Share

2. Hilang Ingatan.

Penulis: Novica Ayu
last update Terakhir Diperbarui: 2021-03-13 03:11:02

Bruaghkh!

Sakit. Pandanganku mulai gelap, sesuatu menabrak tubuhku. Aku terpental, jauh. Terdengar bunyi air bergemericik. Badanku terasa dingin.

Gelap.

Inikah akhir hidupku?

Tuhan aku belum siap untuk menghadapmu. Aku masih muda, Papa, Mama, Alicia maafkan aku pergi tanpa berpamitan terlebih dulu.

***

"Hey, kenapa kamu tidur di sini?"

Siapa itu? Suara seorang perempuan. Tolong, tolong aku. Apa dia bodoh? Aku bukan tidur di sembarang tempat namun, badanku terasa sangat berat. Aku ini sekarat, hah!

Inginnya aku menjawab suara itu. Namun, bibirku kelu tak bisa digerakkan. Suaraku tercekat.

"Hey, bangun!"

Aku membuka mata perlahan. Sedikit menyipitkan sudut mata, memicing. Wajah seorang gadis berdiri menatapku. Alisnya tebal dengan bulu mata lentik, hidung mancung, bibir merah tipis. Rambutnya hitam dan bergelombang. Cantik.

Apa aku berada di surga? Surga terlalu menyilaukan. Kembali mata mengatup, tertutup. Tidak Tuhan, aku belum siap mati.

Apa dia malaikat pencabut nyawaku?

"Hey, bangunlah!"

Lagi dan lagi. Gadis ini bodoh atau apa? Kenapa dari tadi dia menyuruhku bangun. Tak tahukah dia seluruh tubuhku remuk redam? Aku bahkan tak bisa memerintah tubuhku untuk bergerak. Rasanya mati rasa.

"Ayo, cepat bangun!"

Aku merasa seseorang mengelus rambut. Selanjutnya, tangan lembut dan halus itu turun, membelai wajah.

Siapa dia?

Aku mengerjapkan mata beberapa kali. Mata perlahan terbuka kembali. Ah … berat sekali rasanya, membuka kelopak mata. Berapa lama aku sudah tertidur?

"Abah, dia sudah bangun!" Seru suara seorang perempuan. Berikutnya terdengar suara langkah kaki mendekat.

"Alhamdulilah, akhirnya dia siuman juga," jawab sebuah suara bariton.

Dua wajah yang tak kukenal menatapku lekat.

"Minum, ayo diminum dulu." 

Perempuan dengan suara ramah itu terlihat senang. Ia tersenyum menatapku. Apa aku mengenalnya? Siapa dia? Di mana aku?

Lelaki paruh baya di sampingnya membantu mengangkat kepalaku, gadis tadi mendekatkan gelas berisi cairan kecokelatan beraroma melati. 

Rasa manis tertinggal di lidah, sementara hangatnya menuruni kerongkongan, masuk ke dalam perut. 

Kuangkat tangan kanan, menatap jemari dan lengan. Banyak goresan di kulit tubuh, "Argh, sakit!" 

"Kamu gak apa-apa?" 

Gadis itu mendekat, wajahnya terlihat panik dan khawatir.

"Mana yang sakit?" tanyanya dengan cepat.

Tanganku meraba bagian belakang kepala. Ada sesuatu yang menempel melingkar. Apa ini? Perban?

"Di-dimana ini?" tanyaku dengan terbata.

"Ini …."

Belum sempat gadis itu menjawab pertanyaanku, kepala kembali pusing, pandangan atau ruangan ini yang sedang berputar? Semua gelap kembali.

"Aduuh, Abah!"

"Dia pingsan lagi!"

Kata-kata terakhir yang bisa kudengar. Setelahnya, mataku mengatup rapat. Kembali menyatu dengan gelap.

***

"Dasar pemalas!"

"Ayo, bangun!" teriaknya. Matanya melotot ke arahku.

Suara cemprengnya membuyarkan lamunan. Sudah seminggu pemilik suara itu selalu mengomel setiap pagi, menyuruhku ini dan itu. Dasar cerewet.

Ah, apalagi ini. Aku melirik Gadis yang berdiri di ambang pintu itu, cerewet sekali dia. Kerjanya hanya mengomel dari pagi hingga malam, sampai keesokan harinya lagi.

"Apa?" tanyaku datar.

"Astogeh, 'apa' dia bilang? Sekarang sudah jam sembilan pagi dan dia baru bangun tidur?"

Kuangkat bantal di bawah kepala. Segera kututup wajah. Setidaknya dengan ini, suara cempreng Wulan tak akan menusuk kupingku. 

"Bangun!"

Wajah Wulan berada di samping ranjang. Gadis itu membuka bantal yang menutupi kepalaku. Kami saling bertatapan, cukup lama. Mata yang indah.

"Ko-a-la!" pekiknya. Ia menjewer satu kupingku. Lalu berlari menjauh.

Aku segera mengerjapkan mata. Suara cemprengnya merusak imajinasiku tentang wajah cantiknya. Suara gadis itu berbanding terbalik dengan wajahnya.

Dia gemar memanggilku dengan koala, hewan yang terkenal dengan kemalasan dan hobi tidurnya. 

Aku berdiri dari ranjang, segera mengejarnya menuju pintu. Ia berlari-lari kecil sambil menjulurkan lidah. Kekanak-kanakkan sekali bukan?

"Awas kamu!"

Aku berlari mengejarnya. Ia mengitari meja makan rumah. Tetap dengan menjulurkan lidah di sisi meja satunya. Tanganku berusaha meraih bajunya. Jika dapat akan kujewer balik dua kupingnya itu.

Dia adalah Wulan Kirana. Gadis berumur sembilan belas tahun. Sudah tujuh hari ini aku menumpang tinggal di rumahnya. Badanku mulai sehat. Hanya saja, ingatanku belum kembali.

Gadis itu sangat perhatian dan hangat. Sampai-sampai semua urusan pribadiku pun ia ikut campur.

Tentang aku, aku sendiri tak tahu siapa aku ini. Kata Wulan dia menemukanku di pinggir sungai Ciliwung sekitar seminggu yang lalu. Pagi itu ketika ia akan mencuci baju, sebab pompa air di rumahnya sedang rusak. Tuhan mempertemukan kami. Aku berada di rerumputan pinggir kali Ciliwung.

Suatu keberuntungan, banyak orang berkata kemungkinan untuk hidup jika hanyut di kali Ciliwung sangat tipis. Namun, ini adalah takdirku. Mungkin belum saatnya aku mati. 

Aku siuman setelah dua hari ditemukan. Pak Dadang dan Wulan membawaku ke rumah seorang dokter, tetangga mereka. Pertolongan tercepat.

Aku sangat bersyukur bisa selamat. Walaupun, dengan keadaan tak mengingat apa pun. Mungkinkah Tuhan menghapus ingatanku untuk memberikan kenangan baru? Entahlah. 

Aku masih berusaha mengingat-ingat semuanya. Namun, setiap kali berusaha mengingat kepalaku pusing. Sangat sakit.

"Berhenti!"

"Apa-apaan kalian ini?"

Aku menoleh ke arah suara bariton itu. Pak Dadang melotot tajam ke arahku.

"Ali, Wulan, kenapa kalian main kejar-kejaran di dalam rumah? Kalian ini sudah besar. Jangan bertingkah kekanak-kanakkan."

Wulan memasukkan lidahnya yang menjulur ke arahku. Menundukkan kepala. Diam juga akhirnya gadis itu.

"Ali, kepala kamu masih sering pusing?"

Ali, mereka memberiku nama Ali. Nama yang lumayan bagus. Kata Abah Dadang, ayah dari Wulan, itu adalah nama anak pertamanya yang hanyut terbawa kali Ciliwung saat masih sekolah dasar dulu. Setidaknya mereka tak menamaiku dengan nama binatang.

"Heh, malah melamun!" sergah Abah Dadang lagi.

"Tidak Bah, sudah mendingan."

"Apa kamu sudah ingat siapa kamu? Masa lalu kamu?"

Aku menggeleng lalu terdiam kembali. Sekalipun aku sangat ingin untuk dapat mengingatnya. Namun, tak ada satupun yang dapat kuingat.

Siapa aku? Nama, alamat, orang tua, semua tentangku. Aku tak mengingatnya. Adakah seseorang yang mengetahuinya? Bagaimana caraku kembali pada kehidupanku, sementara aku tak mengingat apa pun.

"Tradahan gawe, si Ali, Bah, ngelamun terus!" cerocos Wulan lagi 

Aku melotot ke arah Wulan. Suara cemprengnya itu selalu membuatku emosi. 

"Hari ini, Ujang gak bisa bantuin ngernet Abah. Kamu mau ikut narik angkot ke terminal, Ali?"

"Sok, sana! Itung-itung biar berguna jadi orang. Jangan numpang doang, makan mulu, kerja kagak. Tidur bae!"

Ingin sekali rasanya kusumpal kaus kaki mulut itu. Suaranya berbanding terbalik dengan wajah cantiknya. Mungkin Tuhan sedang kehabisan stok suara merdu, saat giliran Wulan mengantre suara.

"Iya, Ali. Siapa tahu di jalan ketemu tetangga, atau temen kamu? Kan bisa jadi titik terang buat mengingat masa lalu kamu," usul Abah.

Betul, ide bagus. Bogor begitu luas. Jika aku hanya tinggal di dalam rumah ini, berdiam diri. Aku tak akan menemukan apa-apa selain kecerewetan Wulan. Mungkin di luar sana, ada orang yang sedang mencariku? Atau bahkan aku akan bertemu orang yang mengerti tentang asal-usulku?

"Te-tetapi, saya gak mengerti bagaimana jadi kernet itu, Bah?"

"Hahahha …."

Abah tersenyum lebar, sementara Wulan memegangi perutnya. Tawa Wulan meledak. Mulutnya terbuka lebar. Tangannya menunjuk ke wajahku.

"Ganteng-ganteng meni o'on ini. Namanya jadi kernet itu tinggal tereak, cari penumpang."

Lihat gadis itu tertawa terbahak-bahak lagi. Apa yang lucu? Selain tak memberikan suara yang merdu, ternyata Tuhan juga memberi otak second pada Wulan. Kinerja otak itu pasti hanya berfungsi setengah atau miring ke sudut kiri 360 derajat. 

Dasar gadis cempreng!

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Irma_Asma
Wulan keren banget! galaknya minta ampun!!!
goodnovel comment avatar
Khoirul N.
Itu Wulan galak bingiiits! Wkwkw, mau disumpal sepatu juga gak bakal diem 🤣🤣
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • CEO Yang Hilang Ingatan   3. CEO jadi Kernet

    Terminal Bojong Gede. Aku mendongak membaca sebuah papan nama dalam hati. Angkot Abah baru merapat, berbaris rapi di antara beberapa angkot berwarna biru lain."Baru datang, Bah? Ujang, mana?" Sapa seorang lelaki di samping angkot Abah. Ia menatapku sekilas."Ujang repot, istrinya baru lahiran."Aku hanya mendengarkan percakapan mereka tanpa ikut berbicara. Melemparkan pandangan ke sekeliling terminal. Ramai. Hilir mudik para penumpang. Banyak para pedagang asongan menawarkan barang jualan mereka.Tempat yang asing. Aku merasa belum pernah kemari. Mata

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-14
  • CEO Yang Hilang Ingatan   4. De Javu

    "Bismillah, laris manis, tanjung kimpul. Penumpang berbaris, duit kumpul."Abah mengibaskan handuk birunya ke pintu dan kemudi angkot. Aku tersenyum lalu mengambil posisi duduk di dekat pintu.Abah mengawasi lalu lintas. Bola matanya menatap ke arah depan dan spion angkot bergantian. Setelah dirasa sepi, Ayah Wulan segera membelokkan kemudi. Angkot kembali melewati rute yang sama menuju terminal Bojong Gede.Angkot menjauh dari Pasar Anyar. Kerumunan orang terlihat semakin kecil seperti semut. Ah, lelahnya. Sepertinya baru kali ini aku merasakan bekerja dengan keras.

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-15
  • CEO Yang Hilang Ingatan   5. Rahasia?

    (Rahasia?)Abah memapahku menuju dipan kamar. Wulan? entah pergi kemana anak itu. Setelah angkot Abah terparkir di bawah pohon mangga di depan rumah, gadis itu turun lebih dulu.Aku duduk di pinggir ranjang. Berusaha mengangkat kaki, kemudian berbaring."Istirahat dulu Ali, badan Elu, pasti sakit semua!" titah Abah. Lelaki paruh baya itu keluar dari kamarku. Aku telentang, tidur di atas ranjang. Menatap langit-langit kamar. Hening. Kemana si gadis cempreng itu? Badanku digebuki para preman pasar tadi gara-gara dia. "Kenapa juga aku belain si Wulan, babak belur jadinya!" gumamku. "Nyesel, nih?"Tiba-tiba suara Wulan nyaring terdengar. Aku langsung menoleh, menatap ke arah pintu. Gadis itu melotot tajam padaku, tangan kanannya membawa baskom kecil."Kenapa juga belain aku? Wulan, 'kan gak minta?!" tukas Wulan, ia mengernyitkan alis, menunggu jawabanku.Seharusnya kubiarkan saja para preman pasar tadi melakukan apapun pada Wulan. Apa peduliku? Lihatlah sekarang, tanpa rasa bersalah dia

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-19
  • CEO Yang Hilang Ingatan   6. Siapa Aku Sebenarnya?

    "Apa itu?"Wulan ikut bertanya melihat secarik kertas lusuh di tangan. Aku menggeleng, tak dapat membaca tulisan yang telah luntur.Menghembuskan napas dengan kasar. Lalu keluar dari kamar itu. Kutinggalkan bungkusan plastik hitam di atas ranjang Wulan."Mau kemana?""Minum!"Aku melangkah keluar dari kamar Wulan. Menuju dapur di sampingnya. Mengambil gelas dan menuangkan ceret berisi air. Kuteguk dengan cepat isi dalam gelas. Haus.

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-21
  • CEO Yang Hilang Ingatan   7. Jejak Ingatan

    Pintu kaca terbuka dengan otomatis ketika kakiku mendekatinya dari jarak satu meter. Ragu-ragu, aku menatap sekeliling lalu melangkah masuk. Siang yang cukup terik, suasana lengang. Tak banyak orang berlalu-lalang di lobi hotel.Bola mataku berputar mengawasi ke sekeliling lobi. Berusaha mencari sesuatu, pentunjuk, benda atau hal persetan lain, kunci menuju ingatan."Tuan Alexander …."Aku menoleh ke arah suara. Perempuan di balik meja lobi, berdiri menatapku dengan tersenyum.Siapa yang dipanggilnya? Aku?

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-23
  • CEO Yang Hilang Ingatan   8. Kembali ke Rumah.

    Aku menatap langit-langit kamar. Kuangkat secarik kertas pemberian wanita penjaga resepsionis tadi, walaupun aku telah bersikap acuh tak acuh, tak menjawab panggilannya. Ia berlari dan memberikan sebuah catatan kecil. Sebuah alamat rumah."Saya merasa perlu memberikan ini," ucap perempuan itu.Aku menatap selembar kertas putih berukuran kecil yang diulurkannya. Tanpa berkata perempuan penjaga resepsionis tadi kembali ke lobi tempatnya bekerja."Hey, Alamat siapa ini?" Setengah berteriak aku berhenti menatap perempuan penjaga resepsionis yang berjalan menuju lobi.

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-25
  • CEO Yang Hilang Ingatan   9. Kenyataan Yang Tak Bisa Kuterima

    "Ada banyak hal yang terjadi setelah kepergianmu Alex ....""Maksud, Papa?"Aku menunggu penjelasan selanjutnya. Baru kusadari, kantung mata Papa terlihat sangat jelas. Wajahnya juga pucat."Saat Papa, mendapat kabar kamu mengalami kecelakaan dan terjatuh di sungai. Penyakit jantung Papa, kumat. Papa langsung tak sadarkan diri, hampir seminggu lamanya dirawat di rumah sakit."Jadi Papa sakit, hingga tak dapat mencariku selama ini? Kasihan sekali dia. Aku merasa jadi anak yang tak berguna. Sudah menyusahkan, tak merawatnya saat sakit lagi.

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-27
  • CEO Yang Hilang Ingatan   10. Menyusun Rencana.

    "Saat mendengar kabar Kakak, kecelakaan dan jatuh ke sungai. Papa langsung terkena serangan jantung.Aku tak perlu banyak orang untuk berada di sisiku. Cukuplah kedua orang ini menjadi alasan aku harus bertahan hidup. Mengambil apa yang seharusnya jadi milikku kembali.Tunggu pembalasanku Jhonny."Bagaimana dengan si Jhonny, itu?""Alicia gak suka sama dia. Tiga hari setelah Kakak kecelakaan dia datang ke rumah ini. Seenaknya masuk rumah, dan menempati kamar paling ujung. Lelaki itu bilang dia adalah anak tertua ayah pada semua orang. Jhonn

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-29

Bab terbaru

  • CEO Yang Hilang Ingatan   216. I Love You Wulan

    ~Perpisahan paling menyakitkan adalah terpisahnya dua hati tanpa kejelasan alasan. Saling memendam perasaan tanpa bisa menjelaskan.~"Wulan sedih Ali, ternyata selama ini Emak Wulan masih hidup, tapi dia gak pernah kasih kabar sedikit pun," ungkap Wulan di sela isak tangisnya."Sudahlah Wulan. Mungkin semua ini sudah takdir."Aku menepuk-nepuk punggung Wulan. Setelah bertemu dan saling mengungkapkan isi hati dengan ibunya beberapa jam, kami kembali pulang."Emak Jahat, Ali. Dia tega ninggalin Wulan dan abah.""Bukan ibumu yang meninggalkan, tetapi takdir memaksanya meninggalkan kalian. Dia juga terpaksa."

  • CEO Yang Hilang Ingatan   215. Bertemu Ibu Wulan

    "Nak order ape?" Pelayan tadi kembali mengajukan pertanyaan. Menatap bingung pada kami berdua. Duduk di kursi restoran tapi tak memesan makanan. "Emak …." Suara Wulan bergetar. Matanya berkaca-kaca dan memerah. Pramusaji yang mendatangi meja kami refleks. Menatap Wulan dengan serius, kedua alisnya mengernyit, "Wulan?" "Kamu teh, Wulan Kirana?" Akhirnya. Perjumpaan yang kubayangkan seperti perkiraan. Istriku $ berdiri dari kursinya memeluk pramusaji di depannya. Sang pramusaji membeku. Kertas catatan order dan bolpoinnya terjatuh.

  • CEO Yang Hilang Ingatan   214. Tujuan Bulan Madu Pertama

    "Terima kasih untuk malam yang indah ini, Sayang." Wulan mencium bibirku setelah berkata. "Sudah tugasku untuk membahagiakanmu," ucapku sambil menatap mata bulat Wulan, "tidurlah, besok kita akan mulai jalan-jalan." Wulan tersenyum, wajahnya lebih ceria dari saat pertama aku mengenalnya dulu. Tak terlihat wajah lelah bahkan mengantuk seperti sebelum kuajak dia mengunjungi Suria KLCC. "Kemana? Besok kita akan kemana?" tanya Wulan bersemangat. "Tidurlah, besok kamu akan tahu kemana tujuan kita." Aku menaikkan selimut sampai dadanya. Ia menurut dan mulai memejamkan matanya. Malam ini akan menjadi malam yang takkan terlupakan oleh Wu

  • CEO Yang Hilang Ingatan   213. Tempat Ternyaman.

    ~Tempat ternyaman~ Aku memeluk Wulan dari belakang. Kami menikmati malam pertama di tengah kota Kuala Lumpur dari balkon hotel. Gedung-gedung tinggi menjulang membuat kota ini terlihat seperti kota metropolitan. Bias lampu warna-warni berpendar menyemarakkan malam. Di bawah sana jalanan beraspal padat oleh berbagai kendaraan. Bunyi klakson dan mesin mobil menggema hingga balkon, tempat kami berdiri. "Apa kau suka dengan bulan madu kita?" "Tentu saja, ini pertama kalinya Wulan keluar negeri." Wulan mendongak ke wajahku. Aku menghadiahinya sebuah ciuman hangat. Ia tersenyum.

  • CEO Yang Hilang Ingatan   212. Tiba Di Hotel.

    KLIA 2, Malaysia. Aku menggandeng istriku, telapak tangan Wulan terasa sangat dingin, "Apa kamu kedinginan?" Wulan menggeleng pelan, "Wulan kalo gerogi emang suka panas dingin begini." Tersenyum menatap wajah istriku itu. Ini pengalaman pertamanya naik pesawat terbang. Aku berjalan lebih cepat. Satu langkah kakiku sama dengan dua kali langkah Wulan. Sontak istriku itu menarik tangan, "Kenapa sih, cepet-cepet?" "Pelan-pelan," katanya lagi. Aku tersenyum tak menjawab pertanyaan Wulan, hanya memelankan jalan. Keluar dari koridor para penumpang berbelok ke arah kiri menuju baggage claim area. Ada banyak passenger lain yang juga mencari koper mereka.

  • CEO Yang Hilang Ingatan   211. Penerbangan Pertama Wulan.

    Pukul sembilan pagi aku dan Wulan sudah selesai bersiap-siap. Abah Dadang dan dua asisten rumah tangga mengantar sampai di teras. "Abah jaga diri ya, Jangan lupa makan. Kalau Wulan telepon harus diangkat." "Iya, Neng geulis." Keduanya melepaskan pelukan. Aku ganti bersalaman dengan Abah Dadang. "Kami berangkat dulu," pamitku kemudian. Mengajak istriku segera masuk ke dalam mobil. Dua jam dari sekarang pesawat akan take off. Perjalanan dari villa menuju bandara memakan waktu sekitar satu setengah jam. "Ini pertama kalinya Wulan, naik pesawat."  

  • CEO Yang Hilang Ingatan   210. Ketakutan Wulan.

    ~Hidup terlalu singkat untuk digunakan membahas masa lalu. Kehidupan yang sekarang adalah sebaik-baiknya pilihan yang sudah kita ambil.~***Kucium kening Wulan. Istriku mengerjap, bulu mata lentiknya bergetar ia menatapku sejenak, "Gak tidur?"Aku menggelengkan kepala pelan. Mengelus rambut sehitam jelaganya."Jam berapa sekarang?""Pukul 00.15 Sayang," jawabku.Sejak kami resmi menjadi suami istri, entah sudah berapa kali aku bercinta dengannya. Seakan-akan tak pernah puas, dan selalu kurang. Wulan pasti kelelahan meladeni keinginanku.

  • CEO Yang Hilang Ingatan   209. Ronde Tambahan

    Tok … tok … tok!Seseorang mengetuk pintu kamar. Aku dan Wulan sama-sama kelelahannya. Setelah bercinta di sofa kami melanjutkannya di kamar."Sayang, bangun." Aku mencoba membangunkan Wulan. Ia mengerjapkan mata, menoleh ke arahku."Ada apa?""Ada yang mengetuk pintu.""Ahhh, kamu yang bukain. Aku males," sahutnya sambil membelakangiku. Menarik selimut untuk menutupi tubuhnya lebih erat.Terpaksa aku bangun. Meraih celana pendek dan kaos yang tercecer di lantai. Membuka pintu dan keluar dari kamar.

  • CEO Yang Hilang Ingatan   208. Ronde Selanjutnya

    Aku merangkul Wulan, membimbingnya masuk ke dalam villa kami. Menutup pintunya kembali. Aku mengajak Wulan duduk di sofa."Apa?" tanya Wulan dengan penasaran.Langsung saja kulumat bibir ranum Wulan. Suasana rumah sangat sepi, tak ada orang lain selain kami. Tentu saja kesempatan ini tak boleh dilewatkan.Kali ini aku ingin mencoba sesuatu yang berbeda. Kuarahkan istriku untuk duduk di atas pangkuan. Wulan bahkan mungkin tak sadar jika sudah berada di atasku. Ia memejamkan mata, sementara bibir kami terus bertaut. Sesekali li*ahnya ikut terhisap.Tanganku mulai bergerak lincah menjamah tubuh sintal Wulan. Aku mulai hapal dimana saja titik sensitif istriku ini. Menghentikan pagutan kami, beralih pad

DMCA.com Protection Status