpi burukkah aku?"
Aku mengusap kasar wajah yang penuh dengan tetesan peluh keringat. Kenapa mimpi itu terasa nyata, seakan-akan memang terjadi. Apakah tadi itu kilasan kejadian sebelum aku hanyut di sungai?
Ataukah hanya mimpi. Mungkin tadi hanya bunga tidur karena aku terlalu banyak berpikir.
"Tamara? Siapa dia?"
Ah, kenapa akhir-akhir ini, aku sering berbicara seorang diri. Bagaimana lagi? Tak mungkin berbicara dengan gadis yang isi otaknya hanya setengah seperti Wulan.
Abah? Dia sudah tua, banyak hal yang harus dipikirkannya. Aku tak mau menambah masalahnya. Toh, ini tentangku. Semua tentang masa laluku.
Tamara? Hotel Hilton? Darimana aku harus mulai mencari tahu? Sepertinya keduanya saling berkaitan.
Ah, kepala sialan ini. Kenapa harus hilang ingatan?
Tuhan, kapan kau akan mengembalikan ingatanku?
Kelangsungan hidupku sepertinya sangat bergantung pada ingatan ini. Masa depanku.
"Aaarrrgh …."
***
Halo para pembaca tersayang, jangan lupa tinggalkan sepatah dua patah kata penyemangat. Atau kritik dan saran, agar cerita ini semakin baik.
Pergi ke telaga, sama pacar tersayang.
Semoga para pembaca, selalu sehat dan berumur panjang.
Pintu kaca terbuka dengan otomatis ketika kakiku mendekatinya dari jarak satu meter. Ragu-ragu, aku menatap sekeliling lalu melangkah masuk. Siang yang cukup terik, suasana lengang. Tak banyak orang berlalu-lalang di lobi hotel.Bola mataku berputar mengawasi ke sekeliling lobi. Berusaha mencari sesuatu, pentunjuk, benda atau hal persetan lain, kunci menuju ingatan."Tuan Alexander …."Aku menoleh ke arah suara. Perempuan di balik meja lobi, berdiri menatapku dengan tersenyum.Siapa yang dipanggilnya? Aku?
Aku menatap langit-langit kamar. Kuangkat secarik kertas pemberian wanita penjaga resepsionis tadi, walaupun aku telah bersikap acuh tak acuh, tak menjawab panggilannya. Ia berlari dan memberikan sebuah catatan kecil. Sebuah alamat rumah."Saya merasa perlu memberikan ini," ucap perempuan itu.Aku menatap selembar kertas putih berukuran kecil yang diulurkannya. Tanpa berkata perempuan penjaga resepsionis tadi kembali ke lobi tempatnya bekerja."Hey, Alamat siapa ini?" Setengah berteriak aku berhenti menatap perempuan penjaga resepsionis yang berjalan menuju lobi.
"Ada banyak hal yang terjadi setelah kepergianmu Alex ....""Maksud, Papa?"Aku menunggu penjelasan selanjutnya. Baru kusadari, kantung mata Papa terlihat sangat jelas. Wajahnya juga pucat."Saat Papa, mendapat kabar kamu mengalami kecelakaan dan terjatuh di sungai. Penyakit jantung Papa, kumat. Papa langsung tak sadarkan diri, hampir seminggu lamanya dirawat di rumah sakit."Jadi Papa sakit, hingga tak dapat mencariku selama ini? Kasihan sekali dia. Aku merasa jadi anak yang tak berguna. Sudah menyusahkan, tak merawatnya saat sakit lagi.
"Saat mendengar kabar Kakak, kecelakaan dan jatuh ke sungai. Papa langsung terkena serangan jantung.Aku tak perlu banyak orang untuk berada di sisiku. Cukuplah kedua orang ini menjadi alasan aku harus bertahan hidup. Mengambil apa yang seharusnya jadi milikku kembali.Tunggu pembalasanku Jhonny."Bagaimana dengan si Jhonny, itu?""Alicia gak suka sama dia. Tiga hari setelah Kakak kecelakaan dia datang ke rumah ini. Seenaknya masuk rumah, dan menempati kamar paling ujung. Lelaki itu bilang dia adalah anak tertua ayah pada semua orang. Jhonn
Matahari telah turun dari langit. Gurat kemerahan terlukis di angkasa. Senja selalu indah. Aku menatap seberkas sinar di luar jendela.Tok … tok … tok …!Terdengar suara seorang perempuan. Mungkin itu asisten rumah tangga tadi, Bik Asih. Mataku memicing menatap jarum pendek benda pipih di dinding yang menunjuk ke angka enam. Waktu yang terlalu cepat untuk makan malam.Aku menutup tirai jendela. Segera melangkah ke pintu. Memutar kenop dan membukanya."Tuan Alex, makan malamnya sudah siap!" ucap Bik Asih setelah pintu terbuka.
"Jhonny, dia minta Papa, menandatangani surat perjanjian. Bahwa The One Property adalah miliknya, Jhonny ingin menjadi pemilik saham terbesar di perusahaan kita. Jika tidak, kerjasama perusahaan kita dengan Hotel Hilton batal.""Apa? Kurang ajar sekali dia itu? Seorang anak haram, yang ingin menjadi pangeran. Menghalalkan segala cara demi memperoleh keinginan.""Lalu apa Papa, menandatanganinya?"Papa menggelengkan kepala beberapa kali. Ia menunjuk ke lantai, sebuah sobekan kertas berwarna putih terjatuh di bawah ranjang.Ini tak bisa dibiarkan. Tingkah Jhonny
"Berikan setengah saham perusahaan di The One Property pada Jhonny. Sebagai ganti telah menelantarkannnya selama dua puluh lima tahun ini."Kata-kata dari perempuan yang mengaku sebagai mama dari Jhonny terus terngiang. Tanpa malu perempuan yang menjadi selingkuhan, sekaligus perusak rumah tangga Papa dan Mama itu meminta setengah saham perusahaan untuk si bedebah Jhonny. Cih!Belum tentu Jhonny benar-benar anak kandung Papa! Bisa saja mereka hanya memanfaatkan harta serta sifat kasihan dari Papa.Semua ini tak bisa terus dibiarkan. Aku menatap tumpukan map yang kuambil dari kamar Papa beberapa hari yang lalu. Segera duduk dan membuka lembar d
Mobil perlahan melaju meninggalkan gedung The One Property. Mulai membaur dengan kendaraan lain. Jalanan ibukota selalu ramai, macet di mana-mana dan semua kendaraan bergerak perlahan.Matahari bersinar begitu teriknya, serasa membakar seluruh pori-pori. Aku ingin segera tiba di rumah. Segelas capuccino dingin pasti akan terasa nikmat.Oven berjalan. Ya, berkendara di siang hari di jalanan ibukota bagai masuk oven."Penampilan anda luar biasa, Tuan!"Aku menoleh, mengalihkan pandangan dari padatnya jalan pada lelaki berkacamata yang duduk d
~Perpisahan paling menyakitkan adalah terpisahnya dua hati tanpa kejelasan alasan. Saling memendam perasaan tanpa bisa menjelaskan.~"Wulan sedih Ali, ternyata selama ini Emak Wulan masih hidup, tapi dia gak pernah kasih kabar sedikit pun," ungkap Wulan di sela isak tangisnya."Sudahlah Wulan. Mungkin semua ini sudah takdir."Aku menepuk-nepuk punggung Wulan. Setelah bertemu dan saling mengungkapkan isi hati dengan ibunya beberapa jam, kami kembali pulang."Emak Jahat, Ali. Dia tega ninggalin Wulan dan abah.""Bukan ibumu yang meninggalkan, tetapi takdir memaksanya meninggalkan kalian. Dia juga terpaksa."
"Nak order ape?" Pelayan tadi kembali mengajukan pertanyaan. Menatap bingung pada kami berdua. Duduk di kursi restoran tapi tak memesan makanan. "Emak …." Suara Wulan bergetar. Matanya berkaca-kaca dan memerah. Pramusaji yang mendatangi meja kami refleks. Menatap Wulan dengan serius, kedua alisnya mengernyit, "Wulan?" "Kamu teh, Wulan Kirana?" Akhirnya. Perjumpaan yang kubayangkan seperti perkiraan. Istriku $ berdiri dari kursinya memeluk pramusaji di depannya. Sang pramusaji membeku. Kertas catatan order dan bolpoinnya terjatuh.
"Terima kasih untuk malam yang indah ini, Sayang." Wulan mencium bibirku setelah berkata. "Sudah tugasku untuk membahagiakanmu," ucapku sambil menatap mata bulat Wulan, "tidurlah, besok kita akan mulai jalan-jalan." Wulan tersenyum, wajahnya lebih ceria dari saat pertama aku mengenalnya dulu. Tak terlihat wajah lelah bahkan mengantuk seperti sebelum kuajak dia mengunjungi Suria KLCC. "Kemana? Besok kita akan kemana?" tanya Wulan bersemangat. "Tidurlah, besok kamu akan tahu kemana tujuan kita." Aku menaikkan selimut sampai dadanya. Ia menurut dan mulai memejamkan matanya. Malam ini akan menjadi malam yang takkan terlupakan oleh Wu
~Tempat ternyaman~ Aku memeluk Wulan dari belakang. Kami menikmati malam pertama di tengah kota Kuala Lumpur dari balkon hotel. Gedung-gedung tinggi menjulang membuat kota ini terlihat seperti kota metropolitan. Bias lampu warna-warni berpendar menyemarakkan malam. Di bawah sana jalanan beraspal padat oleh berbagai kendaraan. Bunyi klakson dan mesin mobil menggema hingga balkon, tempat kami berdiri. "Apa kau suka dengan bulan madu kita?" "Tentu saja, ini pertama kalinya Wulan keluar negeri." Wulan mendongak ke wajahku. Aku menghadiahinya sebuah ciuman hangat. Ia tersenyum.
KLIA 2, Malaysia. Aku menggandeng istriku, telapak tangan Wulan terasa sangat dingin, "Apa kamu kedinginan?" Wulan menggeleng pelan, "Wulan kalo gerogi emang suka panas dingin begini." Tersenyum menatap wajah istriku itu. Ini pengalaman pertamanya naik pesawat terbang. Aku berjalan lebih cepat. Satu langkah kakiku sama dengan dua kali langkah Wulan. Sontak istriku itu menarik tangan, "Kenapa sih, cepet-cepet?" "Pelan-pelan," katanya lagi. Aku tersenyum tak menjawab pertanyaan Wulan, hanya memelankan jalan. Keluar dari koridor para penumpang berbelok ke arah kiri menuju baggage claim area. Ada banyak passenger lain yang juga mencari koper mereka.
Pukul sembilan pagi aku dan Wulan sudah selesai bersiap-siap. Abah Dadang dan dua asisten rumah tangga mengantar sampai di teras. "Abah jaga diri ya, Jangan lupa makan. Kalau Wulan telepon harus diangkat." "Iya, Neng geulis." Keduanya melepaskan pelukan. Aku ganti bersalaman dengan Abah Dadang. "Kami berangkat dulu," pamitku kemudian. Mengajak istriku segera masuk ke dalam mobil. Dua jam dari sekarang pesawat akan take off. Perjalanan dari villa menuju bandara memakan waktu sekitar satu setengah jam. "Ini pertama kalinya Wulan, naik pesawat."  
~Hidup terlalu singkat untuk digunakan membahas masa lalu. Kehidupan yang sekarang adalah sebaik-baiknya pilihan yang sudah kita ambil.~***Kucium kening Wulan. Istriku mengerjap, bulu mata lentiknya bergetar ia menatapku sejenak, "Gak tidur?"Aku menggelengkan kepala pelan. Mengelus rambut sehitam jelaganya."Jam berapa sekarang?""Pukul 00.15 Sayang," jawabku.Sejak kami resmi menjadi suami istri, entah sudah berapa kali aku bercinta dengannya. Seakan-akan tak pernah puas, dan selalu kurang. Wulan pasti kelelahan meladeni keinginanku.
Tok … tok … tok!Seseorang mengetuk pintu kamar. Aku dan Wulan sama-sama kelelahannya. Setelah bercinta di sofa kami melanjutkannya di kamar."Sayang, bangun." Aku mencoba membangunkan Wulan. Ia mengerjapkan mata, menoleh ke arahku."Ada apa?""Ada yang mengetuk pintu.""Ahhh, kamu yang bukain. Aku males," sahutnya sambil membelakangiku. Menarik selimut untuk menutupi tubuhnya lebih erat.Terpaksa aku bangun. Meraih celana pendek dan kaos yang tercecer di lantai. Membuka pintu dan keluar dari kamar.
Aku merangkul Wulan, membimbingnya masuk ke dalam villa kami. Menutup pintunya kembali. Aku mengajak Wulan duduk di sofa."Apa?" tanya Wulan dengan penasaran.Langsung saja kulumat bibir ranum Wulan. Suasana rumah sangat sepi, tak ada orang lain selain kami. Tentu saja kesempatan ini tak boleh dilewatkan.Kali ini aku ingin mencoba sesuatu yang berbeda. Kuarahkan istriku untuk duduk di atas pangkuan. Wulan bahkan mungkin tak sadar jika sudah berada di atasku. Ia memejamkan mata, sementara bibir kami terus bertaut. Sesekali li*ahnya ikut terhisap.Tanganku mulai bergerak lincah menjamah tubuh sintal Wulan. Aku mulai hapal dimana saja titik sensitif istriku ini. Menghentikan pagutan kami, beralih pad