"Saat mendengar kabar Kakak, kecelakaan dan jatuh ke sungai. Papa langsung terkena serangan jantung.
Aku tak perlu banyak orang untuk berada di sisiku. Cukuplah kedua orang ini menjadi alasan aku harus bertahan hidup. Mengambil apa yang seharusnya jadi milikku kembali.
Tunggu pembalasanku Jhonny.
"Bagaimana dengan si Jhonny, itu?"
"Alicia gak suka sama dia. Tiga hari setelah Kakak kecelakaan dia datang ke rumah ini. Seenaknya masuk rumah, dan menempati kamar paling ujung. Lelaki itu bilang dia adalah anak tertua ayah pada semua orang. Jhonny itu orang yang kasar. Suka lempar-lempar barang."
Jadi, seperti itu? Sepertinya dia adalah musuh dalam selimut yang mengambil kesempatan di tengah kesempitan. Firasatku mengatakan Jhonny bukan orang yang baik. Aku harus segera menyingkirkannya dari perusahaan Papa, dari kehidupanku. Sebelum semua terlambat.
Papa terbatuk beberapa kali. Aku dan Alicia mendekat.
"Papa, are you okay?"
Alicia duduk di samping Papa tidur. Matanya berkaca-kaca. Gadis kecil itu terlihat sangat khawatir.
"Minum dulu, Pa."
Aku menyodorkan segelas air dari atas nakas. Di sebelah gelas tadi ada kotak kecil berisi beberapa butir obat.
"Ini obat apa, Pa? Kenapa belum diminum?"
"Papa malas minum obat."
Suaranya terdengar sangat lemah, "No. Papa, harus minum obat. Alex dan Alicia tidak mau kehilangan, Papa. Kami ingin Papa, sembuh."
Papa menarik dua sudut bibirnya membentuk garis datar. Sejenak ia menatapku dan Alicia bergantian.
Aku mengambil kotak obat tadi, "Ini Pa, minumlah."
"Iya, Papa harus sehat. Papa janji mau ngajak Alicia jalan-jalan ke Malaysia liburan sekolah nanti. Alicia ingin lihat Menara Petronas, Batu Caves, sama Zoo Negara Malaysia. Cepat sembuh Pa," pinta Alicia.
Nada suara Alicia parau, gadis kecil ini terlihat sangat takut kehilangan Papa. Dibalik sifat kekanak-kanakan dan manjanya ternyata dia gadis yang penyayang.
Alicia membantu Papa bangun dari tidurnya. Setelah lelaki kesayangan kami duduk, Alicia mengambil kotak obat ditanganku, "Diminum Pa!"
Papa memasukkan tiga butir pil bersamaan. Lalu menenggak air putih di dalam gelas. Ia tersenyum padaku dan Alicia.
"Ayo kita keluar. Biar Papa, beristirahat!"
"Alicia sayang, Papa."
Aku menghentikan langkah, menoleh pada Ayah dan anak di atas ranjang itu.
Alicia menatap Papa sejenak. Kembali menaikkan selimut menutupi tubuhnya. Adik perempuanku itu memeluk Papa yang terbaring di ranjang. Sementara, tangan kanan Papa mengelus rambutnya.
"Gadis cantik Papa."
Aku teringat pada Abah dan Wulan. Bagaimana kabar mereka? Kasih sayang yang sama antara seorang Ayah dan anak. Namun, berbeda cara menyampaikannya.
Netraku menatap tumpukan map di atas meja belajar Papa. Aku kembali berbalik, mengambil salah satu map di tumpukan paling atas. Kontrak kerjasama The One Property dan Hotel Hilton. Tertulis di halaman kedua, rencana pembangunan gedung hotel selanjutnya di pulau Lombok.
Aku menutup map itu. Meraih map hijau di tumpukan kedua. Struktur kepemimpinan The One Property. Ini yang kucari! Sepertinya di dalam map ini berisi hal-hal penting.
"Katanya ngajak keluar? Ayo, Papa mau istirahat."
Alicia menarik-narik lenganku. Kami berjalan menuju pintu, menutupnya kembali dengan perlahan agar Papa tak terbangun.
"Di mana kamarku?"
Alicia menatapku dengan tatapan aneh, "Apa Kakak, lupa dengan kamar sendiri?"
"Ehhmm, Kakak hanya ingin diantar ke kamar oleh adik tersayangku ini."
Mati aku. Bisa ketahuan kalau aku ini hilang ingatan. Untung saja bisa cepat mencari alasan. Nanti, jika ingatanku sudah benar-benar pulih aku akan bisa mengingat semuanya.
"Jadi Kakak benar-benar kecelakaan?"
"Hemmm …."
Aku menoleh menatap Alicia gadis itu terus berjalan. Aku tertinggal beberapa langkah di belakangnya. Dari kamar Papa, kami terus berjalan di lorong. Ada empat kamar saling berhadapan.
"Lalu, selama ini Kakak, tinggal di mana?"
"Kenapa baru sekarang pulang ke rumah?"
"Pertanyaan yang mana dulu, yang harus Kakak jawab, nih?!"
Alicia berhenti, ia membalikkan badan. Alisnya mengernyit menatapku, "Jalan lama amat, sih?!"
Aku mengangkat bahu, "Bukannya kamu yang terlalu bersemangat?"
"Habis Alicia seneng, Kakak pulang ke rumah juga akhirnya."
Alicia mundur, kembali melingkarkan tangannya di lenganku. Mengajakku berjalan lebih cepat.
"Ini kamar Kakak."
Aku menoleh, menatap sebuah kamar bercat putih, meraih kenop pintu.
"Thanks, sana, ganti baju."
"Gitu doank?"
Alicia mengernyitkan alisnya. Senyum di wajah gadis berumur enam belas tahun itu mengerucut. Terlihat kecewa.
Tanpa menjawab aku segera masuk dan menutup pintu. Banyak hal yang harus kulakukan, "Lain kita ngobrol lagi Alicia," gumamku.
Entah adik perempuanku itu bisa mendengarnya atau tidak. Saat aku berbalik menatap kamar pribadiku, mata ini tak berkedip.
Mengamati interior kamarku sendiri untuk beberapa saat. Ruangannya tak seluas milik Papa, namun cukup menjadi markas seorang lelaki. Ada ranjang besar, dengan nakas di samping kedua sisinya. Ada TV LED berukuran 32 inch. Televisi layar datar itu terpasang di dinding menghadap ke ranjang. Seperangkat game box di rak kecil di bawah TV LED tadi. Tertulis di atasnya PS5.
Sebuah lemari pakaian dengan konsep open wardrobe berdiri kokoh di dinding yang menghadap ranjang tidur. Aku meraba lemari. Lemari ini menggabungkan dua material, yakni steel atau baja ringan dan kayu.
Material steel atau baja ringan berwarna metalik digunakan sebagai material rangka lemari sementara kayu digunakan untuk penampang lemarinya.
Satu sudut bibirku terangkat naik, lemari pakaian yang terkesan minimalis. Konsep open wardrobenya membuat siapa saja bisa melihat langsung isi lemariku. Tumpukan pakaian dan celana, juga beberapa jas yang digantung. Di bawahnya ada beberapa laci, terisi tas kerja, dompet, kacamata, dan topi. Ternyata aku ini suka memakai aksesori juga!
Di rumah Abah dan Wulan, aku hanya memiliki beberapa potong pakaian juga celana. Pantas, perempuan penjaga resepsionis itu menatapku heran. Matanya tak berkedip melihat celana jeans belel selutut yang kukenakan saat itu.
Aku segera duduk di tepi ranjang, mengamati beberapa map yang kubawa dari kamar Papa tadi. Membuka dan membacanya pelan-pelan. Mencari informasi.
Mataku membulat sempurna membaca sebuah peraturan penting perusahaan Papa. Pemilik sah The One Property adalah Abraham Lexzuardy, sebagai pemegang saham terbesar. Jika terjadi sesuatu hal pada kepemimpinan perusahaan diserahkan pada yang ditunjuk olehnya, atau melalui rapat dewan direksi.
"Kena kau, Jhonny!"
Aku akan mengambil tempatku kembali dan mengusirmu keluar dari rumahku. Enak saja anak haram yang tidak jelas sepertimu ingin merebut tempatku, menikmati semua kerja keras Papa.
"Tunggu pembalasanku!"
Meskipun aku belum ingat sepenuhnya tentang masa laluku. Namun, kilasan kenangan yang terputar di ingatan begitu nyata.
Aku tahu ada sesuatu pada lelaki itu. Sesuatu yang jahat.
"Lihat saja, nanti!"
***
Naik mobil Mercedes, lewat jembatan layang. Hai para readers tersayang.
Lope sekebon buat kalian.
Ikuti terus kisah Ali, jangan lupa star vote dan tinggalkan jejak sepatah dua patah kata. Asal jangan kelen bergoyang patah-patah, ala Mbak artis itu. Ati2 encok...
Matahari telah turun dari langit. Gurat kemerahan terlukis di angkasa. Senja selalu indah. Aku menatap seberkas sinar di luar jendela.Tok … tok … tok …!Terdengar suara seorang perempuan. Mungkin itu asisten rumah tangga tadi, Bik Asih. Mataku memicing menatap jarum pendek benda pipih di dinding yang menunjuk ke angka enam. Waktu yang terlalu cepat untuk makan malam.Aku menutup tirai jendela. Segera melangkah ke pintu. Memutar kenop dan membukanya."Tuan Alex, makan malamnya sudah siap!" ucap Bik Asih setelah pintu terbuka.
"Jhonny, dia minta Papa, menandatangani surat perjanjian. Bahwa The One Property adalah miliknya, Jhonny ingin menjadi pemilik saham terbesar di perusahaan kita. Jika tidak, kerjasama perusahaan kita dengan Hotel Hilton batal.""Apa? Kurang ajar sekali dia itu? Seorang anak haram, yang ingin menjadi pangeran. Menghalalkan segala cara demi memperoleh keinginan.""Lalu apa Papa, menandatanganinya?"Papa menggelengkan kepala beberapa kali. Ia menunjuk ke lantai, sebuah sobekan kertas berwarna putih terjatuh di bawah ranjang.Ini tak bisa dibiarkan. Tingkah Jhonny
"Berikan setengah saham perusahaan di The One Property pada Jhonny. Sebagai ganti telah menelantarkannnya selama dua puluh lima tahun ini."Kata-kata dari perempuan yang mengaku sebagai mama dari Jhonny terus terngiang. Tanpa malu perempuan yang menjadi selingkuhan, sekaligus perusak rumah tangga Papa dan Mama itu meminta setengah saham perusahaan untuk si bedebah Jhonny. Cih!Belum tentu Jhonny benar-benar anak kandung Papa! Bisa saja mereka hanya memanfaatkan harta serta sifat kasihan dari Papa.Semua ini tak bisa terus dibiarkan. Aku menatap tumpukan map yang kuambil dari kamar Papa beberapa hari yang lalu. Segera duduk dan membuka lembar d
Mobil perlahan melaju meninggalkan gedung The One Property. Mulai membaur dengan kendaraan lain. Jalanan ibukota selalu ramai, macet di mana-mana dan semua kendaraan bergerak perlahan.Matahari bersinar begitu teriknya, serasa membakar seluruh pori-pori. Aku ingin segera tiba di rumah. Segelas capuccino dingin pasti akan terasa nikmat.Oven berjalan. Ya, berkendara di siang hari di jalanan ibukota bagai masuk oven."Penampilan anda luar biasa, Tuan!"Aku menoleh, mengalihkan pandangan dari padatnya jalan pada lelaki berkacamata yang duduk d
"Mobil Alicia, tidak ada di garasi. Alicia, belum terlihat pulang dari sekolah!"Aku mengulangi kata-kata yang disampaikan oleh security yang bertugas berjaga di gerbang."Astaga, kemana gadis kecilku pergi? Tidak biasanya dia pulang terlambat. Apalagi tanpa memberi kabar!" Papa meracau, ia terlihat panik dan bingung."Tenanglah, Bram. Kita pasti akan menemukan Alicia," ujar Om Pram yang mencoba menenangkan Papa.Di mana Alicia?Tak biasanya dia pul
Hari sudah mulai gelap. Matahari telah pulang ke peraduannya. Bulan bersiap menerangi Bumi. Tinggallah aku seorang diri duduk di samping ranjang Papa. Om Pramudya sudah pamit pulang sejak pukul lima sore."Alex, cari adikmu segera. Jangan biarkan mereka menyakitinya!""Tentu Pa, serahkan semua pada Alex. Papa, jangan terlalu memikirkan semua ini. Istirahatlah," jawabku."Hubungi polisi segera ….""Iya, Pa. Tenanglah."Aku memotong perkataan Papa. Aku tahu
Empat puluh menit berkendara. Aku memasuki pintu gerbang Polsek Kebayoran Lama. Tak banyak orang berlalu lalang. Semoga saja aku masih bisa membuat laporan.Aku segera keluar dari mobil. Melangkah menuju kantor pintu masuk. Di depan sebuah ruangan ada meja kayu berwarna cokelat terang bertuliskan informasi. Ada sekat dari kaca berwarna putih tebal yang memberi jarak antara tamu dan lelaki di balik meja itu.Seorang lelaki berseragam cokelat yang duduk di belakang kaca berdiri, "Selamat malam, ada yang bisa saya bantu?"Melihatku berdiri mematung menatap ruangan di belakangnya lelaki di balik meja informasi tadi menyapaku. Suaranya tegas dan ke
"Lepaskan, Tamara!" seruku pelan.Tiing!Lift terbuka. Dua orang lelaki berdiri di depan pintu menatap kami dengan tatapan penuh tanya. Aku segera mendorong Tamara menjauh. Melepaskan pelukannya.Tamara mundur beberapa langkah ke belakang. Sepertinya gadis itu tak menduga sikap tiba-tibaku ini. Hampir ia terjatuh, menabrak dinding lift bagian kanan."Alex?"Wajahnya memerah. Entah marah atau malu aku memperlakukannya dengan kasar tadi, terserah!